Share

Pekerjaan Baru

Wanita itu sibuk mengecek dan menata rapi kerjaannya, tak berselang lama tugas menumpuk lagi. Hari mulai panas pertanda hari mulai siang, saatnya istirahat Arumi bergegas ke musholla untuk menjalankan ibadah shalat dzuhur. Selesai bergabung dengan Lestari yang sedang asyik menyantap makan siang.

"Tari.... " Arum memanggil sahabatnya.

Lestari melambaikan tangan. "Ayo sini pesan makanan ya?" tanyanya.

"Enggak, lah aku makan roti saja," jawab Arum malas.

"Nanti kamu sakit Rum, lihatlah kau ini wajahmu begitu pucat."

Arum mengangguk pelan. "Baiklah."

"Bu, satu lagi ya soto dagingnya." Pesan Lestari pada pemilik kantin.

"Baik, Mbak Tari."

Mereka menikmati makan siang bersama, tak butuh waktu lama Arum sudah mengenal banyak teman disini. Sikap supel dan ramah Arum membuat teman-teman yang baru dikenalnya begitu baik. Arum merasa jika dunianya akan membaik lambat laun.

Terkadang Arum sangatlah takut, akan masa depannya seperti apa. Wajar jika ia merasa hatinya semakin hampa, entah seolah ada rasa yang tertinggal jauh, ada di dalam hatinya. Belum lagi kakaknya Elang yang menghilang. Ia tahu pasti bahwa kedepannya semua sudah menjadi rahasia Sang Illahi

Arum harus yakin tak ada satu pun manusia di muka bumi ini, yang diberi kelebihan tanpa dikaruniai kekurangan. Begitu pula sebaliknya, tidak ada seorang pun yang hanya dikasih kekurangan tanpa disertai kelebihan. Bahkan wanita itu pernah merasa frustasi, namun Arum sadar akan diri ini hanyalah seorang wanita yang lemah dan rapuh. Ada kalanya ada di titik terlemah.

Pikiran wanita itu terus melayang sembari menikmati soto di depannya. Yang wanita itu tahu tidak ada manusia yang sempurna. Hanya saja wanita itu sedang berusaha melakukan yang terbaik sebagai seorang hambaNya. Harusnya beginilah cinta, saling menjaga dan melindungi tanpa harus melukai.

****

"Kamu pulang naik apa, Tari?" tanya Arum sambil berjalan beriringan menuju parkir.

"Aku bawa mobil. Rum," jawab Lestari.

"O, baiklah. Aku duluan ya!" pamit Arum.

Lestari tersenyum sambil melambaikan tangan. "Iya, hati-hati Rum."

"Siap."

Mereka berpisah Arum melajukan motor metiknya, senja sebentar lagi tiba. Namun, Arum mengemudikan sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Sambil menghafal jalanan yang sudah lama, namun seprti baru. Banyak gedung baru membuatnya sedikit lupa.

Embusan angin menemainya dikala senja tiba. Menit berikutnya motornya sudah terparkir dibangunan bercat abu-abu dengan nuansa minimalis namun begitu indah dipandang mata. Arum turun dan mengambil kunci motor lalu masuk ke dalam rumah Bibinya.

Wanita paruh baya itu sedang memasak saat Arum tiba. "Assalamu'alaikum, Bi."

"W*'alaikumsalam. Rum," seru Bibi seraya mengecilkan kompor lalu mendekati Arum yang duduk disofa dekat dapur.

"Bagaimana diterima kerja?" tanya Bibi terlihat beliau tersenyum merekah.

Arum mengangguk kecil. "Diterima, Bi," jawab senang Arum.

"Alhamdulillah ya Allah, selamat ya, Nak."

Arum mengangguk pelan. "Iya. Bibi sedang apa?"

"Bibi, sedang masak kesukaan kamu, sambal goreng ati kentang."

"Wah enak, Bi."

"Bersihkan badanmu, selesai shalat magrib kita makan bersama ya," suruh Bibi Fatma.

Arum mengangguk. "Iya, Bik."

Wanita itu berjalan mendekati bunga yang berada di teras depan rumah Bibi Fatma, menatap bunga Lili yang begitu indah, putih bersih dan cantik ... butiran tetes air hujan melekat di kelopak mata membiarkan mentari bebas untuk berkaca. Bunga itu lambang keindahan alam semesta, begitu menakjubkan ibarat cinta yang tanpa ternoda.

Walaupun terkadang kesedihan itu diutarakan dengan tangisan, tapi wanita itu harus kuat dan bangkit dengan segera. Ia yakin mampu menghadapi ujian hidup, tidak suka sembarang mengeluh, dan pantang menyerah. Adanya semangat membuat Arum tetap bisa bertahan hingga saat ini.

Iklas dan bersyukur dan lebih percaya diri lagi. Dengan begitu ia bisa melangkah maju dan menghadapi setiap masalah yang datang silih berganti.

"Arum ... ini untukmu...." Bibi Fatma memberikan bingkisan kotak kecil untuk Arum.

"Apa ini, Bi?" tanyanya begitu penasaran.

"Bukalah...!"

Wanita itu menaikkan satu alisnya, tak tahu apa yang diberikan oleh Bibi yang selalu baik kepadanya. "Baiklah."

Arum dengan cepat membuka bingkisan lalu membukanya, seketika mata Arum melotot wajahnya berubah jadi merah tomat, Arum tak bisa berkata apa-apa. Lalu memeluk Bibinya dengan pelukan hangat.

"Bi, ini berlebihan sudahlah, aku sudah banyak merepotkan Bibi kan? Kenapa masih dibelikan ponsel semahal ini."

"Kau perlu itu Arum, ingatlah! Kau akan sibuk bekerja dan jika ada apa-apa teleponlah, Bibi ya."

"Ini berlebihan, Bi. Arum bersyukur sudah dikasih tempat tinggal. Eh malah diberi hadiah pula."

Bibi Fatma mengangguk. "Enggak, siapa lagi yang menjaga Bibi kalau tidak kamu, Rum."

Wanita cantik itu mengulum senyum menatap Bibinya lalu menatap pansel baru pemberian sang Bibi. Sudah lama juga ia tak memegang ponsel. Sejak saat itu ia malas sekali, bahkan meninggalkan ponselnya di lemari Damar waktu oergi dari rumah itu.

*

Pagi hari, fajar mulai muncul dari ufuk timur. Arum membantu Bibi memasak untuk sarapan, selesai ia bergegas membersihkan diri untuk berangkat kerja. Karena pekerjaannya baru maka ia harus berangkat awal, apapun itu ia enggak mau membuat atasannya marah. Kata Lestari jika atasan Arum super galak.

Selesai sarapan, Arum berdiri dan mencuci piring di wastafel. Lalu beranjak mengambil flatshoes hitam juga tas kesukaannya. Lalu berjalan mendekati Bibinya yang sedang duduk di kursi tamu.

"Bi, Arum betnagkat ya?" pamit Arum pada Bibinya.

Wanita paruh baya itu mengangguk. "Iya Nak hati-hati ya. Ini bekal buat kamu."

"Tuh kan, Rum ngrepotin Bibi lagi," ucap Arum enggak enak.

"Percayalah, tidak ada yang direpotin, Rum."

Arum tersenyum. "Terima kasih Bi. Arum berangkat ya."

Arum mencium punggung tangan Bibinya.

Wanita paruh baya itu mengantarkan sampai di depan teras rumah. Arum meninggalkan rumah bibinya sementara Bibi masih mematung melihatnya hingga tubuh Arum tidak terlihat lagi.

Embusan angin di pagi hari membuat Arum merasakan kedamaian. Hatinya kini sedikit demi sedikit sudah berkurang kesedihannya, wanita itu sadar jika bersedih terus tidak akan menolongnya untuk bangkit dari keterpurukan. Motor berbelok ke kantor dan menuju ruang parkir.

Sesaat Arum berhenti, saat mendengar percakapan orang diujung jalan dekat lift.

"Ayolah kita balikan, Lev?"

"Hah ... kau tak percaya jika aku sudah punya penggantimu," jawab Lelaki itu pada wanita di depannya.

"Sudahlah, Lev. Jangan berbohong, kebanyakan berkhayal kamu."

"Ya sudah, tidak percaya. Asal jangan ganggu aku lagi."

"Tidak, aku akan tetap berusaha mendapatkanmu lagi," ancam wanita itu.

Pria itu tidak menjawab, matanya tertuju pada Arum diujung koridor. Melihatnya membuat Levin mempunyai rencana. Inilah pembuktian bahwa dirinya akan meminta tolong pada wanita itu.

Pria itu mengalihkan pandangan ke arah Arum, dan berjalan mendekatinya.

"Hey, sayang. Apa kabar?" Pria itu menghampiri Arum, mengulurkan satu tangannya dan mengajaknya ke arah wanita tadi.

Arum menatapnya tidak mengerti. "Maaf, apa ini?" tanya Arum bingung.

"Plis aku mohon. Bantu aku kali ini saja?" pintanya pada Arum.

Sesaat Arum terdiam, tangan pria ini begitu dingin, apa maksudnya? tapi Levin langsung mengajak Arum mendekati wanita cantik, modis, menarik, dan sempurna, menurut kaum Adam dengan pakaian yang serba mini juga memiliki tubuh sintal.

Arum tersenyum, kembali berusaha melepaskan genggaman tangan pria asing itu. Namun tangan Levin tak cukup kuat membuat ya tak berkutik saat Levin mencengkerwm tangannya. Dapat Arum rasakan tatapan Pria itu menatap lekat manik mata Arum.

"Vira ... kenalin ini calon istriku?" Pria itu mengenalkan Arum dengan basa-basi.

"You are sure ... please dia bukan tipe kamu Levin." Vira tertawa seolah menghina.

"Kamu jangan meremehkan calon istriku. Lihatlah bola matanya sangat indah dan satu lagi pakaiannya begitu sopan bukan?"

"Astaga, Levin! Itu balasan yang kamu berikan padaku?" Lagi-lagi Vira menegur.

"Aku tak memintamu, mengejarku 'kan." Levin seolah mengabaikan Vira.

Arum tahu jika pria ini menyembunyikan air mata, yang bisa Arum lihat di balik senyumnya. Siapa lelaki ini? Dan siapa wanita itu? Arum hanya menjadi bahan percobaan mereka. Arum pun mendengus kesal, semoga ia berharap masa lalunya tertutup rapat, jangan sampai menambah luka hatinya.

"Sayang, ayo kita pergi," Levin merangkul pundak Arum membuat Arum terkejut tak percaya.

Arum mengangguk, dan berbohong sekali lagi. "Iya, baiklah."

"Levin, kamu keterlakuan."

Levin diam, dan mengajak Arum pergi.

"Akting yang luar biasa ini benar-benar konyol."

"Iya ... maaf!"

Setelah mereka berdua masuk lift, dengan keras Arum menginjak kaki pria itu dengan kuat. Membuat Levin menjerit kesakitan.

"Aghhh...."

Arum tertawa kecil, sambil menutup mulutnya. "Rasain."

"Apaan sih, sakit tahu."

"Kenapa kamu tidak jujur? Kebohongan itu akan menyiksa diri kamu sendiri."

"Aku tidak bisa, wanita itu seperti ular." Elaknya.

"Tapi kalau kamu membohonginya, itu jauh akan lebih menyakitkan untuknya."

Perkataan wanita ini membuat Levin trenyuh, entahlah....

"Sudahlah, terima kasih sudah menolongku tadi." Levin pergi mendahului berjalan keluar lift dan meninggalkan Arum berjalan sendiri.

*

Damar membuka kelopak matanya yang terasa masih berat, entah jam berapa matanya baru bisa terpejam. Ia lalu bergegas ke dapur. Namun air telah habis, dan meja dapur masih begitu berantakan. Sisa piring juga minuman masih sama seperti semalam, ibu juga kakaknya terlihat sibuk yoga.

"Astaga perempuan macam apa mereka." Damar bergeming dan membanting lemari es nya.

Ingatannya kembali pada masa dimana ia selalu di istimewakan oleh istrinya Arum.

"Mas, kopinya sudah siap."

"Mas, sarapannya sudah siap, juga obat untuk lambung kamu."

"Mas, air hangatnya sudah siap, mandilah."

Bayangan itu membuat lutut Damar begitu lemas, seolah tubuhnya tak bertenaga.

"Damar.... " Panggil Herlin pada adiknya.

Damar terdiam.

"Beli makanan gitu kek, kami lapar?"

"Apa mbak, enggak punya kaki," jawab Damar malas.

"Damar kok gitu sih, cari pembantu sih Damar. Capek bersih-bersih tau."

Tanpa bicara Damar pergi meninggalkan kakaknya, bagaimana bisa ia hidup bersama wanita seperti mereka. Jadi selama ini Arum menderita kah? Astaga kemana saja selama ini Damar tak mengetahui apapun. Lihatlah Damar kau telah kalah dalam hal apapun?

Selesai mandi Damar melangkah keluar dan membating pintu, serta membawa mobil, pria itu menginjak gas pikirannya kalut. Karma kah ini jika hidupnya sekarang dikendalikan oleh keluarganya. Rasa sesal di dalam hatinya masih hinggap dan tak kunjung pergi.

Damar memarkirkan mobilnya di pinggir jalan yang sepi dan keluar mobil. Tubuhnya lunglai ke aspal yang berselimut kan debu. Hujan air mata membasahi pipinya, ia tak sanggup menahan beban yang menghimpit hidupnya.

"Aghhh ... tidak Arum, maafkan aku ... kumohon kembalilah." Teriak Damar.

Tangisnya pecah saat hidupnya saat ini kehilangan separuh dari raganya, separuh hatinya tertinggal di hati Arum. Di temani lalu lalang mobil yang berjalan. Hari mulai terik, namun Damar tak dapat melupakan bayang-bayang wajah perempuan yang dinikahinya beberapa tahun yang lalu, ia menghembuskan rokok ditangan. Merasai sakit yang begitu mendalam.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Riski ansha Ansha
lanjut sangat terhibur
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status