"Mmm, Nalan boleh aku tahu siapa Kinan?" tanya Mayra ragu. Nalan terbelalak saat pertanyaan itu terlontar.
Mereka kini hanya berdua di kamar, tentu saja Mayra berani bertanya. Meski pria yang dihadapannya bukan siapa-siapa bagi Nalan. Tentu, rasa cemburu dan penasaran ingin segera terjawab.
Sejenak Nalan berwajah masam, ia paling tidak suka ada orang bertanya tentang Kinan. Lagipula, Mayra bukan hal penting.
"Tak penting bagiku menjawabnya," balas Nalan ketus. Mayra tertunduk sedih.
"Kau tak perlu tahu siapa dia," jawabnya lagi.
"Ya, maaf! Aku terlalu penasaran," ucap Mayra serak. Ia menahan kesedihannya didepan Nalan.
"Bagus, kau harus mengerti dirimu di posisiku," kata Nalan pedas, menyakiti hati Mayra. Ia memang suka mengatakan sejujurnya ketimbang menjaga perasaan.
"Nalan, apa aku tak layak untuk kau cintai?" tanya Mayra getir.
"Ya, cintaku selamanya hanya untuk Serra," jawabnya sambil membuang muka.
"Meski aku berusaha sekuat tenaga membuatmu mencintaiku?" tanya Mayra lagi.
"Sekeras apapun kau berusaha, aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu. Hatiku hanya untuk Serra," jawab Nalan penuh penekanan.
Mayra berusaha menahan tangis, "Maaf! Aku terlalu keras kepala."
"Lebih baik kamu keluar," usir Nalan.
"A-aa-ku..." terpotong.
"Keluar, jangan sampai aku mengulangnya."
Mayra tak percaya dengan sikap Nalan yang mulai kasar kepadanya, ia pun bangkit dari kursi dan segera berlari keluar kamar sembari menangis.
"Kamu tega Nalan," imbuh Mayra sedih sambil terus berlari hingga keluar dari rumah sakit.
"Kenapa aku bisa mencintai pria sepertimu? Aku juga ingin melupakannya, tapi aku tidak bisa."
"Bagaimana caranya agar bisa membencimu? Meski berkali-kali kamu menyakitiku, tapi aku terus saja memaafkanmu walau tak ada kata maaf terucap darinya."
"Apa aku akan selamanya mencintai dia? Apa selamanya akan jadi cinta tak terbalaskan? Aku harus apa?"
Mayra terus berjalan seorang diri, pikirannya kemana-mana. Perlakuan Nalan yang berkali-kali menyakiti hatinya, masih dapat dimaafkan.
Ia terus berjalan menyusuri setiap jalan disiang bolong, tanpa disadari. Marco yang kebetulan lewat menghampirinya.
"Hei, Mayra!?" teriak Marco dari dalam mobil.
Mayra mencari suara yang memanggilnya, ia berbalik dan mendapati sahabat masa kecil Nalan sedang turun dari mobil dan menghampirinya.
"Mayra, kamu ngapain disini?"
"A-aku baru menjenguk Nalan dan akan pulang," jawab Mayra gugup.
"Mau kuantar?" tawar Marco.
"Ngga usah, kamu pasti mau jenguk Nalan," tolaknya.
"Tapi muka kamu sedih, apa Nalan menyakitimu lagi?"
"Ti-tidak, aku hanya khawatir padanya saja," jawabnya lagi gugup.
"Aku tahu, saat ini yang mengganggu pikiranmu adalah Kinan," tebak Marco. Mayra tak merespon.
"Nami sudah mengatakannya, saat sadar nama yang dipanggil adalah Kinan," lanjutnya lagi. Terus terang saja, Marco sangat kasihan pada gadis ini, tak menyangka saja dengan rasa cinta yang begitu besar untuk sahabatnya.
"Apa kamu ingin tahu?"
"Hah?" Mayra melongo, "Kamu tahu?"
"Tentu saja, akukan sahabatan sama lelaki dingin itu dari SMP."
"Emang apa yang kamu tahu?"
"Kita bicarakan di Cafe dekat sini, aku akan ceritakan semuanya padamu," ajak Marco. Mayra pun manut.
Mereka berdua kini berada di Star yang tak jauh dari rumah sakit. Marco pria berjakung itu mulai menceritakan tentang gadis imut bernama Kinan.
"May, Kinan adalah cinta pertama Nalan sejak duduk dibangku SMP kelas 2."
"Terus ada apa dengan Kinan? Kalau memang dia mencitainya, kenapa Nalan juga suka sama Serra?"
Masa sekolah...."Marco, gue suka sama anak kelas sebelah," ujar Nalan kala itu pada teman sebangkunya.
"Eh, jangan ngaco loe, kita ini masih bocah. Belum pantes tahu cinta-cintaan, kerja aja belum, mau ngasih makan apa anak orang," ketus Marco.
"Ya, ngga juga kali gue mau nikahin dia," sahut Nalan kesal sambil memukul bahu Marco.
"Terus? Mau pacaran?"
"Iya, dong," jawab Nalan terkekeh.
Marco hanya tersenyum melihat raut bahagia yang terpancar, ia ikut bahagia.
"Loe, mau ngapain?"
"Gue, pinjam duit loe dong," ujar Nalan.
"Yaelah, duit lagi," ucap Marco malas.
"Pelit amat loe."
Nalan sejak kecil memiliki orang tua yang miskin, kakak perempuan yang 5 tahun. Ayahnya seorang pekerja serabutan dan ibu hanya pekerja di laundry sebagai tukang cuci.
Pendapatan sang ayah tak menentu kadang beberapa hari tak dapat uang. Sedangkan ibunya paling sedikit 25 ribu perhari, kadang bisa mencapai 100 ribu jika laundry lagi ramai.
Di sekolah tak ada yang mau berteman dengannya karena ia miskin. Namun, tidak bagi Marco si tajir. Ia tak pernah sungkan menolong sahabatnya.
Nalan selalu memperhatikan Kinan dari jarak jauh, gadis imut dengan senyum yang menawan. Karena tidak berani mendekati hanya bisa dari jauh saja.
"Woi, deketin sana," titah Marco.
"Aku tidak berani," ujar Nalan dengan wajah lesu.
"Kalau suka utarakan, nanti di ambil orang kamu bakal nyesel."
Setelah mendapatkan wejangan dari sahabatnya, ia pun perlahan berani mendekati Kinan, dari mulai perkenalan selama beberapa bulan, merekapun jadian.
"Aku ngga nyangka, Kamu ternyata suka aku sejak masuk sekolah," ucap Nalan tersipu malu.
"Ya, namanya mata turun ke hati."
"Kamu ngga malu pacaran sama aku yang miskin ini?"
"Ngga dong, aku suka kamu apa adanya."
Begitulah keseharian mereka sejak pacaran, selalu bersama. Saat berngkat, istirahat dan pulang berduaan terus. Hubungan yang begitu langgeng dan dipenuhi warna setiap hari.
Hingga menjelang kelulusan dibangku menengah pertama, mereka memutuskan masuk di sekolah yang sama. Kinan yang menyukai Nalan apa adanya, cinta di hati mereka kian bertambah.
"Kita duduk bareng ya di kelas," pinta Kinan pada Nalan. Marco yang duduk di depan mereka mulai kesal dengan kebucinan keduanya.
"Eh, bocah bucin mana bisa di dalam kelas laki-laki dan perempuan duduk bersama yang ada sesamanya tahu," kata Marco ketus.
"Ngga apa-apa kita pisah duduk asal hati kita jangan," goda Nalan sambil mengelus pucuk rambut Kinan.
"Hoeek," Marco merasa mual dengan tingkah keduanya.
"Sirik loe," ejek Nalan tertawa.
"Idih, rugi."
"Makanya pacaran, jangan jadi jomblo ngenes melulu."
"Biarin," balas Marco ketus.
Tiga tahun berlalu....
Beberapa hari sebelum diadakannya ujian kelulusan, sesuatu terjadi. Saat merayakan hari jadi ke 5 tahun, mereka mengunjungi taman kota.
Naas, kala itu terjadi perampokan besar di taman jumlah 10 orang, para pelaku memakai topeng dan sebuah pistol di tangan yang dilayangkan kepada para pengunjung.
"Jangan mendekat."
Semua yang ada disana ketakutan termasuk Nalan dan Kinan, mereka menjarah tas pengunjung. Tak ada yang berani mendekat atau menghubungi polisi.
"Berikan semua harta benda kalian," gertak salah satu dari mereka. Sembari menodongkan pistol ke para pengunjung.
Pengunjung hanya manut dan mengangkat kedua tangan mereka, tak berani melawan.
"Jangan ada yang berani menelpon polisi, kalian akan mati," ancam mereka.
Salah satu rekan mereka tidak sengaja membidik pistol tepat di mengenai dada Kinan.
Dorr!!
Mata Nalan melebar dan mulai memanas pandangannya terus ke depan, ia tahu bahwa tembakan itu mengenai kekasihnya. Membalikkan kepala dan sangat terkejut.
"Tidaaaaaaak?!" jerit Nalan histeris meraih tubuh Kinan sebelum jatuh ke tanah. Nalan menangis sejadi-jadinya seraya memeluk tubuh yang tak sadarkan diri dan berlumuran darah.
Setelah menembak para pelaku kabur, "Bodoh, kenapa kamu menembaknya?"
"Aku tak sengaja," jawabnya panik.
"Ayo kita pergi dari sini," titah pelaku lainnya, mereka pergi dengan 2 mobil.
To Be Continue...
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.