“Sah?”
“Sah, sah, sah.” Kalimat itu saling bersaut satu sama lain, menggema di seluruh ruangan tamu seusai kalimat ijab terdengar dari bibir Ammar.Mata emak berbinar, dengan senyum yang tak hentinya mengembang. Berikut dengan Dinda yang dipaksakan untuk tersenyum. Sebuah kamuflase itu terlihat jelas di mataku. Ya, kini ia duduk di sebelah emak, turut menyaksikan lelaki yang disayangnya mengucapkan kalimat ijab untuk kakak kandungnya. Prosesi terus berjalan, dimana aku dan Ammar diminta sungkem dengan orang tua yang telah melahirkan kita. Bahu lelaki itu ditepuk oleh bapaknya, berikut dengan suara yang dibisikkan di dekat telinganya. “Bagaimanapun, sekarang kamu adalah seorang suami. Bahagiakan istrimu,” ucapnya lirih yang masih terdengar olehku. Ibu Ammar pun turut mengelus pundakku, juga memberikan sebuah doa pengantar pernikahan kami. “semoga bahagia, Nduk. Semoga jadi keluarga sakinah, mawadah, warohmah.”Aku tersenyum kecil, berharap pernikahan yang tak didasari oleh cinta ini akan menjadi seperti apa yang diucapkan ibu mertua. “Dijah, kamu sekarang sudah jadi seorang istri. Nurut sama perkataan suamimu, jangan kebanyakan bantah seperti sama emak,” ucap emakku kala aku bergantian sungkem di tubuh tuanya. Senyumnya indah, menggambarkan betapa bahagianya beliau saat ini. Berbanding berbalik dengan wajah Dinda yang kini ditutup oleh kabut kelam. Bahkan make up merona yang tertempel di wajahnya tak mampu menutupi kepedihan hatinya. “Mbak Dijah, selamat berbahagia. Until jannah ya, Mbak,” ucap adik kecilku yang kini kupeluk. Aku tahu ia menyimpan luka, dan menutupi semua dari kita.“Makasih ya, Dek.”Aku kini melepas pelukan, dimana aku mulai menyadari manik mata adikku saling bertaut dengan lelaki di sebelahku.“Mas Ammar, jaga Mbak Dijah ya,” ucapnya yang kini terdengar parau. Bahkan mata indah dengan bentuk bulat itu nampak berkaca-kaca, dimana sekali kedip, tumpah juga apa yang telah dibendungnya.“Dek, kamu nangis?” tanyaku.“Iya, Mbak Dijah. Maaf adikmu ini melow. Dinda hanya takut ditinggalMBak Dijah,” ucapnya yang terdengar meyakinkan.“Kami akan selalu berkunjung kesini menghampirimu,” ucap Ammar yang turut menjawab. Mereka seakan memainkan drama dengan begitu apik. Mungkin mereka tak tahu, jika aku telah mengetahui apa yang mereka bicarakan di kamar tadi.Belum juga apa-apa, bibit cemburu mulai timbul. Layaknya daun kering yang kini diremas begitu saja, remuk, lenyap. Bahkan ketika angin menyapanya, semua akan sirna. Ya, pernikahan ini seakan tak berarti, dimana tak adanya pondasi cinta di dalamnya. Terlebih aku tahu, jika wanita yang ditambatkan oleh hati lelakiku adalah adikku sendiri. Pantaskah aku untuk cemburu?Dinda tersenyum, berikut dengan Ammar yang juga tersenyum. Membiaskan rasa sakit yang dari tertahan. Jika Dinda telah merelakan kekasihnya untukku, kenapa ia tak mampu memposisikan dirinya sebagai adik ipar Ammar? Ia telah dewasa, dan harusnya ia bisa membawa dirinya sendiri, terlebih lagi, ia seorang pelajar yang berpendidikan.Proses demi proses kami lewati, mulai dari mencuci kaki Ammar yang telah menginjakkan kakinya ke telur, melempar sepucuk bunga satu sama lain, juga mengadahkan tangan menerima butiran beras yang dituang dari tangan Ammar. Aku masih mengenakan pakaian pernikahan dengan asesoris berat dikepala, menerima tamu yang dari tadi pagi serasa tak ada henti-hentinya. Ya, ini adalah kali pertama emak memiliki “gawe” dalam bahasa jawanya jadi banyak tetangga yang bakalan datang memberikan selamat, juga memberikan sebagian rejeki kepada kami, baik itu hasil panenan, maupun berupa uang. Ammar sudah tak kelihatan batang hidungnya. Sejak adan duhur tadi, setelah keluarga besarnya pamit pulang. Ia turun dari panggung bergebyok ukiran dengan janur melengkung di depannya. Ya, ia berdalih capek, dan kurang sakit hingga meninggalkan acara sepenting ini sebelum acara usai. Detik waktupun terus berjalan, hingga mentari yang tadinya menyengat dengan teriknya, kini perlahan turun, meyisakan sinar jingga yang indah. Akupun turut ke bawah, masuk ke dalam kamar, melepas pernak pernik yang menempel di pakaian dan jilbabku. Kupandangi wajahku, mengusap make up dengan kapas putih yang sudah kubasahi dengan remover. Mengangkat topeng wajah, yang kini berganti dengan wajah alamiku.Dalam pantulan cermin di depanku, menampakkan tubuh lelakiku yang sedang duduk di bibir ranjang. Jarinya asyik memainkan ponsel yang ia pegang, berikut dnegan bibirnya yang turut bergerak ke atas dan ke bawah, layaknya membaca jejeran huruf di dalamnya. “Mas Ammar, Dijah mandi dulu ya,” ucapku.Usia Ammar tak berbeda jauh denganku. Bahkan bisa dibilang seumuran. Hanya saja saat ini ia menjadi kepala keluargaku, aku harus memanggilnya Mas sebagai bentuk hormat.Lelaki dengan tubuh tinggi dan rambut hitam lurus itu sedikit menoleh kearahku, “hm ...” lalu kembali fokus dengan benda menyala yang dipegangnya Tak ada kalimat yang keluar dari bibir tipis itu selain kata deheman yang terdengar hambar.‘Sabar, Dijah. Sabar,’ batinku sambil kuhela nafas panjang. Setelahnya aku membersihkan diri sekaligus mengusir penat setelah seharian duduk di kursi pelaminan. **“Mas Ammar, sudah masuk shalat marib. Yuk jamaah!” ucapku setelah usai membersihkan diri, mengenakan gamis panjang, dengan mekena warna putih yang masih berada di tanganku.Ammar masih terfokus dengan ponsel yang dipegangnya. Duduknyapun masih tak berubah. Ia menoleh dan sekilas menatapku. “Aku sudah mendirikan shalatku. Kamu shalat sendiri ya,” ucapnya yang terdengar begitu dingin. Aku meneguk salivaku. Belum apa-apa, aku harus menghadapi sifat Ammar yang begitu cuek, jauh berbeda dari novel roman yang pernah kubaca. Aku menjalankan rakaatku, setelahnya langsung berjalan mendekat ke arah Ammar, dan duduk di sebelahnya. Menjalankan pernikahan tanpa mengenalnya di awal , benar-benar membuatku kikuk. Ia tak mengindahkan kehadiranku, masih terfokus dengan ponsel yang dipegangnya. Terbesit rasa curiga, mungkinkah ia sedang membaca pesan dari Dinda? Atau .. mereka sedang melakukan rencana untuk bertemu diam-diam? Ah, isi kepalaku terus dipenuhi dengan pikiran buruk.“Dijah.”Ammar meletakkan ponselnya, dan kini menoleh ke arahku. Menghadirkan rasa yang begitu sulit kumengerti. Jantungku berdetak tak karuan, memompa darah dengan cepat hingga menegangkan semua urat syarafku. Tubuhku terdiam, namun hati ini seperti berdetak layaknya sandi rumput yang tak mudah kuartikan.“Iya, Mas Ammar.”Kedua manik itu mencengkram pandanganku. Seakan menyelam masuk jauh ke dalam hatiku. Ini kali pertama, aku berdekatan dengan lelaki sedekat ini, saling berpandangan dengan lawan jenis selama ini. “Dijah, perlu kamu tahu. Pernikahan ini bukanlah yang kuinginkan. Wanita yang hendak kupersunting bukanlah kamu. Namun, Dinda adikmu,” ucapnya dengan tegas, yang langsung menyambar hatiku. Baru saja aku merajut cinta dan harapan untuk pernikahan ini, semua harus kembali tercerai berai. “Aku menikahimu karena permintaan Dinda.” Lelaki itu tampak menarik nafasnya yang berat. “Jangan pernah meminta hakmu kepadaku, akupun akan melakukan hal yang sama. Kita tidur di ranjang yang terpisah.”“Mas Ammar, apa yang kamu lakukan?” tanyaku ketika ia melewatiku dan mengambil bantal beserta selimut. Ia membentangkan di sebelah dipan kasur beralaskan keramik putih dengan warna yang usang dimakan usia. “Aku tidur disini. Kamu tidur saja di atas,” ucapnya. Tubuhku mendadak lemas. Acara pesta pernikahan belum usai. Tamu dan keluarga besar dari ibu juga belum pulang. Namun, aku mendapatkan hal yang memilukan hati. Di atas kertas putih tercatat namanya untukku. Ia sah untuk kusentuh. Dia milikku. Begitupun sebaliknya. Namun, pada kenyataannya semua hanya sebatas bayang-bayang. Di hati Mas Ammar tetap ada nama Dinda yang seolah semakin kuat mencengkram hatinya. Bahkan karena rasa itu, ia memilih untuk mengalah dan memberikan raganya untukku. Satu persatu air mata runtuh, hingga dengan cepat aku menghapus dengan kedua tanganku. Bagaimanapun aku harus kuat. Aku tak ingin terlihat lemah. Terlebih lagi, emak begitu bahagia dengan pernikahanku. Aku tak tega jika harus mengubah senyum y
“Ini lo, Jah. Adikmu Dinda mau balik lagi ke kota. Padahal di rumah saja belum genap sehari to? Coba bujuk adikmu barang kali nurut,” ucap emak ketika suapan di mulutnya usai ditelan. Aku menoleh ke arah Dinda, dimana ia meringis ke arahku dengan canggung. “Dinda tuh ada tugas, Mbak. Kan ada semacam penelitian gitu, jadi gak bisa berlama-lama di rumah. Kasihan teman-teman Dinda yang satu kelompok,” ucap wanita cantik dengan jilbab warna merah muda di kepalanya.“Sedang melakukan penelitian apa, Din?” tanya Ammar yang kini menyaut. “Pengaruh lingkungan dalam pendidikan masa belia, Mas.”“Wah, sepertinya menyenangkan. Ambil datanya di desa mana?”Mereka berdua saling menyaut, membicarakan hal yang belum mampu kupahami, tentang kuliah, kkn, dan rencana skripsi. Aku hanya sebatas mendengar, karena tak memiliki pengalaman seperti itu. “Makannya dihabiskan dulu, nanti dilanjut ceritanya,” ucap emak yang sepertinya juga merasa tak nyaman dengan perbincangan mereka. Terlebih, dari tadi aku
“Ma-Mas Ammar? Ini Mas Ammar?” tanyaku memastikan panggilan di sebrang sana.“Gak perlu basa-basi, Dijah. Jawab saja kamu suka rasa apa?”“Co-coklat. Aku suka rasa coklat,” jawabku dengan gemetaran. Mendapatkan sebuah perhatian seperti ini saja membuat hatiku kalang kabut. Apa ini artinya Ammar sudah mau membuka hati untuk menerimaku?“Aku sedang beli kue terang bulan. Kamu jangan tidur dulu.”“I-iya, Mas.”Sungguh, hatiku benar-benar bahagia. Bunga yang kutanam akhirnya mulai tumbuh dan memunculkan kuncupnya.“Jangan berpikiran tidak-tidak. Ini permintaan dari Dinda,” ucap dari sana sebelum panggilan dimatikan.Aku tersenyum getir, kembali tersadar jika semua bukan tentang aku. Dihidup Mas Ammar hanya ada nama satu wanita, Dinda.Aku memaksakan diri untuk membuka mata, meskipun rasa kantuk mulai menyapa. Mungkin karena kecapekan dengan rutinitas bersih-bersih seharian. Ibu aku minta untuk istirahat di kamarnya. Aku tak mau mengambil resiko jika sakit ibu kumat kembali.Tak selang lam
“Mak, Emak bangun,” ucapku lirih yang kini membelai rambutnya. Wajah keriput yang terlihat begitu teduh. Dibalik omelan-omelannya selalu saja ada petuah yang terselip. “Emak ….”Emak seperti tak merespon, hingga aku tersadar tubuhnya terasa lebih dingin dari biasanya. “Mas Ammar, Mas. Emak, Mas,” teriakku dengan panik.Mas ammar berlari mendekat, dan memastikan keadaan emak. Masih ada denyut nadi yang terasa meskipun sangat lemah. Dengan cepat ia membawa emak ke puskesmas, hingga sampai sana langsung diminta ke rumah sakit. “Ya Allah, Mak. Kamu kenapa?”Dengan naik mobil ambulance yang disediakan oleh puskesmas, aku terus memegang tangan keriput yang selama ini merawat dan membesarkanku. Kukecup keningnya dan kubelai rambut yang kini tertutup oleh jilbabnya. Selang oksigen dimasukkan di kedua lubang hidung itu, hingga perlahan mata emakku membuka. “Emak, ini Dijah, Mak. Ini Dijah,” ucapku yang kini sesenggukan. Pikiranku terus menerawang ke jauh, takut jika terjdi apa-apa dengan w
Ini adalah hari ngunduh mantu, hari yang seharusnya aku tersenyum senang, karena diambil oleh keluarga besar Ammar. Namun, diposisi sekarang, keluargaku tengah berduka. Tepat tiga hari emak meninggalkan kami dari dunia ini. Masih teringat jelas bagimana kenangan di setiap inci rumah ini, yang selalu menjadikan tangis kala mengingatnya. Mak yang bawel dan suka menjewer telingaku meskipun di usiaku sudah sedewasa ini. Aku rindu.“Mbak Dijah, kok melamun,” ucap dinda yang terlihat tersenyum dengan gamis yang dikenakannya. Ya, dia satu-satunya keluarga intiku yang mengantar aku pindah. Juga ada bude dan paklek saudara dari emak yang turut menemani acara sederhana ini. Tak ada perayaan yang semestinya, hanya sebatas mengantar, dijamu oleh keluarga Ammar, dan mereka pulang. Ya, sebatas itu.“Assalamualaikum,” ucap saudara besarku yang kini berada di depan pintu Ammar. “waalaikumsalam,” suara ramah dari dalam rumah tersebut. Hanya keluraga inti saja, kedua orang tua serta kakak-kakak mas
Waktu terus berlalu, detikan jam terus berjalan. Aku hanya terus memandang Mas Ammar yang selalu asyik di depan laptopnya. Sesekali ia menengok ke arah ponsel, dan tersenyum. Kemudian, ia kembali memainkan jari jemarinya di atas keybord warna hitam itu. “Mas, Khadijah ke bawah dulu ya, mau nyiapin makan siang,” ucapku.Ia menoleh ke arahku. “Hm ... terserah.” Lalu balik fokus ke laptopnya. Sungguh, keberadaanku di kamar ini seperti tak dianggap.Aku mengayunkan langkah, sambil menyeka air mataku agar tak kedahuluan membasahi pipi. Aku tak ingin ibu ataupun bapak memergokiku bersedih. Aku harus terlihat tersenyum. Aku tak ingin aib keluarga menjadi sorotan mata orang lain, meskipun itu keluarga ammar sendiri. Ya, seperti itulah yang diucapkan emak sebelum meninggalkan kami.“Khadijah, mau bantu masak?” tanya ibu yang terlihat welcome ketika melihatku datang. Ia tersenyum dengan mata teduh yang ditujukan kearahku. Aku mengangguk.“Sini, sini, kamu bantu siangi ikannya ya,” ucap ibu y
“Dijah, Ammar mana?” tanya ibu ketika aku duduk di kursi makan . Baik ibu dan bapak tidak tahu kalau Mas Ammar sudah keluar seusai shalat duhur. Kebiasaannya memang mengurung diri di kamar, dengan laptop yang disimpannya di tempat pribadi itu. Ya, kata Ibu pekerjaan Mas Ammar memang menghabiskan banyak waktu di laptop dari pada di luar.“Mas Ammar ijin keluar, Bu.”“Nongkrong sama temannya?”“Bukan. Katanya ada urusan pekerjaan,” dustaku. Ya, aku harus melakukan ini untuk menutubi aib rumah tangga kami.Ibu tersenyum. “Ya seperti itulah pekerjaan suamimu, Dijah. Dibilang kerja ya tidak seperti orang kerja pada umumnya. Tapi dibilang nganggur, sebenarnya menghasilkan,” ucap ibu . “Mari makan, jangan ngobrol dulu,” ucap bapak yang memandang kami bergantian.Aku menyuapkan makanan ini sedikit demi sedikit, lebih terkesan memainkannya. Rasanya aku tak nafsu, karena melihat bangku sebelahku kosong. Ya, aku sudah terbiasa makan bersama Mas Ammar. Ia adalah alasan untuk nafsu makanku kembal
Aku kembali masuk ke dalam kamar setelah melihat kendaraan yang dinaiki oleh mas Ammar berlalu. Kembali mendekat ke perpustakaan kecil itu, dan mendekat ke jejeran buku yang dikoleksinya. Aku masih penasaran dengan nama penulis yang sama persis dengan nama Mas Ammar. Kucari buku tersebut, tapi sekarang sudah tidak ada. Mungkinkah ia mengambilnya? Aku tersenyum sendiri. Bukankah Mas Ammar tidak suka aku mendekat ke perpustakaan miliknya, untuk apa aku mengulang kesalahan yang sama?Baru saja aku hendak berlalu, tiba-tiba terdengar dering ponsel dari atas meja. Bersebelahan tepat dengan laptop. Aku mendekat dan mengintip nama yang tertulis. “Dinda “ . mungkinkah ini alasan Mas Ammar tak bercerita kepadaku mau kemana? Aku membiarkan dering ponsel itu berlalu begitu saja, tak ingin masuk ke dalam hubungan mereka. Namun, sebuah panggilan atas nama Dinda kembali terdengar. “Assalamualaikum,” ucapku ragu yang kini mendekatkan ponsel Mas Ammar ke telingaku. Ini tindakan lancang, tapi aku