Share

7. Asal Muasal Hans

"Benar, saja! Aku baru teringat. Tapi rasanya tak masuk akal jika tak ada yang mendengar suara tembakan," batin Hans menatap tajam Erlan.

"Tapi ini sungguh tidak masuk akal, suara tembakan itu sangat keras. Kenapa tidak ada yang mendengar?" tanya Hans prontal.

"Inilah, salah kami tuan Hans. Kami terlalu sibuk dengan pasien dibawah, sungguh terlalu banyak pasien hari ini. Itu benar-benar membuat kami tidak menyadarinya," terang Erlan membela diri.

Hans menghela nafas pelan, lalu berkata, "Aku sudah tidak percaya lagi dengan rumah sakitmu," Hanspun pergi meninggalkan Erlan dan masuk ke bangsal untuk melihat Nalan.

"Maaf! Bos," ucap Hans bercucur air mata. Begitu sayangnya asisten ini pada Nalan, ia memang tak akan pernah lupa dengan kebaikan Nalan saat pertemuan 5 tahun lalu.

Kala itu....

Hans yang berusia 13 tahun, hidup jadi gelandangan dibuang oleh ayahnya. Hidup terlunta-lunta di jalan, bahkan acap kali di pukul. Tidur hanya berselimutkan dingin.

Tepat di gang perkampungan kecil, di Himalaya. Seseorang menculik Hans berniat menjual sebagai budak seks para lelaki, ia ketakutan dan berusaha meminta tolong sembari meronta.

"Tolong! Lepaskan!?" teriaknya memberontak.

"Diam," lelaki bertubuh kekar itu menampar Hans. Ia terdiam dan ketakutan. Wajahnya merah lebam, karena tangan kekar itu memukul pipi sangat keras tanpa belas kasih.

Nalan yang sedang melakukan tugas di gang itu, melihat Hans yang dipukul. Karena tak suka melihat anak-anak seusia Hans dipukul, ia menghampiri pelan. Bermaksud untuk menolong.

"Kamu kenapa?" tanya Nalan datar.

Hans diam meringkuk ketakutan, tubuhnya gemetar. Nalan melihat dari atas kebawah, sungguh malang sekali.  Baju compang camping, rambut acak-acakan dan sangat kotor.

"Maukah kau mempercayaiku?" tanya Nalan sekali lagi. Hans mendongakkan kepala menatap dengan nanar.

Hans menggeleng tanda tak mau.

"Oh, ayolah. Aku tahu gembong disini adalah penjual budak seks untuk laki-laki guy," bujuk Nalan lagi. 

"Aku ...." Hans nampak berpikir sejenak dengan wajah sendu.

"Tak ada waktu," sergah Nalan sembari menggendong Hans tanpa di minta. Dia berlari dari tempat itu seraya membawanya.

Hans terkejut tiba-tiba di gendong paksa oleh lelaki yang tak tahu namanya. Berusaha meronta, tapi Nalan terus berlari tanpa mempedulikannya.

Orang-orang yang telah mengetahui identitasnya, mengejar. Terlebih lagi, ia membawa Hans yang rencana akan dijual dengan harga tinggi.

"Hei! Lepaskan bocah itu?!" seru salah 1 dari mereka yang terus mengejar Nalan.

Tak dihiraukan, ia terus berlari menggendong Hans.

"Lepaskan, aku!?" teriak Hans meronta sembari memukul tubuh kekar Nalan.

"Diamlah, kalau kamu mau jadi budak seks, aku akan meninggalkanmu sekarang juga," Nalan menggertak dengan suara tegas. Hans terbelalak.

"Mungkinkah dia akan menolongku?" gumam Hans dipenuhi kegundahan.

"Haruskah aku mengikutinya?" lagi pertanyaan dalam hatinya muncul.

Entah harus mempercayai atau tidak, Hans pun diam. Mungkin pria yang membawanya lari, benar-benar ingin menolong.

Untuk saat ini, Hans lebih baik menurut, toh setelah terbebas ia bisa kabur jikalau lelaki ini juga penjahat.

Nalan berusaha mencari tempat persembunyian, menemukan rumah kayu usang menjadi idenya untuk bersembunyi disana.

"Untuk saat ini, kita aman disini dulu," ucap Nalan dengan nafas memburu. Hans bergeming menatap nanar lelaki berwajah garang itu.

"Ayo sini bersembunyi," ajak Nalan menarik tangan Hans sembari membungkukkan badan. 

"Lari kemana mereka?" tanya pria itu dengan suara keras. Sehingga dapat di dengar keduanya, meski jarak dari mereka cukup jauh. Nalan mengintip mereka dari balik kayu yang sedikit berlubang. 

"Cepat cari, mereka pasti bersembunyi di sekitar sini," titah dari salah seorang dari mereka. Mata terus mencari sekeliling tapi tak ada tanda keduanya. Lalu, berlari lagi tanpa melihat ke gubuk kayu.

Pikiran mereka tak sampai ke gubuk kayu yang reot.

Nalan bernafas lega karena mereka telah menjauh, ia menyandarkan punggungnya untuk beristirahat sejenak. Hans yang sejak tadi bingung, tak bisa berkata apapun.

Nalan melihat Hans, lalu, mendekatinya. Sembari membelai pucuk kepala, ia pun berkata, "Jangan takut, percayalah padaku."

Hans merespon dengan anggukan lembut, cacing diperutnya kini terdengar minta makan. Ada rasa malu juga, karena sudah seharian tak makan dan minum. Tubuh yang kian kurus membuat Nalan iba.

Nalan merogoh ransel, ia mengingat ada 2 buah roti dan sebotol air minum sebelum ke gang. "Ini, makanlah," ucapnya seraya menyodorkan 2 roti dan sebotol air.

Ragu-ragu mengambilnya, tapi Nalan menarik tangan bocah kurus itu untuk diberikan secara langsung.

"Makanlah, aku akan membawamu besok pulang, malam ini kita disini."

"K-kak tidak makan?" tanya Hans merasa tak enak.

"Aku sudah makan, jadi makanlah dulu ini sebagai pengganjal perut meski tidak terlalu mengenyangkan. Setidaknya perutmu terisi."

Hans yang tak percaya pada siapapun, kini hanya percaya seorang Nalan saja. Sejak menyelamatkan dirinya, ia dilatih bela diri, penembak jitu dan urusan perusahaan.

Diusia 15 tahun, Hans sangat cepat belajar dan memahami segalanya. Sejak saat itu ia menjadi orang paling mengabdikan diri untuk Nalan. Tak peduli dengan wataknya, baginya ia adalah orang baik.

Maka hal inilah, Hans sangat menyesal dan gagal melindungi Nalan sesuai janji yang pernah diucapkannya.

"Bos, aku akan menjagamu dikemudian hari," kata Hans dengan senyuman manis seorang anak.

Nalan memegang pundak Hans dan membungkuk sedikit untuk menyamainya, lalu berkata, "Aku menantikan."

Hans mengangguk senang. Bukan seorang asisten, tapi bak kakak. Nalan juga tak pernah menganggap bawahannya seperti orang kecil, meski dingin tapi ia sangat menjaga seluruh karyawan di perusahannya. Yaitu, grup didirikannya bersama Atras kakak ipar.

Hans terbuyarkan lamunan, saat Mayra datang dengan penuh kepanikan. ia menghampiri asisten itu yang tengah duduk di koridor rumah sakit.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Mayra diiringi tangis.

"Masih belum sadarkan diri," jawab Hans sedih.

"Kenapa ini bisa terjadi?" Mayra memukul tubuh Hans dengan penuh emosi. ia menyalahkan asisten yang menurutnya tak becus menjaga Nalan.

"Tenanglah Mayra," bujuk Hans lesu.

"Bagaimana aku bisa tenang? Berapa kali luka itu akan terus terbuka? Kapan dia bisa sembuh? Aku tanya pada Anda," seru Mayra dengan emosi meluap-luap.

Harusnya, ia mengabaikan Nalan. Namun, saat mendengar telepon dari Hans, tak bisa dipungkiri hati dan pikiran masih memikirkan lelaki yang sama sekali tak mencintainya.

Ingin menyerah? Tapi lagi dan lagi, hatinya takut jika sesuatu terjadi pada Nalan saat ia meninggalkannya.

"Aku .." Hans bingung menjawab pertanyaan Mayra yang bertubi-tubi. Karena memang ini kesalahan dan kelalaian.

"Aku akan membuat perhitungan pada Anda, jika sampai sesuatu terjadi padanya," ancam Mayra meninggalkan Hans yang masih berdiri mematung.

Mayra masuk ke kamar, melihat kondisi Nalan yang kian memburuk. Beberapa alat dipasang di dada, selang infus ditangan kanan dan alat bantu pernapasan.

"Nalan, bangun. Aku tidak peduli kau mencintaiku atau tidak, akan lebih sakit bagiku kehilanganmu selamanya tanpa melihatmu," ujar Mayra tergugu.

To Be Continue........

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status