Share

Bab.6 Kue terang bulan

“Ma-Mas Ammar? Ini Mas Ammar?” tanyaku memastikan panggilan di sebrang sana.

 

“Gak perlu basa-basi, Dijah. Jawab saja kamu suka rasa apa?”

 

“Co-coklat. Aku suka rasa coklat,” jawabku dengan gemetaran. Mendapatkan sebuah perhatian seperti ini saja membuat hatiku kalang kabut. Apa ini artinya Ammar sudah mau membuka hati untuk menerimaku?

 

“Aku sedang beli kue terang bulan. Kamu jangan tidur dulu.”

 

“I-iya, Mas.”

 

Sungguh, hatiku benar-benar bahagia. Bunga yang kutanam akhirnya mulai tumbuh dan memunculkan kuncupnya.

 

“Jangan berpikiran tidak-tidak. Ini permintaan dari Dinda,” ucap dari sana sebelum panggilan dimatikan.

Aku tersenyum getir, kembali tersadar jika semua bukan tentang aku. Dihidup Mas Ammar hanya ada nama satu wanita, Dinda.

 

Aku memaksakan diri untuk membuka mata, meskipun rasa kantuk mulai menyapa. Mungkin karena kecapekan dengan rutinitas bersih-bersih seharian. Ibu aku minta untuk istirahat di kamarnya. Aku tak mau mengambil resiko jika sakit ibu kumat kembali.

 

Tak selang lama, deru motor terdengar. Aku menyibak gorden yang menutupi jendela kamar. Kuintip sedikit pada bagian sudutnya, hingga menampakkan Mas Ammar dalam pandangan mataku.

Buru-buru aku bangkit dan membuka pintu, menyambut kedatangan suami seperti istri pada umumnya. Bahkan sebelum Mas Ammar mengetuk pintu, aku sudah membuka benda tersebut sambil menyunggingkan senyum termanisku.

 

“Assalamualaikum, Mas Ammar,” ucapku sambil menatap lelakiku yang sedang membawa sebuah bingkisan  di tangannya. Sekilas aku menatap benda tersebut. Tas kresek bening dengan kotak berwarna coklat bergambarkan kue terang bulan. Dari cover benda tersebut, tampaknya itu kue terang bulan dari tempat favoritku.

 

“Waalaikumsalam.”

Ia memberikan apa yang dipegangnya. Lalu menuntun motor masuk ke dalam rumah.

“Jam segini baru pulang, Mas?” sapaku sekedar basa-basi.

 

Ia tak menjawab, hanya melewatiku , dan langsung masuk ke dalam kamar. Aku menarik nafas panjang sekedar menguatkan diri dari pernikahan yang jauh dari kata sakinah, mawadah, warohmah.

 

Mas Ammar mengambil bantal dan selimut lalu membentangkannya seperti malam kemarin. Kembali menghadirkan luka, dimana posisiku sama sekali tak diinginkan. Aku salahkah atas posisi ini?

 

 Andai bisa memilih, mungkin aku akan meminta Dinda untuk duduk di kursi pelaminan menggantikanku. Tapi … kesehatan emak lebih dari segalamya. Ia memiliki riwayat jantung lemah, dimana dokter telah mewantiku agar beliau tak sering kecapekan, juga memikirkan sesuatu yang berat. Satu kesalahan fatal saja, bisa menyebabkan emak meregang nyawa. Posisi itu beliau sangat bahagia, anak yang selalu dibilang perawan tua ini akhirnya mendapatkan jodoh.

 

“Mas, lah ini kue terang bulannya gak dimakan dulu?” tanyaku.

 

“Aku sudah makan disana sama Dinda.”

Lagi, Ammar seperti sengaja menyakiti hatiku. Menyebut nama yang terus menjadi bayang-bayang pernikahan kami. Bahkan karena keikhlasan Dinda juga, pernikahan ini bisa terjadi.

 

Aku membuka kardus tersebut, kue terang bulan dengan isian selai coklat dan meises yang bertumpah ruah. Kulitnyapun ngeglazed dengan kepulan asap yang masih mengudara. Sayang, makanan yang biasanya menggodaku untuk segera dikunyah. Kali ini tidak. Aku kehilangan selera untuk memakannya.

 

“Kenapa gak dimakan? Kata Dinda kamu sangat menyukainya.”

 

Aku tersenyum, menutupi hatiku yang sedang lara. Sadarkah Ammar bahwa setiap perkataannya melukai hatiku?

 

“Tadi Dijah sudah makan nasi sama emak, Mas. Dijah sudah kenyang.”

 

“Kenapa gak bilang tadi pas telfon si, Jah? Tahu gini kan gak harus ngebungkus. Mubadzirkan sesuatu namanya.”

 

Aku meringis. Beginikah sikap lelaki yang dicintai Dinda? Sikap lelaki yang kutambatkan dalam hatiku, dan terus masuk dalam doaku?

Yang kuketahui dia adalah orang yang hangat. Jauh berbeda dengan apa yang ia perlakukan kepadaku saat ini.

 

“Owh ya, itu tadi nomorku. Di save ya.”

 

Mas Ammar berbaring di atas lantai beralaskan selimut. Hingga dimenit kemudian ia terpejam bersamaan dengan dengkuran halus yang terdengar.

“Ya Allah ya Robbi, ini kah balasan atas keegoisanku? Aku yang terlalu memaksakan kehendak? Lalu … untuk apa Mas Ammar menerima pernikahan ini jika aku tidak diinginkan olehnya?”

Lagi-lagi air mataku menetes. Hingga aku kembali menumpahkan tangisku di atas sajadah.

 

Aku bangkit dan mengambil air wudhu, setelahnya kujalankan rakaat sunah, dan kupanjatkan semua doaku. Disini, aku tak minta untuk dicintai, meskipun dalam hati aku begitu mencintai suamiku. Aku tak minta keluargaku menjadi keluarga pada umumnya. Hanya berharap, takdir indah dari Tuhan, yang terbaik untuk kami semua. Juga untuk kesehatan ibu.

 

Sayup-sayup kudengar suara adan, hingga aku membuka mata, aku masih berada di atas sajadah warna coklat tua milikku. Masih dengan mengenakan mekena putih favorit, yang selalu menjadi peneman rakaatku. Sepertinya aku ketiduran hingga bermalam di sajadah ini.

Kulepas mekena yang menempel dan mendekat ke tubuh Mas Ammar. Kugoyangkan sedikit tubuhnya, sambil kusebut namanya untuk membangunkan.

 

“Mas Ammar, Mas. Sudah subuh. Kita jamaah.”

 

Mata yang terpejam itu terlihat dipaksakan untuk membuka, berikut dengan tangan yang dikucekkan ke pelupuk matanya.

 

“Mas kita jamaah dulu ya.”

 

Iamengangguk.

 

Aku tersenyum dan langsung mengambil air wudhu. Masuk ke dalam kamar mandi dengan hati berbunga. Berikut dengan Mas Ammar yang juga mengekori di belakangku.

 

“Allahu Akbar.” Takbir dikumandangkan, berikut dengan tangan diangkat.

Akupun mengekori gerakan demi gerakan yang dilakukan oleh imamku, hingga tak sadar satu persatu air mata itu runtuh membasahi pipi. Aku terharu, inilah kali pertama aku melakukan jamaah dengan imamku, dengan lelaki yang selalu ada dalam setiap doaku. Suatu momen yang begitu kuinginkan.

 

Mungkinkah doa-doa yang kupanjatkan dengan menyebut namanya, terdengar hingga ke langit? Sampai aku mengambil jodoh adikku seperti ini? 

 

“Assalamualaikumwarohmatullah.”

“Assalamualaikumwarohmatullah.”

Salam terdengar, berikut aku yang mengikuti, menandakan rukun shalat ini selesai.

Kuraih tangan itu dan mencium punggung tangannya, hingga air mataku kembali runtuh dan tak sengaja menetes ke kulit yang kupegang. Mas Ammar langsung menarik tangannya begitu saja.

 

“Maaf,” ucapku lirih.

 

Aku langsung bangkit dari dudukku, dan melepas mekena yang kupakai. Sejurus kemudian, aku masuk ke dapur hendak menyiapkan sarapan. Kulihat bahan yang tertinggal di kulkas, tampak 2 buah terong dan tempe yang sedikit layu. Kueksekusi bahan tersebut hingga tercipta makanan yang siap untuk dimakan.

 

Satu piring terong balado juga tempe goreng sudah siap di atas meja, berikut dengan seteko teh hangat dan air putih. Mas Ammar juga sudah duduk di kursi makan. Namun, ada sedikit yang berbeda. Aku tak mendapati emak yang biasanya bangun lebih awal dariku.

Kuketuk pintu kamarnya, tapi tak ada jawaban. Kubuka benda kayu persegi panjang itu, dan sedikit mendorongnya, hingga terdengar pintu yang berderit. Emak masih tertidur di ranjangnya dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke dada.

 

“Emak, bangun, Mak. Ini sudah pagi,” ucapku sambil menggoyangkan sedikit lengannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status