Home / Rumah Tangga / Salah Melamar / bab.3 Pernikahan

Share

bab.3 Pernikahan

last update Last Updated: 2023-05-05 20:02:10

“Sah?”

“Sah, sah, sah.” Kalimat itu saling bersaut satu sama lain, menggema di seluruh ruangan tamu seusai kalimat ijab terdengar dari bibir Ammar.

Mata emak berbinar, dengan senyum yang tak hentinya mengembang. Berikut dengan Dinda yang dipaksakan untuk tersenyum.  Sebuah kamuflase itu terlihat jelas di mataku. Ya, kini ia duduk di sebelah emak, turut menyaksikan lelaki yang disayangnya mengucapkan kalimat ijab untuk kakak kandungnya. 

Prosesi terus berjalan, dimana aku dan Ammar diminta sungkem dengan orang tua yang telah melahirkan kita. Bahu lelaki itu ditepuk oleh bapaknya, berikut dengan suara yang dibisikkan di dekat telinganya. “Bagaimanapun, sekarang kamu adalah seorang suami. Bahagiakan istrimu,” ucapnya lirih yang masih terdengar olehku. Ibu Ammar pun turut mengelus pundakku, juga memberikan sebuah doa pengantar pernikahan kami. “semoga bahagia, Nduk. Semoga jadi keluarga sakinah, mawadah, warohmah.”

Aku tersenyum kecil, berharap pernikahan yang tak didasari oleh cinta ini akan menjadi seperti apa yang diucapkan ibu mertua. 

“Dijah, kamu sekarang sudah jadi seorang istri. Nurut sama perkataan suamimu, jangan kebanyakan bantah seperti sama emak,” ucap emakku kala aku bergantian sungkem di tubuh tuanya. 

Senyumnya indah, menggambarkan betapa bahagianya beliau saat ini. Berbanding berbalik dengan wajah Dinda yang kini ditutup oleh kabut kelam. Bahkan make up merona yang tertempel di wajahnya tak mampu menutupi kepedihan hatinya. 

“Mbak Dijah, selamat berbahagia. Until jannah ya, Mbak,” ucap adik kecilku yang kini kupeluk. Aku tahu ia menyimpan luka, dan menutupi semua dari kita.

“Makasih ya, Dek.”

Aku kini melepas pelukan, dimana  aku mulai menyadari manik mata adikku saling bertaut dengan lelaki di sebelahku.

“Mas Ammar, jaga Mbak Dijah ya,” ucapnya yang kini terdengar parau. Bahkan mata indah dengan bentuk bulat itu nampak berkaca-kaca, dimana sekali kedip, tumpah juga apa yang telah dibendungnya.

“Dek, kamu nangis?” tanyaku.

“Iya, Mbak Dijah. Maaf adikmu ini melow. Dinda hanya takut ditinggalMBak Dijah,” ucapnya yang terdengar meyakinkan.

“Kami akan selalu berkunjung kesini menghampirimu,” ucap Ammar yang turut menjawab. 

Mereka seakan memainkan drama dengan begitu apik. Mungkin mereka tak tahu, jika aku telah mengetahui apa yang mereka bicarakan di kamar tadi.

Belum juga apa-apa, bibit cemburu mulai timbul. Layaknya daun kering yang kini diremas begitu saja, remuk, lenyap. Bahkan ketika angin menyapanya, semua akan sirna. Ya, pernikahan ini seakan tak berarti, dimana tak adanya pondasi cinta di dalamnya. Terlebih aku tahu, jika wanita yang ditambatkan oleh hati lelakiku adalah adikku sendiri. Pantaskah aku untuk cemburu?

Dinda tersenyum, berikut dengan Ammar yang juga tersenyum. Membiaskan rasa sakit yang dari tertahan. Jika Dinda telah merelakan kekasihnya untukku, kenapa ia tak mampu memposisikan dirinya sebagai adik ipar Ammar? Ia telah dewasa, dan harusnya ia bisa membawa dirinya sendiri, terlebih lagi, ia seorang pelajar yang berpendidikan.

Proses demi proses kami lewati, mulai dari mencuci kaki Ammar yang telah menginjakkan kakinya ke telur, melempar sepucuk bunga satu sama lain, juga mengadahkan tangan menerima butiran beras yang dituang dari tangan Ammar. 

Aku masih mengenakan pakaian pernikahan dengan asesoris berat dikepala, menerima tamu yang dari tadi pagi serasa tak ada henti-hentinya. Ya, ini adalah kali pertama emak memiliki “gawe” dalam bahasa jawanya jadi banyak tetangga yang bakalan datang memberikan selamat, juga memberikan sebagian rejeki kepada kami, baik itu hasil panenan, maupun berupa uang. 

Ammar sudah tak kelihatan batang hidungnya. Sejak adan duhur tadi, setelah keluarga besarnya pamit pulang. Ia turun dari panggung bergebyok ukiran dengan janur melengkung di depannya. Ya, ia berdalih capek, dan kurang sakit hingga meninggalkan acara sepenting ini sebelum acara usai. 

Detik waktupun terus berjalan, hingga mentari yang tadinya menyengat dengan teriknya, kini perlahan turun, meyisakan sinar jingga yang indah. Akupun turut ke bawah, masuk ke dalam kamar, melepas pernak pernik yang menempel di pakaian dan jilbabku. 

Kupandangi  wajahku, mengusap make up dengan kapas putih yang sudah kubasahi dengan remover. Mengangkat topeng wajah, yang kini berganti dengan wajah alamiku.

Dalam pantulan cermin di depanku, menampakkan tubuh lelakiku yang sedang duduk di bibir ranjang. Jarinya asyik memainkan ponsel yang ia pegang, berikut dnegan bibirnya yang turut bergerak ke atas dan ke bawah, layaknya membaca jejeran huruf di dalamnya. 

“Mas Ammar, Dijah mandi dulu ya,” ucapku.

Usia Ammar tak berbeda jauh denganku. Bahkan bisa dibilang seumuran. Hanya saja saat ini ia menjadi kepala keluargaku, aku harus memanggilnya Mas sebagai bentuk hormat.

Lelaki dengan tubuh tinggi dan rambut hitam lurus itu sedikit menoleh kearahku, “hm ...” lalu kembali fokus dengan benda menyala yang dipegangnya 

Tak ada kalimat yang keluar dari bibir tipis itu selain kata deheman yang terdengar hambar.

‘Sabar, Dijah. Sabar,’ batinku sambil kuhela nafas panjang. Setelahnya aku membersihkan diri sekaligus mengusir penat setelah seharian duduk di kursi pelaminan. 

**

“Mas Ammar, sudah masuk shalat marib. Yuk jamaah!” ucapku setelah usai membersihkan diri, mengenakan gamis panjang, dengan mekena warna putih yang masih berada di tanganku.

Ammar masih terfokus dengan ponsel yang dipegangnya. Duduknyapun masih tak berubah. Ia menoleh dan sekilas menatapku. “Aku sudah mendirikan shalatku. Kamu shalat sendiri ya,” ucapnya yang terdengar begitu dingin. 

Aku meneguk salivaku. Belum apa-apa, aku harus menghadapi sifat Ammar yang begitu cuek, jauh berbeda dari novel roman yang pernah kubaca. 

Aku menjalankan rakaatku, setelahnya langsung berjalan mendekat ke arah Ammar, dan duduk di sebelahnya. Menjalankan pernikahan tanpa mengenalnya di awal , benar-benar membuatku kikuk. 

Ia tak mengindahkan kehadiranku, masih terfokus dengan ponsel yang dipegangnya. Terbesit rasa curiga, mungkinkah ia sedang membaca pesan dari Dinda? Atau .. mereka sedang melakukan rencana untuk bertemu diam-diam? Ah, isi kepalaku terus dipenuhi dengan pikiran buruk.

“Dijah.”

Ammar meletakkan ponselnya, dan kini menoleh ke arahku. Menghadirkan rasa yang begitu sulit kumengerti. Jantungku berdetak tak karuan, memompa darah dengan cepat hingga menegangkan semua urat syarafku. Tubuhku terdiam, namun hati ini seperti berdetak layaknya sandi rumput yang tak mudah kuartikan.

“Iya, Mas Ammar.”

Kedua manik itu mencengkram pandanganku. Seakan menyelam masuk jauh ke dalam hatiku. Ini kali pertama, aku berdekatan dengan lelaki sedekat ini, saling berpandangan dengan lawan jenis selama ini. 

“Dijah, perlu kamu tahu. Pernikahan ini bukanlah yang kuinginkan. Wanita yang hendak kupersunting bukanlah kamu. Namun, Dinda adikmu,” ucapnya dengan tegas, yang langsung menyambar hatiku. Baru saja aku merajut cinta dan harapan untuk pernikahan ini, semua harus kembali tercerai berai. 

“Aku menikahimu karena permintaan Dinda.” Lelaki itu tampak menarik nafasnya yang berat. “Jangan pernah meminta hakmu kepadaku, akupun akan melakukan hal yang sama. Kita tidur di ranjang yang terpisah.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Salah Melamar   Tamat

    Seorang istri akan menjadi ratu ketika berjumpa dengan suami yang tepat. Ya, aku benar-benar meyakini pernyataan itu. Demi apapun, Mas Adam seorang lelaki yang terbaik dengan segala kekurangannya. Meskipun sejujurnya, tak nampak sedikitpun kekurangan itu di mataku. Dari awal kita menikah, hingga janin ini ada di rahimku. Ia adalah suami siaga, yang selalu ada dan emnerima semua kekuranganku. “Apa kita batalin pertemuannya saja, Sayang?” tanya Mas Adam yang memandangku lekat. Aku berbaring di ranjang kamar hotel, dengan dua bantal yang kuajdikan tumpuan belakang punggungku. Sedangkan minyak putih terus menguar dalam indra, berikut dengan sensasi panas di bawah hidung. Semenjak pulang dari praktik dokter tadi, aku sudah diresepkan obat dan vitamin. Namun, rasa mual itu tak pernah memberiku jeda untuk sekedar beristirahat. Hanya bisa berbaring dengan ember kecil yang di letakkan di bawah ranjang, supaya aku tak harus wira-wiri ke kamar mandi saat hendak mengeluarkan isi perutku kembal

  • Salah Melamar   sesion 2 bab.45

    “Dijah gak ngambek, mas. Dijah hanya ....”“Hanya apa? nesu ... atau mrengut ...?” tanyanya dengan bahas jawa medhok, membuatku terkekeh.“Hanya rindu.”Mas adam menarik sudut bibirnya, lalu mengusap lembut rambut panjangku. “Ijinkan ibu menghabiskan waktu untuk cucunya ya, sayang.”Aku mengangguk.Waktu terus berlalu. Namun kini bukan hanya sifat manjaku yang dominan, tapi ego dan mood ku yang berubah begitu cepat. Bahkan untuk kesalahan yang bagiku biasa saja, mampu menghadirkan emosi yang menggunung. Mas Adam yang melupakan handuk di kasur. Mas adam yang lupa mematikan air kran kamar mandi. Masalah spele begitu saja, membuatku mendiamkannya berjam-jam. Sebenarnya iba juga menatapnya, tapi entah kenapa bawaannya pengen emosi. Namun, di balik itu semua, bukan Mas adam namanya jika tak mampu lagi mengambil hatiku. Dengan telaten dan sabarnya, ia menghadirkan senyuman dan tawa kecil kembali.“Apa gak sebaiknya kamu di rumah saja, Sayang? Dua harian lagi juga aku pulang,” ucap Mas Adam

  • Salah Melamar   sesion 2 bab.44

    Waktu terus berlalu begitu cepat, detikan jam yang berjalan selalu kuisi dengan senyuman. Mas Adam terus memanjakanku, dengan segala perhatian dan kasih sayangnya nan hangat. Ia adalah sosok suami dan ayah yang siaga, yang terus telaten menghadapi sikapku yang mendadak manja dan selalu ingin menang sendiri. Ya, aku tak tahu bagaimana sikap ini muncul begitu saja. padahal dulunya, aku adalah seorang wanita yang mandiri. “Mas Adam, boleh Dijah meminta ....”“Boleh, Sayang,” ucapnya sambil mengembangkan senyum di paras tampannya. Tanpa menyelesaikan kalimatku, Mas Adam seakan tahu apa yang aku pikirkan.Lelaki yang baru saja masuk dengan tabung gas melon di tangannya itu langsung menuju ke dapur, dan memasangnya. Hal yang dulunya bisa kulakukan sendiri tanpa minta bantuan siapapun. “Ada lagi yang mau dibantu, Ratuku?” tanyanya yang membuatku terkekah. Diberi pertanyaan seperti itu membuatku malu sendiri, kalau aku sering merepotkan lelaki yang beberapa bulan ini menemani hariku. “Air

  • Salah Melamar   Sesion 2 bab.43

    “Ada apa, Mas?” tanyaku. Alih-alih menjawab, lelaki dengan handuk kecil itu justru menenggelamkan diri ke dalam kamar. Aku beranjak, menuju sumber jeritan berasal. “Dek, ada apa?” tanyaku. Pipi yang biasa berwarna merah muda itu kini menjadi lebih merah dari biasanya. Tak kalah dari Mas Adam.“Dek, ada apa?” tanyaku lagi mengulang pertanyaan karena tak kunjung dijawab.“Mbak, ini Zahra. Dinda mau masuk kamar dulu,” ucapnya yang langsung mengangkat tubuh gemoy anakku.Akupun mengambil alih, sejurus kemudian wanita cantik dengan jilbab segi empat warna merah muda itu lari ke kamarnya, membuatku geleng kepala kebingungan.“Mas Adam, tolong ajak main Zahra ya. Dijah mau mandi,” ucapku masuk kamar menatap lelakiku yang duduk terpaku di bibir ranjang. Ia menoleh dan meringis, masih dengan wajah yang kemerah-merahan. “Mas, sebenarnya ada apa? kenapa mas adam dan dinda aneh?” tanyaku dengan dahi mengernyit. Kuletakkan tubuh gemoy anakku ke dalam pangkuannya.“Sumpah, Sayang. Sumpah bukan

  • Salah Melamar   Sesion 2 bab.42

    Di dalam gedung yang dijadikan kelas anak-anak itu disiapkan panggung dengan spanduk besar yang menjangkau seluruh panggung kayu tersebut. Nama komunitas tertulis jelas, bersamaan dengan nama-nama para anggota. Termasuk nama almarhum Mas Ammar yang tertulis di bagian paling atas, karena sebelumnya beliau adalah ketuanya. Termasuk novel pertama dan terakhir yang menjadi karya terindah untukku, terpotret jelas di spanduk tersebut. Aku tersenyum, andai Mas Ammar masih ada, tentu ia akan begitu bangga dengan pencapaiannya yang luar biasa. Hingga aku tersadar dengan lamunanku ketika Mas Adam mengusap air mata yang membasahi pipiku dengan sapu tangan miliknya. “Sayang, yang kuat ya,” ucapnya dengan tangan kiri yang tak pernah lepas dari menggengam tanganku.Aku diminta duduk di bagian meja depan paling dekat dengan panggung. Juga dengan Mas adam yang selalu ada di sisiku. Sedangkan zahra kini asyik dengan tantenya dan beberapa panitia yang tergabung dari komunitas ciptaan Mas Ammar. Seora

  • Salah Melamar   Sesion 2 bab.41

    “Mas, kamu sudah bangun?” tanyaku yang sedikit menjauh dari tubuhnya. Dengan cepat ia menahan tanganku, dan membawanya kembali ke dalam pucuk kepalanya. “kenapa berhenti? Aku suka diperlakukan seperti tadi. Apa aku harus terpejam lagi supaya kamu kembali melakukannya, Sayang?”“Mas, aku malu.”Lelaki itu terkekeh, dengan pelupuk mata yang kembali ditutup. “Malu kenapa? Aku saja terpejam seperti ini?”“Mas ....”Mas Adam melingkarkan lengannya ke perutku, hingga aku kembali dibuat hangat dan nyamana dalam dekapannya. “Mas, boleh Dijah tanya sesuatu?”“Apa, sayang?”“Sebenarnya Dijah penasaran dari beberapa bulan yang lalu, tapi malu untuk bertanya.”“Apa itu? Kok sampai ditahan beberapa bulan?”“Sebelum kita nikah ....”“Iya .”“Kenapa selalu ada untuk Dijah? Dari rumah bocor, lampu teras yang mati, selokan yang mampet?” Aku mengernyit, menatap lelakiku yang justru terkekeh.“Gak dijawab, malah ditertawakan?” tanyaku lagi.“Sampai sekarang tidak tahu?”Aku menggeleng.“Di teras kan ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status