Share

bab.4 Hari pertama

“Mas Ammar, apa yang kamu lakukan?” tanyaku ketika ia melewatiku dan mengambil bantal beserta selimut. 

Ia membentangkan di sebelah dipan kasur beralaskan keramik putih dengan warna yang usang dimakan usia. 

“Aku tidur disini. Kamu tidur saja di atas,” ucapnya. 

Tubuhku mendadak lemas. Acara pesta pernikahan belum usai. Tamu dan keluarga besar dari ibu juga belum pulang. Namun, aku mendapatkan hal yang memilukan hati. Di atas kertas putih tercatat namanya untukku. Ia sah untuk kusentuh. Dia milikku. Begitupun sebaliknya. Namun, pada kenyataannya semua hanya sebatas bayang-bayang. Di hati Mas Ammar tetap ada nama Dinda yang seolah semakin kuat mencengkram hatinya. Bahkan karena rasa itu, ia memilih untuk mengalah dan memberikan raganya untukku. 

Satu persatu air mata  runtuh, hingga dengan cepat aku menghapus dengan kedua tanganku. Bagaimanapun aku harus kuat. Aku tak ingin terlihat lemah. Terlebih lagi, emak begitu bahagia dengan pernikahanku. Aku tak tega jika harus mengubah senyum yang mengembang indah itu menjadi air mata. 

“Mas Ammar, tadi diminta emak untuk makan malam dulu.”

“Bilang saja aku sudah tidur.Aku juga tidak lapar,” ucapnya dengan nada dingin. 

Ia mengkerjapkan matanya, hingga pelupuk mata itu mulai menyatu. 

‘Sabar, Dijah. Sabar,’ batinku sambil kuelus dada yang semakin sesak. Pernikahan yang kupikir akan menjadi ladang pahala untukku, ternyata tak ubahnya sebuah sumur yang terus menenggelamkan. 

Aku keluar kamar, sambil memasang lengkungan bibir di wajahku. Berharap mampu menahan air mata agar tak runtuh. 

“Nduk, ini lo budemu mau pamit.” Suara emak membuatku menoleh ke sumber suara, dimana beberapa saudara ku telah berkumpul hendak pulang. Aku memeluk tubuh mereka bergantian, bersamaan banyak doa yang keluar dari bibir mereka, termasuk juga dengan candaan dari salah satu sepupu. 

“Ciye Mbak Dijah sold out juga. Besok pasti jalannya berbeda,” ucap wanita seumuranku yang kini tengah menggendong putri kecilnya. Ya, bisa dibilang akulah yang paling terlambat menikah dari wanita seusiaku. 

Aku tersenyum getir. Bagaimana mungkin itu terjadi jika suamiku saja terlihat risih untuk menyentuhku? Jangankan menyentuh, sekedar menoleh ke arahku saja ia terlihat jijik. Mungkin karena fisikku yang jauh berbeda dari tubuh sempurna kekasihnya. 

“Lo, Bude gak makan malam bersama dulu?” 

“Sudah tadi. Habis nunggu kamu lama.”

“Maklumlah, Mak. Namanya juga habis nikah. Pasti pengennya mepet terus sama suaminya di kamar,” seru sepupuku tadi yang menghadirkan tawa pecah menggema se isi ruangan. Begitupun dengan Dinda yang turut tersenyum di sebelah emak, menutup luka pada hatinya. 

“Dijah sana makan dulu. Tinggal kamu sama suamimu yang belum makan. Itu empal dagingnya masih banyak, memang kami sisakan untuk kalian.”

Aku tersenyum. 

“Lo, Ammar suamimu mana?” 

“Mas Ammar sudah tidur, Mak. Beliau kecapekan.”

“Oalah … ya sudah, kalau begitu bawakan makanan ke kamar saja. Nanti kalau dia terbangun biar makan di kamar. Biasanya menantu baru tuh masih malu-malu ketika bertemu keluarga barunya.”

“Baik, Mak.”

Satu persatu tamu mulai meninggalkan, keluarga besar emak dan almarhum bapak pun sudah pamit. Kembali menyisakan keluarga inti, dimana Dinda juga sudah masuk ke dalam kamarnya. Waktu terus berjalan, malam semakin larut. Aku yang tadinya hendak makan pun, mendadak tak berselera ketika mengingat kejadian di kamar. Lebih memilih mengambil dua piring yang sudah kuisi dengan nasi dan lauk, membawanya masuk ke dalam kamar. Berharap, bisa makan bersama dengan suamiku.

“Mas Ammar, ini makan malammu,” ucapku yang kini masuk ke ruangan berukuran sedang ini dengan dua piring di kedua tanganku. 

“Sudah kubilang, aku tidak laparkan?” ucapnya dengan ponsel dalam genggamannya. Layar itu menyala hingga menyoroti wajah yang tertutup kelamnya ikatan pernikahan. Rahang tegas dengan hidung mancung itu terus menggerakkan bibir, layaknya membaca tulisan yang tertulis di layarnya. Begitu asyik dengan benda yang ia pegang. 

“Ini emak yang meminta membawakan, Mas. “

“Ya sudah taruh atas meja sana,” ucapnya yang menunjuk ke benda kayu di sudut ruangan, tanpa menoleh sedikitpun kearahku. 

Aku meletakkan kedua piring yang kubawa. Harapanku untuk makan bersama dengan Mas Ammar pun lenyap sudah, meskipun perut ini sudah terasa melilit meminta jatahnya. Tapi, bibir dan lidah ini serasa kilu, tak nafsu sama sekali untuk mengunyah. 

Aku mendekat ke bibir ranjang dan tidur di atasnya. Sambil sesekali mencuri pandang kepada lelaki yang telah berbaring di sebelah ranjangku, beralaskan selimut motif garis kesayanganku. Lagi-lagi air mata menetes seblum sempat aku menyekanya, lalu tersenyum kecil berharap smeua adalah mimpi. Kututup mataku sambil melafalkan doa agar terjaga. 

**

Pelupuk mataku membuka, dimana bantal dan selimut yang dijadikan alas tidur ammar itu sudah terletak rapi di sebelahku. Aku mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan, dan kini mendapati lelakiku telah berdiri menunaikan kewajibannya kepada Tuhannya. Aku tersenyum, andai aku bisa menjadi makmum yang berada di belakang imamku itu. 

Shalat berjamaah, dan saling memanjatkan doa bersama. Mengukir harapan-harapan dan rencana yang akan kami bangun. Sayang, semua hanya sekedar mimpi. 

“Assalamuaikum warahmatullah,” bacaan salam terdengar berikut dengan gerakan akhir shalat . Aku baru tersadar, jika aku telah terhanyut dalam lamunan sambil menatap tubuh yang terlihat sempurna dimataku, hingga tak segera mendirikan rakaatku. 

“Ya Allah, inikah sebuah teguran untukku? Hanya memandang ciptaanmu saja, aku sampai menunda kewajibanku.”

Aku beranjak dari tidurku, mengambil handuk dari lemari, dan hendak keluar. Hingga tiba-tiba panggilan atas namaku itu terdengar.

“Khadijah.”

Aku menoleh. “Iya, Mas Ammar.”

“Jangan lupa untuk keramas, biar emak tidak curiga,” ucapnya yang terdengar memilukan hati. Satu kalimat perintah yang benar-benar menyakitkan kala masuk ke indra pendengaran. 

Aku mengangguk dan berlalu begitu saja. 

**

Aku dan Mas Ammar duduk di kursi bersebelahan, sedangkan ibu duduk di depanku, dan Dinda berada di sebelahnya, berhadapan dengan mantan kekasihnya. Meja kayu berbentuk  segi empat itu berada di tengah kami, dimana beberapa iris empal daging sisa resepsi kemarin masih tersaji di atas meja, berikut dengan telur sambalado yang sepertinya baru saja dibuat oleh emak. Asap yang masih mengepul dari telur bulat itu, menandakan kondisinya yang masih panas. 

Ibu melirik ke arahku dan Ammar secara bergantian. Lalu seutas senyum terbit, kala menyadari rambutku dan lelaki di sebelahku sama-sama basah. Ya, aku memang terbisa melepas jilbab ketika di rumah, hanya mengenakannya ketika ada tamu datang atau saat keluar rumah. Sedangkan semenjak Ammar di sini, Dinda lebih konsisten mengenakan jilbab yang menutup rambut panjangnya. 

“Sepertinya kamu bakal segera punya keponakan, Din,” goda emak sambil menatap anak wanitanya yang cantik. 

Dinda meringis. Ia menoleh ke arahku, lalu melempar pandangan ke arah Ammar. Ketika ia menyadari tatapanku kepadanya, barulah ia tersadar dan menundukkan pandangan.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ning84
hati manusia lain².... dari awal sudah tahu kekasih adiknya, tapi tetap meneruskan pernikahan. kesian adiknya.... rasa tak sanggup nak baca... adoiiii
goodnovel comment avatar
Chida
sabar Dijah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status