"Apa aku masih ada harapan?" gumam Nalan berpikir.
Kepergian Serra membuat dirinya semakin bersalah menerima pernikahan ini, ada rasa menyesal karena menerima pernikahannya.
"Kemana kamu? Serra jangan tinggalkan aku," isak Nalan dalam mobil seraya menyandarkan kepala di setir mobil.
Malam ini, Nalan bertekad untuk tidak pulang. Memilih mencari Serra, meski ini malam pertamanya. Namun, pikiran berkecamuk memikirkan wanita itu.
Kring! Kring!
Bunyi ponsel membuyarkan segalanya, melihat nama tertera membuat malas untuk mengangkat.
"Ck! Kenapa sih ini perempuan menelpon?" Dengan malas Nalan mengangkat telepon itu. "Halo."
"Nalan, kamu dimana?" tanya Mayra cemas dari seberang telepon.
"Harus berapa kali aku mengatakan padamu? Aku melarangmu mengusik urusanku," gertak Nalan.
"Ma-maaf! Aku khawatir, jam s
Mentari telah meninggi, menyinari jendela kamar. Menandakan pukul 10:00 pagi, menyilaukan wajah terlelapnya. Setelah dibuat kelelahan, Nalan sangat sulit untuk bangun. Dia teramat lelah, bersenggama sampai dini hari.Nalan terbangun karena sinar mentari yang menyorot tepat di wajah. "Ah, waktu terlalu cepat," umpat Nalan kesal, ia meraba samping ranjang. Namun, ia merasa kosong."Serra! Serra!" teriak Nalan berkali-kali memanggil nama kekasihnya. Dia panik karena tidak mendapati wanita itu di kamar, ia bangkit mencari setiap sudut. Termasuk kamar mandi. Namun, nihil."Kemana Serra?" tanyanya bingung. "Mungkinkah dia meninggalkanku? Lalu, kembali pada Bryan?" Nalan menyandarkan tubuhnya ke tembok seraya mengusap wajah dengan ke dua tangan. Pikirannya kembali berkecamuk.Lalu, ia teringat dengan nomor yang semalam menghubunginya, bergegas mengambil ponsel diatas nakas dan menelpon nomor itu. Namu
Dengan emosi yang meluap-luap, Nalan membuka pintu dengan kasar dan membuat Mayra terkejut. Ia mendatangi langsung suaminya dengan wajah penuh amarah."Ada apa?" tanya Mayra bingung karena sorot mata Nalan begitu tajam padanya.Kedua tangannya di bawah mengepal sempurna, kemarahannya sudah sampai di ubun. Mayra takut dengan tatapan Nalan yang sulit diartikan, tidak ada jawaban membuat dia menerka sendiri."Apa aku buat salah lagi?" tanya Mayra lagi dengan hati-hati."Ya, kau selalu salah. Aku sangat membencimu," gertak Nalan dengan suara meninggi. Mata Mayra membulat sempurna, dia merasa tak melakukan apapun hanya menelpon saja semalam."A-aku...." ucapannya berhenti kala melihat Nalan yang matanya merah dan air mata jatuh ke pipi. Buru-buru Mayra memeluk suaminya.Saat ini Mayra mengerti ada suatu hal yang membuat Nalan meluapkan amarah padanya. Tak peduli l
Nalan hanya pulang ke Apartemen untuk mengganti pakaian, dia lalu keluar terburu-buru melewati Mayra yang sedang menunggunya sarapan di meja makan."Mau kemana? Kamu baru saja pulang," tutur Mayra mengikuti langkah suaminya."Bukan urusanmu," balas Nalan ketus tanpa berhenti berjalan."Setidaknya kamu sarapan dulu," cegat Mayra menarik lengan Nalan. Dia melepaskan tangan istrinya pelan dan menatap datar."Tidak perlu perhatian padaku, jangan halangi apapun yang kulakukan. Terakhir kali kukatakan padamu, make your own sandwich," Nalan memperingatkan Mayra dengan nada dingin. Ia pun meninggalkan gadis itu tanpa menghiraukan panggilannya, dia bahkan berlari setelah membuka pintu apartemen."Nalan!" teriak Mayra berusaha mengejar suami yang dicintainya. Namun, Nalan sangat cepat hingga tak bisa dikejar.Mayra bersandar di dinding, perlahan duduk terkulai le
Seperginya Hans dari ruangannya, Nalan kembali duduk di kursi dan membuka kembali amplop berisi data calon target yang akan dilakukan malam ini.Betapa terkejutnya Nalan saat melihat isi data tersebut, berhasil membulatkan matanya dengan sempurna. Dia tak percaya jika data itu benar, pikirannya mencoba menyirnakan negatif yang mengaung."Tidak! Tidak mungkin dia! Ini pasti salah, tuan Arback pasti salah," desisnya. Ia meraih ponsel yang terletak di meja, lalu mencari nomor Arback dan menghubunginya."Halo," jawab Arback dari seberang telepon. "Ada apa, Nalan?" tanyanya lagi."Tuan, apa anda tidak salah mengirimkan saya data ini?" tanya Nalan berbalik."Tidak!" jawab Arback tegas. "Inilah, faktanya Nalan. Seseorang ingin kau membunuhnya, bahkan dia sudah membayar uang muka dengan cukup tinggi," jelasnya."Tapi kenapa?" tanya Nalan panik.
"Kenapa ada yang menginginkan nyawa, Bryan?" tanya Nalan dalam hati. Setelah pertemuannya dengan Marco tadi, ia terus memikirkan ucapan sahabatnya. Dia percaya semua yang keluar dari mulut pria yang menjadi sahabat selama bertahun-tahun lamanya adalah kejujuran."Apa sebaiknya aku menemui, Bryan?" pikirnya lagi dalam hati. Dia ingin benar-benar memastikan saja semuanya.Sebenci apapun Nalan pada Bryan, tak pernah terlintas ingin membunuh mantan sahabatnya. Dia memang sakit hati pada sikap lelaki berkulit putih itu, tapi ia hanya berpikir balas dendam dengan cara merebut Serra kembali dari tangannya."Bos!" panggil Hans yang sejak tadi memerhatikan Nalan gelisah tak karuan, berkali-kali bahkan ia memanggil. Namun, tak ada respon darinya."Bos," kembali Hans memanggil dengan suara agak keras seraya menyentuh bahu Nalan pelan, sontak itu membuatnya sedikit tersadar dari lamunan
"Sejak tadi nomor Serra yang dipakai menghubungiku tidak bisa dihubungi, kemana sih dia?" pekik Nalan sembari meletakkan benda pipih itu di meja dengan kasar.Dia merindukan wanita itu, ingin sekali merasakan sentuhannya malam ini. Malas baginya untuk pulang ke apartemen, melihat Mayra. Ia hanya ingin Serra menemani lagi di malam ini, tapi sejak tadi pagi pergi dari hotel, nomor itu tak kunjung aktif."Apa aku harus mencarinya pada Bryan?" tanya Nalan ragu. "Tapi, bagaimana jika bibi Elsa bertanya?""Aaah! Aku sangat merindukanmu Serra, semalam kau berjanji tidak akan meninggalkanku, tapi kenapa kau pergi lagi?" tanya Nalan pada dirinya sendiri dengan genangan air mata.Nalan sangat mencintai gadis itu, cinta butanya tak mampu melihat mana yang tulus dan permainan. Meski ia sangat pintar, cerdas dan penuh taktik, tapi cinta dapat membuatnya menjadi bodoh. Namun, rasa
"Kenapa?" Mimik Marco yang makin serius dan penuh keheranan menatap Bryan. Ia tak menyangka banyak hal tak terduga keluar dari mulut sahabatnya tentang wanita yang selalu dipuja oleh Nalan. Marco berpikir, dulu Mayra begitu bodoh mau dengan Nalan lelaki yang tak bisa menjaga perasaannya, tak bisa menjaga harga dirinya. Namun, ia akan kembali tercengang dengan penuturan Bryan tentang Serra. "Lalu, seminggu setelah pernikahan aku mendapati Serra tidur dengan pria lain," jawab Bryan sendu. "Apa? Kamu tidak salahkan, Bryan?" tanya Marco meyakinkan ucapan sahabatnya. Bryan menggeleng kepala lalu membalas kembali pertanyaan Marco, "Tidak, karena waktu itu aku tak sengaja mendapatinya di pantai Barat Daya, Serra bercumbu di mobil dengan pria yang tak kukenal." "Hingga saat ini, dia tak tahu aku terus memergoki dirinya dengan pria lain dengan pria berbeda se
Brak!Pintu dibuka secara kasar, Mayra kaget dan matanya terbelalak saat melihat suaminya pulang dengan bersimbah darah. Nalan pulang dengan keadaan mengejutkan, memegang lengan kanannya sembari meringis.Mayra dengan cepat menolong suaminya, memapahnya duduk di sofa sembari bertanya dengan penuh kecemasan yang tampak di wajah mulusnya, "Ada apa denganmu?"Nalan tak menjawab, ia hanya terus meringis kesakitan. Mayra yang paham akan hal itu, kini memberi tawaran, "Aku bawa kau ke rumah sakit ya?"Nalan hanya mengangguk yang berarti mengiyakan, ia tak mampu mengendarai mobilnya sampai ke rumah sakit. Darah yang tak berhenti keluar serta rasa sakit yang tak tertahankan."Baik, tunggulah aku akan memapahmu, aku ambil kunci mobil dan tas dulu ya," ucap Mayra bangkit dari sofa dan bergegas ke kamar mengambil segala yang dibutuhkannya.Dia keluar d