"Dengar Aliyah, sekali kamu melangkah keluar dari rumah ini, aku tidak akan menganggapmu anakku lagi, dan akan kucoret namamu dari daftar ahli warisku nanti!" ancam Pak Darto pada Aliyah.
Akan tetapi, Aliyah tidak mendengarkannya, Aliyah dan Amar saling menggenggam tangan satu sama lain. Kemudian mereka pergi tanpa menghiraukan makian Pak Darto, tak lupa juga mereka mengajak kedua anaknya pergi dari tempat terkutuk itu.
Sesampainya di rumah, Aliyah dan Amar masuk ke dalam kamar mereka, sedangkan kedua anaknya menonton televisi.
Begitu pintu kamar sudah ditutup, Aliyah langsung menghambur ke pelukan suaminya, dia menangis sesenggukan di dada bidang suaminya. Amar dengan sabar mengelus punggung istrinya itu, dia berusaha menenangkan istrinya. Sebenarnya dia pun sama, rasanya ingin marah sejadi-jadinya tapi, dia sadar yang dia hadapi adalah orang tua dari istrinya. Jadi, dia lebih memilih menahan emosinya.
"Sudahlah, Dek, kamu gak usah dengarkan ucapan Bapak, mungkin saja dia lagi banyak pikiran, makanya sampai tega menyuruh kita bercerai," ucap Amar pada Aliyah.
"Tapi, Mas, kenapa hanya keluarga kita yang selalu mereka usik, padahal kita gak pernah mengganggu hidup mereka. Apa aku salah jika aku bahagia hidup bersamamu dalam kesederhanaan ini, hu hu hu hu," ucap Aliyah di sela isak tangisnya.
"Mungkin saat ini Bapak sedang khilaf, kita doakan saja semoga beliau cepat sadar, bahwa menyuruh orang bercerai tanpa alasan itu hukumnya haram."
"Pokoknya Mas aku gak terima kita diginikan, tak akan lagi kuinjakkan kakiku di rumah itu, kalau bukan karena Bapak yang memanggil tadi. Tidak akan sudi aku datang ke rumah itu!" ucap Aliyah berapi-api.
"Sssttt, jangan ngomong begitu, gak baik, biar bagaimanapun beliau adalah orang tua kita. Kita doakan saja semoga Allah melunakkan hati Bapak yang keras."
"Sudah, sekarang jangan nangis lagi, emmmm, kamu mau bantuin mas bikin mie ayam untuk dagang besok?" tanya Amar mencoba meredam kemarahan istrinya.
"Mau dong, yuk, Mas, aku bantuin."
"Tapi emangnya beneran kamu gak malu punya suami tukang mie ayam sepertiku?"
"Enggaklah, tukang mie ayam 'kan kerjaan halal, lagian Mas itu bos. Jadi, aku ini istrinya bos dong," Amar mengernyitkan dahi mendengar ucapan Aliyah.
Apa maksudnya istri bos? Bos dari hongkong, lha wong tukang mie ayam gini kok, hahahahah."
"Lho Mas ini lucu, 'kan mie ayam itu Mas yang punya. Mas yang buat sendiri, dari gerobaknya hingga ke mie dan juga semuanya. Hanya saos dan kecap Mas yang beli. Jadi, ya secara gak langsung Mas bosnya lah. 'Kan mas kerjanya tidak diperintah-perintah orang tapi, atas dasar perintah Mas sendiri."
" Iya juga yah, oke deh Bu bos, yuk kita produksi mie nya."
"Hahahahaha." Mereka berdua tergelak bersama. Seakan tidak pernah terjadi masalah sebelumnya.
Melihat istrinya kembali ceria, hati Amar sangat lega.
"Aku janji bidadariku, aku akan terus berusaha membahagiakanmu. Meskipun nyawa taruhanku, asal selalu bisa membuatmu tertawa bahagia aku rela," ucap Amar dalam hatinya.
*****
Keesokan harinya seperti biasa setiap jam satu siang Amar akan keluar untuk menjajakan dagangannya tapi, ada yang lain dengan hari ini hingga dua minggu kedepan nanti. Karena sudah ada yang menanti untuk membeli dagangan Amar.
Tuhan memang maha baik, selalu menolong hambanya di setiap ada masalah. Banyak dan sedikit rezeki tetaplah harus disyukuri, karena Amar dan Aliyah yakin suatu hari nanti mereka akan meraih kebahagiaan yang abadi.
Setelah mengantar kepergian Amar untuk mencari nafkah, Aliyah kembali masuk ke rumahnya untuk membersihkan bekas peralatan memasak mie ayam, sedangkan kedua anaknya sedang tidur siang semenjak habis melakukan sholat dzuhur tadi.
*****
Jika Aliyah sedang beberes rumah, lain lagi dengan Rita,Mika, Pak Darto dan Bu Sri, mereka baru saja selesai melakukan serangkaian acara aqiqahan anak kedua Rita.
Acara itu cukup mewah, dengan berbagai masakan prasmanan disediakan, hingga mampu membuat siapa yang melihat meneteskan air liurnya.
Akan tetapi, pada acara aqiqahan itu, Aliyah, Amar dan kedua anaknya tidak terlihat batang hidungnya lantaran kejadian semalam.
Ketika acara telah usai, ternyata masih banyak makanan yang tersisa, Bu Sri berniat untuk memberikan sebagian lauk pauk itu untuk diberikan pada Aliyah dan kedua cucunya. Bu Sri memasukkan lima potongan daging rendang yang besar-besar ke dalam rantang, sedangkan di bagian atasnya diisi dengan soto ayam sedang di atasnya lagi diisi dengan ayam kecap.
Setelah selesai Bu Sri berniat ingin mengantarkan makanan itu ke rumah Aliyah tapi, baru sampai pintu dapur Bu Sri bertemu dengan Rita.
"Mau kemana, Bu? Terus itu rantang mau dibawa kemana?"
"Oh, ini mau Ibu berikan pada Aliyah, mau Ibu berikan untuk Rani dan Yuli, mereka pasti senang," ucap Bu Sri dengan mata berbinar kala mengingat cucunya tersebut.
"Yaudah sini biar Rita aja yang anterin, Ibu istirahat aja. 'Kan dari tadi Ibu belum istirahat," ucap Rita pada Ibunya tersebut.
Bu Sri keheranan dengan jawaban Rita, entah angin apa yang membuat Rita mau mengantarkan makanan untuk Aliyah. Karena biasanya dia enggan jika berhubungan dengan Aliyah.
"Tumben kamu menawarkan diri, biasanya juga kalau diperintah gak pernah mau."
"Ya sekali-kali 'kan gak apa, Bu, udah sini mana rantangnya, sekarang ibu istirahat aja," ucap Rita sembari mengambil rantang dari tangan Ibunya, dan mau tidak mau Bu Sri menyerahkan rantang itu.
"Yaudah tapi beneran lho ya dikasih ke Aliyah."
"Iya, Bu, gak percayaan amat sih, udah sana Ibu istirahat di kamar aja, Ibu pasti capek."
Setelahnya Bu Sri pun kembali ke kamarnya, karena memang dia sangat lelah.
Rupanya Rita tidak amanah, setelah kepergian Bu Sri dia bukannya langsung mengantarkan makanan itu, melainkan memasukkan kembali makanan itu pada tempatnya semula. Lebih parahnya lagi, dia hanya memberikan bumbu rendang saja dengan beberapa lengkuas, kuah soto ayam saja dengan hanya berisikan taburan daun seledri dan kuah ayam kecap yang hanya berisikan sereh.
"Rasakan ini! Enak saja mau makan enak. Ini semua aku beli pakai uangku, dipikir gratis! kalau mau makan enak ya beli, dan ini memang pantas untuk orang miskin seperti kalian," umpat Rita pada rantang itu.
Rita berbicara dengan berapi-api. Emosi yang sudah lama ia pendam pada Vivi keluar sudah. Perasaan Vivi yang ia jaga bertahun-tahun lama nya kini terpaksa ia lontarkan. Habis sudah kesabarannya menghadapi anak dari almarhumah adiknya itu. Meskipun Rita tidak menampik jika dahulu memang Rita sempat berbuat jahat pada Aliyah dan Amar juga kedua anaknya. Akan tetapi, setidaknya Rita sudah benar-benar sadar juga kedua anak Rita ia didik dengan benar dan kini kedua anaknya menjadi anak yang penurut. Lalu, apa kurangnya kasih sayang yang Aliyah dan Amar berikan pada Vivi? Tidak! Tidak ada kurangnya mereka memberikan itu semua. Rita sebenarnya juga sadar jika semua ini terjadi juga karena adanya hasutan dari Aldo. Tapi, apakah sebagai seorang yang sudah beranjak dewasa Vivi tidak bisa berpikir jernih? Orang yang sudah memberinya air susu justru ia balas dengan memberinya air tuba. Sungguh ironis memang. "Vivi harus bagaimana agar mendapatkan maaf dari kalian semua. Vivi iri setiap kali
Begitu juga dengan Amar. Belasan tahun Amar mengarungi biduk rumah tangga bersama Aliyah menjadikan dirinya sosok suami dan Ayah yang cukup tegas. Jika dahulu saat disakiti maka Amar hanya bisa diam dan berpasrah tapi, tidak dengan kali ini. Amar akan melawan siapa pun yang berusaha menyakiti keluarganya. Maka diputuskan meskipun dengan berat hati bahwa mereka akan melaporkan Vivi pada lembaga hukum. Vivi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan sekarang Rita lah yang akan menyeret sang keponakan ke kantor polisi sebab jika Aliyah dan Amar yang datang ditakutkan jika mereka berdua tidak akan tega saat melihat derai air mata Vivi. Beruntung Aliyah dan Amar mau mendengarkan usulan dari sang kakak. "Selamat siang, Bu. Maaf dengan siapa?" tanya pak Cokro pada Rita saat dirinya baru mendaratkan bokongnya di kursi. Rita yang baru saja memaki-maki Vivi pun napasnya masih tersengal-sengal karena terlampau emosi menghadapi anak tak tahu diri itu. "Saya Rita, Pak. Kebetulan saya juga
Ketakutan jelas terpancar dari sorot matanya yang seolah-olah berbicara untuk meminta Reno berhenti dan tidak melaporkan masalah itu ke dekan kampus. Namun, Reno tidak menghiraukan itu. Reno terus menyeret gadis dengan kulit eksotis itu menuju ruang dosen agar Vivi diberi hukuman yang setimpal. "Reno, please jangan laporin aku ke polisi. Aku minta maaf aku khilaf," hiba Vivi pada Reno tapi, pria itu bergeming. Ia sama sekali tidak menjawab kalimat yang dilontarkan Vivi hingga membuat Vivi bertambah ketakutan. Terlebih lagi mereka kini sudah berdiri di depan pintu ruangan dekan. "Reno, Reno tolong jangan laporin aku. Aku janji setelah ini gal akan lagi mengganggu atau pun menyakiti Rani.""Tutup mulutmu! Perbuatanmu harus kamu pertanggungjawabkan. Seenaknya saja mau lepas tangan!" hardik Reno yang membuat bibir gadis manis itu tertutup rapat. Hanya isak tangisnya yang masih terdengar meski lirih.Akhirnya kini baik Vivi maupun Reno sudah berada di ruangan rektor. Wajah Vivi terlihat
"Wah, cucu baru Nenek sudah pulang. Siapa ini namanya?" ujar bu Sri sembari mengambil alih anak bayi Aliyah dari gendongan Aliyah. "Oh iya siapa nama anak kamu ini, Al?" timpal Rita. "Narendra Akbar Amrani. Panggilannya Akbar.""Wah bagus sekali namanya cucu Nenek. Semoga jadi anak yang sholeh dan mampu melindungi keluarga ya le," ujar bu Sri mendoakan Akbar yang juga diamini oleh Aliyah dan Rita. "Kak, tadi lagi masak? Ini bau gosong." Aliyah menghembus-hembus bau yang menyeruak hidungnya. Begitu pun yang Rita lakukan hingga akhirnya Rita terpekik dan berlari kilat ke arah dapur. Semua yang ada di ruang keluarga kecuali Amar pun mengikuti Rita dari belakang hingga akhirnya mereka sampai di dapur mereka pun tertawa terbahak sebab melihat penampakan ayam panggang yang Rita buat yang seharusnya berwarna coklat justru menjadi warna hitam legam."Yah, gosong deh." Sontak semua yang ada di sana pun tergelak melihat ayam yang sudah tidak berbentuk lagi. ***"Reno!" Reno yang sedang berb
Uang yang Vivi serahkan pada Aldo dan katanya akan digunakan untuk berjualan sembako justru malah aldo gunakan untuk berjudi. Apakah Aldo menang? Oh tentu tidak. Tentu saja bandar tidak mau rugi. Permainan dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat natural dan memang murni tidak kepiawaian pemain dalam memainkannya padahal sudah jelas bandar sudah mengatur sedemikian rupa dari misalnya dua puluh kali taruhan maka akan diberi kesempatan menang bagi pemain hanya sekali dan itu pun pemain hanya memenangkan uang yang tidak seberapa jika ditotal dalam dua puluh kali bermain dan satu kali menang uangnya jauh lebih besar yang dikeluarkan daripada yang dimenangkan. Itulah dahsyatnya bisikan dan godaan syetan. Bagi manusia yang lemah imannya seperti Aldo akan diberi kesempatan untuk satu kali menang setelah itu dia akan ketagihan dan terus menerus untuk kembali melakukan judi. Sudah banyak buktinya orang yang hobi berjudi tidak akan pernah ada manfaat dalam hidupnya. Justru yang ada hanyalah ke
"Sudah aku usir." ucap Rita yang membuat Aliyah juga Amar tersentak dan langsung menatap Rita seolah-olah meminta penjelasan. Sedangkan bu Sri dan pak Darto sudah Rita ceritakan sebelumnya hingga mereka sudah tidak terkejut lagi. "Kakak usir? Kenapa?""Ya Kakak gak suka aja lihat kamu di sini karena dia eh dianya di sana ketawa ketiwi sambil main ponsel. Keponakan macam apa itu. Lagian biarkan saja dia pergi dan menyusul si cunguk Aldo itu biar dia tahu betapa gak enaknya hidup gak punya uang. Sudah bagus dikasih tumpangan dan disekolahin tinggi eh malah berulah dan gak tahu terima kasih," gerutu Rita. "Ya tapi masa diusir, Kak. Kan kasihan, kalau Aldo ternyata gak bertanggung jawab gimana. Kita semua tahu gimana perangai Aldo yang asli.""Ya biarkan saja, biar tahu rasa. Dia kira dia hebat bisa hidup tanpa kamu. Kita lihat sja tph kalau dia sudah tidak kuat dia akan kembali lagi ke rumah kamu.""Apa yang Kak Rita katakan ada benarnya juga, Dek. Anggap saja itu sebagai pelajaran ba