Share

bab.5 Kepergian Dinda

“Ini lo, Jah. Adikmu Dinda mau balik lagi ke kota. Padahal di rumah saja belum genap sehari to? Coba bujuk adikmu barang kali nurut,” ucap emak ketika suapan di mulutnya usai ditelan. 

 

Aku menoleh ke arah Dinda, dimana ia meringis ke arahku dengan canggung. “Dinda tuh ada tugas, Mbak. Kan ada semacam penelitian gitu, jadi gak bisa berlama-lama di rumah. Kasihan teman-teman Dinda yang satu kelompok,” ucap wanita cantik dengan jilbab warna merah muda di kepalanya.

 

“Sedang melakukan penelitian apa, Din?” tanya Ammar yang kini menyaut. 

 

“Pengaruh lingkungan dalam pendidikan masa belia, Mas.”

 

“Wah, sepertinya menyenangkan. Ambil datanya di desa mana?”

 

Mereka berdua saling menyaut, membicarakan hal yang belum mampu kupahami, tentang kuliah, kkn, dan rencana skripsi. Aku hanya sebatas mendengar, karena tak memiliki pengalaman seperti itu. 

 

“Makannya dihabiskan dulu, nanti dilanjut ceritanya,” ucap emak yang sepertinya juga merasa tak nyaman dengan perbincangan mereka. Terlebih, dari tadi aku hanya bisa diam, tanpa mampu mengimbangi pembicaraan.

 

**

Aku membantu emak membersihkan halaman rumah yang dipenuhi sampah sisa kemarin. Botol aqua tersebar kemana-mana, juga daun pisang pembungkus jajan tradisional khas pernikahan, nogosari, koci, juga lemper.  Kusapukan sedikit demi sedikit sampah itu, hingga menjadi tumpukan di tengah yang menggunung. 

 

“Dijah, bantu emak bentar. Ambilkan minum, Nduk,” ucap emak yang kini duduk di emperan. Kedua kakinya diselonjorkan dengan nafas yang sedikit tersengal. 

 

“Mak, sudah dibilang dijahkan? Emak istirahat saja, biar Dijah yang membersihkan,” ucapku yang kini mendekat ke tubuh tuanya. Ya, tubuh emak tidak sekuat dulu. Dimana ketika lelah menyapa, nafas emak seperti sepotong-sepotong yang menghadirkan rasa takut dalam otakku. Sejauh umurku di dunia ini, aku belum bisa membahagiakan beliau. Juga belum mampu membuatnya bangga terhadapku.

 

“Ambilkan minum, Nduk,” ucapnya yang terdengar lemah.

 

Aku beranjak dari posisiku dan langsung masuk ke dalam rumah. Hingga langkah kaki ini terhenti ketika di ambang pintu dapur, aku kembali dihadapkan dengan situasi tak menyenangkan.

“Kamu yang memintaku ada disini. Lalu kenapa kamu harus pergi? Aku tahu semua hanya alasanmu saja, Din.”

 

“Jangan salah sangka Mas Ammar. Dinda memang banyak acara di kampus. Dinda permisi dulu.” Wanita cantik itu beranjak keluar, hingga manik mata itu tertangkap dalam pandanganku ketika ia hendak berlalu. Dinda hanya menunduk, lalu melewatiku begitu saja. Tinggalah Ammar yang kini masih mematung di dapur, dengan menghadap kearahku. 

 

“Maaf, aku hanya mau ambil minum untuk emak,” ucapku yang merasa canggung. Kutuangkan air dari teko berbahan plastik itu ke gelas kaca bening, hingga penuh. Sejurus kemudian, langsung pamit keluar melewati tubuhnya yang terus memaku dengan bumi.

 

“Emak, ini minumnya.” Kubantu tubuh tua itu untuk meneguk air yang kubawa, hingga terdengar lafal doa dan dilanjutkan tegukan hingga air itu habis tak bersisa. 

 

“Alhamdulillah, sudah membaik, Nduk.”

 

“Lain kali jangan kecapekan lagi ya, Mak.”

 

“Emak tu gak capek. Cuman kepikiran sama adikmu Dinda. Emak sudah tua, tapi dia terus asyik dengan sekolahnya sampai gak kerasan di rumah.”

 

“Bukan gak kerasan, Mak. Kan emak dengar sendiri kalau Dinda lagi banyak tugas di kampusnya.”

 

“Halah, adikmu itu sih memang menyibukkan diri. Lah Sari anaknya Minah juga kuliah, tapi hampir tiap minggu ia pulang. Gak seperti adikmu itu.”

 

“Yang sabar, Mak. Mungkin jurusan mereka berbeda. Jadi kesibukannya juga berbeda.”

 

Aku mencoba ngayem-ngayemi hati emak. Bagaimanapun, aku tak ingin beliau banyak pikiran, dan semoga saja ia tak akan tahu tentang hubungan rumit yang terjadi di kedua anaknya. 

 

Tak lama kemudian, Dinda datang dengan hem lengan panjang, juga celana berwarna senada. Memakai jilbab warna merah muda seperti saat kita sarapan tadi. Make up tipis yang terpoles d wajahnya, membuat penampilan adikku ini semakin terlihat sempurna. Dia cantik, ditambah dengan lipstik tipis dan blush on yang tersapu di wajah terangnya. 

 

“Jadi berangkat, Din?” tanya emak. “Gak nunggu Mbak mu diunduh mantu dulu?”

 

Dinda mengambil jaket dari tasnya, lalu memakai benda berwarna merah muda itu ke tubuhnya. 

 

“Gak lah, Mak. Kasihan teman-temannya Dinda. “

 

“Gak kasihan emakmu disini?”

 

“Emak, dinda kan kuliah, nuntut ilmu. Dinda janji setelah ini, Dinda jadi orang yang sukses dan bisa membanggakan emak.” Wanita cantik itu memeluk tubuh tua emak dari belakang, hingga tangan yang mulai tampak keriput itu mengelus lembut pipi anaknya yang tampak cantik mempesona.

Aku tersenyum, melihat lengkungan bibir di wajah ibu, turut membuat hatiku sumringah di balik carut marutnya pernikahanku.

Dinda pamit, mecium punggung tangan ibu, dan tanganku secara bergantian. Berikut dengan untaian doa dan wejangan ibu yang panjang, layaknya kereta api. Sejurus kemudian, ia menyalakan kendaraan roda duanya, meninggalkan kami dengan kepulan asap yang mengudara.

 

“Khhadijah, Dinda mana?” tanya Mas Ammar yang kini keluar dari rumah. Tangannya membawa sebuah lampiran kertas yang telah dijilid tebal.

“Baru saja berangkat,” jawabku sambil menunjuk jalan kemana Dinda berada.

 

“Filenya daa yang ketinggalan. Pasti dia membutuhkan ini,” ucaonya yang kini menunjukkan barang yang ia pegang.

 

“Emak, Dijah susulin Dinda dulu ya. mungkin masih belum jauh,” ucapku sambil mengusap lembut punggungnya. 

 

“Biar aku saja yang antar,” ucap Ammar ketika aku beranjak dari dudukku.

Ia mengambil kunci motorku yang terbiasa tergantung di dinding kamar, dan dengan cepat ia melajukan kendaraan yang ditumpanginya.

 

“Syukurlah. Sepertinya Nak ammar juga peduli sama Dinda, dia peduli sama adikmu,” ucap emak menatap tubuh Mas Amar yang semakin menjauh. 

 

‘Pasti ammar peduli lah, Mak. Dinda itu kekasihnya Mas Ammar. Mereka menjalin hubungan cukup lama. Bahkan mereka berniat membawa hubungannya ke jenjang serius.’ Batinku. 

 

“Iya, Mak. Alhamdulillah,” ucapku yang kini membantu tubuh tua itu berdiri. 

 

Waktu terus berllau, detik jam terus berjalan. Matahari yang tadinya naik, kini terus berputar, dan kembali turun ke paraduannya. Sedangkan sampai saat ini, belum juga suamiku itu pulang. Tidak mungkinkan menyusul Dinda sampai selarut ini? Bahkan mungkin jarak keduanya tadi tidak terlalu jauh.

 

Aku bahkan sampai berdusta kepada emak ketika ia menanyakan menantunya. 

“Barusan Mas ammar kirim pesan, Mak. Ia pulang. Beliau lupa bawa pakaian ganti, sedangkan kemarin yang dipakainya sudah kotor.”

 

Ya, aku tak tahu lagi harus berdusta seperti apa. Meskipun sejujurnya nomor telfon Mas Ammarpun aku tak punya.

Aku mondar-mandir di kamar layaknya setrikaan dengan kain kusut, benar-benar tak jelas. Pikiranku terus menayangkan hal buruk, yang membuat hati ini semakin menjadi-jadi. Mungkinkah mereka kabur bersama? Mungkinkah mereka bakal kawin lari? Atau ...

 

Suara dering yang tiba-tiba masuk ke indraku, membuat tubuh kecilku sedikit terpental. Kuambil benda yang terletak di atas kasur, dan memperhatikan nama di dalamnya. Kosong, hanya terlihat jejeran nomor yang tak kukenal .

Dengan ragu aku mengusap benda itu, hingga menyambungkan panggilan yang masuk.

 

“Assalamualaikum.”

 

“Waalaikumsalam. Khadijah, kamu suka coklat atau strawberry?” tanya dari sberang sana. Suara yang tak asing. Ammar. Aku tidak salah mendengarkah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status