Share

Bab 5

Author: Eudora
Peter merasa dirinya sudah cukup merendah. Dia tidak mengerti apa lagi yang membuat Nindy begitu marah.

"Nindy, sebenarnya kamu masih mau aku gimana? Semua pesan yang kamu kirim ke Sofie sudah aku lihat. Iya, aku memang tumbuh besar bersama Sofie, tapi perasaanku padanya hanya sebatas kakak dan adik."

"Kenapa kamu harus selalu memikirkan kami seolah-olah hubungan kami kotor? Soal Bi Bonita, dia sama seperti ibuku sendiri. Aku bahkan nggak marah waktu kamu bohong soal kehamilan ektopik. Kamu datang ke rumah sakit memata-matai aku, aku pun masih bisa memaafkanmu. Bisa nggak kamu berhenti membuat masalah tanpa alasan?"

"Aku lelah. Pergilah," jawab Nindy dengan suara datar.

"Kamu ... suruh aku pergi?"

Peter tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ini rumah mereka berdua. Jika dia diusir, harus pergi ke mana lagi?

Namun belum sempat dia bertanya lebih lanjut, ponselnya yang tergeletak di samping berbunyi nyaring. Peter menahan emosinya, lalu segera mengangkat.

"Peter, ibuku muntah darah ... cepatlah datang, aku takut sekali!" Suara Sofie di ujung telepon terdengar panik dan menangis.

Peter langsung bangkit dari ranjang. "Jangan takut, aku segera ke sana."

Nindy hanya mendengarkan suara Peter sibuk memakai pakaian, lalu suara pintu dibuka dan ditutup rapat. Dia menutup matanya, seolah kelelahan sudah menelan seluruh tubuhnya.

Di rumah sakit, Peter menggenggam erat tangan Bonita, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Bonita membuka mata yang sudah keruh dan menatap Peter dengan pandangan memohon.

"Peter ... satu-satunya hal yang nggak bisa membuatku tenang sebelum mati adalah Sofie. Aku tahu permintaan ini terlalu berlebihan, tapi aku mohon ... bisakah kamu menikahi Sofie, lalu menjaganya seumur hidup?"

Kata-kata itu membuat Peter tertegun. Dia memang bisa berjanji menjaga Sofie, tapi bagaimana mungkin dia menikahinya? Bukankah dia pernah bersumpah, tak akan pernah meninggalkan Nindy?

Melihat Peter tampak ragu, Bonita mendadak batuk hebat. Darah segar sekali lagi memenuhi tisu yang disodorkan Peter.

Sofie menangis keras sambil berusaha menenangkan ibunya, "Ibu, Peter sudah nikah, jangan persulit dia lagi ...."

"Tapi jelas-jelas ... kalian berdua itu jodoh dari lahir. Semua salah Ibu, salah Ibu yang dulu bawa kamu ke luar negeri ... salah Ibu ...."

Melihat Bonita terengah-engah dan emosinya semakin tak terkendali, Peter akhirnya tidak ragu lagi. Dia menggenggam erat tangan Sofie dan berkata, "Bi Bonita, aku janji. Aku akan menikah dengan Sofie dan menjaganya seumur hidup."

"Kamu ... kamu sumpah ... kamu harus sumpah ...."

Entah dari mana datangnya tenaga, Bonita mencengkeram kerah kemeja Peter dengan kuat.

Peter tidka punya pilihan, dia pun mengangkat tiga jari. "Aku bersumpah, aku akan menikahi Sofie. Kalau aku mengingkari kata-kata ini, biarlah aku mati mengenaskan."

Mendengar ucapannya, wajah tua Bonita yang penuh keriput akhirnya tersenyum lega. "Hidupku sudah nggak lama lagi ... kalian harus menikah sebelum aku pergi ...."

Begitu selesai bicara, Bonita kembali jatuh pingsan karena terlalu banyak menguras tenaga.

Di luar rumah sakit, Peter duduk di bangku panjang. Jarang sekali dia terlihat merokok seperti sekarang.

Sofie datang membawa dua gelas kopi, lalu duduk di sampingnya.

"Peter, aku tahu permintaan ibuku terlalu berlebihan. Tapi dia sebentar lagi pergi, aku nggak mau dia mati dengan penyesalan. Tenang saja, ini hanya pernikahan palsu. Aku sendiri yang akan jelaskan pada Kak Nindy."

Peter menggeleng pelan. "Nggak usah, aku yang akan bicara. Nindy itu baik, dia nggak akan marah."

"Dia benar-benar nggak akan marah? Tapi ... dia ...." Sofie menggantungkan kalimatnya.

"Ada apa dengan dia? Dia kirim pesan lagi ke kamu?"

Sebelum Sofie sempat menjawab, Peter meraih ponselnya dan membuka aplikasi WhatsApp.

[ Nindy: Sofie, dasar wanita hina. Kenapa ibumu belum mati juga? ]

Membaca pesan itu, Peter hampir saja membanting ponsel. Dia tidak percaya Nindy bisa sekejam ini. Nindy bukanlah orang seperti itu.

"Peter, jangan marah ... Kak Nindy cuma terlalu mencintaimu." Sofie terisak, wajahnya dibasahi oleh air mata.

Peter mematikan rokoknya, lalu langsung menarik Sofie ke dalam pelukannya. "Dia sudah keterlaluan. Aku akan pastikan dia minta maaf padamu."

Sofie mengangguk pelan dengan suara serak. Namun di balik bahunya, mata Sofie berkilat penuh kemenangan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 28

    Roman teringat pada musim panas yang terik itu saat Nindy memberinya sebutir permen dan selembar plester."Jadi, kita sebenarnya sudah saling kenal sejak lama.""Benar." Roman mengangguk. "Sudah sejak lama. Hanya saja aku kurang beruntung. Sekali saja terlewat, hampir saja seumur hidup terlewat juga.""Maksudmu apa?" Air mata Nindy jatuh tanpa henti. Dia mengira hatinya yang sudah mati, tetapi ternyata sekali lagi mulai berdegup."Nanti aku ceritakan pelan-pelan. Eh? Kok kamu nangis lagi? Jangan nangis. Kalau kamu nangis begini, lukaku ikut sakit." Roman mengulurkan tangan untuk menghapus air mata Nindy.Nindy menepis tangannya. "Kamu 'kan lagi pakai selang pereda nyeri, sakit apanya? Jangan bohong.""Benaran sakit, aku sakit hati.""Sudahlah, kamu mau minum air nggak?""Kapan kamu kasih aku status resmi?""Aku tanya, kamu mau minum nggak?""Mau. Asal yang menuang pacar sendiri, racun pun aku minum.""Siapa pacarmu? Aku belum setuju.""Sudah setuju, waktu kamu ngomong sambil tidur.""K

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 27

    Saat ayah dan ibu Nindy sampai di rumah sakit, yang mereka lihat adalah Nindy yang tubuhnya penuh darah. Pasangan itu memeriksa beberapa kali, memastikan Nindy tak terluka, baru merasa lega.Namun, wajah orang tua Roman yang datang segera setelahnya terlihat sangat buruk. Meskipun demikian, ibu Roman tetap melangkah ke sisi Nindy, menggenggam erat tangan Nindy. "Kamu pasti ketakutan ya? Jangan khawatir. Roman kuat, cuma luka kecil, nggak apa-apa.""Maaf, Bibi. Dia terluka karena menyelamatkanku. Maaf ...." Emosi Nindy kembali tak terkendali, dia seperti anak yang telah berbuat salah dan tidak berani menatap ibu Roman.Orang-orang di sekitar melihat keadaan Nindy, tahu apa pun yang mereka katakan saat ini tak akan ada gunanya.Waktu berjalan menit demi menit, hingga akhirnya lampu di ruang operasi padam. Saat dokter keluar, Nindy adalah orang pertama yang berlari menghampiri. "Dokter, gimana keadaan Roman?""Nggak apa-apa, nggak kena bagian vital. Lukanya sudah dijahit, sebentar lagi bi

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 26

    Karena surat keterangan gangguan jiwa Sofie sah, Nindy sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa padanya.Di depan kantor polisi, Peter ingin mengatakan sesuatu kepada Nindy. Namun, Roman berdiri di antara mereka berdua, sama sekali tidak memberi Peter kesempatan."Nindy, aku perlu bicara berdua saja denganmu.""Dia nggak mau bicara denganmu."Roman sudah menahan diri cukup lama. Ada beberapa hal yang hari ini harus dia katakan langsung kepada Peter."Peter, sebenarnya kamu mau apa? Kamu dan Nindy sudah cerai, aku minta kamu jangan ganggu hidupnya lagi. Dan satu lagi, jaga baik-baik orangmu. Surat keterangan gangguan jiwa itu bukanlah kartu bebas hukuman di mataku."Mendengar ini, rasa ingin menang Peter pun terpancing. Dia tersenyum sinis dan menatap Roman."Kenapa memangnya kalau kami cerai? Aku dan Nindy bersama delapan tahun. Semua pengalaman pertamanya adalah milikku. Kamu punya apa?""Pak Roman, kamu pikir aku nggak mengenalmu? Aku sudah lama mengenalmu, tapi aku nggak pernah mengan

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 25

    Roman benar-benar mengajak Nindy makan malam. Selesai makan, Nindy mengusulkan untuk jalan-jalan di kawasan pertokoan.Dengan segelas teh susu hangat di tangan, Nindy dan Roman berjalan berdampingan di tengah kerumunan orang."Sayang sekali ya, hari ini nggak turun salju. Oh ya, Roman, tahun-tahun sebelumnya pernah turun salju nggak?"Nindy sudah bertahun-tahun tidak merayakan Natal di kampung halamannya. Salju yang dia ingat hanyalah saat masih SMA.Roman sempat tertegun, lalu menggeleng pelan dengan sedikit canggung. "Aku nggak tahu.""Nggak tahu? Kamu nggak tinggal di sini?""Nggak, aku di ibu kota.""Di ibu kota? Untuk kerja?" Nindy hanya bertanya karena penasaran.Saat percakapan sampai di situ, Roman berhenti melangkah. Dia menunduk menatap wajah Nindy yang pipinya memerah karena udara dingin. "Untuk melihatmu.""Tahun lalu waktu Natal, kamu bersama dia di kampus, merayakan bersama mahasiswa asing yang dia bimbing. Dua tahun lalu, dia sepertinya nggak ada di rumah. Kamu ke minima

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 24

    Nindy sama sekali tidak pernah menyangka dirinya akan mengalami situasi canggung seperti ini. Dia tidak ingin membuat siapa pun malu, tetapi karena sudah terlanjur, dia hanya bisa meneruskan aktingnya."Roman, kamu pulang dulu saja. Profesor Peter mungkin ada urusan sama aku.""Oke, nanti malam aku jemput kamu pulang kerja." Sambil berkata, Roman mengangkat tangannya menyentuh pipi Nindy. Gerakannya terlihat sangat terbiasa. Tingkat keintiman ini terlihat seperti mereka sudah berpacaran sejak lama.Setelah berpamitan dengan Peter sebentar, Roman pun masuk mobil dan pergi.Menunggu mobil Roman melaju cukup jauh, barulah Nindy menatap Peter dengan wajah dingin. "Kamu mau apa lagi? Nggak bisa sama-sama melangkah maju? Kenapa harus datang mengusik hidupku lagi?""Nindy, aku sudah mengundurkan diri. Aku memutuskan untuk bekerja di Kota Saka." Peter tidak tersinggung oleh sikap Nindy, malah tersenyum sambil melangkah maju.Nindy melemparkan bunga di tangannya dengan kesal, bahkan tak mau mel

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 23

    Nindy mencoba mencari jawaban di kepalanya berulang kali, tetapi tetap tidak bisa mengingat kapan dirinya pernah bertemu Roman.Selain itu, Roman mengakui dirinya diam-diam menyukainya. Itu berarti mereka pernah bertemu sebelumnya.Roman mendengar pertanyaan itu, lalu terkekeh-kekeh. "Mm, pernah.""Di mana? Kapan?" Nindy mendesak."Aku rasa abu muda bagus, kelihatannya elegan. Kamu setuju?"Jelas sekali Roman tidak berniat melanjutkan jawabannya atas pertanyaan Nindy. Karena dia tidak mau bilang, Nindy juga hanya bisa mengurungkan niatnya."Mm, nanti aku kirim gambar rancangan yang sudah direvisi ke ponselmu." Tepat saat itu, ponsel Nindy berdering. Panggilan dari bibi keduanya. Meskipun malas, Nindy tak mungkin mengabaikan begitu saja.Begitu tersambung, di seberang langsung tak sabar menanyakan perkembangan. "Nindy, sudah ketemu orangnya belum? Gimana? Aku kasih tahu ya, Roman itu anaknya baik banget. Orangnya berkarakter, ganteng, bisa cari uang. Kalau kamu nikah sama dia, tinggal t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status