"Mas bagaimana ini, istrimu itu benar-benar keterlaluan. Bisa-bisanya dia mengusir kita, hanya karena sertifikat atas nama dia," ungkap Alexa dengan raut wajah panik, sementara itu Rayyan berusaha untuk tetap tenang. Karena ia sudah mempunyai tujuan, di mana sebuah rumah yang cukup mewah berhasil Rayyan beli tanpa sepengetahuan Saras.
"Kamu tidak perlu khawatir, kemasi saja barang-barang kita. Ayo, Ma biar kita bisa cepat pergi dari rumah ini," ujar Rayyan dengan sangat santai, tapi justru hal tersebut membuat istri dan ibunya merasa heran."Terus kita mau tinggal di mana, rumah mama kan sempit. Tidak seluas rumah ini," ujar Erika yang merasa bingung."Mama tidak perlu khawatir, ayo." Rayyan mengajak ibu serta istrinya untuk segera mengemasi barang-barang mereka. Sementara itu, Saras saat ini tengah sibuk menemani bu Ani untuk berkeliling melihat rumah tersebut."Bagaimana, Ibu tertarik untuk mengontrak rumah ini?" tanya Saras. Ia yakin jika orang yang bersamanya pasti akan sangat tertarik untuk mengontrak rumah itu. Walaupun tidak terlalu luas, tetapi tempat sangat strategis."Iya, Bu. Saya suka dengan tata ruangnya, letaknya juga sangat strategis. Suami serta anak saya pasti akan sangat menyukainya," ungkap bu Ani. Mendengar itu Saras tersenyum, usaha untuk mengusir para benalu telah berhasil."Oya, orang yang tadi siapa?" tanya bu Ani."Oh, mereka yang dulunya mengontrak rumah ini. Sekarang kontrak mereka sudah habis," jawab Saras. Setelah itu ia kembali melihat bagian teras samping yang terdapat taman di sana.Sementara itu, Rayyan kini sudah selesai berkemas, Alexa terlihat sangat jengkel karena harus meninggalkan rumah yang sudah hampir setahun mereka tempati bersama. Namun, karena ketahuan oleh istri pertama kini ia harus menyingkir."Udah dong jangan cemberut seperti itu, lebih baik sekarang kita pergi saja dari rumah ini, ayok." Rayyan menarik dua koper menuju teras depan di mana mobilnya terparkir. Namun saat hendak membuka bagasi, tiba-tiba Saras datang dan berdiri di sebelahnya.Seketika Rayyan terkejut saat mendapati istrinya itu sudah berdiri di sebelahnya. Entah apa lagi yang Saras inginkan, bukankah rumah sudah ia kuasai. Jujur, Rayyan benar-benar kesal dengan sikap Saras yang seperti itu, padahal sebelumnya, istrinya itu sangat lembut tapi sekarang."Ada apa lagi?" tanya Rayyan, sebisa mungkin ia menahan emosinya."Cuma mau ambil ini." Saras mengambil kunci mobil yang Rayyan taruh disaku kemejanya. Seketika Rayyan terkejut, untuk apa Saras mengambil kunci mobil itu, bukankah dia datang membawa mobil."Saras, maksud kamu apa?! Kenapa kamu .... ""Kamu lupa atas nama siapa mobil ini," potong Saras dengan cepat, seketika Rayyan terdiam setelah ingat jika dari beberapa mobil yang mereka miliki memakai atas nama Saras."Itu artinya aku berhak untuk menahan mobil ini," ujar Saras. Alexa yang mendengar itu seketika naik pitam, kesabarannya benar-benar sudah dimainkan oleh Saras.Dengan cepat Alexa berjalan menghampiri Saras dan hendak melayangkan tamparannya, tetapi dengan cepat Saras mencekal pergelangan tangan Alexa. Bahkan Saras memelintir tangan madunya itu, seketika Alexa menjerit kesakitan."Jangan pernah kamu sentuh pipiku ini dengan tangan kotormu ini." Saras mengibaskan tangan Alexa dengan kasar, terlihat jelas jika wanita dengan rambut sebahu itu tengah menahan amarahnya."Mas kenapa kamu diam saja, kamu takut sama Saras," ujar Alexa yang melihat suaminya diam, tanpa mau menegur istri pertamanya itu."Alexa sudahlah, kita pesen taksi saja." Rayyan mengajak istrinya itu untuk ke depan. Setelah itu ia bergegas untuk memesan taksi, sementara Saras tersenyum penuh arti, melihat para benalu pergi."Ini belum seberapa, Mas. Masih ada kejutan lagi yang sudah aku siapkan, dan aku pastikan kamu akan menyesal karena sudah menduakanku. Selama ini aku diam, bukan karena tidak tahu, dan aku tidak sebodoh yang kalian pikirkan," gumamnya dalam hati. Saras masih berdiri di samping mobil seraya menyaksikan para benalu itu pergi.***Waktu berjalan begitu cepat, setelah berhasil mengurus rumah yang akan dikontrakan itu, kini Saras sudah berada di rumah. Hari ini cukup melelahkan, terlebih ia juga harus ke kantor peninggalan kedua orang tuanya yang kini dikelola olehnya.Sementara perusahaan yang Rayyan pegang adalah hasil dari kerja kerasnya bersama dengan Saras. Di mana Saras yang sudah menemaninya mulai dari nol hingga sukses. Itu sebabnya Saras tidak akan tinggal diam saat suaminya mendua, tak rela jika madunya itu ikut menikmatinya."Huh, sepertinya harus aku cek lagi, siapa tahu ada yang mas Rayyan sembunyikan dariku," ujar Saras. Kini wanita dengan balutan gamis itu beranjak membuka lemari tempat menyimpan beberapa berkas dan juga barang berharga miliknya.Kini Saras tengah mengecek tumpukan map yang tertata rapi di almari, tak lupa ia juga membukanya satu persatu. Tiba-tiba saja mata Saras menangkap sebuah map berwarna abu-abu yang terselip di antara tumpukan buku besar."Ini apa, kok di sini." Tangan kanan Saras terulur untuk mengambil map tersebut. Setelah berhasil Saras langsung membukanya dan membaca isinya."Ini kan sertifikat rumah, kenapa ada di sini," gumamnya Saras, ia cukup terkejut saat menemukan sertifikat rumah yang mungkin dibeli tanpa sepengetahuan dirinya."Atas nama mas Rayyan, itu artinya mas Rayyan membeli rumah tanpa sepengetahuan aku," gumamnya lagi. Saras kembali terkejut saat melihat, sertifikat tersebut memakai nama Rayyan, suaminya."Jangan-jangan sekarang mereka menempati rumah ini, pantas saja mas Rayyan tidak terlalu protes saat aku menyuruhnya untuk pergi dari rumah itu," ujar Saras. Kini ia harus berpikir lagi untuk bisa mengambil alih rumah itu."Kamu memang licik, Mas. Tapi kamu kurang cerdik, kenapa kamu menyimpan sertifikat ini di sini, kenapa tidak kamu simpan di rumah yang kamu tempati bersama istri mudamu itu," gumamnya. Saras yakin, suatu saat nanti Rayyan pasti akan datang untuk mengambil sertifikat tersebut."Aku yakin, mas Rayyan pasti akan datang lagi ke sini untuk mengambil sertifikat ini. Aku harus menyembunyikannya." Saras tersenyum. Setelah itu ia mengumpulkan berkas penting itu dan menyimpannya di tempat yang lain. Akan sangat berbahaya jika sampai diambil oleh Rayyan.Waktu terus bergulir, kini usia kandungan Saras sudah memasuki bulan sembilan, mereka tinggal menunggu hari saja. Kini Bima tengah menikmati perannya sebagai seorang suami dan calon ayah, butuh ekstra kesabaran dalam menghadapi sikap istrinya yang berubah-ubah. Tak jarang, Bima harus mempunyai stok kesabaran yang cukup banyak. Seperti malam ini, saat Bima tengah sibuk dengan pekerjaannya. Saras terus saja mengganggunya, entah itu meminta di pijit kakinya, dan masih banyak lagi. Beruntung, Bima termasuk orang yang penyabar, tetapi orang juga mempunyai batas kesabaran. "Sudah ya, aku selesein kerjaan dulu, biar nanti tinggal nemenin kamu tidur," ujar Bima seraya bangkit dari duduknya. Jika terus berada di samping istrinya pekerjaan yang menumpuk tidak akan pernah selesai. "Tapi jangan lama-lama," sahut Saras. "Iya, nggak lama kok." Bima mencolek hidung istrinya. Setelah itu ia beranjak menuju meja kerjanya. Baru saja Bima menjatuhkan bobotnya di kursi, tiba-tiba Saras sudah memangg
"Itu suara mama," batin Bima."Kami di ruang makan, Ma." Bima berteriak, setelah itu ia melanjutkan niatnya untuk melihat hasil tes yang baru saja istrinya itu lakukan. Dengan hati berdebar, Bima membuka benda pipih yang di tangannya. "Dua garis, itu artinya Saras hamil. Sayang kamu hamil." Bima menatap wajah ayu istrinya itu. Saras hanya mengangguk, seketika Bima menarik tubuh istrinya dan memeluknya dengan erat. Bahkan Bima juga menghujani Saras dengan kecupan, tak lupa juga ucapan terima kasih. "Terima kasih ya, Sayang. Sebentar lagi kita akan jadi orang tua." Bima mencium kening Saras dengan lembut, setelah itu ia membingkai wajah istrinya, saat hendak mendekatkan bibirnya, tiba-tiba suara ibunya mengagetkan mereka. "Ehem, ehem, mentang-mentang udah sah." Rahma berdehem, mendengar itu reflek Bima melepaskan tangannya lalu menoleh. Sementara Saras menunduk karena malu. "Ish, Mama. Oya, Ma kami punya kejutan." Bima menyerahkan test peck tersebut kepada ibunya. Seketika Rahma men
"Ok, kalau begitu kita langsung datangi Dian dan juga tante Dyah, kita ajak mereka untuk ketemu lalu tunjukkan video ini," ungkap Bima. Ia ingin masalah itu cepat selesai, dengan begitu tidak ada lagi yang menggangu ketentraman mereka nantinya. "Sayang kamu ikut kan?" tanya Bima seraya menoleh ke arah istrinya, sementara itu Saras hanya mengangguk. "Ya sudah langsung sekarang saja atau kapan?" tanya Dody. Ia khawatir akan mengganggu pengantin baru. "Sekarang saja, lebih cepat jauh lebih baik," jawab Bima. Jika dibiarkan terlalu lama nanti mereka keburu membuat rencana lagi. Karena orang seperti Sintia tidak akan tinggal diam jika usahanya belum ada yang berhasil. "Ya sudah, kasihan kalian. Seharusnya lagi asyik mikirin mau honeymoon ke mana, eh ini malah ngurusin masalah," ujar Dody, mendengar itu Bima hanya tersenyum. Jujur, apa yang dikatakan Dody memang ada benarnya juga, itu sebabnya Bima ingin secepatnya masalah yang kini menimpanya segera selesai. Setelah itu mereka bergega
"Siapa perempuan ini, kenapa tiba-tiba datang ke sini," batin Bima. Ia sama sekali tidak mengenal perempuan yang kini sudah berdiri di hadapannya itu. Apa mungkin itu kerabat istrinya, Saras. Tapi rasanya tidak mungkin, karena karena Saras tidak pernah bercerita apapun. "Siapa kamu, dan ada urusan apa kamu datang ke sini?" tanya Rahma. Ia merasa jika wanita hamil itu tidak beres, karena setahu Rahma, putranya itu tidak pernah melakukan hal di luar batas. "Saya datang ke sini untuk meminta pertanggung jawaban dari anak, Tante." Wanita hamil itu berucap seraya menunjuk ke arah Bima. Seketika pandangan mereka tertuju pada Bima, begitu juga dengan Saras. Bima tetap diam dan bersikap tenang, karena memang apa yang dituduhkan padanya itu tidak benar. Kenal saja tidak, apa lagi sampai berbuat hal di luar batas, itu rasanya tidak mungkin. Bima melirik wanita yang baru saja sah menjadi istrinya, ada rasa khawatir jika sampai Saras termakan omongan yang tidak nyata itu. "Maaf, tapi saya tid
Satu jam kemudian, kini Saras sudah berada di ruang rawat, saat ini Irma dan Dila yang sedang menemaninya. Sementara Bima dan Roby tengah bersama dengan Rayyan, beruntung kondisi Rayyan sudah stabil, hanya butuh istirahat yang cukup agar segera pulih. "Rayyan terima kasih, aku tidak tahu harus ngomong apa lagi. Kamu sudah menyelamatkan hidup Saras," ucap Bima. Sementara Rayyan hanya mengangguk, ia merasa berguna, walaupun apa yang Rayyan lakukan tidak akan sebanding dengan luka yang pernah ditorehkan kepada Saras. "Tolong jaga Saras," ucap Rayyan dengan suara lemah. Sejujurnya ia ingin melihat Saras untuk yang terakhir kalinya, tapi Rayyan sudah bersumpah. Bahwa ia hanya akan melihat mantan istrinya itu saat menikah dengan Bima nanti. "Mas, apa kamu tidak ingin melihat Saras?" tanya Roby. Walaupun Rayyan pernah berbuat jahat, tapi Roby kini sudah memaafkannya. Begitu juga dengan yang lain, mereka telah memaafkan kesalahan Rayyan. Rayyan menggeleng. "Aku akan melihat Saras saat dia
"Bima, kenapa kamu diam saja." Dyah berjalan menghampiri Bima, ia cukup kesal saat melihat calon tunangan putrinya yang seperti tidak peduli terhadap Sintia. "Kalau Sintia memang tidak bersalah, pasti nanti akan dibebaskan. Jadi, Tante tidak perlu khawatir seperti itu, dan satu lagi. Sintia tidak akan berurusan dengan polisi kalau memang dia tidak bersalah," ungkap Bima. "Apa yang dikatakan Bima itu benar, lebih baik sekarang kita ke kantor polisi saja untuk mengetahui lebih lanjut." Rahma, ibunda Bima menimpali. Tanpa banyak bicara, kini mereka memutuskan untuk ke kantor polisi. "Sintia, apa yang kamu lakukan. Kamu tidak akan pernah berurusan dengan polisi kalau memang tidak membuat ulah." Bima membatin, kini mereka sudah dalam perjalanan menuju ke kantor polisi. Entah kenapa perasaan Bima biasa saja saat melihat Sintia ditangkap polisi. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih, kini mereka tiba di kantor polisi. Bahkan kini mereka sudah berada di dalam, polisi sedang