Hari yang di tunggu-tunggu Erika telah tiba. Sebuah pernikahan sederhana yang digelar di rumahnya. Kebaya putih dengan riasan di wajah, membuat dirinya tampak cantik. Sejak tadi, ia sudah tak sabar menunggu hari bahagia itu.
"Cantiknya anak Ibu, duh, nggak sabar deh ngelihat wajah kamu semakin glowing setelah menikah," ujar sang ibu."Iya, Bu. Ibu juga pasti akan lebih enak nanti kalau tinggal sama aku. Pokoknya, rumah Mas Damar itu bagus. Lebih bagus dari kontrakan kita." Lagi, Erika tersenyum pada sang ibu."Memangnya kamu sudah bicara sama dia kalau nanti ibu ikut kalian?" tanya sang Ibu."Belum, sih. Cuma, nanti gampanglah, Bu. Pokoknya, Ibu pasti tinggal sama Erika," ucap Erika.Sang ibu bahagia karena Erika sudah menikah lagi dan menemukan suami yang kaya. "Pengantin, siap?" tanya panitia pernikahan."Siap, Mba." "Ayo, aku bantu ke luar. Calon suaminya sudah menunggu."Sesampai di rumah, sang ibu masih saja mengomel. Damar tidak bisa lama-lama karena Erika sudah menunggunya."Pokonya Ibu nggak bisa terima, Mar. Masa numpang hidup sama kamu?" Lagi, sang ibu kembali bersuara.Asih yang mendengarnya ikut merasa pusing juga. Ia ikut menenangkan sang ibu, tetapi tetap saja dibuat kesal juga."Bu, biarkan rumah tangga Mas Damar berjalan sesuai keinginan dia. Bukan keinginan Ibu," ujar Asih."Asih, kamu tahu apa? Ibu hanya menyelamatkan dia dari pengeluaran yang lebih banyak. Kamu pikir, nggak doubel pengeluaran kalau begitu?""Oh, seperti kita dulu, saat Mas Damar membiayai kita. Aku dan Ibu saat masih bersama Mba Ayu? Sama, kan? Ada bedanya nggak? Apa sebelum Mba Ayu nggak keberatan?""Diam kamu Asih!""Bu, sudah cukup. Aku akan tetap membiayai ibu walau ada ibunya Erika. Lagi pula, kan kami makan bersama. Jadi, apa yang aku makan, dia juga makan. Sama saja,
Wajah Damar masih saja ditekuk setelah kejadian di swalayan tadi. Ia memasukan beberapa belanjaan yang di beli Erika. Namun, ibu mertuanya begitu saja masuk ke rumah tanpa membereskan terlebih dahulu."Ibu kamu nggak merapikan dulu?" tanya Damar."Ehm, mungkin ibu lelah. Besok mungkin, biar aku saja yang merapikan." Erika gegas ke dapur membawa beberapa barang.Walau sedang kesal, Damar melangkah ke dapur dan membantu Erika membereskan belanjaan miliknya."Lain kali, aku mau kamu irit. Bukan karena aku pelit, tapi aku juga pernah berumah tangga. Apalagi anakku sudah dua, wajar aku merasa keberatan dengan belanjaan sebanyak ini." Sembari merapikan, Damar terus menasihati Erika."Ini masih wajar, Sayang. Lagi pula biar kita nggak belanja lagi.""Ya, kata kamu begitu. Coba lihat beberapa hari atau Minggu? Satu lagi, kalau bisa kita sarapan nggak usah beli nasi uduk. Lebih baik bikin sendiri, nasi goreng atau
"Kamu masih mau membahas yang kemarin, Vid?" tanya Ayu. Wanita berhijab hitam itu menaruh ponselnya setelah bervideo call bersama kedua anaknya."Iya, apalagi kamu kemarin bilang kalau aku calon suami kamu," ucap David sambil menggoda."Astaga, itu, kan hanya di depan Ibunya Mas Damar." Ayu mencoba memberi penjelasan."Aku maunya sungguhan." Lagi, David mencoba meyakinkan Ayu.Ayu terdiam, ia teringat perbincangan dengan kedua anaknya tadi malam. Si kecil bertanya tentang sang ayah, kemudian di susul dengan yang besar, ikut bertanya dan ingin bertemu dengan ayahnya. Walau bersama sang ibu, mungkin sosok ayah sangat mereka butuhkan.Sejak sibuk dengan pernikahannya, Damar belum sempat bertemu dengan kedua anaknya. Memang, pernah ada pesan dari Damar, kalau mungkin bukan ini ia sibuk. Nanti, setelah itu akan bertemu dengan kedua anaknya."Yu, masih dengar, aku, kan?"Panggilan David membuat Ayu terbangu
Setelah menikah, Erika masih bekerja. Namun, dengan catatan berbeda kantor atau cabang dengan Damar. Akhirnya sang suami yang mengalah dan pindah di cabang Jakarta Selatan, sedangkan Erika masih tetap di cabang Jakarta Barat."Pengantin baru, hawanya adem kayanya," goda Bu Dinda pada Erika.Sementara, Erika hanya bisa tersenyum saat wanita paruh baya itu menggodanya. Hari pertama masuk ia sudah diberikan banyak tugas. Pekerjaan yang tertunda dan pekerjaan baru.Erika mengusap keringat yang membasahi dahi. Sejak semalam ia tidak bisa tidur karena sang ibu ngambek tidak mau masak dan hanya ingin memesan masakan online saja.Ia bangkit untuk mengambil air hangat ke pantry, sembari netranya mencari seseorang untuk bertanggung jawab pada hidupnya."Ayu, tunggu!" Erika menghampiri Ayu yang baru saja datang dan mau masuk ke ruangannya.Ayu menghentikan langkah dan menunggu Erika menghampirinya."Ada apa?" ta
"Kenapa diam?" Oma begitu sinis melihat mereka.Mereka terdiam dan tidak berkutik. Keluarga Hana pun tidak berani banyak bicara. Setelah selesai, mereka semua langsung pamit untuk meningkatkan restoran.Oma Meria tidak meneruskan pertanyaannya. Ia punya cara untuk meyelesaikannya sendiri."Oma, saya terima kasih untuk makan siangnya," ujar Ayu sekaligus pamit untuk pulang."Saya yang berterima kasih." Oma Meria tersenyum pada Ayu.Oma Meria mengamuk saat meeting tadi. Ia tidak menyangka selama lima tahun ada yang bermain di perusahaan miliknya. Menyalahgunakan uang perusahaan dan tidak bertanggung jawab."Setelah mengantar Ayu, temui Oma di ruang kerja Oma, Vid!" titah Oma."Baik, Oma."David pamit mengantar Ayu pulang. Sementara, Oma Meria menatap tidak suka pada Bu Jasmin. Wanita itu nampak sedang gugup dan menyembunyikan sesuatu. Bagaimana bisa, saham milik Ayahnya Hana dikatakan p
"Berengsek!" Damar menendang ban mobilnya dengan mulut terus mengoceh. Perut lapar, hati kesal lengkap sudah penderitaan pria dengan kaus merah itu.Dengan sisa putung rokok yang ia hisap, Damar terduduk lesu di halaman rumah. Hatinya masih sangat emosi, bukan karena apapun, tetapi karena masih mnghargai Erika sebagai istrinya."Astaga, dosa apa aku ini? Terus saja Erika membuat aku habis kesabaran." Lagi, ia mengoceh tentang kesialannya.Ia menikah karena ingin ada yang mengurusnya. Tingal bersama sang ibu membuatnya kehabisan uang. Namun, ternyata malah pernikahannya kali ini membuat ia selalu pusing kepala dengan tingkah sang istri juga mertuanya yang begitu menyebalkan.Ia mengambil ponsel untuk menelepon seseorang."Man, ngopi, yu, tempat biasa. Bisa nggak?""Boleh-boleh, gue juga baru otw, biar gue balik arah." Suara Arman terdengar antusias saat diajak bertemu Damar.Damar men
"Hampir saja," ujar Bu Jasmin saat sampai di rumah.Wanita itu gegas menemui sang suami untuk memberitahukan tentang pembatalan perjodohan Hana dan David. Ia tidak menduga jika Oma Meria akan langsung membatalkan rencana mereka."Mas, Ibu membatalkan rencana kita menjodohkan David dengan Hana," ujar Jasmin."Kok, bisa?" Sang suami bertanya heran."Iya, karena wanita itu. Wanita yang dipilih David menjadi calon istrinya." Jasmin seperti pasrah dengan keadaan."Bagaimana bisa Oma setuju dengan David?" Denis, ayah David pun ikut cemas dengan semuanya.Rencana selama tiga puluh sembilan tahun itu sudah matang dan akan menuai hasil. Namun, tiba-tiba hancur begitu saja oleh sang anak."Anak sialan, tidak tahu berterima kasih," keluh Denis.Dua orang itu seperti tidak tenang setelah Oma Meria membatalkan semua rencana mereka. Dengan sekejap, apa yang mereka bayangkan hancurlah sudah.
Asih menaruh gelas setelah minum. Sang ibu terus saja mengikuti ke mana ia melangkah. Bu Andar ingin tahu tentang Damar, sejak beberapa hari menikah, ia masih kesal dan malas menelepon atau mengunjungi anaknya.Asih datang membawa berita tentang Damar yang datang ke kantor Laras."Kamu yang benar, Sih, Damar kurus sekarang?" tanya sang ibu."Iya, Bu. Masa Asih bohong, sih. Mana banyak jambang di wajahnya, pokoknya kusut, deh." Lagi, Asih sengaja memanasi sang ibu sesuai instruksi Laras."Kenapa malah punya istri jadi nggak keurus, si Damar? Weleh, apa istrinya nggak bisa ngurus dia?" Bu Andar begitu emosi mendengar cerita Asih, sedangkan Asih, sangat menikmati ocehan sang ibu."Besok, kan Minggu, kita samperin aja, Bu. Asih anter naik motor mau nggak?" Asih menawarkan untuk ke rumah Damar esok hari.Tanpa berpikir panjang sang ibu langsung setuju dengan ajakan Asih. Bu Andar sudah merencanakan hal yang akan memb