Bab 3
Luka
"Masuk, Pakde," pinta Bela kepada lelaki tua yang kini ikut duduk bersama mereka.
"Ada apa ini? Suara kalian itu kedengaran sampai di luar. Jika para tetangga denger apa kalian gak malu?" ucap Hamdani dengan suara yang pelan tapi masih terdengar oleh semua orang. Bela mengusap jejak air mata. Berharap akan ada titik terang dengan kedatangan Hamdani. Beliau sangat dihormati sebab selama Bela menikah dengan Imam. Beliaulah yang selalu menjadi penengah saat ada masalah.
"Pakde, Mas Imam menikah lagi!" tutur Bela pelan. Airmata yang tadi dipaksa berhenti kini kembali mengalir dengan sendirinya. Hamdani membuang napas dengan kasar.
"Memangnya kamu belum tahu kalau Imam sudah menikah seminggu yang lalu?" tanya Hamdani kepada Bela. Netranya mengarah kepada wanita itu.
"Jadi Pakde juga sudah tahu perihal Mas Imam menikah lagi?" Bela bertanya untuk memastikan apakah dugaannya salah atau benar. Hamdani mengangguk pelan. Lalu menghirup oksigen sebanyak-banyaknya kemudian membuangnya perlahan.
"Bukannya mertuamu sudah menceritakannya kepadamu? Bukankah begitu Ratna ucapanku waktu itu kalau urusan Bela biar kamu yang mengatakan semuanya. Karena kamu bilang Bela wanita yang penurut dengan mertua maupun suaminya? Dengan alasan itu lah Pakde tidak memberitahumu!"
"Benarkah, Bu? Benarkah ibu mengatakan kalau Bela wanita yang penurut dengan ucapan mertua maupun suaminya? Tapi apakah dengan di madu aku juga akan menurut, Bu?! Wanita bodoh mana yang akan menerima suaminya membagi cinta dengan wanita lain?"
"Cukup, Bela. Asal kamu tahu aku juga sudah lelah dengan sikap kekanakanmu itu! Jangan kau Sudutkan Ibuku seperti itu! Seharusnya kamu lebih mengoreksi diri kenapa aku bisa membagi cinta dengan wanita lain!" Sekilas Bela melihat Lia. Sosok yang kini menjadi duri diantara Bela dan juga Imam. Wajahnya pias, sulit diartikan. Wanita itu memang madu yang beracun. Tanpa dosa tanpa rasa bersalah dia terus mengulas senyum. Melihatnya saja Bela muak.
"Ck, kekanakan kamu bilang, Mas? Kurang apa aku padamu!?" bentak Bela. "Aku membersihkan rumah yang selalu saja kau anggap kotor ini setiap hari, mencoba hemat uang dengan menanam sayur sendiri, melayanimu setiap kali kamu pinta!"
Bella bersungut-sungut. Ia melanjutkan, "Kalau aku melakukan kesalahan, kamu tampar dan tendang aku. "
"Apakah kau juga tidak meminta izin dengan istrimu, Mam?" Hamdani kini bersuara, setelah mendengar penuturan Bela.
Imam menggeleng. Kali ini dia diam setelah Bela mengeluarkan semua sesak di dada. Mereka semua tidak menyangka jika Bela bisa berbicara lantang Seperti itu. Karena yang biasa ia lakukan hanya menangis. Berharap rumah tangganya akan bertahan selamanya. Tapi tidak untuk saat ini. Kelakuan Imam sungguh diluar batas. Dia tidak pantas menjadi seorang Imam.
"Kamu salah, Rat. Kamu tidak mengajari Imam cara memperlakukan istri yang baik. Kamu malah membujuk Imam untuk menikah lagi hanya karena Bela tidak bisa memberinya keturunan. Kamu juga salah Imam seharusnya kamu tidak langsung menerima semua bujukan ibumu. Kamu sebagai laki-laki harus bisa menjaga wibawamu! Kamu paham kan maksud Pakde?"
"Halah, Pakde itu gak perlu ngurusi urusan keluarga Ratna. Keputusan Imam itu sudah bener. Kalau dia tidak mencari istri lagi terus siapa yang akan menjadi penerusnya? Pakde jangan jadi sok pahlawan ya!"
"Astagfirullahaladzim, aku ini Mas mu lho, Rat. Kamu kok tega-teganya bicara seperti itu?"
"Ceraikan aku, Mas. Aku tidak mau satu atap dengan dia!" ucap Bela lantang di hadapan semua orang yang ada di ruangan itu. Bela bergegas pergi ke kamar. Menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas tempat tidur. Wanita itu menangis tergugu. Menangis sejadi-jadinya. Meratapi nasib yang sungguh tidak beruntung ini.
Entah apalagi yang mereka bicarakan. Seakan hati dan juga mata seolah tidak ingin melihat maupun tahu tentang mereka.
******
"Imam, kamu itu apa gak pengen punya anak laki-laki maupun perempuan yang lucu-lucu?" Pertanyaan yang Ratna lontarkan kepada anak semata wayangnya.
"Ya pengen lah, Bu. Tapi mau bagaimana lagi? Bela mandul. Aku juga sudah terapi kemana-mana tapi hasilnya juga masih kosong."
"Kamu itu harus tegas sama istri. Gak lembek, Ibu malu. Pernah dengar dari tetangga kamu kalau Bela minggat dari rumah. Pulang kerumah ibunya dan minta cerai. Tapi balik lagi kerumah setelah kamu jemput, perempuan seperti itu kok ya kamu pilih jadi pendamping hidup tho, Mam Imam. Apa gak ada lagi yang lain, yang mau sama kamu?"
"Ya banyak lah, Bu. Tapi memang Bela itu spesial buat Imam. Tapi itu dulu, sebelum dia dikatakan mandul oleh dokter."
"Lha iya, perempuan mandul Seperi Bela kenapa gak kamu ceraikan saja dia?"
"Tapi, Bu. Masakan Bela enak, dia juga gak aneh-aneh. Malah dia rajin beberes rumah, ibu sendiri kan juga sering minta dia beres-beres rumah Ibu, iya kan? Dia juga pintar menanam sayuran jadi Imam bisa menghemat pengeluaran. Imam bisa menabung lebih banyak! Ibu juga sering meminta cabe atau sayuran yang lain, iya. Kan?" Kini pandangan Imam tertuju pada Ibunya.
"Iya juga sih, Mam. Ibaratnya kita punya pembantu gratis! Hahaha," Ratna tertawa lepas. Menertawakan menantu yang bodoh itu. Maunya dibodoh-bodohi Ratna dan juga Imam, suaminya. Memang kerap kali Ratna memintanya beberes rumah. Jika dia menolak, wanita tua itu langsung saja menangis dan memfitnah dia di depan Imam. Langsung deh, Imam mengeluarkan aji-ajinya. Main tangan, dia pantas mendapatkan itu. Tidak baik jika melawan ibu mertua. Karena ibu mertua itu juga sama saja ibu kandung.
"Tapi, Bu. Sebenarnya ada yang aku rahasiakan sama Ibu dan juga Bela."
"Apa itu, Mam?"
"Imam diam-diam pacaran sama temen pabrik. Namanya Amelia," tutur Imam dengan hati-hati. Takut jika Ratna akan marah mendengar pengakuannya.
"Oh, pacar. Cantik gak dia?"
"Ibu gak marah?" tanya Imam dengan suara pelan. Takut jika Ibunya akan marah.
"Ya enggak lah, Mam. Kalau kamu sudah sreg sama dia kenapa kamu gak nikah aja sama dia?"
"Maksud ibu? Imam menikah lagi?"
"Iya, kamu menikah lagi. Kamu punya dua istri, tapi Bela gak usah kamu ceraikan. Kan sayang, nanti gak ada yang beberes rumah lagi, dong?"
"Tapi gimana ngomongnya sama Bela, Bu?"
"Udah gak usah dipikirkan, itu urusan Ibu!"
Sengaja Ratna mendukung Imam untuk menikah lagi. Karena jika dia mengandalkan Bela. Tidak mungkin akan mendapat keturunan. Jadi alangkah baiknya jika Imam menikah dan punya anak. Ratna juga mengatakan bahwa Bela akan Ratna urus. Meskipun sebenarnya malas jika berurusan dengan wanita itu.
Waktu dan tempat sudah diputuskan dimana Imam akan melangsungkan pernikahannya. Dia akan menikah di rumah orang tuanya.n Dengan menjadikan Hamdani sebagai saksi nikah. Tapi memang dasarnya dia itu cerewet. Banyak sekali yang ia tanyakan perihal pernikahan kedua Imam ini. Ratna yang jengkel dibuatnya hanya menjawab kalau Bela sudah tahu dan mengizinkan Imam menikah lagi. Untungnya dia percaya kalau tidak bisa berabe urusannya.
*****
Setelah seminggu rencana pernikahan Imam. Kini saatnya Imam mengucapkan ijab kabul. Entah kenapa sudah menjadi hari baik Imam. Semua hal mengenai pernikahannya dilancarkan. Dari emak Bela yang sakit. Yang mengharuskan Bela pulang ke kampung halamannya. Dan pihak kua yang tidak mempersulit membuat buku nikah.
Akhirnya Imam menikah dengan Lia di rumah Ratna, ibunya.
"Ih, menantu ibu satu ini cantik sekali!" Puji wanita tua itu kepada wanita yang baru saja sah menjadi menantu.
"Ibu bisa aja?"
"Lia, kamu pengen gak dibuatkan acara kecil-kecilan. Acara syukuran gitu, buat pernikahan kamu sama Imam?"
"Mau dong, Bu. Tapi dimana ibu akan menggelar acara tersebut?"
"Dirumah Imamlah, nanti biar ibu yang mengatur semuanya." Pucuk dicinta ulam pun tiba Lia mengambil dompetnya lalu memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan.
"Gua demen nih, punya menantu yang begini," ucap Ratna dalam hati.
Bab 4 Amarah Bela"kurang gak Bu uangnya?" tanya Lia yang memperhatikan Ratna menghitung uang dihadapannya."Enggak kok nggak kurang malah lebih ini," ucap Ratna sok mau mengembalikan kelebihannya. Padahal dalam hati memang ini yang dia inginkan."Gak usah dikembalikan, Bu. Buat Ibu saja kalau ada lebihnya.""Ih, menantu ibu yang satu ini baik banget deh. Makasih ya, Sayang! Beda sama menantu yang Ono. Yang ada dia malah gak pernah ngasih ibu uang, alasannya sama. Gak ada duit, padahal uang suaminya dia yang pegang!" Ratna terlihat sengaja memuji Lia setinggi-tingginya biar dia tersanjung dan juga uangnya mengalir terus kepada wanita tua itu. "Oh ya, Bu. Nanti siapa saja yang bantu-bantu ibu memasak? Lia gak bisa bantu, Bu. Maklum kemarin abis meni pedi. Jadi sayang kalau buat motong bawang. Nanti rusak lagi kuku Lia," ucap Lia sembari memandangi kukunya yang baru dicat berwarna merah terang."Udah tenang aja, nanti biar Bela yang ngerjainnya. Kamu gak usah bantu-bantu. Nanti capek
Bab 5Nasehat Hamdani"Sudah cukup, Rat. Kamu tidak usah ikut campur urusan anakmu. Tidak baik jika orang tua terlalu ikut campur," ucap Hamdani menasehati. Memang yang bisa dilakukan Hamdani hanya sekedar menasehati tapi tidak bisa berbuat lebih. Karena Hamdani tidak punya hak untuk berbuat lebih.Lantas Bela pergi meninggalkan mereka yang masih berdiri menatap penuh amarah. Berjalan dengan langkah cepat menuju rumah Hamdani, yang jarak antara rumah mereka tidaklah jauh. Bela tidak memperdulikan para tetangga yang melihatnya berjalan dengan berderai air mata. Karena pikiran wanita itu sudah tidak bisa lagi digunakan."Mir, Amir." Bela berteriak memanggil Amir. Anak Hamdani yang duduk di bangku sekolah menengah. "Iya, Mbak Bela," jawab Amir bersamaan keluar dari rumah. "Mau kemana, Mbak?" tanya Amir penuh keheranan melihat Bela membawa tas cukup besar. Wanita itu mengusap jejak airmatanya. "Mir, antar Mbak Bela pulang yuk!" Bela meminta tolong Amir agar diantar pulang kerumah. Jara
Bab 6 Pov Ratna"Gak papa kok, Sayang. Kamu istirahat sana gih! Biar Ibu yang menyelesaikan semuanya." Meskipun aku berkata demikian tapi lain dihati lain di mulut. Jangan sampai sikapku terlihat buruk dimata menantu satu ini. Agar apa? Agar dia pikir aku baik dan dia memberi aku uang."Ya sudah, Lia masuk dulu, Bu. Ow ya, Bu nanti tolong bikinin Lia bakso kuah ya? Sepertinya tadi Lia liat ada bakso dalam kulkas." pinta Lia tanpa sungkan kepadaku. Dia pikir dia siapa? Memerintah seenak jidatnya sendiri. Kalau bukan karena dia banyak uang aku tidak mau melakukannya."Iya nanti Ibu buatkan. Kamu suka pake mie berwarna putih atau kuning?" tanya ku sok perhatian. Meskipun dalam hati aku mengeluh."Dua-duanya ya, Bu?" Lia mengerlingkan matanya. Sungguh membuatku malas melihatnya."Iya," jawabku singkat agar dia lekas pergi dari hadapanku.Setelah semua pekerjaan selesai. Aku segera membuatkan Lia bakso. Sedangkan dia malah enak-enakan tidur di kamar. Melihat Lia yang tidur di kamar bersam
Bab 7 Grub RT rame"Waalaikumsalam," jawab seseorang yang ada di seberang telepon."Ada apa, Tar?" Pertanyaanku kepada Tari tetanggaku yang tinggalnya cukup jauh dari rumah. "Bel, Imam nikah lagi? Acara di rumahmu tadi acara syukuran pernikahan suamimu kan? Kok kamu mau sih di madu?""Oh itu," jawabku biasa saja."Kok Kamu biasa aja sih, Bel? Apa bener kamu merestui mereka? Apa kamu yang menyiapkan acara tersebut?" Tari mencerca aku dengan banyak pertanyaan."Aku gak pernah merestui mereka. Awalnya aku gak tahu, Tar. Kata mertua itu acara arisan. Taunya acara syukuran pernikahan suamiku sendiri. Aku baru tahu setelah acara selesai," tuturku panjang lebar kepada Tari. Tari ini teman semasa sekolah menengah. Kebetulan dia mendapatkan suami yang rumahnya cukup jauh dengan rumah Mas Imam tapi masih satu Rt. Bisa dibilang rumah Tari adalah rumah paling ujung."Mbok ya cerai saja tho, Bel. Suami model begitu kok ya masih nekat bertahan sampai sekarang. Malah sekarang Berani nikah lagi! Pa
Bab 8 Lia merajukPOV IMAM"Mas, rumah berantakan banget sih. Kamu kok gak bersih-bersih?" tanya Lia yang baru bangun dari tidur. Wanita itu sekarang sudah tidak lagi bekerja. Semenjak kami menikah dan semenjak dia mengandung. Aku menyuruhnya berhenti bekerja. Aku takut jika terjadi apa-apa dengan bayi yang sedang ia kandung."Aku kan kerja, Sayang. Nanti biar Ibu yang beberes rumah." Aku mengusap rambut Lia dengan lembut. Lia memang berbeda dengan Bela. Dia manja dan sedikit keras kepala. Sedangkan Bela setiap hari bangun pagi lalu menyiapkan makanan untuk sarapan dan juga bekal yang dibawa ke pabrik. Rajin beberes rumah dan juga menyirami tanaman. Seminggu sudah dia pergi dari rumah. Tanamannya pun sudah banyak yang mati karena tak pernah tersentuh air."Lia juga laper, suruh Ibu sekalian bawa makanan!" pinta Lia dengan manja. Aku membuang napas dengan kasar. Pasti Ibu akan berbicara panjang lebar jika aku kembali menyuruhnya mengerjakan pekerjaan rumah, sekaligus membawa makanan
Bab 9POV Bela"Assalamualaikum," Salam terdengar dari Kania. Teman lamaku."Waalaikumsalam," Segera aku menghampirinya lalu menghamburkan pelukan kepada wanita yang sudah lama tidak bertemu itu."Apakabar, Bel? Kamu kok kurusan sih?""Iya, nih. Lagi diet," jawabku asal, sengaja aku tidak berterus terang. Ada banyak hal yang menjadi beban pikiranku. Sehingga tubuhku tergerus hingga menjadi kurus dan seperti tak terurus."Ow, ya kenalin. Dia Mas Arya, seorang pengacara yang sudah aku ceritakan kemarin." Aku mengangguk lalu melempar senyuman kepadanya."Ayo, masuk dulu! Kita bicara di dalam!"Segera aku mengajak mereka masuk kedalam rumah. Karena Emak dan juga Bapak sedang tidak ada dirumah. Jadi akulah yang mengambilkan minuman dan juga makanan ringan di dapur. Mungkin ini adalah langkah besar yang harus aku ambil. Dengan hati-hati aku menceritakan setiap detil kepada Mas Arya. Dan bukti foto.Ya, aku tidak bodoh seperti yang mereka pikir. Setiap kali aku mendapat pukulan maupun tendan
BAB 10"Waalaikumsalam," jawabku pelan. Lalu aku mengikuti Emak. Menjatuhkan bobot tubuhku ke kursi rotan yang berada di ruang tamu."Kamu ada masalah dengan Imam?" tanya Om Gunawan tanpa basa-basi."Iya, Om." jawabku singkat. Karena aku malas menjelaskan sesuatu hal yang menurutku pribadi kepada orang lain. Meskipun Om Gunawan adalah sepupu jauh Emak."Imam itu baik lho. Dia juga Sholeh, kamu rugi jika berpisah dengannya!" Rugi bagaimana? Yang ada aku akan sering ia sakiti."Maaf, Om. Kali ini Bela tidak bisa bertahan! Bela terlalu sakit hati, sudah cukup Bela bodo* selama ini. Membiarkan Mas Imam bertindak seenaknya sendiri. Tapi untuk kali ini dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya!""Maksud kamu apa Bela? Kamu tidak sungkan kepadaku? Yang sudah membayar hutang-hutang keluargamu?! Apa ini balasan darimu atas kebaikanku?""Kamu salah sangka Gunawan. Sebenarnya Imam itu …." Belum juga Emak menyelesaikan ucapannya. Om Gunawan sudah memotongnya."Kalau begitu bayar hutang-hutang
BAB 11 "Kamu kan tahu, Sayang. Aku lagi sakit, nanti kalau sudah sembuh pasti aku belikan!" "Iya, Lia ngerti kok. Ini diminum dulu, Mas. Air putihnya. Mas harus banyak-banyak minum. Biar cepet sembuh!" Segera aku minum air putih yang sudah dibawakan Lia hingga tandas tak tersisa."Tapi kan, Mas. Jaman sekarang kita gak perlu pergi, cukup dirumah barang bisa datang sendiri. Kita beli secara online? Gimana? Kalau Mas kontrol ke rumah sakit butuh motor. Lia periksa ke dokter juga pake motor. Motor itu penting! Tapi kalau motor model begituan, Lia gak bisa, Mas. Kita beli motor sekarang ya, Mas?" Lia mengerlingkan matanya entah kenapa menolaknya aku tak bisa. Aku hanya bisa mengiyakan semua permintaan Lia. Istri tercantik ku yang kini bersamaku.*******POV BelaAku segera masuk kedalam rumah. Menyelesaikan pekerjaanku membungkus jus dan lainnya."Itu tadi bukannya mertua kamu ya, Bel?""Eh, Emak. Ngagetin Bela aja. Iya, Mak. Tapi Bela usir. Bela gak mau balik lagi! Katanya Mas Imam kec