Setelah kepergian Bi Marni, Aliyah masuk kembali ke dalam rumahnya dan menunggu kepulangan suaminya dari masjid.
"Ada apa ya Bapak manggil aku sama Mas Amar kesana?" gumam Aliyah.
Tidak lama kemudian, Amar pulang dari masjid, dan Aliyah pun menyampaikan perihal dipanggil Bapak untuk datang ke rumah orang tuanya.
Setelah bersiap-siap, Aliyah dan Amar bergegas menuju rumah pak Darto. Tidak lupa juga mereka mengajak kedua anaknya. Mereka ke rumah Pak Darto dengan menggunakan motor satu satunya milik mereka. Meskipun sudah butut tapi, mesinnya masih bagus karena Amar rajin merawatnya.
Setelah sampai di pelataran rumah Pak Darto, Amar memarkirkan motornya di sebelah mobil mobil milik saudara istrinya dan juga orang tuanya. Sungguh pemandangan yang kontras, satu motor butut berjejer dengan tiga mobil mewah.
"Assalamualaikum," ucap Amar, Aliyah dan kedua anaknya serempak.
Di sana sudah ada Pak Darto, Bu Sri, Mika dan Aldo, juga Rita yang tanpa suaminya. Karena suaminya katanya sedang ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Sedangkan anak-anak Mika dan Rita seperti biasa sedang bermain.
"Waalaikumsalam," jawab mereka yang ada di sana serempak.
"Sini, Nduk, duduk! Amar sini duduk!" titah Bu Sri pada Amar dan Aliyah.
"Iya, Bu," jawab Amar dan Aliyah.
"Hmm, ngomong-ngomong ada apa kami dipanggil kemari Pak?" Aliyah membuka percakapan di antara mereka.
Sebelum menjawab, Bu Sri melirik Aliyah lalu kemudian melirik kedua anak Aliyah, seperti memberi kode jika anak kecil tidak boleh ada di antara mereka, karena ini urusan orang dewasa.
"Rani, tolong ajak Yuli bermain di teras dulu ya, Nak, Ayah sama Bunda mau bicara sama Nenek dan Kakek," ucap Aliyah pada anak sulungnya.
"Baik, Bun." Kemudian Rani pun mengajak Yuli untuk bermain di luar.
"Jadi gini, Bapak mau bicara sama kalian, terutama sama kamu Aliyah," ucap Pak Darto pada anak dan menantunya itu.
"Iya, Pak, silahkan. Bapak mau bicara apa? Kok kelihatannya serius sekali?" Kini Amar yang bersuara.
"Bapak mau ngomong, sebaiknya kalian berpisah saja," ucap Pak Darto sembari menatap tajam menantunya itu. Sedangkan di sebelahnya ada Mika, Rita dan Aldo dengan senyum sinis mereka.
Jederrrr
Bagai disambar petir rasanya Aliyah dan Amar mendengar ucapan Pak Darto.
"Astagfirullahaladzim, Pak nyebut! Bukannya tadi Bapak bilangnya cuma mau membahas soal pertengkaran Aliyah, mika dan Rita saja, lalu kenapa Bapak malah menyuruh anak kita bercerai dari suaminya, itu dosa, Pak!"
Bu Sri membela Aliyah, Bu Sri tidak menyangka jika suaminya akan meminta anaknya untuk bercerai dengan suaminya.
"Diam kamu Bu! tidak usah ikut bicara, kamu cukup hanya melihat saja, ini semua wewenang aku!" hardik Pak Darto pada Bu Sri.
"Tapi itu dosa besar, Pak, merusak rumah tangga yang sedang baik-baik saja, haram hukumnya!" ucap Bu Sri sembari terisak.
"Alah tau apa kamu soal hukum agama, sudah sana kamu masuk ke belakang, mengganggu saja kamu, bukannya mendukung suami, malah menentang!"
Mau tak mau Bu Sri menuruti perintah suaminya, suaminya itu terkenal dengan wataknya yang keras dan egois, jika membantah maka tak segan Pak Darto akan memukulnya.
"Apa maksud ucapan Bapak?" tanya Amar meminta penjelasan.
"Saya minta kamu ceraikan Aliyah! Lebih baik kamu tinggalkan dia!"
"Emang apa salah saya, kenapa saya harus menceraikan Aliyah? Pernikahan kami baik-baik saja, Pak!"
"Memang pernikahan kalian baik-baik saja tapi, itu untuk kalian, bukan untuk saya. Saya itu Bapaknya, dari kecil saya yang merawat Aliyah, jadi saya tau kalau sebenarnya Aliyah itu menderita hidup sama kamu!"
"Benar begitu Aliyah?" Kini Amar bertanya pada istrinya.
Aliyah menggeleng dengan cepat.
"Apa maksud Bapak memintaku untuk bercerai dengan Mas Amar? Aliyah sangat bahagia hidup dengan Mas Amar, apa hak Bapak menyuruh kami bercerai!" Aliyah kini sudah berdiri sembari menatap tajam Bapaknya.
"Aku ini Bapakmu Aliyah, aku yang lebih tau mana yang terbaik untuk hidup kamu, orang tua mana yang tahan melihat anaknya menderita!"
"Siapa yang bilang kalau aku menderita, Pak? Dia? Dia? Atau dia?" ucap Aliyah sembari menunjuk satu persatu saudaranya.
"Aku yang menjalani, Pak, bukan Bapak ataupun mereka, dan aku sangat bahagia hidup bersama Mas Amar."
"Tapi Amar tidak bisa membahagiakanmu Aliyah, lihat kehidupan kalian, bukannya tambah sukses tapi, malah semakin miskin. Malah sekarang jadi tukang mie ayam, Bapak malu punya menantu seorang tukang mie ayam."
"Astagfirullahaladzim, apa yang ada di pikiran Bapak? apa kebahagiaan manusia hanya Bapak ukur dengan uang? Kalau Bapak berpikir seperti itu Bapak salah, karena Aliyah tidak pernah melihat semua hal dari materi."
"Pokoknya Bapak tidak mau tahu, kalian harus bercerai! Saya menginginkan menantu yang sepadan dengan keluarga saya. Saya mau jodohkan Aliyah dengan temannya Aldo. Dia seorang pengusaha toko kelontong. Usahanya ada beberapa di kecamatan kita, jadi, Amar suka tidak suka kamu harus menceraikan Aliyah secepatnya!"
Aliyah dan Amar saling berpandangan
"Maaf, Pak, saya tidak bisa menceraikan Aliyah, karena di antara kami sudah ada Rani dan Yuli."
Pak Darto membulatkan mata, karena Amar yang biasanya diam kini berani membantahnya.
"Kamu berani melawan saya ha!"
Pak Darto bangkit dari duduknya sembari berkacak pinggang.
"Kalau soal Rani dan Yuli, saya sanggup memberi mereka kehidupan yang layak jadi, segera kamu tinggalkan anak saya!"
"Pak, dengar ya!! Mau sampai kapanpun, Aliyah tidak akan meninggalkan Mas Amar dan menuruti permintaan Bapak yang konyol itu, asal Bapak tahu, semenjak Mas Amar mengucapkan ijab kabul di depan penghulu dan di depan pasang mata banyak orang. Saat itu juga aku sudah bukan menjadi hak nya Bapak tapi, saat itu juga aku sudah menjadi hak dan miliknya Mas Amar dunia akhirat. Jika saat ini aku masih berbaik hati sama Bapak itu hanya karena aku menghormati Bapak sebagai orang tuaku tapi, sudah tidak ada kewajibanku lagi untuk mendengarkan omongan Bapak. Terlebih lagi permintaan konyol seperti tadi! Maaf, Pak, kita permisi pulang."
"Ayo, Mas, kita pulang saja, aku 'kan sudah bilang berkali kali jika kita di injak jangan diam saja, semut saja bisa melawan masa kita manusia yang berotak diam saja, ayo pulang, sudah muak aku berada disini," ajak Aliyah pada suaminya.
Aliyah dan Amar berjalan meninggalkan keluarga Pak Darto tapi, belum sampai Aliyah dan Amar keluar pak Darto memanggil mereka.
"Aliyah!" Aliyah dan Amar berhenti, mereka membalikkan badan.
"Dengar Aliyah, sekali kamu melangkah keluar dari rumah ini, aku tidak akan menganggapmu anakku lagi! Bapak akan mencoret namamu dari daftar ahli waris nanti!" ancam Pak Darto pada Aliyah.
Akan tetapi, Aliyah tidak mendengarkannya, Aliyah dan Amar saling menggenggam tangan satu sama lain. Kemudian mereka pergi tanpa menghiraukan makian pak Darto. Tidak lupa juga mereka mengajak kedua anaknya pergi dari tempat terkutuk itu.
Rita berbicara dengan berapi-api. Emosi yang sudah lama ia pendam pada Vivi keluar sudah. Perasaan Vivi yang ia jaga bertahun-tahun lama nya kini terpaksa ia lontarkan. Habis sudah kesabarannya menghadapi anak dari almarhumah adiknya itu. Meskipun Rita tidak menampik jika dahulu memang Rita sempat berbuat jahat pada Aliyah dan Amar juga kedua anaknya. Akan tetapi, setidaknya Rita sudah benar-benar sadar juga kedua anak Rita ia didik dengan benar dan kini kedua anaknya menjadi anak yang penurut. Lalu, apa kurangnya kasih sayang yang Aliyah dan Amar berikan pada Vivi? Tidak! Tidak ada kurangnya mereka memberikan itu semua. Rita sebenarnya juga sadar jika semua ini terjadi juga karena adanya hasutan dari Aldo. Tapi, apakah sebagai seorang yang sudah beranjak dewasa Vivi tidak bisa berpikir jernih? Orang yang sudah memberinya air susu justru ia balas dengan memberinya air tuba. Sungguh ironis memang. "Vivi harus bagaimana agar mendapatkan maaf dari kalian semua. Vivi iri setiap kali
Begitu juga dengan Amar. Belasan tahun Amar mengarungi biduk rumah tangga bersama Aliyah menjadikan dirinya sosok suami dan Ayah yang cukup tegas. Jika dahulu saat disakiti maka Amar hanya bisa diam dan berpasrah tapi, tidak dengan kali ini. Amar akan melawan siapa pun yang berusaha menyakiti keluarganya. Maka diputuskan meskipun dengan berat hati bahwa mereka akan melaporkan Vivi pada lembaga hukum. Vivi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dan sekarang Rita lah yang akan menyeret sang keponakan ke kantor polisi sebab jika Aliyah dan Amar yang datang ditakutkan jika mereka berdua tidak akan tega saat melihat derai air mata Vivi. Beruntung Aliyah dan Amar mau mendengarkan usulan dari sang kakak. "Selamat siang, Bu. Maaf dengan siapa?" tanya pak Cokro pada Rita saat dirinya baru mendaratkan bokongnya di kursi. Rita yang baru saja memaki-maki Vivi pun napasnya masih tersengal-sengal karena terlampau emosi menghadapi anak tak tahu diri itu. "Saya Rita, Pak. Kebetulan saya juga
Ketakutan jelas terpancar dari sorot matanya yang seolah-olah berbicara untuk meminta Reno berhenti dan tidak melaporkan masalah itu ke dekan kampus. Namun, Reno tidak menghiraukan itu. Reno terus menyeret gadis dengan kulit eksotis itu menuju ruang dosen agar Vivi diberi hukuman yang setimpal. "Reno, please jangan laporin aku ke polisi. Aku minta maaf aku khilaf," hiba Vivi pada Reno tapi, pria itu bergeming. Ia sama sekali tidak menjawab kalimat yang dilontarkan Vivi hingga membuat Vivi bertambah ketakutan. Terlebih lagi mereka kini sudah berdiri di depan pintu ruangan dekan. "Reno, Reno tolong jangan laporin aku. Aku janji setelah ini gal akan lagi mengganggu atau pun menyakiti Rani.""Tutup mulutmu! Perbuatanmu harus kamu pertanggungjawabkan. Seenaknya saja mau lepas tangan!" hardik Reno yang membuat bibir gadis manis itu tertutup rapat. Hanya isak tangisnya yang masih terdengar meski lirih.Akhirnya kini baik Vivi maupun Reno sudah berada di ruangan rektor. Wajah Vivi terlihat
"Wah, cucu baru Nenek sudah pulang. Siapa ini namanya?" ujar bu Sri sembari mengambil alih anak bayi Aliyah dari gendongan Aliyah. "Oh iya siapa nama anak kamu ini, Al?" timpal Rita. "Narendra Akbar Amrani. Panggilannya Akbar.""Wah bagus sekali namanya cucu Nenek. Semoga jadi anak yang sholeh dan mampu melindungi keluarga ya le," ujar bu Sri mendoakan Akbar yang juga diamini oleh Aliyah dan Rita. "Kak, tadi lagi masak? Ini bau gosong." Aliyah menghembus-hembus bau yang menyeruak hidungnya. Begitu pun yang Rita lakukan hingga akhirnya Rita terpekik dan berlari kilat ke arah dapur. Semua yang ada di ruang keluarga kecuali Amar pun mengikuti Rita dari belakang hingga akhirnya mereka sampai di dapur mereka pun tertawa terbahak sebab melihat penampakan ayam panggang yang Rita buat yang seharusnya berwarna coklat justru menjadi warna hitam legam."Yah, gosong deh." Sontak semua yang ada di sana pun tergelak melihat ayam yang sudah tidak berbentuk lagi. ***"Reno!" Reno yang sedang berb
Uang yang Vivi serahkan pada Aldo dan katanya akan digunakan untuk berjualan sembako justru malah aldo gunakan untuk berjudi. Apakah Aldo menang? Oh tentu tidak. Tentu saja bandar tidak mau rugi. Permainan dibuat sedemikian rupa sehingga terlihat natural dan memang murni tidak kepiawaian pemain dalam memainkannya padahal sudah jelas bandar sudah mengatur sedemikian rupa dari misalnya dua puluh kali taruhan maka akan diberi kesempatan menang bagi pemain hanya sekali dan itu pun pemain hanya memenangkan uang yang tidak seberapa jika ditotal dalam dua puluh kali bermain dan satu kali menang uangnya jauh lebih besar yang dikeluarkan daripada yang dimenangkan. Itulah dahsyatnya bisikan dan godaan syetan. Bagi manusia yang lemah imannya seperti Aldo akan diberi kesempatan untuk satu kali menang setelah itu dia akan ketagihan dan terus menerus untuk kembali melakukan judi. Sudah banyak buktinya orang yang hobi berjudi tidak akan pernah ada manfaat dalam hidupnya. Justru yang ada hanyalah ke
"Sudah aku usir." ucap Rita yang membuat Aliyah juga Amar tersentak dan langsung menatap Rita seolah-olah meminta penjelasan. Sedangkan bu Sri dan pak Darto sudah Rita ceritakan sebelumnya hingga mereka sudah tidak terkejut lagi. "Kakak usir? Kenapa?""Ya Kakak gak suka aja lihat kamu di sini karena dia eh dianya di sana ketawa ketiwi sambil main ponsel. Keponakan macam apa itu. Lagian biarkan saja dia pergi dan menyusul si cunguk Aldo itu biar dia tahu betapa gak enaknya hidup gak punya uang. Sudah bagus dikasih tumpangan dan disekolahin tinggi eh malah berulah dan gak tahu terima kasih," gerutu Rita. "Ya tapi masa diusir, Kak. Kan kasihan, kalau Aldo ternyata gak bertanggung jawab gimana. Kita semua tahu gimana perangai Aldo yang asli.""Ya biarkan saja, biar tahu rasa. Dia kira dia hebat bisa hidup tanpa kamu. Kita lihat sja tph kalau dia sudah tidak kuat dia akan kembali lagi ke rumah kamu.""Apa yang Kak Rita katakan ada benarnya juga, Dek. Anggap saja itu sebagai pelajaran ba