Share

Bab 2

Bab 2 

Kedatangan Madu

"Bela, kenalkan ini Amelia Pratiwi." Ibu menarik tangan Amelia dengan lembut. Sikap yang tidak pernah ia tunjukan kepada menantunya. Namun anehnya itu tidak berlaku dengan Amelia.

"Panggil saja Lia, Mbak," ucap Lia dengan senyuman yang sulit diartikan.

"Bela, saya Bela istri Mas Imam," jawabnya juga diiringi senyum, tidak lupa Bela tekankan kalau dia adalah istri lelaki yang kini duduk disampingnya.

"Saya tahu." Lia tersenyum ke arah Ibu mertua kemudian beralih pandangannya ke arah Imam. Anehnya Imam tidak memperkenalkan dirinya. Mungkin dia sudah kenal lebih dulu.

"Ada apa ini, Bu?" tanya Bela spontan. Karena tidak mungkin jika Lia itu keponakan Imam sebab selama ini dia tahu siapa saja keponakannya.

"Lia ini istri Imam yang baru. Mereka sudah menikah seminggu yang lalu di rumah Ibu."

Bak disambar petir di siang hari. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba Ibu Imam mengatakan hal yang begitu menyakitkan.

"Istri? Mas, apa maksud perkataan Ibu? Bela gak ngerti! Tolong jelaskan, Mas. Tolong bilang kalau dia itu bukan siapa-siapa kamu!" Entah mengapa mata Bela sudah terasa panas sebelum mendengarkan penjelasan dari sosok pria itu. Dada wanita itu seakan sesak menunggu jawaban yang sepertinya akan sama menyakitkannya.

"Lia memang istriku, kami menikah seminggu yang lalu dirumah ibu. Tepatnya saat kamu pulang kampung jenguk Emak." Seketika airmata Bela luruh tanpa henti. Tangis nya seperti hanya angin lalu dihadapan mereka. Memang seminggu yang lalu wanita itu meminta izin pergi menemui emak yang sedang sakit. Saat itu juga Imam tidak mau ikut bersamanya alasannya banyak kerjaan dipabrik. Suami Bela seorang karyawan pabrik tekstil yang cukup terkenal di kota.

"Mas, jika Lia ini memang benar istrimu. Lantas kau anggap apa aku selama ini? Paling tidak kau meminta izin padaku sebelum mengucap ikrar suci itu!" Bela berucap dengan suara parau. Mencoba menguatkan hati dan menghapus airmata dengan ujung jilbab yang dia kenakan.

"Gak usah lebay deh, sudah sewajarnya kalau Imam itu menikah lagi. Dulu sudah pernah aku katakan jika kamu tidak bisa memberinya keturunan lebih baik kalian bercerai atau Imam menikah lagi. Tapi kamu sok-sokan berusaha ikhtiar. Eh, kalau wanita itu mandul sampai kapanpun tidak akan pernah punya anak! Ngerti gak sih kamu itu," sungut ibu mertua dengan wajah yang merah padam menahan amarah. Bukankah seharusnya Bela yang marah bukan dirinya?

"Sepenting itukah anak buat kamu, Mas? Bukankah dulu kita sama-sama berjanji akan menjaga keluarga ini sampai kapanpun?"

"Ya, memang dulu aku pernah mengatakan itu. Tapi pikiranku berubah setelah lima tahun lalu kamu divonis oleh dokter kalau sebenarnya kamu mandul," ucap Imam sembari membuang muka ketika mengucap kata mandul kepada istrinya, seakan jijik melihat Bela yang tidak bisa memberikan keturunan kepadanya. Memang perubahan sikap Imam terhadap Bela, dimulai semenjak dia mengatakan kalau dirinya mandul. Karena saat hasil lab keluar Imam sedang menerima telepon dari ibunya.

"Mas, ini tidak adil. Mas kan tau agama, jika ingin menikah lagi Mas harus meminta izin kepada istri pertamanya. Itu wajib," sungut Bela yang menahan marah.

"Gak usah bawa-bawa agama!" Wanita tua itu menyela.

"Dalam agama diperbolehkan kalau lelaki memiliki istri lebih dari satu tapi harus bisa adil. Mas yakin kalau Mas bisa adil dengan kalian. Tabungan Mas cukup banyak!" Lelaki yang bergigi gingsul itu dengan percaya dirinya menyombongkan tabungan yang banyak. Hasil dari mengurangi jatah bulanan istrinya yang sengaja ia sisihkan. Ternyata selama ini tabungannya direncanakan agar bisa menikah lagi.

"Tapi tidak dengan izinku. Kamu menyakiti hatiku, Mas!" Bela tergugu, tangisnya pecah. Airmata yang sedari tadi dia paksa berhenti kini tak terkendali. Mendengar bantahan demi bantahan. Dia tidak pernah menyangka nasibnya akan seperti ini. Pernikahan hancur setelah kata mandul terlontar dari bibirnya. Seharusnya dulu tidak pernah dia katakan Seperti itu, Pasti akan berbeda cerita saat ini. Nasi sudah menjadi bubur kini yang bisa dia lakukan hanya pasrah dan berserah.

"Terus mau kamu apa, Bel? Cerai? Ya tinggal cerai aja. Gitu aja kok repot!" ucapan Ibu mertua begitu menusuk hati. Padahal mereka sama-sama wanita. Sama-sama merasakan sakitnya dikhianati, itu yang pernah ia alami. Dikhiantai suami demi wanita lain, Sehingga kini dia sendiri menjalani masa tuanya. Apakah tidak terlintas dipikirannya tentang hati menantunya?

"Kenapa kamu menerima dia sebagai suamimu? Padahal kamu tahu dia jelas-jelas sudah mempunyai istri?" Segera Bela alihkan pandangannya ke arah Lia. Wanita yang sedari tadi diam, malah terkesan menikmati menjadi istri kedua.

"Aku? Mbak Bela nanya sama Lia? Lia kan dah lama pacaran sama Mas Imam."

Deg,

Ya Allah. Kebenaran apalagi yang engkau tunjukan pada wanita itu. Mendengar Imam menikah lagi itu sudah cukup menyayat hati. Kini dengan mudahnya wanita ini berbicara kalau mereka sudah lama berpacaran. Berarti selama ini pria yang tidur satu ranjang dengan Bela itu sudah bermain api di belakang?

"Astagfirullah haladzim." Bela menekan dada itu kuat-kuat. Mendengar ucapan Lia baru saja.

"Sudah-sudah,  gak usah berlebihan. Sekarang mau kamu apa Bela?" tanya Ibu mertua Bela tanpa dosa.

"Jadi selama ini kamu selingkuh, Mas? Jahat banget Mas kamu sama aku? Kamu tega, Mas!" Tak dia jawab pertanyaan mertua. Bela hanya ingin tahu kebenarannya dari pria yang selama ini dia pikir Sholeh itu.

"Ya, memang kami selama ini deket. Bisa dibilang pacaran, makanya untuk menghindari zina kita menikah." Pandangan imam beralih kepada wanita cantik yang ada disampingnya. Tak heran jika Imam terpikat dengan wanita itu. Tubuhnya yang sedikit berisi dan juga riasannya yang menor berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Bela. Tubuh yang kurus kering dan juga tidak pernah memakai riasan.

"Zina? Menurut kamu selingkuh itu apa? Bukankah itu juga sudah zina? Kenapa kamu tidak bisa berpikir sejauh itu, Mas? Kenapa pikiranmu dangkal sekali!"

"Eh, Bela. Kami itu jangan bicara sembarangan. Kalau kamu bersedia menjadi istri pertama Imam cukup menikmati saja. Kalau tidak mau ya tinggal minta cerai. Gak usah ngatain anak ibu berpikiran dangkal ya! Kamu itu yang pikirannya dangkal, begitu saja kok marahnya nauzubillah!" 

"Astagfirullah haladzim, Bu. Wajar saya marah, suami saya menikah tanpa izin saya. Dan sekarang mengaku sudah lama berpacaran dengan wanita ini. Begitu kah didikan ibu selama ini?" Kali ini nada bicara Bela meninggi. Batas kesabarannya sudah habis mengahadapi wanita tua ini yang tidak menuntun anaknya  dijalan yang benar. Malah memberi dukungan dengan merusak rumah tangganya.

"Apa kamu bilang? Kamu berani sama saya?"

Ibu Imam mengangkat tangannya bersiap mendarat di pipi. Namun tanpa di duga Bela menepis tangan Ibu dan mencengkeram nya dengan erat. Melihat perlawanan Bela yang diluar dugaan ibu mertua dengan cepat menarik tangannya dengan kasar.

"Assalamualaikum."

"CK," Ibu berdecak. Setelah melihat seseorang datang dari balik pintu.  Semua orang yang ada di ruangan itu seketika menoleh kearah sumber suara yang memberi salam.

"Waalaikumsalam," jawab Bela pelan. Meskipun sebenarnya dia bersyukur dengan kedatangan sosok ini Ibu menarik tangannya dan mengurungkan niatnya menampar Bela.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status