Share

Terlambat

"Bang, adeknya dijagain yaa," pinta Mery pada Sadena yang sedang memasang sepatunya.

"Hmm." Sadena hanya membalas sesingkat itu.

"Jangan dibiarin pergi sendirian."

"Iya."

"Istirahatnya juga harus bareng. Kasian, 'kan tuh adeknya belum bisa jalan normal."

"Iya, Bun. Dena ngerti," sahut Sadena sebelum kemudian cowok itu berdiri. Pagi ini ia dan Sadava berangkat bersama menggunakan motor Sadena. Berboncengan. Sebab adiknya itu baru saja mengalami kecelakaan motor tiga hari yang lalu yang mengakibatkan kaki kirinya patah ringan.

Selesai memasang sepatunya, Sadena menyalimi tangan Mery. Sedangkan ayahnya sudah berangkat lebih dulu ke kantor. Dan Sadava telah berdiri anteng di samping motornya.

Kemudian Sadena menaiki motor tersebut dan memasang helm. Menyalakan mesin lalu menyerahkan helm satu untuk Sadava. Adiknya itu menerima dengan senyum tipis. Sadena meresponnya datar saja.

Setelah memakai helm, giliran Sadava naik ke boncengan. Tampak kaki kirinya yang beralaskan sendal dan dibalut perban di bagian telapak. Meskipun menimbulkan rasa sakit saat menginjak tanah. Sadava tetap keukeuh pergi ke sekolah. Karena ia itu tipe cowok yang ceria, baginya sakit ini bukan apa-apa.

"Berangkat yaa, bundaku sayang. Dahh," ucap Sadava sembari menampilkan senyum lebar pada Mery.

"Dahh, hati-hati ya. Langsung pulang jangan kelayapan," Mery melambai sebelum kedua putra kembarnya itu melesat pergi mengeluari pagar.

Ia tersenyum. Senyum penuh rasa syukur karena Tuhan masih mengizinkannya melihat kedua putra kembarnya itu beranjak dewasa.

--Sadena--

"Wah, itu Sadena sama Sadava!"

"Anying, Sadava udah bisa jalan?"

"Mereka boncengan coy."

"Ih mereka ganteng banget sih?!"

"Sadena apalagi, beuh. Meskipun pakai helm. Makin hari makin ganteng!!"

Setidaknya, itulah ungkapan-ungkapan yang terlontar dari mulut para siswi ketika dua casanova sekolah, Sadena dan Sadava memasuki gerbang.

Sadena mendengus keras. Andai yang bersorak itu adalah cowok, sudah ia tebas semua kepala mereka.

Sementara Sadava yang berada di belakang melambaikan tangan, berbeda dari Sadena. Sadava lebih suka merespon sorakan-sorakan itu. Setidaknya dengan tersenyum atau mengedipkan sebelah mata, mengakibatkan cewek-cewek tadi makin meleleh melihatnya.

Tiba di parkiran, Sadena lebih dulu menyuruh Sadava turun lewat delikan mata. Sebelum kemudian ia memarkirkan motornya dengan rapi, berjejer bersama motor milik siswa lain.

Sadava yang langsung menepikan diri itu tersenyum, Sadena memang memiliki sifat irit bicara, judes, galak, dan dingin. Tak terkecuali padanya. Namun ia tahu, Sadena itu sosok yang penuh kasih sayang.

"Dava!" Panggilan dari arah kanan itu membuat Sadava menoleh. Senyum manisnya mengembang. Kala seorang cewek berkuncir berjalan menghampirinya.

"Marsha!" Itu pacarnya.

"Kamu udah bisa jalan?" tanya Marsha melirik sekilas kaki Sadava. Cowok itu mengangguk.

"Alhamdulillah udah. Tapi masih sedikit sakit sih. Masih belum dibolehin banyak gerak."

"Kenapa kamu nggak pakai tongkat?" tanya Marsha heran.

"Males, ah. Masa untuk berdiri aja aku harus pakai tongkat. Gimana nanti aku mendirikan rumah tangga sama kamu," sahut Sadava cekikikan.

"Gombal," Pipi Marsha memerah dan ia mencubit pelan perut pacarnya itu. "Kalau gitu aku temenin ke kelas yuk!"

"Hayuk-hayuk! Tiga hari nggak ketemu aku juga udah kangen banget sama kamu."

Marsha tidak merespon ucapan pacarnya itu. Ia langsung memegang lengan Sadava dan membantunya berjalan. Bertepatan dengan itu Sadena yang selesai memarkirkan motor datang.

"Gue duluan ya, Na," ujar Sadava tersenyum hangat pada Sadena.

Cowok itu hanya menggidikan bahu cuek dan berjalan melewatinya begitu saja.

--Sadena--

"Aduh mampus gue telat!" pekik seorang gadis berambut sepundak yang berada di luar pagar itu. Ia menggigiti jarinya, gugup. Mukanya panik setengah mati karena pagar sudah ditutup.

"Eh, neng cantik ngapain di situ?" tanya satpam bertubuh gempal yang duduk di pos tak jauh dari pagar. "Telat lagi ya? Aduh neng, kenapa sih telat mulu? Ini, 'kan hari Senin. Oh, atau neng mau skip upacara ya? Ngakuu," tanyanya.

Gadis bername tag 'Selindya Destira Z' itu berkacak pingang. "Ih bawel banget sih, Pak?! Cepat bukain pagarnya, gue mau masuk."

"Oalah, nggak bisa atuh neng. Pulang aja sana gih. Sesuai peraturan sekolah, yang telat datang nggak dibolehin masuk, jadi si eneng--"

"Ih, kok malah ceramah sih, Pak? Saya minta dibukain pagarnya cepetannn. Entar ada yang liat."

"Oalah ck ck, neng masih gak ngerti rupanya," Ada jeda. Namun, mata satpam itu membulat ketika mendapati gadis itu malah nekat. "Eh-eh, neng ngapain?"

"Bacot deh bapaknya."

"Turun neng."

"Biarin gue manjat napa sih?" Selin malah ngotot, gadis itu sekuat tenaga memanjat pagar. Hingga sampailah ia di atas.

"Aduh bisa berabe kalau jatuh neng."

"Minggir dari situ, Pak. Gue mau mendarat sambil mengeluarkan gas alam."

"Tapi celana dalam neng malah kelihatan."

"APA?! Ih bapaknya mesummm," pekik Selin heboh. Alhasil, gadis itu kehilangan keseimbangan dan berakhir jatuh. Matilah, pantatnya pasti akan mendarat mulus di tanah berbatu.

Bugh.

"Adaw." Jangan kira itu suara Selin. Ia tidak memekik karena pantatnya tidak terasa sakit sedikit pun. Selin yang jatuh telentang itu pun akhirnya membuka mata.

Oh my God! Sejak kapan batu yang gue rebahi terasa empuk?

"Minggir lo!" Bentakan itu terdengar bersamaan dengan bahunya yang tiba-tiba didorong kasar. Akibatnya gadis itu jatuh telungkup.

Tega.

Hidung Selin kembang kempis. Dia menoleh kesal ke arah orang yang baru saja mendorongnya itu. Hanya sesaat, pupil matanya malah membesar.

Astaga! Jadi dia mendarat di badan cowok? Ih, nggak suci lagi dong guee!  Selin memang seperti itu, ia sering sekali membatin untuk hal-hal yang tidak penting.

"Eh lo!" Telunjuk Selin mengarah ke wajah cowok itu. Sesaat ia terpaku, ganteng sih, tapi dia udah dorong guee. Dasar nggak punya hati!

Cowok itu, tidak lain adalah Sadena hanya menatap Selin datar lalu menepuk-nepuk belakang seragamnya yang kotor, tertempel pasir.

"Eh lo denger nggak sih gue panggil?" Ulang Selin. Kedua matanya memicing menatap Sadena. Berkacak pinggang.

"Siapa?" Sadena bertanya datar sambil mengambil buku paketnya yang tergeletak naas di tanah.

"Ya elolah. Emang ada orang lain di sini?"

Sadena berdecak. Ia sudah biasa menghadapi manusia macam Selin. Tipe-tipe cewek yang suka cari perhatian. Sadena melirik ke arah Satpam yang sedari tadi malah makan donat.

"Urus dia, Pak."

"Apa?" Selin tiba-tiba menyela. "Ih nggak mau! Gue bakalan masuk kelas."

"Setelah neng manjat pagar?" Satpam itu tertawa. "Nggak bisa neng. Ikut bapak ke ruang BK dulu yuk."

"Ngga mau. Ngga mau. Ngga mau."

"Nurut!" bentak Sadena membuat Selin makin manyun.

"Tetap nggak mau! Masa manjat pagar doang pake ke BK sih?"

"Itu karena neng buat salah. Manjat pagar itu nggak dibolehin toh, neng," sahut Satpam itu

"Bego!" Sadena membentak lagi.

Kini bibir Selin melengkung ke bawah, dia merasa sangat tersudutkan oleh dua orang itu. Selin menunduk takut, memainkan kedua jemarinya salah tingkah. Namun, tak lama kemudian gadis itu jatuh pingsan.

Sadena lekas mundur beberapa langkah sebelum badan Selin menghantamnya lagi.

"Yah, malah mundur si adek. Tolongin tuh," ucap Satpam itu pada Sadena.

"Nggak!" tolak Sadena mentah-mentah. "Cuma bohong."

Setelahnya, Sadena beranjak pergi menuju koperasi tak jauh dari sana. Meninggalkan Selin yang tergeletak di tanah dan Pak Satpam yang kebingungan.

Selin mengintip dengan membuka sebelah matanya. Bibirnya mengerucut ketika melihat Sadena malah pergi meninggalkannya.

"Ih tega!" gumamnya. Membuat Satpam yang mendengar hal itu membungkuk dan menatap wajah Selin lebih dekat.

"Eh, si eneng beneran pingsan bohongan toh?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status