Share

Bab 4

Author: Eudora
Orang-orang yang berkerumun semakin banyak. Bisikan-bisikan, tatapan mencela, dan jari-jari yang menunjuk, semuanya mengarah ke Nindy.

Tanpa berpikir panjang, Elvi maju selangkah dan langsung menampar wajah Peter dengan keras. "Peter, kamu sudah gila ya?!"

Seumur hidupnya, Peter belum pernah dipukul orang. Matanya langsung menyala marah dan menatap Nindy seolah dialah pelakunya. "Bagus sekali! Kamu bahkan bawa wanita hamil untuk membantumu membuat keributan. Nindy, di mana sopan santunmu?!"

Elvi masih ingin melayangkan tamparan kedua, tapi Nindy buru-buru menahan tangannya. "Sudahlah, ayo pergi. Mobilku sudah datang."

Tanpa melirik Peter ataupun Sofie yang masih bersimpuh di lantai berperan seperti korban, Nindy menarik Elvi dan berbalik hendak pergi.

Peter yang selama ini selalu merasa dirinya menjadi pusat perhatian, tidak pernah diabaikan begitu saja oleh Nindy. Dadanya naik turun penuh amarah. Dia buru-buru menarik pergelangan tangan Nindy dengan kasar.

"Berhenti! Minta maaf sama Sofie!"

Melihat Nindy diam, Peter menekan genggamannya lebih keras. "Aku suruh kamu minta maaf sama Sofie!"

Rasa sakit dari pergelangan tangan itu tidak seberapa dibanding luka di hati. Nindy menarik napas panjang, lalu menoleh dan menatap Peter dengan tatapan sedingin es.

"Kenapa aku harus minta maaf? Apa aku bicara sesuatu? Apa aku berbuat sesuatu? Lagi pula, memangnya rumah sakit ini milik keluargamu? Kamu boleh datang, kenapa aku nggak boleh? Profesor Peter, boleh aku tanya, di mana letak pendidikan dan martabatmu?"

Tatapan Nindy begitu asing dan dingin, seakan-akan Peter hanyalah orang yang sama sekali tidak dikenalnya.

Peter mematung. Entah mengapa, ada hawa dingin yang menyusup ke dadanya. Genggamannya melemah dan perlahan melepaskan pergelangan tangan Nindy.

Nindy tidak ingin lagi berdebat. Dia menggandeng Elvi dan melangkah mantap keluar dari rumah sakit.

Melihat wajah Peter yang tampak gelisah, Sofie menggenggam tangannya dengan hati-hati, lalu berkata dengan suara bergetar, "Peter, apa aku bikin masalah lagi?"

Peter tersadar, lalu buru-buru menepuk tangan Sofie dan berusaha menenangkan, "Bukan salahmu. Ini salahku. Akhir-akhir ini aku terlalu mengabaikannya."

Ya, hanya itu. Semua ini hanya karena dia terlalu sibuk dan lelah. Karena itu Nindy jadi tersinggung, hatinya tidak enak, lalu membuat keributan. Tidak apa-apa. Dia tahu Nindy paling pengertian, paling mudah dibujuk.

Kalau nanti dia pulang dan bicara baik-baik, lalu membujuknya sedikit, pasti semua akan kembali seperti semula.

Setelah menenangkan diri dan meyakinkan hatinya, Peter menepis rasa tidak enak yang sempat muncul. Dia lalu menggandeng Sofie masuk ke dalam lift.

Malam harinya, Peter akhirnya memutuskan untuk pulang. Dalam perjalanan, dia bahkan sengaja membeli setangkai tulip merah muda yang merupakan bunga favorit Nindy.

Begitu pintu rumah terbuka, Peter melihat Nindy sedang berbicara di telepon. "Oke, kamu siapkan draf perjanjiannya lalu kirimkan ke aku. Hmm, secepatnya."

Selesai bicara, Nindy langsung menutup telepon.

"Perjanjian apa?" tanya Peter, berusaha bersikap biasa saja, seolah pertengkaran di rumah sakit siang tadi sama sekali tidak pernah terjadi.

"Urusan kerja," jawab Nindy datar. Dia bahkan tidak menoleh pada Peter, lalu melangkah pergi.

Peter buru-buru menyusul, lalu memeluk Nindy dari belakang. "Sayang, aku pulang."

Dulu, Nindy pasti akan berbalik dan menatap wajah Peter dengan senyum hangat, lalu menyentuh pipinya dengan penuh kasih dan bahkan memberi sebuah ciuman ringan.

Namun sekarang, Nindy bahkan tidak sudi membuka mulut. Dia mendorong kuat kedua lengan Peter yang melingkar di tubuhnya, kemudian berjalan masuk ke kamar tidur dan menutup pintu rapat-rapat.

Peter tertegun dan berdiri kaku di tempat. Dia benar-benar tidak mengerti. Bukankah dia sudah pulang? Lalu mengapa Nindy masih memperlakukannya seperti orang asing?

Diopname tiga hari di rumah sakit benar-benar menyiksa Nindy. Setiap kali memejamkan mata, yang muncul hanya bayangan Peter yang mati-matian membela Bonita dan Sofie, sementara dirinya tergeletak sendiri.

Tak lama kemudian, dengan tubuh masih lembap setelah mandi, Peter masuk ke kamar. Dia langsung menyibakkan selimut, lalu berbaring di samping Nindy. Dengan lengan panjangnya, dia memeluk pinggang Nindy dari belakang dan wajahnya menempel di lekuk leher Nindy.

"Nindy, beberapa bulan ini aku memang mengabaikanmu. Kamu pasti kangen aku, 'kan?" bisiknya, seraya mencoba mencium Nindy, sementara tangannya mulai bergerak menggerayangi di balik selimut.

Namun, rasa jijik langsung merayapi tubuh Nindy. Dia menghindar dari ciuman itu dan menepis keras tangannya, lalu menoleh dengan tatapan penuh kebencian.

"Jangan sentuh aku."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 28

    Roman teringat pada musim panas yang terik itu saat Nindy memberinya sebutir permen dan selembar plester."Jadi, kita sebenarnya sudah saling kenal sejak lama.""Benar." Roman mengangguk. "Sudah sejak lama. Hanya saja aku kurang beruntung. Sekali saja terlewat, hampir saja seumur hidup terlewat juga.""Maksudmu apa?" Air mata Nindy jatuh tanpa henti. Dia mengira hatinya yang sudah mati, tetapi ternyata sekali lagi mulai berdegup."Nanti aku ceritakan pelan-pelan. Eh? Kok kamu nangis lagi? Jangan nangis. Kalau kamu nangis begini, lukaku ikut sakit." Roman mengulurkan tangan untuk menghapus air mata Nindy.Nindy menepis tangannya. "Kamu 'kan lagi pakai selang pereda nyeri, sakit apanya? Jangan bohong.""Benaran sakit, aku sakit hati.""Sudahlah, kamu mau minum air nggak?""Kapan kamu kasih aku status resmi?""Aku tanya, kamu mau minum nggak?""Mau. Asal yang menuang pacar sendiri, racun pun aku minum.""Siapa pacarmu? Aku belum setuju.""Sudah setuju, waktu kamu ngomong sambil tidur.""K

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 27

    Saat ayah dan ibu Nindy sampai di rumah sakit, yang mereka lihat adalah Nindy yang tubuhnya penuh darah. Pasangan itu memeriksa beberapa kali, memastikan Nindy tak terluka, baru merasa lega.Namun, wajah orang tua Roman yang datang segera setelahnya terlihat sangat buruk. Meskipun demikian, ibu Roman tetap melangkah ke sisi Nindy, menggenggam erat tangan Nindy. "Kamu pasti ketakutan ya? Jangan khawatir. Roman kuat, cuma luka kecil, nggak apa-apa.""Maaf, Bibi. Dia terluka karena menyelamatkanku. Maaf ...." Emosi Nindy kembali tak terkendali, dia seperti anak yang telah berbuat salah dan tidak berani menatap ibu Roman.Orang-orang di sekitar melihat keadaan Nindy, tahu apa pun yang mereka katakan saat ini tak akan ada gunanya.Waktu berjalan menit demi menit, hingga akhirnya lampu di ruang operasi padam. Saat dokter keluar, Nindy adalah orang pertama yang berlari menghampiri. "Dokter, gimana keadaan Roman?""Nggak apa-apa, nggak kena bagian vital. Lukanya sudah dijahit, sebentar lagi bi

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 26

    Karena surat keterangan gangguan jiwa Sofie sah, Nindy sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa padanya.Di depan kantor polisi, Peter ingin mengatakan sesuatu kepada Nindy. Namun, Roman berdiri di antara mereka berdua, sama sekali tidak memberi Peter kesempatan."Nindy, aku perlu bicara berdua saja denganmu.""Dia nggak mau bicara denganmu."Roman sudah menahan diri cukup lama. Ada beberapa hal yang hari ini harus dia katakan langsung kepada Peter."Peter, sebenarnya kamu mau apa? Kamu dan Nindy sudah cerai, aku minta kamu jangan ganggu hidupnya lagi. Dan satu lagi, jaga baik-baik orangmu. Surat keterangan gangguan jiwa itu bukanlah kartu bebas hukuman di mataku."Mendengar ini, rasa ingin menang Peter pun terpancing. Dia tersenyum sinis dan menatap Roman."Kenapa memangnya kalau kami cerai? Aku dan Nindy bersama delapan tahun. Semua pengalaman pertamanya adalah milikku. Kamu punya apa?""Pak Roman, kamu pikir aku nggak mengenalmu? Aku sudah lama mengenalmu, tapi aku nggak pernah mengan

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 25

    Roman benar-benar mengajak Nindy makan malam. Selesai makan, Nindy mengusulkan untuk jalan-jalan di kawasan pertokoan.Dengan segelas teh susu hangat di tangan, Nindy dan Roman berjalan berdampingan di tengah kerumunan orang."Sayang sekali ya, hari ini nggak turun salju. Oh ya, Roman, tahun-tahun sebelumnya pernah turun salju nggak?"Nindy sudah bertahun-tahun tidak merayakan Natal di kampung halamannya. Salju yang dia ingat hanyalah saat masih SMA.Roman sempat tertegun, lalu menggeleng pelan dengan sedikit canggung. "Aku nggak tahu.""Nggak tahu? Kamu nggak tinggal di sini?""Nggak, aku di ibu kota.""Di ibu kota? Untuk kerja?" Nindy hanya bertanya karena penasaran.Saat percakapan sampai di situ, Roman berhenti melangkah. Dia menunduk menatap wajah Nindy yang pipinya memerah karena udara dingin. "Untuk melihatmu.""Tahun lalu waktu Natal, kamu bersama dia di kampus, merayakan bersama mahasiswa asing yang dia bimbing. Dua tahun lalu, dia sepertinya nggak ada di rumah. Kamu ke minima

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 24

    Nindy sama sekali tidak pernah menyangka dirinya akan mengalami situasi canggung seperti ini. Dia tidak ingin membuat siapa pun malu, tetapi karena sudah terlanjur, dia hanya bisa meneruskan aktingnya."Roman, kamu pulang dulu saja. Profesor Peter mungkin ada urusan sama aku.""Oke, nanti malam aku jemput kamu pulang kerja." Sambil berkata, Roman mengangkat tangannya menyentuh pipi Nindy. Gerakannya terlihat sangat terbiasa. Tingkat keintiman ini terlihat seperti mereka sudah berpacaran sejak lama.Setelah berpamitan dengan Peter sebentar, Roman pun masuk mobil dan pergi.Menunggu mobil Roman melaju cukup jauh, barulah Nindy menatap Peter dengan wajah dingin. "Kamu mau apa lagi? Nggak bisa sama-sama melangkah maju? Kenapa harus datang mengusik hidupku lagi?""Nindy, aku sudah mengundurkan diri. Aku memutuskan untuk bekerja di Kota Saka." Peter tidak tersinggung oleh sikap Nindy, malah tersenyum sambil melangkah maju.Nindy melemparkan bunga di tangannya dengan kesal, bahkan tak mau mel

  • Sahabat Masa Kecil Suamiku Adalah Pelakor   Bab 23

    Nindy mencoba mencari jawaban di kepalanya berulang kali, tetapi tetap tidak bisa mengingat kapan dirinya pernah bertemu Roman.Selain itu, Roman mengakui dirinya diam-diam menyukainya. Itu berarti mereka pernah bertemu sebelumnya.Roman mendengar pertanyaan itu, lalu terkekeh-kekeh. "Mm, pernah.""Di mana? Kapan?" Nindy mendesak."Aku rasa abu muda bagus, kelihatannya elegan. Kamu setuju?"Jelas sekali Roman tidak berniat melanjutkan jawabannya atas pertanyaan Nindy. Karena dia tidak mau bilang, Nindy juga hanya bisa mengurungkan niatnya."Mm, nanti aku kirim gambar rancangan yang sudah direvisi ke ponselmu." Tepat saat itu, ponsel Nindy berdering. Panggilan dari bibi keduanya. Meskipun malas, Nindy tak mungkin mengabaikan begitu saja.Begitu tersambung, di seberang langsung tak sabar menanyakan perkembangan. "Nindy, sudah ketemu orangnya belum? Gimana? Aku kasih tahu ya, Roman itu anaknya baik banget. Orangnya berkarakter, ganteng, bisa cari uang. Kalau kamu nikah sama dia, tinggal t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status