Rayyan melempar map tersebut ke atas meja, lalu ia menyenderkan kepalanya di sandaran sofa. Sesekali Rayyan memijit pelipisnya yang terasa pusing, ingin marah tapi semua itu terjadi atas ulahnya sendiri. Rayyan yang kurang hati-hati membuatnya harus menelan kekecewaan.
"Kalau aku tidak mau bercerai?" tanya Rayyan. Mata hitamnya menatap wanita yang sepuluh tahun ini sudah mendampinginya. Bahkan Saras lah yang telah menemani Rayyan mulai dari nol hingga sesukses sekarang."Kita akan tetap bercerai, bukankah kamu sudah bahagia dengan istri mudamu itu, terlebih kalian sudah mempunyai anak," ungkap Saras. Ia berharap Rayyan tidak mempersulit perceraiannya."Aku menikah dengan Alexa karena keinginan mama, mama yang sudah memaksaku," ujar Rayyan yang terus berusaha untuk membela diri. Namun semua yang Rayyan katakan sama sekali tidak mempengaruhi niat Saras untuk berpisah."Maaf ya, Mas. Aku tidak peduli dengan semua itu, entah keinginan siapa dan permintaan siapa, itu sama sekali tidak berpengaruh," sahut Saras. Mendengar itu Rayyan bungkam, ternyata tidak mudah untuk meluluhkan hati Saras.Tiba-tiba saja ponsel Rayyan berdering, saat diperiksa tertera nama Alexa di layar ponselnya. Khawatir ada yang penting Rayyan segera bangkit dari duduknya, lalu menggeser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan.[Halo ada apa][Mas buruan pulang, badan Seril demam][Apa?! Iya, iya, aku pulang sekarang]Sambungan telepon terputus, Rayyan melirik Saras yang sedari tadi hanya diam. "Saras aku pulang dulu ya, tolong pertimbangan permintaan aku. Aku sama sekali tidak menginginkan perceraian ini."Saras hanya tersenyum. "Mungkin kalau kamu tidak selingkuh dan menikah lagi. Aku juga tidak akan memilih jalan ini, Mas."Rayyan menghela napas. "Aku memang salah, tapi aku benar-benar tidak ingin kita berpisah, jadi tolong pikirkan lagi."Setelah mengatakan itu, Rayyan beranjak meninggalkan Saras yang masih duduk terdiam di sofa. Sejujurnya memang berat, tetapi suami seperti Rayyan tidak patut untuk dipertahankan. Saras berharap semoga bisa mendapatkan ganti yang lebih baik dari Rayyan."Bismillah, aku pasti bisa melewati semua ini," ucap Saras dalam hati, setelah itu ia memutuskan untuk naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. Beruntung Saras bisa bergerak cepat, jika tidak mungkin semua harta akan jatuh ke tangan Alexa.***Hari telah berganti, pukul tujuh pagi Rayyan nampak sibuk ikut mengurus putrinya. Beruntung demamnya sudah turun, sementara itu Alexa tengah membuat susu karena ASI miliknya tidak keluar dengan terpaksa Seril meminum susu formula."Sayang, sudah belum susunya?" tanya Rayyan seraya berjalan menghampiri istrinya di dapur."Iya sebentar," sahut Alexa. Setelah siap wanita berambut sebahu itu beranjak menghampiri suami serta putrinya. Kini keduanya memilih untuk duduk di sofa ruang tengah."Mas, kalau nanti rumah ini benar-benar dijual bagaimana?" tanya Alexa seraya memberikan susu untuk putrinya."Itu tidak akan mungkin, Saras hanya menggeretak saja," sahut Rayyan, mendengar itu Alexa hanya menggangguk. Mudah-mudahan apa yang Saras katakan tidak benar terjadi."Kamu juga tidak perlu khawatir, kalaupun nanti Saras mengambil rumah ini. Aku masih ada rumah yang sengaja aku beli tanpa sepengetahuan Saras," ungkap Rayyan. Memang benar, diam-diam Rayyan pernah membeli rumah tanpa sepengetahuan Saras."Kamu memang cerdik," pujinya, sementara itu Rayyan hanya tersenyum. Setelah itu mereka kembali fokus pada Seril.Selang beberapa menit bel rumah berbunyi, mendengar itu Rayyan beranjak bangkit dari duduknya dan bergegas menuju ruang tamu untuk membuka pintu. Saat pintu terbuka, Rayyan cukup terkejut saat melihat Saras sudah berdiri di depan pintu."Saras, kamu .... ""Assalamu'alaikum, Mas." Saras mengucapkan salam, seketika Rayyan jadi salah tingkah."W*'alaikumsalam, ada apa pagi-pagi ke sini?" tanya Rayyan. Jujur, hatinya merasa khawatir jika kedatangan Saras untuk mengambil alih rumah yang kini ia tempati."Kedatangan aku ke sini untuk memastikan apakah kamu dan istri mudamu itu sudah siap untuk pergi dari rumah ini," ungkap Saras. Seketika Rayyan terkejut, ternyata omongan Saras tidak pernah main-main."Saras, kamu jangan gila ya. Apa rumah yang kamu tempati itu kurang luas, kurang besar. Sehingga kamu ingin mengambil rumah ini," ujar Rayyan yang cukup kesal dengan ulah istrinya."Ini bukan masalah rumah yang aku tempati itu besar atau tidak. Tapi aku melakukan ini karena ulah kamu sendiri, Mas. Jadi aku minta tolong kosongkan rumah ini," sahut Saras. Ia berusaha untuk tetap bersikap tenang, dan tidak terbawa emosi."Ada apa ini." Alexa dan Erika datang menghampiri Rayyan. Kedua wanita itu nampak terkejut saat melihat Saras. Mereka khawatir jika nanti akan benar-benar diusir oleh Saras"Mau apa kamu ke sini?" tanya Erika."Aku ke sini untuk memastikan apakah kalian sudah siap untuk mengosongkan rumah ini. Karena rumah ini ada yang mengontraknya," jawab Saras. Detik itu juga mereka bertiga terkejut mendengar pernyataan dari Saras."Saras kamu jangan sembarangan ya, kalau rumah ini dikontrakan, lalu kami tinggal di mana. Kamu nggak kasihan, Alexa punya bayi kecil, di mana hati nurani kamu sesama wanita," paparnya. Erika berusaha untuk membujuk Saras agar mengurungkan niatnya itu."Jangan bicara hati nurani, jika mama dan menantu kesayangan mama saja tidak punya hati nurani," ujar Saras, hal tersebut membuat Erika serta Alexa merasa geram.Tiba-tiba saja sebuah mobil datang dan berhenti di pelataran rumah. Setelah itu seorang wanita turun dan beranjak menghampiri Saras. Wanita berjilbab itu tersenyum saat melihat orang yang akan mengontrak rumah tersebut datang."Maaf ya, Bu saya datang sekarang soalnya ingin melihat-lihat isi rumahnya," ucap Bu Ani, orang yang hendak mengontrak rumah yang Rayyan tempati."Iya, Bu tidak masalah. Kalau begitu ayo masuk," sahut Saras, ia pun menyuruh bu Ani untuk masuk ke dalam."Dia yang akan mengontrak rumah ini, jadi aku minta tolong kemasi barang-barang kalian dan tinggalkan rumah ini," ucap Saras, setelah itu ia berlalu dari hadapan mereka. Seketika Rayyan serta istri dan ibunya terkejut, karena omongan Saras benar-benar tidak bisa diremehkan.Waktu terus bergulir, kini usia kandungan Saras sudah memasuki bulan sembilan, mereka tinggal menunggu hari saja. Kini Bima tengah menikmati perannya sebagai seorang suami dan calon ayah, butuh ekstra kesabaran dalam menghadapi sikap istrinya yang berubah-ubah. Tak jarang, Bima harus mempunyai stok kesabaran yang cukup banyak. Seperti malam ini, saat Bima tengah sibuk dengan pekerjaannya. Saras terus saja mengganggunya, entah itu meminta di pijit kakinya, dan masih banyak lagi. Beruntung, Bima termasuk orang yang penyabar, tetapi orang juga mempunyai batas kesabaran. "Sudah ya, aku selesein kerjaan dulu, biar nanti tinggal nemenin kamu tidur," ujar Bima seraya bangkit dari duduknya. Jika terus berada di samping istrinya pekerjaan yang menumpuk tidak akan pernah selesai. "Tapi jangan lama-lama," sahut Saras. "Iya, nggak lama kok." Bima mencolek hidung istrinya. Setelah itu ia beranjak menuju meja kerjanya. Baru saja Bima menjatuhkan bobotnya di kursi, tiba-tiba Saras sudah memangg
"Itu suara mama," batin Bima."Kami di ruang makan, Ma." Bima berteriak, setelah itu ia melanjutkan niatnya untuk melihat hasil tes yang baru saja istrinya itu lakukan. Dengan hati berdebar, Bima membuka benda pipih yang di tangannya. "Dua garis, itu artinya Saras hamil. Sayang kamu hamil." Bima menatap wajah ayu istrinya itu. Saras hanya mengangguk, seketika Bima menarik tubuh istrinya dan memeluknya dengan erat. Bahkan Bima juga menghujani Saras dengan kecupan, tak lupa juga ucapan terima kasih. "Terima kasih ya, Sayang. Sebentar lagi kita akan jadi orang tua." Bima mencium kening Saras dengan lembut, setelah itu ia membingkai wajah istrinya, saat hendak mendekatkan bibirnya, tiba-tiba suara ibunya mengagetkan mereka. "Ehem, ehem, mentang-mentang udah sah." Rahma berdehem, mendengar itu reflek Bima melepaskan tangannya lalu menoleh. Sementara Saras menunduk karena malu. "Ish, Mama. Oya, Ma kami punya kejutan." Bima menyerahkan test peck tersebut kepada ibunya. Seketika Rahma men
"Ok, kalau begitu kita langsung datangi Dian dan juga tante Dyah, kita ajak mereka untuk ketemu lalu tunjukkan video ini," ungkap Bima. Ia ingin masalah itu cepat selesai, dengan begitu tidak ada lagi yang menggangu ketentraman mereka nantinya. "Sayang kamu ikut kan?" tanya Bima seraya menoleh ke arah istrinya, sementara itu Saras hanya mengangguk. "Ya sudah langsung sekarang saja atau kapan?" tanya Dody. Ia khawatir akan mengganggu pengantin baru. "Sekarang saja, lebih cepat jauh lebih baik," jawab Bima. Jika dibiarkan terlalu lama nanti mereka keburu membuat rencana lagi. Karena orang seperti Sintia tidak akan tinggal diam jika usahanya belum ada yang berhasil. "Ya sudah, kasihan kalian. Seharusnya lagi asyik mikirin mau honeymoon ke mana, eh ini malah ngurusin masalah," ujar Dody, mendengar itu Bima hanya tersenyum. Jujur, apa yang dikatakan Dody memang ada benarnya juga, itu sebabnya Bima ingin secepatnya masalah yang kini menimpanya segera selesai. Setelah itu mereka bergega
"Siapa perempuan ini, kenapa tiba-tiba datang ke sini," batin Bima. Ia sama sekali tidak mengenal perempuan yang kini sudah berdiri di hadapannya itu. Apa mungkin itu kerabat istrinya, Saras. Tapi rasanya tidak mungkin, karena karena Saras tidak pernah bercerita apapun. "Siapa kamu, dan ada urusan apa kamu datang ke sini?" tanya Rahma. Ia merasa jika wanita hamil itu tidak beres, karena setahu Rahma, putranya itu tidak pernah melakukan hal di luar batas. "Saya datang ke sini untuk meminta pertanggung jawaban dari anak, Tante." Wanita hamil itu berucap seraya menunjuk ke arah Bima. Seketika pandangan mereka tertuju pada Bima, begitu juga dengan Saras. Bima tetap diam dan bersikap tenang, karena memang apa yang dituduhkan padanya itu tidak benar. Kenal saja tidak, apa lagi sampai berbuat hal di luar batas, itu rasanya tidak mungkin. Bima melirik wanita yang baru saja sah menjadi istrinya, ada rasa khawatir jika sampai Saras termakan omongan yang tidak nyata itu. "Maaf, tapi saya tid
Satu jam kemudian, kini Saras sudah berada di ruang rawat, saat ini Irma dan Dila yang sedang menemaninya. Sementara Bima dan Roby tengah bersama dengan Rayyan, beruntung kondisi Rayyan sudah stabil, hanya butuh istirahat yang cukup agar segera pulih. "Rayyan terima kasih, aku tidak tahu harus ngomong apa lagi. Kamu sudah menyelamatkan hidup Saras," ucap Bima. Sementara Rayyan hanya mengangguk, ia merasa berguna, walaupun apa yang Rayyan lakukan tidak akan sebanding dengan luka yang pernah ditorehkan kepada Saras. "Tolong jaga Saras," ucap Rayyan dengan suara lemah. Sejujurnya ia ingin melihat Saras untuk yang terakhir kalinya, tapi Rayyan sudah bersumpah. Bahwa ia hanya akan melihat mantan istrinya itu saat menikah dengan Bima nanti. "Mas, apa kamu tidak ingin melihat Saras?" tanya Roby. Walaupun Rayyan pernah berbuat jahat, tapi Roby kini sudah memaafkannya. Begitu juga dengan yang lain, mereka telah memaafkan kesalahan Rayyan. Rayyan menggeleng. "Aku akan melihat Saras saat dia
"Bima, kenapa kamu diam saja." Dyah berjalan menghampiri Bima, ia cukup kesal saat melihat calon tunangan putrinya yang seperti tidak peduli terhadap Sintia. "Kalau Sintia memang tidak bersalah, pasti nanti akan dibebaskan. Jadi, Tante tidak perlu khawatir seperti itu, dan satu lagi. Sintia tidak akan berurusan dengan polisi kalau memang dia tidak bersalah," ungkap Bima. "Apa yang dikatakan Bima itu benar, lebih baik sekarang kita ke kantor polisi saja untuk mengetahui lebih lanjut." Rahma, ibunda Bima menimpali. Tanpa banyak bicara, kini mereka memutuskan untuk ke kantor polisi. "Sintia, apa yang kamu lakukan. Kamu tidak akan pernah berurusan dengan polisi kalau memang tidak membuat ulah." Bima membatin, kini mereka sudah dalam perjalanan menuju ke kantor polisi. Entah kenapa perasaan Bima biasa saja saat melihat Sintia ditangkap polisi. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih, kini mereka tiba di kantor polisi. Bahkan kini mereka sudah berada di dalam, polisi sedang