Sudah satu jam, dan Edwin masih setia menatap langit-langit kamarnya. Setelah pulang dari kafe tadi, Edwin langsung membersihkan tubuhnya lalu merebahkan dirinya di kasur. Pikirannya tak diam, bahkan saat dia dalam perjalanan pulang tadi. Percakapan singkat dengan Aliyah berhasil membuat Edwin kembali menanyakan pertanyaan yang sudah dari lama dia kubur, “Apa benar aku menyukai Fibi?”
Nyatanya, Edwin sama sekali tak bisa menyangkal setiap hipotesa yang diucapkan Aliyah. Bahkan saat Aliyah memintanya membayangkan pernikahan Fibi dengan orang lain, hatinya jadi sakit. Namun, apa itu cukup untuk menjadi bukti kalau Edwin menyukai Fibi? Mungkin saja dia hanya sakit hati karena ditinggal nikah oleh sahabat baiknya, kan? Edwin sering lihat, banyak yang seperti itu. Sedih bukan karena suka, tapi karena ditinggalkan. “Kalau nggak suka ngapain sedih pas ditinggal?” gumam Edwin tanpa sadar. Dia seketika bangun dan mengacak rambutnya frustrasi. Tidak mungkin dia benar menyukai Fibi, kan? Di saat yang sama, ponselnya berdering. Panggilan dari orang yang sejak tadi memenuhi kepalanya. “Ed!” teriak Fibi di seberang sana yang membuat Edwin seketika menjauhkan telinganya. “Bisa nggak sih, nggak usah teriak di telpon?” jawab Edwin sambil mengusap telinganya. “Sensi amat kayak cewek PMS!” “Lagi pusing! Ada apa lo nelpon malam-malam gini? Bukannya tidur!” Dapat Edwin dengar, Fibi menghela napas panjang di seberang sana. “Gue kebangun, terus inget lo habis reuni sama Aliyah. Gimana kabar dia, Ed? Gue kangen deh.” Edwin menata bantalnya lalu merebahkan dirinya lagi. “Besok dia ke kafe lagi katanya. Kalau kangen, datang aja. Aliyah juga kangen sama lo,” ucap Edwin, tapi tak ada balasan dari Fibi. “Bi?” panggil Edwin. “Hm,” jawab Fibi. Edwin menghela napas. “Jangan ngerasa bersalah. Gue putus sama Aliyah bukan karena lo. Gue nemenin lo saat itu karena emang gue pengen nemenin lo,” ucap Edwin. Sejak Fibi tahu cerita tentang perceraian orang tua Aliyah dan tentang Edwin yang memilih menemaninya tanpa tahu saat itu Aliyah juga butuh ditemani, membuatnya terus merasa bersalah. “Gue tahu,” jawab Fibi. “Terus?” “Gue cuma malu, Ed. Gue malu sama Aliyah. Gue malu ketemu dia lagi! Tahu nggak sih? Udah lama gitu gue sama Aliyah nggak ketemu, bakalan canggung nggak sih? Emang lo nggak ngerasa canggung gitu?” cecar Fibi yang kembali membuat Edwin mendengus. Sia-sia rupanya Edwin mengkhawatirkan gadis itu. “Gue kira lo masih kepikiran sama omongan Nina si ratu gosip sekolah.” “Dih, ngapain? Kalau pun benar, ya bukan gue yang salah lah. Salah lo sendiri kenapa bego banget masalah cewek!” ucap Fibi dengan percaya diri penuh. “Iya dah iya, gue yang salah.” Edwin hanya pasrah saja. Melawan pun tetap bakal kalah. “Iya lah! Coba ya, Ed, sesekali tuh kalau pacaran yang bener! Ceweknya diperhatiin, ditanyain lagi butuh apa, ditreat dengan baik. Lo mah, nggak bisa pacaran, Ed! Nggak jago!” cerocos Fibi lagi. Jika sudah begini, Ed pasti akan mendengar petuah-petuah menjalin hubungan ala Fibi semalaman. “Nih ya, Ed gue kasih saran. Kalau punya cewek lagi tuh yang perhatian. Tanyain dia lagi apa, mau makan apa, lagi sedih nggak? Sering-sering juga ajakin jalan, ajakin makan bareng. Pokoknya lo tuh kalau punya cewek harus dua puluh empat jam bareng cewek lo!” oceh Fibi. Edwin hanya menjawab iya-iya saja, tanpa perlawanan. Jika dipikir lagi, semua saran Fibi sudah dilakukan Edwin. Bukan ke pacar, tapi ke Fibi. Benar, kan? “Intinya ya, Ed. Cewek tuh maunya dipahami. Dia lagi nggak mood, lo harus paham. Dia lagi sedih, lo harus paham. Dia lagi seneng pun, lo harus paham. Pokoknya lo harus selalu paham. Ngerti nggak, Ed?” tanya Fibi, mengakhiri ceramah panjangnya. “Ngerti, Bi. Kayak lo gitu kan? Kalau lo lagi PMS, gue yang kena amuk. Kalau lo lagi sedih, baju gue basah kena ingus lo. Kalau lo lagi seneng, duit gue habis jajanin lo. Gitu kan intinya? Udah khatam gue,” jawab Edwin. “Pelatihan gue berhasil berarti. Tinggal apply ke cewek lain aja, Ed,” ucap Fibi sambil tertawa. “Emang gue bisa ya kayak gitu ke cewek selain Fibi?” batin Ed. “Balikan sama Aliyah boleh juga tuh, Ed. Gue dukung seribu persen!” sahut Fibi lagi. “Gue lihat-lihat, kayaknya lo demen banget sama Aliyah. Lo aja gih jadian sama Aliyah sana! Gue juga bakal dukung seribu persen! Daripada lo ngarepin cowok orang?” jawab Edwin sambil tertawa mengejek. “OH BOCAH GENDENG! GUE MASIH NORMAL! DAN INGAT! GUE NGGAK NGAREPIN MAS KEVIN!” teriak Fibi sebelum memutuskan panggilan telponnya. Edwin tertawa keras sebelum kembali mencoba menghubungi Fibi. Namun panggilannya ditolak. Edwin tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Oke, sepertinya dia sudah membuat gadis itu marah. Edwin membuka jadwal Fibi yang sengaja dia catat di ponselnya. Besok, gadis itu ada pemotretan pagi bersama Kevin dan Sarah. Tidak ada pilihan lain selain minta maaf besok. “Fibi, Fibi. Gimana bisa lo ngira gue nggak bisa pacaran, sedangkan sama lo aja gue segini effort-nya.” Edwin menggeleng-gelengkan kepala mengingat dirinya dan Fibi. Jika benar apa yang dikatakan Aliyah, Edwin hanya akan membiarkan semuanya mengalir. Lagi pula, Fibi tidak akan ke mana-mana kan? *** Pukul 5 pagi Edwin sudah siap di depan rumah Fibi. Seharusnya, gadis itu sebentar lagi keluar, karena jadwalnya mengatakan pemotretan akan dimulai pukul 7 pagi. Edwin menatap jam tangannya hingga suara kunci diputar membuatnya mendongak. Dia segera berdiri tepat di depan pintu masuk untuk menyambut Fibi. “Huuaaa!” teriak Fibi saat melihat Edwin ada di depan rumahnya. “Ck, berantakan banget sih, Bi!” Edwin seketika mengambil tas make up di tangan Fibi, lalu membawanya masuk ke mobil. “Lo ngapain?” tanya Fibi sambil berjalan mengikuti Edwin. Tak lupa dia menutup pintu rumahnya. “Apa lagi? Tentu saja nganterin lo sekalian minta maaf soal semalam. Ayo masuk!” Edwin membuka pintu depan mobil, lalu mendorong Fibi masuk. “Heh! Gue belum setuju!” protes Fibi, tapi Edwin dengan cepat menekan kepalanya untuk memasuki mobil. Setelah Fibi sudah aman di dalam mobil, Edwin pun segera memasuki mobil juga. “Itu Mama masak terong balado kesukaan lo, udah ada minumnya juga. Terus ....” Ucapan Edwin terpotong karena dia harus menoleh ke belakang untuk mengambil sesuatu. “2 kotak es krim vanila.” Edwin memamerkan 2 kotak sedang es krim vanila yang membuat Fibi seketika ingin meraih es krim itu. Namun Edwin mengelak. “Terong balado sama minumnya boleh gratis. Kalau yang ini boleh lo ambil kalau udah maafin gue,” ucap Edwin dengan senyum kemenangan. “Curang! Mentang-mentang duit lo banyak!” ucap Fibi sambil cemberut. “Jadi nggak mau?” Edwin menggoyang-goyangkan es krim itu di depan Fibi. “Mau!” Dengan cepat Fibi meraih es krim itu. Namun dia gagal lagi. “Oke, ini buat lo. Tapi makannya nanti aja, Lo sarapan nasi dulu!” ucap Edwin sambil menyimpan es krim itu di kursi belakang mobil. “Cih! Buat apa pamerin kalau nggak boleh dimakan!” Dengan terpaksa, Fibi memakan nasi yang dibawakan Edwin terlebih dahulu. Sambil Fibi makan, Edwin pun menjalankan mobilnya dengan hati-hati, agar Fibi bisa makan dengan tenang.“Tante harus berangkat sekarang. Nanti kamu sarapan sama Ed, ya!” ucap Tante Anya setelah selesai membasuh wajah Fibi dan membantu gadis itu menggosok gigi. Sekarang sudah hampir pukul tujuh pagi, jadi dia harus segera berangkat kerja. “Emang Ed nggak ke kafe?” tanya Fibi sambil pelan-pelan bergerak untuk menyender di kasur. Perutnya masih terasa perih dan badannya juga masih lemas, jadi dia bergerak pelan-pelan.“Ya kali Edwin ke kafe setelah lihat kamu hampir sekarat kemarin. Bentar lagi dia juga pasti ke sini,” ucap Tante Anya. Wanita itu lalu pergi keluar kamar Fibi untuk mengambil tasnya.“Tante berangkat ya, Fib! Kamu jangan rewel sama Edwin!” peringat Tante Anya.“Ih, aku bukan anak kecil,” gumam Fibi yang tentu saja tidak terdengar oleh Tante Anya karena wanita itu sudah pergi.Fibi mengambil ponselnya. Ada banyak pesan dari Kevin yang menunjukkan kekhawatiran laki-laki itu. Senyumnya seketika mengembang. Gadis itu membaca satu persatu pesan dari Kevin dengan senyum yang tak
Untuk menghargai Kevin, Fibi tetap memakan bingsu yang dipesan laki-laki itu. Namun dia hanya memakan potongan esnya saja.“Kamu nggak suka bingsu ya?” tanya Kevin yang menyadari kalau sejak tadi Fibi seperti terpaksa memakan bingsu-nya.“Suka kok, Mas,” jawab Fibi.“Kamu nggak pinter bohong, Fib. Nggak suka ya?”Fibi tersenyum kikuk.“Sebenarnya, aku nggak bisa makan mangga, Mas.” Fibi pun akhirnya jujur pada Kevin. Mendengar ucapan Fibi, wajah Kevin pun seketika tampak merasa bersalah.“Kenapa kamu nggak bilang? Ya sudah jangan makan lagi!” ucap Kevin sambil menjauhkan mangkok bingsu dari Fibi.“Nggak enak. Mas Kevin kelihatan excited banget buat ngenalin aku makanan enak di sini,” ucap Fibi.“Jangan gitu lagi, Fib. Aku nggak masalah kalau kamu memang nggak suka atau nggak bisa makan sesuatu yang aku belikan. Kamu bilang aja, jangan ngerasa nggak enakan.” Kevin menatap lekat pada Fibi, seolah memberi peringatan pada gadis itu agar tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.“Jadi seka
Setelah selesai merapikan alatnya, Kevin menghampiri Fibi. Gadis itu tengah merapikan rambutnya di depan cermin. Fibi menyisir rambutnya lalu mengikat rambutnya. Di mata Kevin, gerakan Fibi tersebut tampak seperti slow motion. Senyum Kevin seketika mengembang saat memperhatikan Fibi. Begitu gadis itu selesai dengan mengikat rambutnya dan tengah merapikan poninya, Kevin pun mendekat.“Udah cantik,” ucap Kevin tepat di sebelah Fibi, yang hanya dibalas senyuman.Fibi yang tadinya fokus dengan rambutnya, seketika menyudahi kegiatannya. Gadis itu tersenyum malu sambil menunduk. Berpura-pura merapikan barang di dalam tasnya. Sejujurnya, dia hanya tidak tahu harus menjawab apa. Bibirnya kelu karena terkejut ditambah malu.“Sudah? Aku mau ajak kamu makan malam dulu, mau?”“Boleh aja, Mas,” jawab Fibi.Tanpa diduga, Kevin mengulurkan tangannya. Fibi yang tercengang pun hanya bisa menatap uluran tangan Kevin untuk beberapa waktu. Sampai Kevin sendiri yang meraih tangan Fibi dan menggandengnya m
Edwin berusaha memejamkan mata, tapi setiap kali melakukannya dia terus terbayang senyum Fibi. Senyum yang tadi dia lihat, dan bukan karenanya. Rasa sesak masih ada di dadanya. Ini pertama kali baginya, merasakan sesak yang tak kunjung reda. Bahkan saat dia putus dengan Aliyah pun rasanya tidak begini.Ada rasa takut jauh di dalam hatinya. Takut posisinya akan tergantikan, dan takut Fibi akan melupakannya. Edwin takut dia tak akan berarti lagi di hidup Fibi. Sisi egoisnya terus meronta memintanya kembali dan menarik Fibi pulang. Mengunci gadis itu hanya untuk dirinya seorang. Namun dia masih waras untuk tidak merusak hubungan persahabatannya dengan Fibi.Baru begini saja, Edwin rasanya sudah kelimpungan. Bagaimana jika nanti dia benar-benar kehilangan Fibi? Edwin tidak pernah mengira, Fibi akan membuat hatinya jungkir balik sedemikian rupa. Dia tidak sadar bahwa Fibi sudah hampir mengisi penuh hatinya. Sampai hanya melihat Fibi tersenyum karena orang lain saja, Edwin tak rela.Edwin m
“Fibi nggak ke sini, Ed?” tanya Jeff saat Edwin tengah sibuk menggiling kopi. Kafe tidak begitu ramai di siang hari begini. Hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan laptop atau ponsel mereka. Biasanya siang begini yang datang adalah mahasiswa untuk mengerjakan tugas.“Belum ngabarin sih. Tapi kayaknya nggak ke sini,” jawab Edwin.Sudah beberapa hari terakhir ini Fibi sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka biasanya hanya bicara saat malam hari, setelah kafe tutup. Itu pun Edwin harus menahan diri karena terus mendengar Fibi menceritakan Kevin. Dia ingin bicara dengan Fibi, ingin mendengar suara Fibi, bahkan jika gadis itu hanya membicarakan laki-laki lain dan membuat dadanya sesak.Edwin tahu, dia sekarang tidak memiliki kesempatan lagi. Fibi sudah dimabuk cinta. Dan sialnya, Edwin rasa Kevin juga menyukai Fibi. Terlihat dari sikap Kevin yang akhir-akhir ini cukup intens mencari perhatian Fibi.Ya, siapa yang tidak menyukai Fibi? Meskipun tidak secantik Sarah, tapi Fibi tidak bisa
“Gue suka banget deh, Fib sama hasil make up lo. Selalu on point. Jadi, gue selalu suka kalau dapat lo sebagai MUA,” ucap Rania saat Fibi tengah fokus memoles wajahnya. Fibi pun hanya tersenyum. Dalam hati, dia selalu sangat senang saat ada orang yang memuji hasil kerjanya. Dia merasa, semua kerja kerasnya terbayar ketika mendengar modelnya menyukai riasannya.“Temen gue banyak yang nanyain lo tahu, Fib,” ucap Raina lagi.“Nanya gimana?”“Banyak sih. Paling sering, mereka tanya net harga buat nyewa lo sebagai MUA mereka.” Raina kini memejamkan matanya karena Fibi sudah sampai di riasan mata. Namun, bibirnya tak henti bercerita tentang teman-temannya yang menyukai hasil riasan Fibi.“Lo nggak ada niatan jadi MUA tunggal?”“Udah kok. Kemarin gue jadi MUA tunggal di acara nikahan temennya Mas Kevin,” jawab Fibi. Setelah memberikan satu sentuhan warna terakhir, riasan Rania pun selesai. Gadis itu melihat pantulan wajahnya di cermin dan tersenyum puas.“Perfect,” ucap Rania. Dia berdiri la