“Aku ... e ....”“Bagaimana aku bisa tidak mencintaimu, Jah? Sedangkan sejauh ini namaku selalu kau sebut dalam doamu. Kau serahkan hatimu dengan sang maha pembolak balik hati manusia.”“Mas ammar ....”“Hm, apalagi?” tanyanya.“Jangan marah-marah.”“Bagaimana aku tidak marah sedangkan kamu membuatku kesal.”“Dijah minta maaf, Mas.”“Tidak gratis.”“Maksudnya?”“Ya bayar.”“Bayar pakai apa? selama ini Mas Ammar gak pernah beri Dijah uang belanja.”Lelaki itu menatapku untuk sesaat, lalu mengambil dompet dari saku celananya. Dibukanya benda tersebut, hingga menampilkan beberapa lembaran uang seratus ribuan. Namun, yang diambilnya bukanlah uang yang itu, ia mengambil bagian yang terselip, dimana lembaran uang itu kini berbentuk gulungan layaknya rokok, yang sudah pipih. “Ini jatahmu dari beberapa hari kemarin. Maaf baru memberikannya hari ini. toh kita makan juga masih numpang sama ibu kan?”Aku terdiam. Ini semua rasanya seperti mimpi bagiku.“Dijah, mau uangnya gak? Aku kembalikan la
Sampai fajar menyongsong, pelupuk mataku belum mampu tertutup. Aku masih asyik bergerilya menatap setiap inci wajah lelaki di sebelahku yang tengah mendengkur. Bersamaan dengan irama jantungku yang berirama tak karuan. Tak ada sedikitpun waktu terlewat untuk terus menikmati paras tampannya.Hingga sayup-sayup azan terdengar, mata ini justru memberat. Aku dikagetkan dengan sentuhan di tanganku secara berulang.“MasAmmar,” ucapku yang kini menatap muka lelakiku. Wajahnya sudah cerah laksana matahari terbit, dan meninggalkan jejak hangat. Apalagi ketika lengkungan senyum itu diterbitkan, membuat hati ini semakin lumer karenanya.“Dijah, sudah subuh. Ayo bangun.”Suara azan saling saut menyaut, memaksa tubuh ini untuk bangkit, tak berlarut dengan kantuk. Biasanya aku yang terbangun terlebih dulu. Namun, bersama Mas Ammar justru membuatku terlena hingga mengakhirkan rakaatku.‘Ya Allah ya robbi, jangan lebihkan rasa cintaku kepada makhlukmu melebihi rasa cintaku terhadapMu,’ batinku.“Tumb
“Dek, kamu kenapa?”Lagi-lagi hanya isak tangis yang terdengar.“Istigfar, Dek.Ada apa?”“Dinda kangen emak, Mbak. Dinda di rumah. Dinda rindu.”“Dek, sabarya. Mbak kesana sekarang.”Aku mematikan panggilan itu secara sepihak. Lalu pamit kepada Mas Ammar untuk pulang ke rumah emak.Mas Ammar mengijinkan. Ia juga turut serta menemani. Mungkin, lelaki yang dari tadi menguping pembicaraan kami pun khawatir dengan keadaan Dinda, sama sepertiku. Aku harus memaklumi.Dengan kendaraan matic milik Mas Ammar kita memecah jalanan kampung, dimana aktifitas pagi terlihat sangat sepi. Sebagian besar mengandalkan pendapatan dari sawah, hingga di jam segini jarang sekali para tetangga yang berada di depan rumah.Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah masa kecilku. Rumah kecil penuh kenangan bersama bapakdan ibu. Tempat semua kasih sayang mereka curahkan. Halaman luas yang dulunya menjadi tempat lari-lari, kini dipenuhi oleh dedaunan kering yang rontok dari dua pohon mangga depan rumah. Berikut d
“Sudah, jangan bahas, Din. Kita makan siang dulu.”“Tapi, Mbak…”Mas Ammar mendekatkan jarinya ke bibir, memberi tanda diam untuk wanita cantik yang duduk di depanku. kini, terlihat ia mengurungkan niatnya.Kami menikmati makanan ini dalam keheningan, tak ada lagi suara yang terdengar selain benturan sendok dan piring yang beradu. Aku hanya menunduk sambil mencoba menikmati, sedangkan pikiranku terus berkelana dengan apa yang terjadi.Bagaimanapun hidup serumah dengan cinta segitiga seperti ini tidaklah nyaman. Lalu, bagaimana dengan istri Rasullullah yang bisa berbagi hati untuk para istri lainnya?Nama Khadijah yang disematkan oleh almarhum bapak, nyatanya tak lantas membuat hatiku setegar dan seikhlas mereka. Hanya dengan melihat Mas Ammar dan Dinda dalam satu ruang saja, sudah mampu memporak porandakan kepercayaanku.Dinda menyelesaikan makanan terlebih dulu, begitupun dengan Mas Ammar yang menyusulnya. Sedangkan aku, memang sengaja mengulur waktu dengan memakan makanan di depanku
Aku membelalakkan mata, sedangkan senyum kecil tercipta di sudut bibir lelakiku.“Wanita cantik yang sederhana.”Lelaki dengan pakaian santai dan celana jeans itu pun turut duduk di sofa depan kami, berbatasan dengan meja kayu berbentuk persegi panjang.Diambilnya sebuah buku dari tas miliknya, dan sejenak membuka lembaran demi lembaran. Sesekali ia menoleh ke arahku dengan sebuah senyuman.“Hasilnya bagaimana, Kang Dewa?”“Lumayan. Banyak yang mengapresiasi buku fiksi yang kamu buat. Tulisannya rapi dan ada pesan moral yang terselip di cerita itu.”“Kalau Khadijah seperti ini, aku sih gak perlu ditikung pakai doa. Aku yang akan menikungnya,” ucapnya sambil tersenyum dengan nada candaan.Sesekali ia pun menoleh ke arahku, yang langsung kubalas dengan menunduk. Tak ingin saling menatap dengan lelaki yang bukan halalku.Mas Ammar tersenyum dan menoleh ke arahku. “Awas saja kalau seperti itu.”Mereka terus berbincang. Dari apa yang kudengar, mereka tengah membicarakan launching buku ter
“Wah, pengantin baru habis jalan-jalan ini,” ucap ibu ketika aku masuk ke rumah. Mendapati pintu telah terbuka lebar dengan wanita paruh baya yang masih mengenakan gamis putih. Beliau sedang duduk di kursi tamu dengan beberapa kresek plastik hitam maupun bening di atas meja.Kujabat tangan beliau, yang kini terus tersenyum ke arahku. Dilihatnya aku dan Mas Ammar secara bergantian.“Sudah pulang, Bu? Bukannya besok.” Sapa Mas Ammar, yang turut menjabat dan mencium punggung wanita yang telah melahirkannya.“Iya. Kan bukan bulan ruwah, jadi gak banyak peziarah yang datang. Jalanan sedikit lebih sepi dan lancar,” tegas wanita dengan sorot mata teduh itu.Mas Ammar pamit untuk ke kamar terlebih dulu, sedangkan aku masih menemani ibu yang duduk di kursi tamu. Beliau menyandarkan punggungnya ke kursi sofa tempat ini, sedikit mengistirahatkan saraf tubuh yang kaku setelah beberapa hari tinggal di bus.“Khadijah, ibu lihat Ammar sudah semakin menyanyangimu.”Aku tersenyum.“Kenapa ibu berpikir
“Mas ....” ucapku yang kini mendekat ke meja kantornya. Masih dengan buku yang kubawa, dan satu jari di sela halaman yang kubuka.“Iya.”“Maafkan aku ya!”“Untuk?”“Kesalah pahaman ini.”Mas Ammar terkekeh. “Kenapa harus minta maaf? Aku yang salah telah berlaku buruk padamu, Dek. Khadijah itu istri soleha yang dipilihkan oleh Tuhan untukku,” ucapnya dengan lengkungan indah di bibirnya, membuat pipiku kembali memerah karena tersipu.“Kalau Mas Ammar salah melamar, lalu kenapa Mas tetap melanjutkan hubungan kita?”“Kalau baca sesuatu jangan setengah-setengah ya,” ucapnya yang kini membelai rambut panjangku.Aku tersenyum, harusnya tak menanyakan itu kepada Mas Ammar. Buku ini sudah lebih dari cukup untuk mengetahui jawabannya.Aku kembali duduk di bibir ranjang, dan membuka halaman kembali.Kulayangkan panggilan melalui nomor rumah, dan akhirnya terangkat olehnya.“Assalamualaikum, Dania.”“Waalaikumsalam.”“Nia, nomor whatshapmu gak aktif kenapa? Atau ... Kamu memblokir nomorku?” tanya
Mas Ammar begitu bahagia, ketika mendengarkan panggilan dari sebrang sana. Transferan royalti dari penjualan buku telah diterima. Bahkan hasilnya jauh lebih dari apa yang dibayangkan. “Dek Dijah, harapanku membangun tempat yang layak untuk anak-anaknya segera terealisasi,” ucapnya yang tiba-tiba mendekat ke arahku dan memelukku begitu saja. Ia mendekap begitu erat, sambil terus berbicara panjang kali lebar tentang cita-citanya itu.Ya, tempat yang saat itu kami kunjungi adalah tempat sengketa. Diberi waktu tiga minggu untuk pindah tempat dari sana. Mas Ammar sudah mendapatkan lahan yang dibelinya dari donasi para dermawan. Hasil dari tumpukan proposal yang ia layangkan dari satu perusahaan ke perusahaan lain.“Mas, Dijah gak bisa nafas,” ucapku ketika tubuhnya terus menekan tubuhku.“Eh, maaf,” ucapnya yang kini melepas pelukan. Digaruknya rambut tebal itu meskipun tak gatal. “Dek, mau ikut aku?”“Kemana?”“Bertemu teman-teman dan anak-anak.”Aku mengangguk. Mas Ammar membuka almar