Share

9. Kemunculan Bryan

Mayra meremas kuat lembaran putih ditangannya, dia pikir Nalan sudah memiliki perasaan. Namun, sama sekali tak ada. Haruskah ia menyetujui kontrak ini?

Tapi, Mayra tak mau pernikahan ini berakhir dalam waktu 3 tahun. Ada perasaan malu dengan Amara dan Seon, karena memaksakan hatinya untuk menikah dengan Nalan.

"Apa aku tanda tangan saja?" gumam Mayra sesunggukan dan ragu.

Ataukah menyerah sekarang saja? Sedikit bimbang perasaannya saat ini, jika, menyerah sekarang bukankah akan menjadi masalah bagi 2 keluarga? 

"Ya, aku harus bertahan, mungkin saja sebelum 3 tahun masa kontrak ini. Aku bisa membuat suamiku jatuh cinta denganku," Mayra kembali bergumam dengan penuh keyakinan.

"Mayra, come on. Jangan menyerah, kamu tidak boleh kalah dari Serra," batin Mayra menggelengkan kepala. Setelah berpikir sejenak, ia pun menanda tangani surat itu.

Ia menghampiri suaminya yang sedang berada di teras rumah, menyeruput secangkir kopi. Perlahan mendekati Nalan yang duduk santai.

"Nalan, aku sudah menanda tanganinya," ucap Mayra sembari menyodorkan amplop coklat.

Nalan menerimanya dengan ketus seraya berkata, "Aku tidak ingin kita tidur bersama, di apartemen ini ada 3 kamar. Kamu pakai terserah saja, sisanya aku dan ruang kerjaku."

Mayra hanya mengangguk, menyetujui permintaan Nalan. Tak masalah meski harus beda kamar, toh yang penting serumah. Masih ada jalan untuk mengambil hati suaminya.

"Ingat, apapun yang terjadi kau tidak boleh mencampuri urusanku. Kau dilarang memeriksa ruang kerja dan kamarku," titah Nalan memperingatkan.

"Ya, aku tidak akan melakukan apapun kecuali membersihkannya saja."

"Aku tidak ingin keluargamu berpikir kau jadi pembantu disini."

"Tidak! Ini sudah tugasku menjadi seorang istri."

"Kau hanya istri diatas kertas," sindir Nalan. Membuat Mayra bergeming.

Mayra mencoba mengatur hatinya agar tak merasakan sesak, sakit memang dianggap seperti itu. Namun, inilah resiko yang harus diterima menikah dengan lelaki yang tak mencintainya.

"Meski seperti itu, aku tidak akan melupakan kewajibanku."

"Ya, terserah. Hanya saja aku tidak mau sampai kakakku mengira tak membiayai hidupmu," ucap Nalan seraya memberikan kartu hitam limited. Ya, itu kartu debit. "Ambillah, aku tidak mempermasalahkan soal uang kepadamu, hanya jangan menggangguku."

Mayra tersenyum menerima kartu debit dari suaminya, ia menerima dengan wajah sumringah.

"Terima kasih."

Tanpa berkata lagi, Nalan meninggalkan Mayra yang masih berdiam diri di tempatnya. Tak peduli apa yang dipikirkan gadis itu padanya, terpenting sudah memberikan uang. 

Nalan memang tak pernah mempermasalahkan uang sejak dulu, bahkan ketika berpacaran dengan Serra tak segan baginya mengeluarkan uang puluhan juta dalam sehari.

Dalam kamar, Nalan sedang merenung mengingat masa lalunya dengan Serra. Wajah sedih itu menatap ke depan dengan penuh kekosongan, seakan takut ketika Serra datang lagi.

Kring!! Kring!!

Panggilan ponsel membuyarkan lamunannya, muncul dilayar sebuah nomor baru yang tak dikenalnya. Apa ini Mark lagi?

Dari pada menerka, Nalan mengangkat telepon itu. "Halo!" suara dari seberang berhasil membulatkan matanya.

Ia memang mengenal sumber suara itu, "Kau."

"Aku menunggumu sekarang, alamatnya sudah kukirim padamu," ucapnya langsung mematikan sambungan telepon tanpa memberi kesempatan Nalan bicara.

"Dia lagi," gumam Nalan gundah. "Haruskah aku menemuinya?"

Nalan mengambil jaket kulit hitam yang tergantung dibelakang pintu, ia keluar dari kamar dan berpapasan dengan Mayra yang sedang menyiapkan makan malam.

"Mau kemana?" tanya Mayra memperhatikan dari atas ke bawah. Sangat rapi.

"Aku sudah bilang padamu, jangan mengurusiku," tegur Nalan ketus.

"Maaf! Aku sudah menyiapkan makan malam, apa tidak sebaiknya makan dulu sebelum keluar?" tawar Mayra berusaha menahan suaminya.

"Tidak nafsu," tolak Nalan acuh.

"Makanlah, walau sedikit. Kamu baru saja pulih, butuh asupan yang baik," bujuk lagi Mayra.

"Kalau aku bilang tidak ya tidak, jangan memaksa," bentak Nalan lalu meninggalkan istrinya yang menunduk ketakutan.

Melihat Mayra yang ketakutan, Nalan merasa kasihan. Sejenak berpikir, jika terjadi sesuatu padanya ada kemungkinan Nami akan curiga.

Nalan kembali ke meja makan dan duduk tanpa mempedulikan Mayra yang berdiri. Suaminya makan ia pun ikut duduk.

"Mau kuambilkan?"

"Tidak perlu, aku bisa sendiri," tolak Nalan malas.

"Ya, sudah. Makan yang banyak ya," ucap Mayra mengulum senyum. 

"Setidaknya kamu makan masakanku ada peluang," batin Mayra menatap Nalan yang sedang makan dengan lahap.

$$$$$$$$

Sesuai yang di janjikan pertemuannya adalah rumah usang milik Bryan, rumah reot yang tidak terpakai. 

Dalamnya berserakan barang, banyak debu dan disinari oleh lampu kuning. Nalan menyusuri bangunan itu, mencari keberadaan Bryan yang tengah duduk di sofa robek.

Nalan datang menghampiri sahabat yang membuatnya terluka hebat, entah mengapa ia mau-mau saja bertemu dengan orang yang sangat dibencinya.

"Ada apa?" tanya Nalan dingin.

"Sudah lama kita tidak bertemu," ucap Bryan tenang. Bagaimanapun dihatinya Nalan tetap sahabat, meski dibenci.

"Aku tak perlu b**a basimu."

"Pertama-tama, aku ucapkan selamat atas pernikahanmu."

"Lalu?"

"Aku hanya ingin kau melupakan masa lalu."

"Cih! Melupakan pengkhianatanmu? Apa kau pikir itu mudah?" tanya Nalan sinis.

"Tidak! Hanya saja, Serra telah mengetahui pernikahanmu ini."

"Apa?" Nalan terbelalak. "Apa kau yang memberitahunya? Aku tahu kau selalu memata-mataiku, mencari celah agar Serra melupakan aku."

"Buat apa aku memberi tahunya? Apa kau pikir selama menikah denganku Serra tak memata-mataimu?" 

Nalan tercengang, tak menyangka jika Serra tidak bisa melupakannya. Dipikirnya, hanya Bryan yang terus mengintai dirinya.

"Aku sudah tahu, kalau Serra tidak akan bisa melupakanku."

"Kau benar, saking tak bisa melupakanmu setelah tahu kau menikah ia kabur entah kemana," kata Bryan yang berhasil membuat Nalan kembali terkejut.

"Apa katamu?"

"Serra pergi sejak tahu kau menikah, aku pikir dia pergi menemuimu. Dilihat dari ekspresimu, sepertinya tak mendatangimu."

"Jika dia datang kepadaku, sudah kupastikan untuk menyembunyikan dia dan malam ini aku tak akan kembali ke istriku," timpal Nalan mengejek Bryan.

"Kau," Bryan geram.

"Jangan mempermainkan pernikahan, kau dan Serra tidak ditakdirkan bersama," lanjut Bryan memperingatkan.

Nalan tersenyum kecut, lalu menimpali, "Kau yang membuatku tak dapat bersamanya."

"Bukan aku, meski aku menyukainya tapi aku tidak ada niat merebutnya darimu."

"Omong kosong," sentak Nalan menatap tajam Bryan. "Kau bilang tidak ada niat? Hah? Jika kau tak ada niat merebutnya, kenapa kau malah menikahi gadis yang paling aku cintai?"

"Kau salah paham, kami berdua dijodohkan oleh orang tua masing-masing, sama seperti kau, kami tidak bisa menolak."

Nalan tertawa lebar, tak mempedulikan alasan klasik dari sahabatnya. Beberapa tahun ini, ia dendam pada Bryan. Namun, tak berani membalaskan karena mengingat masa kuliah.

"Nalan, hanya karena seorang wanita kita jadi seperti ini."

"Itu semua karena kau, aku teramat membencimu Bryan," kata Nalan mempertegas kalimat terakhirnya. "Kau memang tak pantas untuk Serra."

"Sekarang aku tak ingin berdebat denganmu, aku hanya ingin memberi tahumu dimana Serra? Tapi kau benar-benar tak tahu," ucap Bryan mengalah. ia menepuk pundak sahabatnya sebagai salam perpisahan lagi.

Bryan sebenarnya tak enak hati bertemu dengan Nalan lagi, situasi kepergian Serra yang mendadak mengharuskan dia menghubungi kembali pria yang pernah lama menjadi sahabat.

Nalan masih berdiri di tempat melihat kepergian sahabatnya hingga punggung tak terlihat lagi, ia pun keluar dari rumah usang itu dan sesegara mencari keberadaan Serra.

To Be Continue...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status