MasukDharma, istrimu diculik!
Ruang VIP itu dipenuhi cahaya hangat kekuningan, memantul di dinding berlapis kayu gelap dan kaca kristal yang berkilau. Meja panjang di tengah ruangan sudah terhidang rapi makanan.dengan piring porselen putih, sendok garpu perak, gelas anggur yang berkilat. Aroma daging panggang, truffle, dan saus mahal bercampur menjadi satu, terlalu mewah untuk perutku yang masih terasa mual oleh sisa kejadian sore tadi.Aku duduk di sisi Dharman dan seberang kami, Darlo Castellanos duduk tegap dengan jas gelapnya yang menjadi ciri khasnya. wibawa dingin yang tak pernah benar-benar ramah. Di sampingnya, Anggun Castellanos tersenyum tipis, elegan, seolah semua hal di dunia selalu berada di bawah kendalinya. Senyum itu terasa seperti topeng mahal yang tak pernah retak.Di sisi lain meja, Arta Wijaya tampak santai, tapi matanya terlalu awas untuk benar-benar disebut tenang. Salma Wijaya duduk di sampingnya, anggun dengan gaun sederhana berwarna krem, sorot matanya lembut namun penuh perhitungan.seoran
Adrian tidak bergerak, tubuhnya tetap berdiri di tempat seolah perintah Dharma barusan tidak pernah diucapkan. Bahunya tegak, tangan dimasukkan ke saku celana, sikapnya terlihat terlalu santai untuk seseorang yang baru saja diminta pergi.seketika.Senyum tipis di wajah Dharma menghilang, digantikan sorot mata yang tajam dan dingin. Ia melangkah setengah langkah ke depan.“Ada yang belum jelas?” tanya Dharma, suaranya terdengar begitu datar.Adrian mengangkat wajahnya sedikit, menatap lawan bicaranya dengan ekspresi yang tidak kalah datarnya seperti Dharma.. Ada kilat samar di matanya, sesuatu yang menyerupai senyum tapi tidak pernah benar-benar sampai ke bibir.“Aku hanya memastikan,” jawab Adrian tenang, “bahwa kau tidak salah paham.”Aku bisa merasakan tubuhku menegang lagi. Jari-jariku mencengkeram ujung bajuku, napasku tertahan tanpa kusadari.“Salah paham soal apa?” Dharma menyela cepat.Adrian mengalihkan pandangannya dan untuk sepersekian detik, matanya bertemu denganku. Tatapa
Mobil Adrian berhenti tepat di depan gerbang rumah Dharma yang menjulang tinggi, besi hitamnya kokoh dengan ornamen sederhana. Mesin masih menyala, lampu depan menyorot jalan masuk yang lenggang, membuat bayangan pepohonan di halaman bergeser pelan. Dua penjaga mendekat,salah satunya menunduk sopan ke arah kaca jendela yang sedikit terbuka. “Maaf, Pak,” ucapnya hati-hati. “Kami belum menerima izin untuk membuka gerbang.” Adrian mengangguk singkat, ekspresinya datar. “Kami tunggu.” Sahut Adrian yang begitu tebang.Aku duduk kaku di kursi penumpang, punggungku terasa lurus oleh ketegangan yang belum juga luruh. Rumah itu ada di depan mata,tempat yang seharusnya terasa aman.namun kini justru terasa seperti batas lain yang harus kulewati dengan napas tertahan. Menit-menit berlalu. , Keheningan kembali mengambil alih. kali ini dipenuhi oleh detak jantungku sendiri. Aku menatap gerbang itu, seolah bisa membaca jawabannya dari sela-sela besi yang tertutup rapat. Lampu mobil lain mu
Adrian tetap fokus menyetir. Tangannya mantap di setir, pandangannya lurus ke depan, seolah jalanan di hadapannya adalah satu-satunya hal yang ingin ia lihat. Mobil melaju dengan kecepatan stabil, nyaris tanpa suara selain dengungan mesin dan gesekan ban di aspal.Aku menghela napas pelan,Kepalaku terasa penuh. Bukan karena lelah, tapi karena terlalu banyak pikiran yang saling tumpang tindih. Duduk di samping Adrian menghadirkan rasa canggung yang sulit kujelaskan.bukan tidak nyaman, tapi juga jauh dari tenang. Akhirnya aku memutuskan memejamkan mata, bukan untuk tidur, hanya ingin berhenti memandang pepohonan yang sejak tadi menjadi pemandangan utama jalanan ini.“Kalau pusing, bilang,” ucap Adrian tiba-tiba, suaranya rendah.“Aku tidak tidur,” jawabku tanpa membuka mata. “Hanya menutup mata saja.”“Hm.”Itu saja tanggapannya.Keheningan kembali turun, tapi kali ini terasa berbeda. Dalam gelap, pikiranku justru bekerja lebih aktif. Wajah Dharma terlintas, ucapannya tentang kejujuran,
Mesin mobilku tersendat untuk ketiga kalinya sebelum akhirnya mati total. Setir terasa ringan di tanganku, seperti sebuah pertanda buruk. Aku menepi sebisaku, menghentikan mobil di pinggir jalan yang bahkan nyaris tak layak disebut jalan. Hanya hamparan aspal sempit, pepohonan di kiri kanan, dan keheningan yang terasa menekan dada. aku merasa kecewa pada diriku sendiri karena tidak mendengarkan ucapan Dharma. seharusnya aku minta diantarkan saja. “Tidak… jangan sekarang,” gumamku pelan.Aku mencoba menyalakan mesin lagi, namun itu semua terasa sia-sia.aku menghembuskan napas panjang, lalu meraih ponsel di dalam tas. Tanganku sedikit gemetar saat layar menyala.Nama Dharma sudah hampir kutekan ketika layar itu tiba-tiba meredup. Baterai ponselku habis!“Tidak, tidak, tidak—”Layar mati tepat saat aku hendak menekan tombol panggil. Aku menatap ponsel itu beberapa detik, seolah dengan tatapan saja aku bisa menghidupkannya kembali. Tapi sia-sia. Yang tersisa hanya pantulan wajahku sendir
Adrian menatap malas wajah lawan bicaranya, suasana restoran yang cukup sepi membuat keduanya leluasa berbicara.“Bagaimana, kau sudah mengatakan bahwa aku pernah tidur dengan suaminya?”Adrian menatap Laura dengan mata yang tak sepenuhnya bisa menyembunyikan kemarahan yang perlahan membara. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab.“Iya, aku sudah mengatakan hal itu. Jadi jangan buat semuanya terasa sia-sia.”katanya pelan, setiap kata dipilih dengan hati-hati.Laura mencondongkan tubuhnya ke arah Adrian, senyum tipis tapi tajam menghias bibirnya. “Oh, begitu. Jadi kau ingin aku diam saja? Kau pikir aku akan membiarkan hal ini begitu saja?” ucapnya sambil memainkan sendok di atas piringnya, seolah itu permainan strategi yang disengaja.Adrian menegakkan punggungnya, menatap lurus ke mata Laura. “Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar. Aku hanya ingin kita tetap fokus pada masalahnya.”Laura tertawa pelan, suara itu seperti campuran ejekan dan kepuasan pribadi. “Kau pikir aku aka







