Kata orang senja, adalah waktu yang tepat untuk meminta kepada sang pemberi kehidupan. Namun, banyak kejadian menyakitkan yang Arum simpan rapat-rapat di bilik memori dan tak pernah ingin Arum buka lagi. Namun, pada saat tertentu, kenangan menyakitkan itu muncul begitu saja dan membuat Arum tak berdaya untuk menepisnya.
Pada saat ini, wanita itu menyadari kalau tak bisa berpura-pura bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Semua kenangan itu tak bisa dihapus dari ingatannya, seorang istri yang tak diinginkan. Arum merindukan ayah juga Ibunya yang sudah lama pergi. Selama menjadi istri Damar memang tak sekalipun ia kasar padanya. Tapi tidak dengan keluarganya justru bertindak sebaliknya selalu menyakiti."Damar, kenapa kau menikahi perempuan yang tidak tahu asal usulnya." Suara sang Ibu meninggi membuat Arum begitu sesak."Bu, sudahlah!" Damar mencoba untuk meredam emosi Ibunya."Enak ya, sudah ga jelas. Untung Damar sudi menikahimu."Seketika genangan air mata Arum mengalir deras."Bu!" Bentak Damar, membuat sang Ibu semakin murka."Kenapa, orang Ibu benar kok."Wanita itu hanya diam, apa ada yang tidak diketahuinya selama ini tentang ayah dan Ibunya, namun kata Elang jika Ibu mereka meninggal karena kecelakaan."Aku minta maaf. Bu."Lagi, keraguan menyelimuti hati Arum. disertai rasa nyeri yang terasa begitu menyiksa. Karena Arum sendiri tak pernah tahu, bagaimana bisa melalui hari-harinya tanpa sang Ibu di sisinya. Namun, ia sudah terlalu lelah hanya berperan sebagai bayangan yang seakan tak memiliki arti.Arum menatap kosong ke depan, genangan air mata membasahi wajahnya. Bibi Fatma datang dan memeluknya dari belakang, ia tahu jika Arum begitu terluka. Ia membutuhkan pelukan darinya."Sayang, sudahlah jangan bersedih lagi ya, ada Bibi disini.""Arum tidak kuat Bi, pengen ketemu Ibu," ucapnya sambil menangis."Tenang ya, sudah ada Bibi yang ada buat kamu."Sesak dirasakan Bibi Fatma melihat Arum yang begitu rapuh. Andai saja ia bisa jujur kepada Arum, mungkin bebannya akan sedikit berkurang."Sabar, semua pasti akan berlalu, Rum, percayalah. Allah akan membantu hamba-Nya yang sabar.""Rum tidak kuat, Bi.""Kuat pasti kamu bisa, Bibi akan membantumu ya."Rasa yang entah ... namun berharap jika sang pemberi kehidupan memberikan kesempatan untuknya membenahi kesalahannya dimasa lampau. Dan berkata jujur kepada Arumi. Sang Bibi memeluk tubuh ramping Arum sembari mengelus rambutnya. Berharap jika kehidupan Arum akan membaik setelah ini.*Jam menunjukkan pukul tujuh pagi wanita itu telah siap berangkat kerja. Karena ada panggilan kerja, sudah saatnya ia belajar mandiri karena tak enak jika menumpang hidup bersama sang Bibi. Sejenak wanita itu berdiri di depan cermin yang ada di ruangan itu. Kemudian memakai bedak tipis juga lipgloss, berharap kehidupannya akan baik-baik saja kedepannya.Arum menghela nafas pelan. Sekali lagi tersenyum dan melangkah keluar kamar. Udara pagi masih begitu cerah, sinar matahari yang mulai masuk melalui ventilasi jendela membuat Arum tersenyum dan berusaha untuk tegar dan kuat menjalani kehidupannya.Arum keluar dan menemui Bibi Fatma yang masih sibuk menyiram bunga. Ya beliau mempunyai bisnis bunga online lumayan buat kehidupannya sehari-hari."Rapi sekali, Rum? Mau kemana?" tanya Bibi yang baru selesai dengan bunga-bunganya."Kerja, Bi. Alhamdulillah Rum dapat panggilan," jawabnya."Kerja? Kau yakin akan baik-baik saja, Nak?"Arum mengangguk. Lagian saatnya Arum meninggalkan kesedihannya, tak pantas juga laki-laki itu ditangisi."Bismillah, Rum yakin Bi, tenanglah," ucap Arum tersenyum kearah Bibinya."Baiklah, tapi satu pesan Bibi, kamu tidak boleh keluar rumah ini, karena ini juga rumah kamu Nak."Mata Arum menyipit? Rumahnya? Bibi mungkin bercanda. Toh beliau juga tidak punya siapapun."Ah, apa Rum enggak merepotkan, Bi?"Wanita paruh baya yang cantik itu tersenyum. "Tidak, pintu rumah ini terbuka untukmu, Rum.""Baiklah, aku berangkat dulu ya, Bi." Arum mencium punggung tangan Bibinya."Sekarang?""Iya. Nanti mau naik angkot lama nunggunya Bi."Bibi Fatma tersenyum. " Pakailah mobil Bibi, Rum.""Tidak usah lah, Bi.""Kalau tidak tuh motor, kelamaan nanti kalau naik angkot.""Enggak papa Bi? Arum bawa," tanya Arum senang."Boleh Bi.""Ya, boleh lah, ya sudah. Hati-hati."Arum membawa motor dan berlalu meninggalkan rumah sang Bibi. Angin pagi ini, membuainya. Menebarkan damai di penjuru hati. Perlakuan Bibi sama seperti seorang Ibu kepada anaknya. Arum tersenyum entahlah ... yang jelas pelukan hangat Bibinya begitu membuat Arum tenang.*Arum terus saja melajukan sepeda motor. Dan berbelok serta memarkirkan sepeda motor dan menemui Lestari sahabatnya. Lestari sudah tersenyum sembari melambaikan tangan."Astaga Rum, apa kabar? Kamu ini ya, makin cantik saja?" tanya Lestari antusias sambil memeluk erat tubuh sahabatnya."Tanyanya satu-satu Tari."Lestari mengulum senyum. "Habisnya rindu Rum. Bagimana siap bekerja.""Siap sih siap, tapi kalau enggak diterima bagaimana? Duh aku sudah keringat dingin begini Tari.... ""Mudah-mudahan diterima, ingat kan lowongannya pas di kamu kok.""Yakin?""Yakin. Sudah Ayo."Arum menatap takjub bangunan yang menjulang tinggi, juga tempat yang begitu indah. Tertata rapi penuh bunga juga terlihat sejuk, mereka berjalan di atas paving yang tertata sempurna dengan banyak pohon palm di setiap ujung sekilas tampak sempurna setidaknya dimata Arum."Maaf, Mbak. Ini lamaran teman saya dan titip ya." Lestari bicara dengan hati-hati."Oh, iya. Sebentar, ya, silahkan tunggu di situ mbak." Wanita itu menunjuk ke kursi.Wanita itu duduk, keringat dingin keluar dari tubuhnya. Menunggu panggilan sambil mengamati sekeliling dengan dada berdebar-debar."Maaf, Rum. Aku harus bekerja dulu ya, ingat Bismillah semoga diterima ya.""Iya, terima kasih sebelumnya Tari.""Semangat." Lestari adalah sahabat yang sangat ramah.Arum tersenyum. "Ok."Menunggu hingga dada Arum tak berhenti berdetak, menanti panggilan rasanya begitu was-was. Semoga saja nasib baik berpihak kepadanya dan wanita itu mendapatkan pekerjaan agar lukanya sedikit terobati karena sibuk."Arumi syahilla ... silahkan masuk ke ruangan."Mbak itu tersenyum. Lalu mengajak Arum memasuki sebuah ruangan dan mulai untuk di wawancara."Namanya, Mbak, Arumi Syahila ya?" tanyanya sambil membuka sebuah lampuran lamaran Arumi."Benar. saya Arumi Syahila.""Data anda lengkap dan sepertinya, perusahaan kami sedang membutuhkan bidang yang Anda tekuni selama ini, baiklah selamat bergabung. Semoga bisa bekerja sama. Anda kami terima." Pria itu berkata membuat Arum tak percaya.Deg"Apa diterima, Pak?"Lelaki itu mengangguk. "Iya."Arum tersenyum lega, ini pertama kalinya ia bekerja. "Iya pak Alhamdulillah.""Bekerja dengan baik ya."Arum mengangguk. "Baik, Pak, permisi."*Arum pikir setiap luka pasti meninggalkan darah ... nyatanya, tidak. Luka yang Damar tinggalkan hanya berupa perasaan kalah dan putus asa, lalu menjelma menjadi kebencian yang begitu mendalam.Kali ini wanita itu tengah duduk di kursi kerjanya dengan setangkup harapan, berharap akan ada secercah harapan untuknya. Ia mulai memainkan jemarinya dilayar keyboard yang sudah lama tidak ia sentuh."Rum, selamat ya kamu diterima? filenya sudah jadi belum?" tanya Lestari.Arum mendongak mencari arah suara. "Iya sebentar lagi ... makasih berkat kamu juga kan.""Bagaimana pernikahanmu?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Lestari.Hening."Talak tiga."Lestari melotot kaget. "Apa ... gila. Sudah hentikan isak tangismu itu, terdengar bos bisa dipecat nanti. Lagian dunia juga belum kiamat kan jika kamu tidak bersamanya.""Iya maaf.""Kau terlalu baik untuk disakiti Rum, bagaimana Damar dulu berjuang mendapatkanmu melawan mas Elang, dengan mudahnya ia berbuat seperti itu."Arum tersenyum. "Iya, Tari."*Mobil Damar melaju membelah jalan raya menuju ke perusahaan untuk mengadakan presentasi. Ia sudah tiba di parkiran perusahaan. Damar langsung mengarahkan ruangan yang sudah siapkan. Meeting selesai Damar dan tim memenagkan tander yang besar, Damar tersenyum bahagia. Namun tidak dengan hatinya."Kamu memang hebat Damar, aku bangga padamu." Kata pemimpin perusahaan."Terima kasih, Pak," ucap Damar pelan."Kita rayakan, kau yang terhebat dan cerdas?""Baik, Pak. "Mereka menasuki area kafe, dan ketiga orang satu tim masuk bersamaan memesan nasi juga lauk ikan bakar gurami. Namun saat mamasuk sudut mata Damar menangkap bayangan seseorang wanita."Arum...?" Damar menggosok matanya dan kembali melihat ke arah tadi, namun sosok itu sudah hilang.Mungkin karena rindunya ia dengan Arum.Acara selesai hingga malam, mereka kembali pulang. Akhirnya Damar tiba di rumah. Sudah sepi, pastilah soalnya sudah tengah malam. Damar masuk melihat rumahnya begitu berantakan, sepertinya baru ada pesta, minuman juga piring berserakan diatas meja.Lihatlah kelakuan keluarganya, waktu ada Arum rumah ini tidak ada satupun debu yang menempel."Arum di mana kamu? Lihatlah aku begitu rapuh tanpamu." Damar mengacak rambutnya kesal.Damar bergeming lirih "Aku membutuhkanmu, Rum."Damar sadar ia lalu duduk. Di pojok kamarnya, rasa bersalah hinggap lagi dalam pikirannya. Terus saja ia meyakinkan diri bahwa Arum pasti kembali, meski di dalam dada sungguh terasa hampa dengan keheningan yang kapan saja bisa membunuh Damar secara perlahan-lahan.Wanita itu sibuk mengecek dan menata rapi kerjaannya, tak berselang lama tugas menumpuk lagi. Hari mulai panas pertanda hari mulai siang, saatnya istirahat Arumi bergegas ke musholla untuk menjalankan ibadah shalat dzuhur. Selesai bergabung dengan Lestari yang sedang asyik menyantap makan siang. "Tari.... " Arum memanggil sahabatnya. Lestari melambaikan tangan. "Ayo sini pesan makanan ya?" tanyanya. "Enggak, lah aku makan roti saja," jawab Arum malas."Nanti kamu sakit Rum, lihatlah kau ini wajahmu begitu pucat."Arum mengangguk pelan. "Baiklah.""Bu, satu lagi ya soto dagingnya." Pesan Lestari pada pemilik kantin. "Baik, Mbak Tari."Mereka menikmati makan siang bersama, tak butuh waktu lama Arum sudah mengenal banyak teman disini. Sikap supel dan ramah Arum membuat teman-teman yang baru dikenalnya begitu baik. Arum merasa jika dunianya akan membaik lambat laun. Terkadang Arum sangatlah takut, akan masa depannya seperti apa. Wajar jika ia merasa hatinya semakin hampa, entah seola
Damar terpuruk di dalam hampa, ia masih merasakan mata Arum yang penuh dengan pelangi, namun mobilnya berhenti di depan rumah Hani. Hani begitu bahagia dan membuka pintu, setelah berhari-hari Damar tidak pernah mengunjunginya lagi. Rasa rindu yang membuncah membuat Hani kegirangan. Namun tidak dengan Damar pikirannya kosong hatinya begitu berat. "Hay ... sibuk, Mas sampai angkat telepon ku saja enggak mau." Hani mendengus kesal sambil bergelagut manja di lengan Damar. Terdengar Danar menarik nafas beratnya. "Maaf.... ""Ayo masuk, Mas," pinta Hani menarik tangan Damar. Damar mengikuti Hani, meskipun hatinya tak ingin. Entah kenapa mobilnya berhenti tadi depan halaman rumah Hani. Apa wanita ini akan seperti Arum yang begitu baik juga penurut? Entahlah ... yang Damar tahu jika Arum belum tergantikan hingga detik ini. "Minumlah kopinya masih hangat,"Damar tersenyum kecut. "Iya.""Lama lo Mas enggak kesini, Hani sampai rindu," goda Hani pada lelaki itu. "Iya, sibuk di kantor banyak
Levin yang baru kembali dari lantai bawah sangat marah ketika ia menemukan Arum menangis bersama seorang pria. Levin begitu kesal memasang rahang mengeras melihat tingkah Pria itu, yang begitu ambisi menemui Arum. "Siapa pria itu!" Lirih Levin menarik tangan Arum berada di belakang tubuhnya. "Apa yang kau lakukan? Ayo pergi." Teriak Levin."Siapa kau?" Damar menoleh kesal ke arah Arum. "Ayolah, jangan ganggu kami.""Apa kau tidak waras, lihat Arum menangis karenamu.""Dia mantan suamiku, Pak" tangis Arum pecah. Tentu saja perkataan Arum sontak membuat Levin kebingungan pada awalnya, akan tetapi setelah tahu ia berusaha membela Arum. "Rum, aku mohon." Damar berusaha agar Arum memberinya kesempatan bicara. "Lelaki gila, meninggalkan masih saja mengikutimu Rum. Apa dia tak punya etika juga enggak pernah belajar.""Saya tahu, dan silahkan nikahi Arum setelah itu akan aku rebut kembali Arum dari tanganmu.""Hah, kau pikir aku seorang muhalil hah, haha... Jika aku menikahi Arum tidak a
"Bi...!"Arum menghela napas barat, lalu menatap wajah Bibinya, terlihat jelas wajah Arum yang begitu pucat. "Kenapa Nak, ceritakan biar kau lega."Sesaat Arum merasa seperti ada yang hilang. Entahlah begitu berat jika ia harus berpisah dengan Damar, tak bisa dipungkiri mereka sudah lama hidup bersama. Tak mudah bagi Arum melupakannya begitu saja. "Ayo, ceritakan pada Bibi," ucap Bibi Fatma menenangkan Arum yang begitu sedih. Wanita cantik itu mengangguk. "Entahlah, Bi, Rum begitu sakit. Arum rindu, Mas Elang."Wanita paruh baya itu mengusap rambut Arum dengan pelan. "Kau merindukannya?""Iya Bi, biasanya jika Rum sedih, mas Elang selalu ada," jelas Arum yang begitu merindukan kakaknya. "Sabarlah, pasti nanti bisa ketemu lagi.""Apa, mas Elang enggak sayang sama Arum Bi?" tanya Arum dengan pelupuk mata yang sudah digenangi air mata. "Jangan bilang begitu, dia begitu sayang kan sama kamu hingga dia pergi menjauh." Perkataan sang Bibi membuat Arum curiga. "Maksudnya apa Bi, karena
Levin mengangkat tubuh Arum yang masih tak sadarkan diri. Rasa panik menghantuinya, entah, sepertinya ia sudah mengenal Arum begitu lama wanita ini. Jika terjadi sesuatu padanya apa yang harus dilakukan. "Maaf permisi keluarga dari pasien yang mana?" tanya salah satu perawat. "Sebentar lagi sus," jawab Lestari cemas karena ia sudah menghubungi Bibinya Arum yang masih dalam perjalanan. "Aduh ... pasien harus segera ditangani pendarahannya cukup banyak.""Apa yang dibutuhkan, Sus, saya kakak dari pasien." Bohong Levin pada sang suster. "Baiklah, ikut saya, Bapak harus tanda tangan, segera akan dilakukan kuret karena janinnya tak bisa terselematkan." Jelas sang suster pada Levin. "Apa... jadi dia hamil, sus?" tanya penasaran Lestari. "Iya, Mbak. Mari ikut saya,Pak."Jantung Levin naik turun, ia gemeteran wanita itu begitu menderita. Bagaimana bisa lelaki itu menyakiti wanita sebaik Arum. Ia segera menandatanganinya karena ia tidak ingin melihat Arum kehilangan nyawa dan tak bisa se
Damar berlari saat mengetahui jika Arum pun dirawat di tempat yang sama. Saat ia menjenguk Ibunya, ia melihat Bibi Fatma membelikan bubur untuk Arum. Dan saat Damar mengikuti ternyata benar Arum yang sakit. Rasa penasaran Damar kian tersulut, sakit apa sebenarnya Arum? "Pak Levin, ada apa dengan Arum?" tanya Damar sambil berusaha mengatur nafasnya yang habis berlari. Levin memanas, rahangnya mengeras, selama ini dia memang mengenal banyak gadis namun saat melihat air mata Arum hatinya begitu terluka, seolah diri nya ikut merasakan sakit yang Arum rasakan. "Pak, Aku mohon, beritahu ada apa dengan Arum?" tanyanya lagi sambil memohon. Levin tak bisa mengendalikan emosinya. Tangannya mengepal sejurus kemudian melayang menghantam ke wajah Damar dengan sangat keras. "Bughh...."Darah segar mengalir dari sudut bibir Damar. "Aghh, ada apa ini pak Levin.""Coba kau tidak melukainya, Mungkin kandungannya akan baik-baik saja. Lihatlah karena dia stres janinnya tidak bisa berkembang. Suami
"Dia yang memberikan aku talak tiga. Hani, demi kekasihnya yang beberapa tahun akhir-akhir ini muncul di hidupnya." Tukas Arum menceritakan semua pada sahabatnya itu.Terlihat Hani begitu syok. Ia tak tahu jika Damar kekasihnya adalah suami sahabatnya terbaiknya Arum. "Oh. Su ... suami kamu, Rum?" tanya Hani tak percaya. Arum masih mengusap sudut matanya yang basah, dan mengangguk. "Iya.""Demi Tuhan, aku minta maaf, Rum." Lagi-lagi Damar memohon"Maksud Mas Damar?" tanya Arum tidak mengerti. Arum telah sadar, apakah wanita itu Hani? Ya, dia ingat betul vidio yang diberikan oleh Lestari. Wajahnya seperti tidak asing saat itu. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibir wanita itu seakan kelu. "Katakan sesuatu, Mas Damar? dan kamu Hani plis? Apa kalian ada hubungan?" tanya Arum lagi kepada keduanya. Damar masih diam layaknya patung. Hanya bibirnya yang kemudian bergetar, menahan sesak yang merelungi hatinya. "Rum, maaf....""Aku lelah, benar-benar tak percaya, Mas, jadi Hani saha
Sementara hari berganti hari, dan bulan berganti bulan. Arum sedang diapotik membeli obat pesanan Bibi Fatma, ia mengantre setelah namanya dipanggil ia kedepan dan menebus obatnya. Selesai ia berjalan menunggu taksi lewat, kebetulan hari ini ia tidak membawa kendaraan. Arum berjalan mendekati jalan utama dan duduk sambil menunggu, sesaat ia melihat ada gadis kecil mau berlari kearah jalan raya. Sementara ada mobil yang berjalan cepat kearahnya. Arum kaget dan langsung berlari menarik tangan gadis kecil itu, hingga ia tersungkur jatuh di tepi jalanan. "Aghh.... " Teriak Arum kesakitan tangannya berdarah. "Maaf, Tante tidak apa-apa?" tanya gadis kecil itu. "Iya, Tante baik-baik saja Nak.""Aduh maaf ya mbak, terima kasih banyak ya, sudah menolong non Naura. Jika tidak ada mbak. Mugkin Bibi bisa dipecat.""Sama-sama Bi. Lain kali jagainnya hati-hati ya.""Baik Mbak."Selang beberapa menit Levin datang menghampiri, dan meraih tangannya berusaha membangunkan Arum. "Ada-ada saja kamu in