"Iya, ditambah darah, biasanya didera atau diberi besi panas, terkadang juga dipukul dan dipaksa memenuhi hasratnya, gak cuma itu.. Dia juga kadang cari-cari kesalahanku dan mencari celah biar dia bisa bercumbu dengan yang lain," jelas Lydia lirih dengan tertawa hambar.
Bayu terdiam. Penuturan Lydia membuat Bayu tak bisa berkata-kata lagi. Apakah ada suami setega itu? Dan mengapa Lydia hanya diam dan tidak melawan? Itu yang ia pikirkan.
"Dan kamu.. Tahan?" sela Bayu dengan lirih.
Lydia menggelengkan kepalanya. Jelas saja dia tak tahan namun, pernikahannya ini sudah sangat tidak sehat!
"Ly..," panggil Bayu membuat Lydia menoleh dan bergeming.
"Istirahat ya, saya antar kamu ke ruangan," titah Bayu diangguki oleh Lydia. Bayu mengantarkan Lydia ke ruangan dan meninggalkan Lydia disana agar beristirahat.
********
Sedangkan di sisi Alan, ia sangat bahagia karena Lydia tak bersamanya. Kebebasan yang lama ia idamkan akhirnya telah ia dapatkan dan ia bebas ingin membawa wanita manapun ke rumah."Mas, di mana istri kamu?" tanya seorang wanita dengan menatap Alan.
Alan tiba-tiba tersenyum. "Jangan membahasnya, dia berada dirumah sakit jiwa, biarkan saja," sahut Alan santai.
Bahagia!
Itu yang Alan rasakan saat ini. Bahagia diatas penderitaan istrinya yang kerap ia siksa lahir maupun batin dan tanpa dosa ia menceritakan segalanya dengan memutar balikkan fakta yang ada. Sifat manipulatifnya itu sudah mendarah daging memang.
Dalam cinta, hanya ada pengorbanan dan bukan hanya satu orang saja yang melakukan pengorbanan itu namun, semua berkebalikan. Lydia yang berkorban namun, dia juga yang menjadi korban.
Dasarnya ego masing-masing membuat segalanya hancur. Hanya ada kehidupan bagai neraka untuk Lydia dan hanya ada siksa untuknya karena terjerat cinta semu suaminya, hingga akhirnya dia tumbang karena tak lagi kuat menahan semuanya.
Beberapa hari setelahnya, rumah sangat berantakan. Alan menyewa seorang asisten rumah tangga untuk mengurus rumah dan dia kerap pergi pagi, pulang pagi dan setiap pulang, ia dalam keadaan mabuk berat.
Berkali-kali Angelica memperingati namun, tak juga diindahkan oleh Alan.
Dan pagi ini adalah pagi yang mendung. Hujan deras mengguyur kota tersebut dan Alan hanya dapat duduk termenung dengan menghisap rokoknya dan mulai merasa kesepian. Apalagi Lydia juga tak ada disisinya. Alan makan, minum, bahkan saat sakitnya kambuh, tak ada yang merawatnya dengan telaten seperti Lydia dan Alan tidak juga sadar dengan tingkahnya itu.
*******
Hari demi hari terlewati dan Lydia juga tak kunjung pulih. Setiap harinya hanya bisa menatap kosong ke arah jendela dan kondisi mentalnya semakin buruk usai Alan menjenguknya kemarin. Apalagi mereka sempat bertengkar saat Alan memaksa Lydia pulang dan kepala Lydia terbentur meja. Itu membuat kondisinya semakin parah!Dengan tatapan nanar, Lydia duduk dikursi roda dan menatap ke arah luar. Menatap keadaan anak-anak seusianya masih berkeliaran dan sibuk mengejar impian. Tubuhnya lemah dan obat yang diberikan sama sekali tidak ditelan. Hanya digenggam dan dibuang. Lydia tidak ingin bayi dalam kandungannya terluka karena obat-obatan itu.
"Ly," panggil Bayu tak dihiraukan Lydia.
"Ly, minum obatnya ya," titah Bayu dengan sabar.
Lydia tak menoleh. Dia hanya menatap keluar jendela dan perlahan air mata luruh membasahi pipinya tanpa aba-aba. Suara tangisan menyayat hati membuat Bayu seketika mendekap tubuh Lydia erat. Sangat erat sampai Lydia bisa menyalurkan rasa sakitnya.
"Sudah, tak apa, saya di sini," lirih Bayu menenangkan.
Lydia mulai melemah dan berakhir hilang sadar setelah menangis beberapa jam hari itu. Bayu hanya dapat menenangkan Lydia dengan caranya sendiri. Membiarkan dan menemani Lydia setiap harinya agar mental gadis belia itu stabil dan dapat tersenyum lagi.
Air mata jatuh yang menjadi lukisan lara untuknya. Kuatnya hanya sekejap lemahnya menjadi sebuah senjata yang dapat diperalat oleh Alan demi keuntungannya sendiri. Kekeliruan yang telah Lydia lakukan adalah menikah dengan Alan. Karena walau dipaksa, Lydia bisa menolak jika bukan karena orang tuanya gencar memerintah hingga mengancam Lydia sampai mentalnya down saat hari pernikahan tiba.
Kelam dalam diam. Segala amarah selalu terlampiaskan kepadanya, segala rasa kecewa selalu dilontarkan kepadanya dan perundungan juga ia alami sejak masa sekolah dulu. Siang hari bagai sebuah malam yang gelap dan matahari bagaikan sebuah lilin yang redup cahayanya. Kehidupannya yang begitu penuh luka menjadi senjata, segala hal yang terjadi menjadi ilusi.
Lydia bergeming. Dia kembali menatap sekitar dengan nanar dan mulai meremas erat ujung bajunya. Rasa yang berkecamuk dalam hatinya bagaikan sebuah api yang menjeratnya dalam dendam yang bergejolak. Yang dahulu mencinta dan menganggap ada menjadi hampa.
"Apakah salah apabila aku meminta sebuah keadilan dalam hubungan..? Anak dalam kandunganku ini pasti membutuhkan sosok seorang ayah dalam hidupnya dan apa yang terjadi apabila suatu saat ia mengetahui bahwa ayahnya seorang pengkhianat wanita? Mustahil apabila aku mengungkapkan segalanya.. Aku hanya butuh sebuah ketenangan," lirih Lydia dengan tertawa hambar.
"Sudah sangat lama aku memendamnya, apakah sudah seharusnya aku melepaskannya? Mengapa aku begitu lemah?! Tidak boleh. Aku harus membalas semuanya dan menerima semuanya, bukan lemah seperti ini!" gerutu Lydia dengan menjambaki rambutnya dan memeluk lututnya.
Merelakan semuanya bukanlah hal yang mudah. Apalagi untuk seorang yang tengah membutuhkan kasih sayang lebih seperti Lydia itu harus banyak dimengerti walau akhirnya sama. Siksa hati yang diberikan seolah suratan cinta yang harus dipatuhi oleh gadis belia itu. Menanti sepasang mata yang selalu setia dalam menunggu sebuah cahaya dalam kehidupannya.
Semua fakta yang diputar balikkan sudah jelas bahwa Lydia hanyalah korban. Apalagi kehidupan rumah tangganya seolah neraka tanpa keharmonisan dan penuh kecurangan. Tanpa tujuan, tanpa pilihan, tanpa rasa dan tanpa kejujuran. Kisah yang dibina bersama menjadi sebuah dera siksa bagi gadis belia yang lugu dan tak tau apa-apa. Lagu tentang cinta yang membuat suaminya seolah makhluk sempurna itu tak ada artinya. Tak ada yang tau bagaimana sebenarnya terkecuali sepasang suami dan istri itu.
Malam kelabu dengan tabu dilewati oleh Lydia penuh derai air mata yang membuat mata indahnya itu membengkak dan bibir mungilnya tak mampu bersuara seperti biasa. Hanya diam untuk menghapus dendam. Itu saja yang dapat dilalui Lydia sepanjang hari dan sepanjang malam.
"Ya, aku harus bangkit."
Alan semakin menggila. Dia selalu membawa wanita yang berbeda dan kerap tertidur diapartement karena stress saat Lydia tidak ada, hidupnya kosong namun, saat Lydia ada.. Dia menyakitinya. Masalah yang rumit dan sulit apabila dengan emosi saja. Meski Alan tau dia yang telah membuat reputasi istrinya hancur karena fitnah dan meski ia tau bahwa semua yang dimilikinya bisa musnah, ia tak kunjung jera dan menyudahi perbuatannya. Cinta juga tidak ada artinya. Hanya ada sesal yang tak berguna saat kehilangan salah satu dari mereka. Membina? Bahkan, untuk memimpin sebuah perusahaan saja Alan sering berkhianat dan ia seperti tidak memiliki pendirian sama sekali dalam hidupnya. Tapi, pria itu tak sadar bahwa roda terus berputar.******Hari ini Lydia berusaha agar ia dapat melempaskan beban pikirannya dan mulai berjalan-jalan ke sekitar taman. Apabila tenang, Lydia terlihat sangat cantik. Paras cantiknya itu natural meski tanpa polesan make-up sekalipun. "Dokter, kapan aku bisa keluar dari
Lydia menganggukkan kepalanya. Ia hanya tersenyum tipis mulai mendekati Alan dan berjinjit untuk menyamakan tinggi dengan suaminya. Meski hatinya terasa sakit namun, Lydia sudah terbiasa dengan hal tersebut. Wajahnya yang pasrah membuat hati Alan justru sakit. Seolah ia sangat labil dalam keputusannya. "Ly, saya bisa jelaskan, saya bisa jelas─" tutur Alan terpotong dengan tawa Lydia yang hambar dihadapannya. Tatapan penuh cinta seolah tiada lagi. Tutur kata lembut telah sirna. "Jelasin apa lagi, mas? Aku ga butuh penjelasan kamu," sahut Lydia tegas. Adrian mengepalkan tangan menahan amarahnya. Bagaimana tidak? Putrinya dilhianati oleh lelaki yang ia percayai selama ini. Salah siapa? Salahnya? Bahkan, dulu ia sendiri yang kukuh menikahkan putrinya dengan Alan. Tanpa berbasa-basi Lydia mulai berjalan menuju ke kamar dan mengunci kamar tersebut. Ia meluruhkan dirinya dilantai dan mulai menatap cermin dihadapannya. Sang buah hati yang dinanti sudah pasti namun, ia dikhianati dengan ke
Antara pilihan atau kehancurkan yang akan menghampiri itulah takdir semesta. Sampai dengan seorang gadis mungil harus terus memaksa dirinya melupakan seseorang hanya karena restu orang tua yang tak berpihak sama sekali. Masa-masa kelam membuat Lydia menjadi gadis mungil yang memiliki hati lembut dan lemah secara fisik maupun mental. Ia masih menginggat dimana jeritannya membuat semua orang terdiam seribu bahasa. Dimana semua orang yang melayat turut menenangkan dirinya. "Cantik, kenapa nangis? Gua ga suka lo nangis." Suara itu membuat Lydia terperangah. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia melihat orang yang telah didambakan. "Dasar cengeng, jangan dibuka lagi. Udah gua disini," ujar Aldo membuat Lydia tak kuasa menahan tangisannya. Aldo mulai mengusap perut Lydia dengan lembut dan menatap Lydia penuh kasih sayang, "Jaga anak ini. Anak ini ga salah, jangan pernah lo sakitin anak yang ga berdosa ini buat dendam lo, Lydia. Lo tetep jadi cinta terakhir dan pertama gua,
Suara itu hanya diabaikan oleh Lydia. Tanpa dihiraukan sama sekali meski hatinya dongkol karena ulah suaminya. "Urus saja perusahaan anda atau saya bakal lengserkan anda dari jabatan tinggi itu, Tuan Alan," ancam Lydia dengan menyeringai dan menarik dasi suaminya dengan tatapan mengerikan. Alan terhenyak. "Sejak kapan dia jadi berani seperti ini..? Sial," batin Alan dengan mengepalkan tangannya. Alan lupa jika istrinya mengidap kepribadian ganda? Atau memang Alan tidak tau tentang itu? Lydia lepas kendali. Waktu yang salah membuatnya semakin terpuruk dalam keadaannya dan kali ini Alan salah sasaran. Meski sekuat tenaga Alan mencoba meraih Lydia, itu tak berguna karena yang dihadapannya bukanlah Lydia sebenarnya. BRAK! Suara benturan itu membuat Angelica dan Adrian berlari ke ruang pribadi putrinya. Dan betapa terkejutnya mereka saat melihat Alan sudah tersungkur dilantai dan Lydia yang mulai menggila. "Ly, jangan lakukan hal ini, ini salah Lydia Agathna Pragya Adrian!" be
Tawa Lydia memecah kesunyian. Tawa lepas itu membuat Lala merasa caranya mengajak sahabatnya itu bahagia ada benarnya. Meski ia tau bagaimana keadaan Lydia jika tanpanya. "Ly, andai lo cerai sama suami lo apa yang lo lakuin?" "Kenapa kamu selalu bertanya soal perceraian? Aku tak memikirkan itu karena aku tak ingin anakku tidak memiliki ayah." Hening. Lala bergeming mendengar penuturan Lydia yang terdengar cukup masuk akal juga. Karena tak mungkin perempuan seperti Lydia lebih memikirkan dirinya sendiri. "Pulang aja yuk," ajak Lala diangguki Lydia. Rasanya bahagia. Hati Lydia bahagia dengan semua belajaan yang ia bawa itu. Semuanya seperti pakaian anak gadis pada umumnya namun, terlihat pas dan lucu ketika Lydia pakai sekalipun sedikit kebesaran. Setelah sampai dirumah, Lydia langsung memasuki kamar dan mencoba semua baju-baju itu. Ada baju yang sangat minim dan itu membuat Lydia terlihat 2 tahun lebih muda. Kulit putih, bibir pink, rambut hitam legam nan panjang membuat Ly
Esok harinya, Melati mengadu yang tidak-tidak kepada Alan sampai membuat Alan murka. Jelas saja akal licik akan kalah dengan akal cerdas. Karena, Melati hanya ingin menjadikan Lydia pembantunya. "LYDIA!" bentak Alan membuat Lydia memutar bola mata malas. "Apa lagi?" sahut Lydia santai. "Kamu apakan istri saya?!" tanya Alan dengan penuh emosi membuat Lydia sontak menghadapkan selang air tepat didepan Melati. Lydia menyemprot Melati dengan air yang membuat Melati basah kuyup. Jelas saja itu membuat Alan semakin marah! "Kotoran itu harus siram biar bersih." Sial. Lagi dan lagi Melati terkena mulut pedas Lydia. Amelia yang tadinya tengah berdandan juga turut keluar untuk melihat kekacauan itu. Dan dia tertawa lepas saat melihat Melati basah kuyup karena ulah Lydia. "HAHAHA KAYA TIKUS KECEBUR GOT LO SUMPAH, KOCAK!" tawa Amelia membuat Melati menatap Amelia tajam. "Masih mau ngedrama? Aku bukan prosedur indosiar, ngomong-ngomong.. Akting mbak kurang cerdas," sela Lydia lalu
Lydia langsung berdiri dan menghampiri temannya tersebut. "Ada apa dengan mama?!" tanya Lydia cepat. "Mama kamu kecelakaan, Ly.. Dia dilarikan ke Rumah Sakit Pelita." Mendengar itu, Lydia langsung berlari menuju parkiran dan menyetir mobilnya ke rumah sakit yang diinfokan oleh temannya. Pikiran Lydia sudah kacau sedari tadi dan kini bertambah runyam saat mendengar kabar mamanya kecelakaan? Pikirannya seketika buntu. Sesampainya, Lydia langsung turun dari mobil dan menyusuri lorong rumah sakit tersebut hingga Lydia bertemu dengan Adrian. Melihat Adrian yang tertunduk dan menahan tangisnya, Lydia mendekat dan menatap nanar ruang ICCU didepannya. "Ly, dokter lagi tangani mama kamu, nak," lirih Adrian membuat Lydia tak bisa berpikir positive lagi. Satu jam berlalu. Dokter keluar dan kemudian raut wajahnya sendu. Lydia menatap dokter itu nanar dan saat dokter mengisyaratkan bahwa keluarga boleh menemui, Lydia langsung berlari memasuki ruangan tersebut. Tepat dihadapannya, Lydi
Tatapan Lydia tajam. Ia tak ingin disentuh ataupun didekat oleh suaminya sendiri dan bahkan, ia tak menoleh sedikitpun untuk sekedar melihat wajah suaminya. "Gausah sentuh aku." "Jangan pikirkan egomu, hari ini adalah hari duka, Lydia." "Ego? Tutup mulutmu." Pungkas ucapan Lydia membuat Alan langsung terdiam. Kali ini Lydia melangkah 2 kali lebih berani dari biasanya. Setelah selesai proses pemandian dan disholatkan, jenazah Angelica segera dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Tempat yang terletak cukup jauh sehingga Lydia tak saggup berjalan dan mengendarai mobil mengikuti rombongan didepannya. "Ly, kalau tidak kuat pulang saja," titah Adrian lembut. "Ga pa, aku mau lihat mama walau ini.. Terakhir kalinya," sahut Lydia dengan tersenyum tipis. Adrian hanya pasrah. Ia juga tak ingin mencegah putrinya ke rumah baru Angelica dan tak ingin membuat Lydia berpikiran buruk lagi. "Yasudah, ikuti saja rombongan ini sampai dimakam, kamu temui papa," ujar Adrian dengan sa