"Mas, dia siapa lagi?" tanya Lydia menatap seorang wanita yang berdandan menor tengah bercumbu dengan suaminya.
Baru saja kemarin mereka bertengkar, tetapi suaminya sudah berani membawa perempuan lain.
"Kekasih saya, Amelia," jawab Alan dengan santai.
Patah.
Hati Lydia patah ketika mendengar penuturan suaminya. Dengan santai dan tanpa rasa bersalah sama sekali.
"Aku masih istri kamu, mas!" pekik Lydia.
"Istri..? Istrimu masih bocah?" potong Amelia membuat Lydia terhenyak.
"Aku ga bicara sama kamu. Diam!" sentak Lydia membuat suasana semakin memanas.
"Saya sudah bilang, jangan pernah mengusik hubungan saya dengan perempuan lain, Lydia!" hardik Alan.
"Aku tidak mengusik, aku hanya mau kamu sadar mas, aku mau kamu sadar kalau yang kamu lakuin ini salah. Kamu kira cuma kamu yang bisa? Aku juga bisa. Tapi aku ga lakuin karena sumpah dan janji pernikahan kita, pernikahan diatas kertas!" sergah Lydia dengan penuh penekanan pada akhir kalimatnya membuat Amelia yang tadinya tengah duduk dipangkuan Alan berdiri dan meninggalkan tempat itu.
"Amelia, tunggu saya!" jerit Alan.
"Kejar saja. Jika kamu mengejarnya, saya akan hubungi papa dan mama sekaligus memberitahukan kelakuanmu yang lebih bejat dari seorang binatang buas," seru Lydia membuat Alan mengusap wajahnya frustasi.
"Kamu bisa diam?! Saya muak!" tekan Alan dengan memukul tembok disamping Lydia.
"Aku yang lebih muak. Aku lebih muak melihat tingkahmu yang murahan, kamu selalu bilang aku murahan tapi nyatanya.. Kamu yang murahan," sindir Lydia dengan menyingung senyuman kecil dari bibirnya.
Plak!
Tamparan itu cukup keras hingga pipi Lydia merah.
"Pertama dengan kamu.. Aku udah yakin kamu cuma buat aku, aku ga minta apa-apa, aku cuma mau kita sakinah. Lalu kenapa mereka kamu undang dalam istana kita..? Merelakan cinta untuk dibagi namun, tidak semua hati itu bisa berbagi, aku hanya mau kamu tau.. Kalau yang setia gak akan datang dua kali. Kamu bisa, aku juga bisa. Kamu mau selingkuh? Ok. Kita selingkuh sama-sama, sampai punya anak juga tidak masalah. Bagaimana? Kita impas!" ketus Lydia menatap tajam Alan.
"Jaga ucapanmu jalang!" hardik Alan membuat Lydia terdiam seribu bahasa dengan badan yang bergetar nan rasa berkecamuk dalam hatinya itu entah kepada siapa ia akan melampiaskannya.
Tak menjawab, Lydia langsung pergi begitu saja meninggalkan Alan yang tengah terbawa emosi. Padahal seharusnya Lydia yang harusnya marah namun, ini justru kebalikan.
Dalam kamar, Lydia menangis sejadi-jadinya. Menatap nanar sekitar dan memeluk lututnya dengan meremas kuat dress yang ia kenakan. Rasa sakit kian membara dan tak hanya sampai disana, Lydia juga menghempas seluruh barang dihadapannya karena emosi yang tak bisa ia pendam lagi.
"Lydia, buka pintunya atau saya dobrak?!" seru Alan mengebrak pintu kamar itu.
"Pergi. Aku gamau lihat kamu lagi!" erang Lydia dengan penuh emosi.
"Kamu jangan kaya anak kecil bisa gak? Saya risih lama-lama sama kamu yang enggak pengertian sama sekali! Kamu mikir dong, saya juga butuh hiburan, sekarang buka pintunya!" teriak Alan lagi.
Lydia terperanjat. Ia bangkit dari duduknya dan membuka pintu tersebut dengan penampilan yang tak karu-karuan. "Kamu yang harusnya gunain otak kamu buat mikir. Anak kecil? Aku emang masih anak kecil. Anak kecil yang harus nikah sama orang tua ga ada adab kaya kamu, kamu pikir puber kedua kamu ini bisa aku terima? Enggak!" ketus Lydia dengan menarik kerah baju suaminya sedikit kasar lalu menghempasnya.
"Ucapanmu, jaga itu," tekan Alan.
"Sialan!" umpat Lydia sudah tak sabar lagi! Ia sudah tak bisa memberi toleransi atas kelakuan suaminya lagi.
"Lydia!" sentak Alan membuat Lydia terlonjak.
"AKU UDAH NAHAN DARI DULU DAN SEKARANG AKU GAK AKAN PERNAH PEDULI LAGI SAMA KAMU! AKU GA AKAN PERNAH LAGI SUDI MELIHATMU, SIMPAN SAJA SEMUA UCAPANMU, SADIS TAU GAK? CARA KAMU TERLALU SADIS. HARUSNYA AKU DULU GAMAU TERIMA PERJODOHAN INI, TAPI KARENA PAKSAAN AKU TERIMA DAN KAMU.. KAMU MALAH JADIIN AKU MAINAN KAYA GINI!" jerit Lydia dengan langsung berlari keluar dari kediaman itu.
Percuma juga ia di sana apabila hadirannya selalu saja tak dianggap ada. Namun, ia binggung harus kemana karena ia bahkan tidak tahu bagaimana menuju rumah orang tuanya yang terletak jauh dari kota yang ia tinggali saat ini.
******
Lydia jauh melangkah dan ia hanya terhenti disebuah taman. Taman yang penuh dengan bunga-bunga indah tanpa warna dimatanya.
"Akhirnya ketemu. Ayo pulang," titah Alan dengan menarik tangan Lydia paksa.
"Lepasin! Aku ga sudi pulang ke neraka itu. Aku ga sudi. Pulangin aku sama orang tua, aku mau sama mereka," jawab Lydia.
"Jangan menguji kesabaran saya bisa? Saya bosan mendengar kata kamu ingin pulang setiap kita bertengkar, dewasa sedikit dong, kamu bukan anak kecil lagi!" sergah Alan dengan menarik kasar tangan Lydia.
"Bajingan!" umpat Lydia lagi.
"Berhenti mengumpat, atau saya tidak segan-segan melemparmu ke jurang itu," ancam Alan tak segan-segan.
"Lempar, biar aku mati sekalian daripada sama bajingan kaya kamu, bajingan yang ga pernah berguna!" serang Lydia lagi dan lagi membuat Alan mengepalkan tangannya.
"Cukup, Lydia! Kamu didiamkan malah melunjak. Oke, kamu mau balik ke rumah orang tua? Silahkan! Kita lihat, kamu bakal betah gak disana," tantang Alan dengan menyeringai iblis.
"Karena semua ini saya yakin, ini karma papa kamu, kan kamu anak perempuan satu-satunya, jadi nikmati saja," seru Alan penuh keyakinan.
Lydia tak habis pikir. Bagaimana bisa ia menikahi laki-laki dihadapannya dan meninggalkan pacarnya? Padahal jika ia menikah dengan pacarnya, tak ada bedanya dengan menikah dengan Alan.
"Dasar licik," cela Lydia menatap Alan penuh emosi.
"Kalau saya tidak licik, kamu tidak akan pernah patuh kepada saya, masih ingin pulang? Saya bisa katakan bahwa kamu membangkang saya. Jadi, kamu akan dihajar juga dirumah itu, bagaimana?" tanya Alan dengan menyeringai iblis dengan bersandar pada mobil berwarna hitam yang ia gunakan.
Jelas saja Lydia tak ada pilihan. Karena suaminya itu pintar drama jadi, ia mencari jalan aman saja untuk itu. Ia tak ingin tubuhnya semakin hancur ditangan papanya nanti.
Sial sekali dia harus menikahi laki-laki seperti Alan, yang lebih parah, pernikahan itu karena perjodohan semata.
"Lepasin. Aku bisa pulang sendiri!" ketus Lydia lalu meninggalkan Alan disana.
Memang dunia ini sempit. Lydia harus bertemu dengan Alan lagi dirumah dan itu membuat Lydia sangat muak! Ditambah dia harus melihat Alan yang sudah bermesra-mesraan didalam, bisa sakit jiwa juga dia lama-lama.
Lydia biasa saja. Karena jika ia memberontak atau mencegah itu bisa jadi petaka untuknya. Meskipun hati patah, Lydia berusaha bersikap biasa.
"Beda orang lagi? Yang ke berapa ini? Kalau ga salah hitung, yang ke sepuluh, benar?" tanya Lydia dengan melipat tangannya didada.
"Berisik," sela Alan mulai melakukan hal tak senonoh dihadapan Lydia sendiri, mereka bercumbu.
*******
Lydia berjalan dengan memejamkan matanya rapat-rapat. Dia merasa lelah dan terhina akan semua perlakuan suaminya.
"Pa, ma... Lydia harus ke mana..?" gumamnya lirih dengan tubuh yang mulai merosot dengan menatap kosong sekitar. Mentalnya jelas saja gangguan.
Lama Lydia berada di sana. Dia bahkan mulai melakukan hal yang tak pernah ia pikir sebelumnya.
Brak!
Pintu tiba-tiba terbuka. Setelah kekasihnya pulang, Alan langsung menghampiri Lydia dan terkejut setengah mati ketika melihat pergelangan tangan istrinya sudah bersimbah darah. Seolah-olah Lydia berniat bunuh diri dengan memotong urat nadi.
"Lydia, Lydia! Kamu ngapain?!" tanya Alan tak sabar.
Setelah hari itu, 1 minggu lamanya Lidya baru bisa menerima semua hal yang terjadi. Dia ditinggalkan oleh suaminya tanpa ucapan cerai sama sekali. "Aku pernah percaya sama kamu, tapi sekarang.. Aku gak akan pernah percaya sama laki-laki lagi, dan itu cuma karna kamu, mas."Lydia bergeming. Ia duduk dengan menggegam semua obat yang tak ia telan dan duduk dikursi roda dengan keadaannya yang berantakan. Rambut kusut, tatapan kosong, tawa hambar itu membuat Bayu berusaha untuk menyembuhkannya. Ia melanggar apa yang seharusnya tidak terjadi. ya. Dia mencintai pasiennya sendiri. "Lydia, jalan sama saya ya. Kita jalan-jalan keliling rumah sakit, kita lihat bunga tapi kamu harus didandani dulu."Lydia hanya mengangguk. Setelahnya, Lydia diam dikursi roda dan melihat sekitarnya. Semua bunga yang diberikan oleh Bayu membuat Lydia tersenyum. "Suka?""Suka.. Cantik sekali, semua cantik..""Iya, setelah kamu sembuh, saya janji. Saya akan berikan kamu bunga setiap hari. Bunga yang cantik dan bu
Ratna mengangguk sebagai jawaban. Sedangkan Martha, ia membawa satu teko es teh dan menyediakan makanan ringan lainnya. Lydia merasa nyaman. Ia dihargai. Tidak merasa sepi dan walaupun begitu, Adrean harus kembali ke kota karena pekerjannya tidak bisa ditinggal sama sekali. "Lydia, kamu mikirin apa?" tanya Martha disela-sela lamunan Lydia sembari menatap bintang-bintang dilangit malam itu. "Ah, tidak ada kak.. Hanya merindukan seseorang yang sudah menjadi bintang dilangit." "Siapa?" "Aldo. Dia kekasihku yang sudah meninggal beberapa tahun lamanya tapi.. Aku masih merindukannya." Baiklah. Martha mengerti mengapa Lydia sampai terkena gangguan mental separah itu. Ternyata.. Itu semua karena luka batin masa lampau yang belum selesai. "Mau masuk rumah atau disini aja dulu?" "Aku mau disini dulu saja." Martha menghargai keputusan Lydia. Bagaimanapun apabila masalah rindu, tak ada yang bisa mencegahnya. Sesakit apapun, apabila masalah rindu.. Pasti semua akan terasa berat. "Ra
Lydia hanya terdiam ditempatnya dengan tatapan nanar. Tak ada yang bisa Lydia pikirkan lagi terkecuali satu. Dia gagal menjadi seorang ibu. "Masih sakit?" tanya Martha membuat Lydia menggelengkan kepalanya. Ia binggung apa yang terjadi dan kenapa dia bisa sampai disini. Lydia hanya ingin kedamaian didalam hatinya. Saat Alan hendak mendekat, Lydia memalingkan wajahnya. Ia tak ingin melihat rupa laki-laki yang telah membuatnya seperti ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan terkecuali hanya menatap benci ke arah Alan. "Ngapain kamu kesini?" "Saya suami kamu. Saya berhak melakukan apapun." "Termasuk untuk membuat anakku mati. Apakah itu juga hak mu sebagai suami? Mas, kamu harus ingat. Aku masih bisa sambung pendidikanku sampai setinggi mungkin. Tapi aku gak lakuin itu karna aku mau berusaha jadi pasangan yang baik. Tapi.. Kamu hancurin semua ini mas." Lydia mengalihkan pandangannya. Ia mulai menatap Alan dengan sayup. "Jadi begini cara kamu buat nyakitin aku ya, mas..? Begini cara
Cacian Martha terdengar jelas ditelinga Alan. Cacian yang menyakitkan untuk didengar meski ia laki-laki. Bahkan, ucapan sumpah serapah Alan juga dengar dari beberapa kalangan. "Biarkan saja dia mengerti apa yang dimaksud dengan pengecut itu, Ratna!" sergah Martha membuat Ratna langsung melepas gegaman tangan Martha. "Saya tau, saya memang pengecut.""Memang! Kamu juga tidak punya hati, Alan! Sekarang Lydia seperti ini, salah siapa?! Salah siapa?! Untuk kesalahanmu yang sebesar itu, apakah mampu mengembalikan Lydia seperti sedia kala, ha?! Fuck! A fuck you bitch, Ala8n!" maki Martha habis-habisan membuat Alan terdiam. "Martha ─""Bahkan, dari jalang-jalangmu, Lydia yang lebih baik dari apapun! Apakah ada seorang wanita yang mampu menerima perselingkuhan?! Apakah ada seorang wanita yang bisa menerima lelakinya bercumbu dihadapannya?!" tanya Martha dengan tersulut emosi. Ratna bergeming. Bahkan, untuk menjawab pertanyaan dan menyangkal makian dari Martha itu juga tak mungkin. "Tuan k
1 minggu berlalu begitu cepat. Sehingga, Alan harus selalu menemani Lydia meski dirinya sendiri saja binggung dan harus selalu meminum obat-obatan setiap waktu. "Tuan, apakah tuan tidak ada niat untuk membawa nyonya ke suatu rumah sakit yang bisa mengatasi penyakitnya?" tanya Salah seorang staff rumah sakit membuat Alan hanya terkekeh pelan."Untuk apa..? Saya harus membawanya kemana lagi? Kenyataan didepan mata, gelang pada tangannya sudah memberitahukan bagaimana kondisinya.""Gelang apa?" "Gelang pada tangannya. Gelang rumah sakit yang berwarna ungu. Itu sudah jelas menjelaskan bahwa ia tidak memiliki harapan hidup yang panjang. Bahkan, dokter hanya berpasrah kepada Allah. Lantas.. Apakah saya harus mendahului kehendak-Nya?" tanya Alan dengan tertawa hambar. Tak ada yang bisa dibohongi. Wajah Alan menyiratkan rasa kecewa yang mendalam dan bahkan, netra nanar Alan sudah menjelaskan semuanya. "Sayang..," panggil Alan dengan mengenggam jemari mungil istrinya dan menciumi seluruh wa
Alan bergeming kala melihat dokter dihadapannya pergi. Bahkan, langkahnya saja terasa berat. Ikhlas atau tidak, ini semua menyangkut kejiwaan Lydia yang pastinya akan terganggu. "Mas, kenapa aku ga bisa ngerasain gerakan bayi kita..?" tanya Lydia membuat Alan mematung."Sayang.. Ikhlas ya..?" Alan belum menyelesaikan ucapannya namun, Lydia sudah menangkap arti dari ucapan Alan. Apalagi Alan menyampaikan itu sembari memasang wajah muram. "Mas..? Enggak! Gak mungkin anak kita ─" Grep!! Alan menarik Lydia dalam dekapan dan membiarkan Lydia memukul dada bidangnya, membiarkan Lydia menangis sejadi-jadinya hingga suaranya terdengar dari luar. "Lydia.. Sayang... Kita harus terima! Ga semua bisa kita sesali, kita harus terima dengan semua yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan..""Ini bukan untuk yang pertama kalinya, mas! Bukan yang pertama kalinya.. Aku selalu jaga anak ini agar bisa tumbuh tapi kenapa?! Kenapa kanker sialan ini harus merengut kebahagiaan yang selama ini membuatku bertahan