Beranda / Rumah Tangga / Salah Melamar / Bab.6 Kue terang bulan

Share

Bab.6 Kue terang bulan

last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-12 21:07:41

“Ma-Mas Ammar? Ini Mas Ammar?” tanyaku memastikan panggilan di sebrang sana.

 

“Gak perlu basa-basi, Dijah. Jawab saja kamu suka rasa apa?”

 

“Co-coklat. Aku suka rasa coklat,” jawabku dengan gemetaran. Mendapatkan sebuah perhatian seperti ini saja membuat hatiku kalang kabut. Apa ini artinya Ammar sudah mau membuka hati untuk menerimaku?

 

“Aku sedang beli kue terang bulan. Kamu jangan tidur dulu.”

 

“I-iya, Mas.”

 

Sungguh, hatiku benar-benar bahagia. Bunga yang kutanam akhirnya mulai tumbuh dan memunculkan kuncupnya.

 

“Jangan berpikiran tidak-tidak. Ini permintaan dari Dinda,” ucap dari sana sebelum panggilan dimatikan.

Aku tersenyum getir, kembali tersadar jika semua bukan tentang aku. Dihidup Mas Ammar hanya ada nama satu wanita, Dinda.

 

Aku memaksakan diri untuk membuka mata, meskipun rasa kantuk mulai menyapa. Mungkin karena kecapekan dengan rutinitas bersih-bersih seharian. Ibu aku minta untuk istirahat di kamarnya. Aku tak mau mengambil resiko jika sakit ibu kumat kembali.

 

Tak selang lama, deru motor terdengar. Aku menyibak gorden yang menutupi jendela kamar. Kuintip sedikit pada bagian sudutnya, hingga menampakkan Mas Ammar dalam pandangan mataku.

Buru-buru aku bangkit dan membuka pintu, menyambut kedatangan suami seperti istri pada umumnya. Bahkan sebelum Mas Ammar mengetuk pintu, aku sudah membuka benda tersebut sambil menyunggingkan senyum termanisku.

 

“Assalamualaikum, Mas Ammar,” ucapku sambil menatap lelakiku yang sedang membawa sebuah bingkisan  di tangannya. Sekilas aku menatap benda tersebut. Tas kresek bening dengan kotak berwarna coklat bergambarkan kue terang bulan. Dari cover benda tersebut, tampaknya itu kue terang bulan dari tempat favoritku.

 

“Waalaikumsalam.”

Ia memberikan apa yang dipegangnya. Lalu menuntun motor masuk ke dalam rumah.

“Jam segini baru pulang, Mas?” sapaku sekedar basa-basi.

 

Ia tak menjawab, hanya melewatiku , dan langsung masuk ke dalam kamar. Aku menarik nafas panjang sekedar menguatkan diri dari pernikahan yang jauh dari kata sakinah, mawadah, warohmah.

 

Mas Ammar mengambil bantal dan selimut lalu membentangkannya seperti malam kemarin. Kembali menghadirkan luka, dimana posisiku sama sekali tak diinginkan. Aku salahkah atas posisi ini?

 

 Andai bisa memilih, mungkin aku akan meminta Dinda untuk duduk di kursi pelaminan menggantikanku. Tapi … kesehatan emak lebih dari segalamya. Ia memiliki riwayat jantung lemah, dimana dokter telah mewantiku agar beliau tak sering kecapekan, juga memikirkan sesuatu yang berat. Satu kesalahan fatal saja, bisa menyebabkan emak meregang nyawa. Posisi itu beliau sangat bahagia, anak yang selalu dibilang perawan tua ini akhirnya mendapatkan jodoh.

 

“Mas, lah ini kue terang bulannya gak dimakan dulu?” tanyaku.

 

“Aku sudah makan disana sama Dinda.”

Lagi, Ammar seperti sengaja menyakiti hatiku. Menyebut nama yang terus menjadi bayang-bayang pernikahan kami. Bahkan karena keikhlasan Dinda juga, pernikahan ini bisa terjadi.

 

Aku membuka kardus tersebut, kue terang bulan dengan isian selai coklat dan meises yang bertumpah ruah. Kulitnyapun ngeglazed dengan kepulan asap yang masih mengudara. Sayang, makanan yang biasanya menggodaku untuk segera dikunyah. Kali ini tidak. Aku kehilangan selera untuk memakannya.

 

“Kenapa gak dimakan? Kata Dinda kamu sangat menyukainya.”

 

Aku tersenyum, menutupi hatiku yang sedang lara. Sadarkah Ammar bahwa setiap perkataannya melukai hatiku?

 

“Tadi Dijah sudah makan nasi sama emak, Mas. Dijah sudah kenyang.”

 

“Kenapa gak bilang tadi pas telfon si, Jah? Tahu gini kan gak harus ngebungkus. Mubadzirkan sesuatu namanya.”

 

Aku meringis. Beginikah sikap lelaki yang dicintai Dinda? Sikap lelaki yang kutambatkan dalam hatiku, dan terus masuk dalam doaku?

Yang kuketahui dia adalah orang yang hangat. Jauh berbeda dengan apa yang ia perlakukan kepadaku saat ini.

 

“Owh ya, itu tadi nomorku. Di save ya.”

 

Mas Ammar berbaring di atas lantai beralaskan selimut. Hingga dimenit kemudian ia terpejam bersamaan dengan dengkuran halus yang terdengar.

“Ya Allah ya Robbi, ini kah balasan atas keegoisanku? Aku yang terlalu memaksakan kehendak? Lalu … untuk apa Mas Ammar menerima pernikahan ini jika aku tidak diinginkan olehnya?”

Lagi-lagi air mataku menetes. Hingga aku kembali menumpahkan tangisku di atas sajadah.

 

Aku bangkit dan mengambil air wudhu, setelahnya kujalankan rakaat sunah, dan kupanjatkan semua doaku. Disini, aku tak minta untuk dicintai, meskipun dalam hati aku begitu mencintai suamiku. Aku tak minta keluargaku menjadi keluarga pada umumnya. Hanya berharap, takdir indah dari Tuhan, yang terbaik untuk kami semua. Juga untuk kesehatan ibu.

 

Sayup-sayup kudengar suara adan, hingga aku membuka mata, aku masih berada di atas sajadah warna coklat tua milikku. Masih dengan mengenakan mekena putih favorit, yang selalu menjadi peneman rakaatku. Sepertinya aku ketiduran hingga bermalam di sajadah ini.

Kulepas mekena yang menempel dan mendekat ke tubuh Mas Ammar. Kugoyangkan sedikit tubuhnya, sambil kusebut namanya untuk membangunkan.

 

“Mas Ammar, Mas. Sudah subuh. Kita jamaah.”

 

Mata yang terpejam itu terlihat dipaksakan untuk membuka, berikut dengan tangan yang dikucekkan ke pelupuk matanya.

 

“Mas kita jamaah dulu ya.”

 

Iamengangguk.

 

Aku tersenyum dan langsung mengambil air wudhu. Masuk ke dalam kamar mandi dengan hati berbunga. Berikut dengan Mas Ammar yang juga mengekori di belakangku.

 

“Allahu Akbar.” Takbir dikumandangkan, berikut dengan tangan diangkat.

Akupun mengekori gerakan demi gerakan yang dilakukan oleh imamku, hingga tak sadar satu persatu air mata itu runtuh membasahi pipi. Aku terharu, inilah kali pertama aku melakukan jamaah dengan imamku, dengan lelaki yang selalu ada dalam setiap doaku. Suatu momen yang begitu kuinginkan.

 

Mungkinkah doa-doa yang kupanjatkan dengan menyebut namanya, terdengar hingga ke langit? Sampai aku mengambil jodoh adikku seperti ini? 

 

“Assalamualaikumwarohmatullah.”

“Assalamualaikumwarohmatullah.”

Salam terdengar, berikut aku yang mengikuti, menandakan rukun shalat ini selesai.

Kuraih tangan itu dan mencium punggung tangannya, hingga air mataku kembali runtuh dan tak sengaja menetes ke kulit yang kupegang. Mas Ammar langsung menarik tangannya begitu saja.

 

“Maaf,” ucapku lirih.

 

Aku langsung bangkit dari dudukku, dan melepas mekena yang kupakai. Sejurus kemudian, aku masuk ke dapur hendak menyiapkan sarapan. Kulihat bahan yang tertinggal di kulkas, tampak 2 buah terong dan tempe yang sedikit layu. Kueksekusi bahan tersebut hingga tercipta makanan yang siap untuk dimakan.

 

Satu piring terong balado juga tempe goreng sudah siap di atas meja, berikut dengan seteko teh hangat dan air putih. Mas Ammar juga sudah duduk di kursi makan. Namun, ada sedikit yang berbeda. Aku tak mendapati emak yang biasanya bangun lebih awal dariku.

Kuketuk pintu kamarnya, tapi tak ada jawaban. Kubuka benda kayu persegi panjang itu, dan sedikit mendorongnya, hingga terdengar pintu yang berderit. Emak masih tertidur di ranjangnya dengan selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke dada.

 

“Emak, bangun, Mak. Ini sudah pagi,” ucapku sambil menggoyangkan sedikit lengannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Salah Melamar   Tamat

    Seorang istri akan menjadi ratu ketika berjumpa dengan suami yang tepat. Ya, aku benar-benar meyakini pernyataan itu. Demi apapun, Mas Adam seorang lelaki yang terbaik dengan segala kekurangannya. Meskipun sejujurnya, tak nampak sedikitpun kekurangan itu di mataku. Dari awal kita menikah, hingga janin ini ada di rahimku. Ia adalah suami siaga, yang selalu ada dan emnerima semua kekuranganku. “Apa kita batalin pertemuannya saja, Sayang?” tanya Mas Adam yang memandangku lekat. Aku berbaring di ranjang kamar hotel, dengan dua bantal yang kuajdikan tumpuan belakang punggungku. Sedangkan minyak putih terus menguar dalam indra, berikut dengan sensasi panas di bawah hidung. Semenjak pulang dari praktik dokter tadi, aku sudah diresepkan obat dan vitamin. Namun, rasa mual itu tak pernah memberiku jeda untuk sekedar beristirahat. Hanya bisa berbaring dengan ember kecil yang di letakkan di bawah ranjang, supaya aku tak harus wira-wiri ke kamar mandi saat hendak mengeluarkan isi perutku kembal

  • Salah Melamar   sesion 2 bab.45

    “Dijah gak ngambek, mas. Dijah hanya ....”“Hanya apa? nesu ... atau mrengut ...?” tanyanya dengan bahas jawa medhok, membuatku terkekeh.“Hanya rindu.”Mas adam menarik sudut bibirnya, lalu mengusap lembut rambut panjangku. “Ijinkan ibu menghabiskan waktu untuk cucunya ya, sayang.”Aku mengangguk.Waktu terus berlalu. Namun kini bukan hanya sifat manjaku yang dominan, tapi ego dan mood ku yang berubah begitu cepat. Bahkan untuk kesalahan yang bagiku biasa saja, mampu menghadirkan emosi yang menggunung. Mas Adam yang melupakan handuk di kasur. Mas adam yang lupa mematikan air kran kamar mandi. Masalah spele begitu saja, membuatku mendiamkannya berjam-jam. Sebenarnya iba juga menatapnya, tapi entah kenapa bawaannya pengen emosi. Namun, di balik itu semua, bukan Mas adam namanya jika tak mampu lagi mengambil hatiku. Dengan telaten dan sabarnya, ia menghadirkan senyuman dan tawa kecil kembali.“Apa gak sebaiknya kamu di rumah saja, Sayang? Dua harian lagi juga aku pulang,” ucap Mas Adam

  • Salah Melamar   sesion 2 bab.44

    Waktu terus berlalu begitu cepat, detikan jam yang berjalan selalu kuisi dengan senyuman. Mas Adam terus memanjakanku, dengan segala perhatian dan kasih sayangnya nan hangat. Ia adalah sosok suami dan ayah yang siaga, yang terus telaten menghadapi sikapku yang mendadak manja dan selalu ingin menang sendiri. Ya, aku tak tahu bagaimana sikap ini muncul begitu saja. padahal dulunya, aku adalah seorang wanita yang mandiri. “Mas Adam, boleh Dijah meminta ....”“Boleh, Sayang,” ucapnya sambil mengembangkan senyum di paras tampannya. Tanpa menyelesaikan kalimatku, Mas Adam seakan tahu apa yang aku pikirkan.Lelaki yang baru saja masuk dengan tabung gas melon di tangannya itu langsung menuju ke dapur, dan memasangnya. Hal yang dulunya bisa kulakukan sendiri tanpa minta bantuan siapapun. “Ada lagi yang mau dibantu, Ratuku?” tanyanya yang membuatku terkekah. Diberi pertanyaan seperti itu membuatku malu sendiri, kalau aku sering merepotkan lelaki yang beberapa bulan ini menemani hariku. “Air

  • Salah Melamar   Sesion 2 bab.43

    “Ada apa, Mas?” tanyaku. Alih-alih menjawab, lelaki dengan handuk kecil itu justru menenggelamkan diri ke dalam kamar. Aku beranjak, menuju sumber jeritan berasal. “Dek, ada apa?” tanyaku. Pipi yang biasa berwarna merah muda itu kini menjadi lebih merah dari biasanya. Tak kalah dari Mas Adam.“Dek, ada apa?” tanyaku lagi mengulang pertanyaan karena tak kunjung dijawab.“Mbak, ini Zahra. Dinda mau masuk kamar dulu,” ucapnya yang langsung mengangkat tubuh gemoy anakku.Akupun mengambil alih, sejurus kemudian wanita cantik dengan jilbab segi empat warna merah muda itu lari ke kamarnya, membuatku geleng kepala kebingungan.“Mas Adam, tolong ajak main Zahra ya. Dijah mau mandi,” ucapku masuk kamar menatap lelakiku yang duduk terpaku di bibir ranjang. Ia menoleh dan meringis, masih dengan wajah yang kemerah-merahan. “Mas, sebenarnya ada apa? kenapa mas adam dan dinda aneh?” tanyaku dengan dahi mengernyit. Kuletakkan tubuh gemoy anakku ke dalam pangkuannya.“Sumpah, Sayang. Sumpah bukan

  • Salah Melamar   Sesion 2 bab.42

    Di dalam gedung yang dijadikan kelas anak-anak itu disiapkan panggung dengan spanduk besar yang menjangkau seluruh panggung kayu tersebut. Nama komunitas tertulis jelas, bersamaan dengan nama-nama para anggota. Termasuk nama almarhum Mas Ammar yang tertulis di bagian paling atas, karena sebelumnya beliau adalah ketuanya. Termasuk novel pertama dan terakhir yang menjadi karya terindah untukku, terpotret jelas di spanduk tersebut. Aku tersenyum, andai Mas Ammar masih ada, tentu ia akan begitu bangga dengan pencapaiannya yang luar biasa. Hingga aku tersadar dengan lamunanku ketika Mas Adam mengusap air mata yang membasahi pipiku dengan sapu tangan miliknya. “Sayang, yang kuat ya,” ucapnya dengan tangan kiri yang tak pernah lepas dari menggengam tanganku.Aku diminta duduk di bagian meja depan paling dekat dengan panggung. Juga dengan Mas adam yang selalu ada di sisiku. Sedangkan zahra kini asyik dengan tantenya dan beberapa panitia yang tergabung dari komunitas ciptaan Mas Ammar. Seora

  • Salah Melamar   Sesion 2 bab.41

    “Mas, kamu sudah bangun?” tanyaku yang sedikit menjauh dari tubuhnya. Dengan cepat ia menahan tanganku, dan membawanya kembali ke dalam pucuk kepalanya. “kenapa berhenti? Aku suka diperlakukan seperti tadi. Apa aku harus terpejam lagi supaya kamu kembali melakukannya, Sayang?”“Mas, aku malu.”Lelaki itu terkekeh, dengan pelupuk mata yang kembali ditutup. “Malu kenapa? Aku saja terpejam seperti ini?”“Mas ....”Mas Adam melingkarkan lengannya ke perutku, hingga aku kembali dibuat hangat dan nyamana dalam dekapannya. “Mas, boleh Dijah tanya sesuatu?”“Apa, sayang?”“Sebenarnya Dijah penasaran dari beberapa bulan yang lalu, tapi malu untuk bertanya.”“Apa itu? Kok sampai ditahan beberapa bulan?”“Sebelum kita nikah ....”“Iya .”“Kenapa selalu ada untuk Dijah? Dari rumah bocor, lampu teras yang mati, selokan yang mampet?” Aku mengernyit, menatap lelakiku yang justru terkekeh.“Gak dijawab, malah ditertawakan?” tanyaku lagi.“Sampai sekarang tidak tahu?”Aku menggeleng.“Di teras kan ak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status