Aku kembali masuk ke dalam kamar setelah melihat kendaraan yang dinaiki oleh mas Ammar berlalu. Kembali mendekat ke perpustakaan kecil itu, dan mendekat ke jejeran buku yang dikoleksinya. Aku masih penasaran dengan nama penulis yang sama persis dengan nama Mas Ammar. Kucari buku tersebut, tapi sekarang sudah tidak ada. Mungkinkah ia mengambilnya? Aku tersenyum sendiri. Bukankah Mas Ammar tidak suka aku mendekat ke perpustakaan miliknya, untuk apa aku mengulang kesalahan yang sama?Baru saja aku hendak berlalu, tiba-tiba terdengar dering ponsel dari atas meja. Bersebelahan tepat dengan laptop. Aku mendekat dan mengintip nama yang tertulis. “Dinda “ . mungkinkah ini alasan Mas Ammar tak bercerita kepadaku mau kemana? Aku membiarkan dering ponsel itu berlalu begitu saja, tak ingin masuk ke dalam hubungan mereka. Namun, sebuah panggilan atas nama Dinda kembali terdengar. “Assalamualaikum,” ucapku ragu yang kini mendekatkan ponsel Mas Ammar ke telingaku. Ini tindakan lancang, tapi aku
“Ayo siap-siap,” ucap Mas ammar usai mandi. Ia sedang memilah pakaian yang menggantung di almarinya.“Siap-siap? Kemana?” tanyaku bingung. “Khadijah, Bukannya kamu bilang mau ikut kalau aku ke tempat Dinda?” tanyanya.Aku mengangguk.“Ya sudah sana mandi dan siap-siap! Kenapa malah mematung disitu?”“Eh, iya.”Aku bergegas mengambil pakaian di almari dan membawanya masuk ke kamar mandi. Ya, selama ini aku masih nyaman seperti itu, karena malu berganti pakaian dalam kamar, sedangkan disana juga ada Mas Ammar. Keran kuputar, hingga terdengar suara gemericik dari air tersebut yang masuk ke dalam gentong berbahan keramik. Lalu dari tempat tersebut kubasuh tubuhku dengan gayung. Aku lebih menyukai mandi seperti itu, meskipun di sini terdapat shower yang siap digunakan.“Dijah, cepetan dikit!” teriak Mas Ammar dari luar pintu.Kupercepat mandiku, dan segera kupakai pakaian yang menggantung tak jauh dariku. Setelahnya, aku akan menyisir rambut di depan cermin di dekat kasur. “Maaf ya, Mas
“Mbak Dijah ....” teriak Dinda sambil melambaikan tangannya. Sontak seluruh anak-anak yang sedang dididiknya itupun menoleh ke arah kami.Terdengar bisikan-bisikan antara anak-anak dan para tenaga pendidik itu, yang aku tak ketahui jelas apa yang diucapkan. Hingga tak lama kemudian, terdengar suara bel sebagai tanda pelajaran telah usai. Anak-anak mulai berhamburan , mereka mengambil jajan ke arah gurunya, lalu berjalan ke pintu samping. Sedangkan adikku, kini mulai mendekat ke arahku dengan senyum yang tergambar jelas. “Mbak Dijah ikut kesini?” tanyanya.Ia menjabat tanganku dan mencium punggung tanganku, lalu kubalas dengan memeluk tubuhnya yang memiliki tinggi lebih dariku. Mas ammar pamit sebentar, sepertinya sengaja memberikan ruang untuk aku dan Dinda mengobrol, sedangkan sebelum pergi ia sedikit berbisik di telingaku. “Jangan bahas apapun tentang kita.”Aku tak paham maksudnya, niat awalku bertemu dengan Dinda karena ingin berbicara panjang kali lebar tentang hubungan mereka
“Dijah, apa yang kamu lakukan?” tanya Mas Ammar kaget. Ia melihat tas dan isinya yang berantakan. “E … ini, Dijah mau rapikan …”“Tidak usah, biar aku saja.”Ia setengah belari mendekat ke arahku, hingga handuk kecil yang menutup tubuh bagian bawahnya melorot. Reflek aku berteriak sambil menutup mataku dengan kedua tangan. Meskipun kami menikah sudah seminggu lebih, tapi aku tak pernah melihat ia polos sempurna, begitupun sebaliknya. “Eh, maaf,” ucapnya yang kini mengambil handuknya di lantai. “Aku tuh sudah pakai bagian dalamnya,” imbuhnya lagi. Aku membuka mata setelah selang beberapa menit, menunggu tubuhnya kembali tertutup.Wajahnya begitu memerah, dan ia langsung berlari setelah mengambil pakaian yang sudah kusiapkan. Benar-benar membuatku tertawa. Ini adalah hal terkonyol yang terjadi. “Mas, ganti pakaiannya sudah belum?” tanyaku yang menunggunya di depan pintu kamar mandi. Hampir lima belas menit lamanya ia belum keluar juga. “Aku mau mandi, Mas,” ucapku lagi sambil menge
“Aku ... e ....”“Bagaimana aku bisa tidak mencintaimu, Jah? Sedangkan sejauh ini namaku selalu kau sebut dalam doamu. Kau serahkan hatimu dengan sang maha pembolak balik hati manusia.”“Mas ammar ....”“Hm, apalagi?” tanyanya.“Jangan marah-marah.”“Bagaimana aku tidak marah sedangkan kamu membuatku kesal.”“Dijah minta maaf, Mas.”“Tidak gratis.”“Maksudnya?”“Ya bayar.”“Bayar pakai apa? selama ini Mas Ammar gak pernah beri Dijah uang belanja.”Lelaki itu menatapku untuk sesaat, lalu mengambil dompet dari saku celananya. Dibukanya benda tersebut, hingga menampilkan beberapa lembaran uang seratus ribuan. Namun, yang diambilnya bukanlah uang yang itu, ia mengambil bagian yang terselip, dimana lembaran uang itu kini berbentuk gulungan layaknya rokok, yang sudah pipih. “Ini jatahmu dari beberapa hari kemarin. Maaf baru memberikannya hari ini. toh kita makan juga masih numpang sama ibu kan?”Aku terdiam. Ini semua rasanya seperti mimpi bagiku.“Dijah, mau uangnya gak? Aku kembalikan la
Sampai fajar menyongsong, pelupuk mataku belum mampu tertutup. Aku masih asyik bergerilya menatap setiap inci wajah lelaki di sebelahku yang tengah mendengkur. Bersamaan dengan irama jantungku yang berirama tak karuan. Tak ada sedikitpun waktu terlewat untuk terus menikmati paras tampannya.Hingga sayup-sayup azan terdengar, mata ini justru memberat. Aku dikagetkan dengan sentuhan di tanganku secara berulang.“MasAmmar,” ucapku yang kini menatap muka lelakiku. Wajahnya sudah cerah laksana matahari terbit, dan meninggalkan jejak hangat. Apalagi ketika lengkungan senyum itu diterbitkan, membuat hati ini semakin lumer karenanya.“Dijah, sudah subuh. Ayo bangun.”Suara azan saling saut menyaut, memaksa tubuh ini untuk bangkit, tak berlarut dengan kantuk. Biasanya aku yang terbangun terlebih dulu. Namun, bersama Mas Ammar justru membuatku terlena hingga mengakhirkan rakaatku.‘Ya Allah ya robbi, jangan lebihkan rasa cintaku kepada makhlukmu melebihi rasa cintaku terhadapMu,’ batinku.“Tumb
“Dek, kamu kenapa?”Lagi-lagi hanya isak tangis yang terdengar.“Istigfar, Dek.Ada apa?”“Dinda kangen emak, Mbak. Dinda di rumah. Dinda rindu.”“Dek, sabarya. Mbak kesana sekarang.”Aku mematikan panggilan itu secara sepihak. Lalu pamit kepada Mas Ammar untuk pulang ke rumah emak.Mas Ammar mengijinkan. Ia juga turut serta menemani. Mungkin, lelaki yang dari tadi menguping pembicaraan kami pun khawatir dengan keadaan Dinda, sama sepertiku. Aku harus memaklumi.Dengan kendaraan matic milik Mas Ammar kita memecah jalanan kampung, dimana aktifitas pagi terlihat sangat sepi. Sebagian besar mengandalkan pendapatan dari sawah, hingga di jam segini jarang sekali para tetangga yang berada di depan rumah.Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah masa kecilku. Rumah kecil penuh kenangan bersama bapakdan ibu. Tempat semua kasih sayang mereka curahkan. Halaman luas yang dulunya menjadi tempat lari-lari, kini dipenuhi oleh dedaunan kering yang rontok dari dua pohon mangga depan rumah. Berikut d
“Sudah, jangan bahas, Din. Kita makan siang dulu.”“Tapi, Mbak…”Mas Ammar mendekatkan jarinya ke bibir, memberi tanda diam untuk wanita cantik yang duduk di depanku. kini, terlihat ia mengurungkan niatnya.Kami menikmati makanan ini dalam keheningan, tak ada lagi suara yang terdengar selain benturan sendok dan piring yang beradu. Aku hanya menunduk sambil mencoba menikmati, sedangkan pikiranku terus berkelana dengan apa yang terjadi.Bagaimanapun hidup serumah dengan cinta segitiga seperti ini tidaklah nyaman. Lalu, bagaimana dengan istri Rasullullah yang bisa berbagi hati untuk para istri lainnya?Nama Khadijah yang disematkan oleh almarhum bapak, nyatanya tak lantas membuat hatiku setegar dan seikhlas mereka. Hanya dengan melihat Mas Ammar dan Dinda dalam satu ruang saja, sudah mampu memporak porandakan kepercayaanku.Dinda menyelesaikan makanan terlebih dulu, begitupun dengan Mas Ammar yang menyusulnya. Sedangkan aku, memang sengaja mengulur waktu dengan memakan makanan di depanku