“Mas Ammar, apa yang kamu lakukan?” tanyaku ketika ia melewatiku dan mengambil bantal beserta selimut.
Ia membentangkan di sebelah dipan kasur beralaskan keramik putih dengan warna yang usang dimakan usia. “Aku tidur disini. Kamu tidur saja di atas,” ucapnya. Tubuhku mendadak lemas. Acara pesta pernikahan belum usai. Tamu dan keluarga besar dari ibu juga belum pulang. Namun, aku mendapatkan hal yang memilukan hati. Di atas kertas putih tercatat namanya untukku. Ia sah untuk kusentuh. Dia milikku. Begitupun sebaliknya. Namun, pada kenyataannya semua hanya sebatas bayang-bayang. Di hati Mas Ammar tetap ada nama Dinda yang seolah semakin kuat mencengkram hatinya. Bahkan karena rasa itu, ia memilih untuk mengalah dan memberikan raganya untukku. Satu persatu air mata runtuh, hingga dengan cepat aku menghapus dengan kedua tanganku. Bagaimanapun aku harus kuat. Aku tak ingin terlihat lemah. Terlebih lagi, emak begitu bahagia dengan pernikahanku. Aku tak tega jika harus mengubah senyum yang mengembang indah itu menjadi air mata. “Mas Ammar, tadi diminta emak untuk makan malam dulu.”“Bilang saja aku sudah tidur.Aku juga tidak lapar,” ucapnya dengan nada dingin. Ia mengkerjapkan matanya, hingga pelupuk mata itu mulai menyatu. ‘Sabar, Dijah. Sabar,’ batinku sambil kuelus dada yang semakin sesak. Pernikahan yang kupikir akan menjadi ladang pahala untukku, ternyata tak ubahnya sebuah sumur yang terus menenggelamkan. Aku keluar kamar, sambil memasang lengkungan bibir di wajahku. Berharap mampu menahan air mata agar tak runtuh. “Nduk, ini lo budemu mau pamit.” Suara emak membuatku menoleh ke sumber suara, dimana beberapa saudara ku telah berkumpul hendak pulang. Aku memeluk tubuh mereka bergantian, bersamaan banyak doa yang keluar dari bibir mereka, termasuk juga dengan candaan dari salah satu sepupu. “Ciye Mbak Dijah sold out juga. Besok pasti jalannya berbeda,” ucap wanita seumuranku yang kini tengah menggendong putri kecilnya. Ya, bisa dibilang akulah yang paling terlambat menikah dari wanita seusiaku. Aku tersenyum getir. Bagaimana mungkin itu terjadi jika suamiku saja terlihat risih untuk menyentuhku? Jangankan menyentuh, sekedar menoleh ke arahku saja ia terlihat jijik. Mungkin karena fisikku yang jauh berbeda dari tubuh sempurna kekasihnya. “Lo, Bude gak makan malam bersama dulu?” “Sudah tadi. Habis nunggu kamu lama.”“Maklumlah, Mak. Namanya juga habis nikah. Pasti pengennya mepet terus sama suaminya di kamar,” seru sepupuku tadi yang menghadirkan tawa pecah menggema se isi ruangan. Begitupun dengan Dinda yang turut tersenyum di sebelah emak, menutup luka pada hatinya. “Dijah sana makan dulu. Tinggal kamu sama suamimu yang belum makan. Itu empal dagingnya masih banyak, memang kami sisakan untuk kalian.”Aku tersenyum. “Lo, Ammar suamimu mana?” “Mas Ammar sudah tidur, Mak. Beliau kecapekan.”“Oalah … ya sudah, kalau begitu bawakan makanan ke kamar saja. Nanti kalau dia terbangun biar makan di kamar. Biasanya menantu baru tuh masih malu-malu ketika bertemu keluarga barunya.”“Baik, Mak.”Satu persatu tamu mulai meninggalkan, keluarga besar emak dan almarhum bapak pun sudah pamit. Kembali menyisakan keluarga inti, dimana Dinda juga sudah masuk ke dalam kamarnya. Waktu terus berjalan, malam semakin larut. Aku yang tadinya hendak makan pun, mendadak tak berselera ketika mengingat kejadian di kamar. Lebih memilih mengambil dua piring yang sudah kuisi dengan nasi dan lauk, membawanya masuk ke dalam kamar. Berharap, bisa makan bersama dengan suamiku.“Mas Ammar, ini makan malammu,” ucapku yang kini masuk ke ruangan berukuran sedang ini dengan dua piring di kedua tanganku. “Sudah kubilang, aku tidak laparkan?” ucapnya dengan ponsel dalam genggamannya. Layar itu menyala hingga menyoroti wajah yang tertutup kelamnya ikatan pernikahan. Rahang tegas dengan hidung mancung itu terus menggerakkan bibir, layaknya membaca tulisan yang tertulis di layarnya. Begitu asyik dengan benda yang ia pegang. “Ini emak yang meminta membawakan, Mas. ““Ya sudah taruh atas meja sana,” ucapnya yang menunjuk ke benda kayu di sudut ruangan, tanpa menoleh sedikitpun kearahku. Aku meletakkan kedua piring yang kubawa. Harapanku untuk makan bersama dengan Mas Ammar pun lenyap sudah, meskipun perut ini sudah terasa melilit meminta jatahnya. Tapi, bibir dan lidah ini serasa kilu, tak nafsu sama sekali untuk mengunyah. Aku mendekat ke bibir ranjang dan tidur di atasnya. Sambil sesekali mencuri pandang kepada lelaki yang telah berbaring di sebelah ranjangku, beralaskan selimut motif garis kesayanganku. Lagi-lagi air mata menetes seblum sempat aku menyekanya, lalu tersenyum kecil berharap smeua adalah mimpi. Kututup mataku sambil melafalkan doa agar terjaga. **Pelupuk mataku membuka, dimana bantal dan selimut yang dijadikan alas tidur ammar itu sudah terletak rapi di sebelahku. Aku mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan, dan kini mendapati lelakiku telah berdiri menunaikan kewajibannya kepada Tuhannya. Aku tersenyum, andai aku bisa menjadi makmum yang berada di belakang imamku itu. Shalat berjamaah, dan saling memanjatkan doa bersama. Mengukir harapan-harapan dan rencana yang akan kami bangun. Sayang, semua hanya sekedar mimpi. “Assalamuaikum warahmatullah,” bacaan salam terdengar berikut dengan gerakan akhir shalat . Aku baru tersadar, jika aku telah terhanyut dalam lamunan sambil menatap tubuh yang terlihat sempurna dimataku, hingga tak segera mendirikan rakaatku. “Ya Allah, inikah sebuah teguran untukku? Hanya memandang ciptaanmu saja, aku sampai menunda kewajibanku.”Aku beranjak dari tidurku, mengambil handuk dari lemari, dan hendak keluar. Hingga tiba-tiba panggilan atas namaku itu terdengar.“Khadijah.”Aku menoleh. “Iya, Mas Ammar.”“Jangan lupa untuk keramas, biar emak tidak curiga,” ucapnya yang terdengar memilukan hati. Satu kalimat perintah yang benar-benar menyakitkan kala masuk ke indra pendengaran. Aku mengangguk dan berlalu begitu saja. **Aku dan Mas Ammar duduk di kursi bersebelahan, sedangkan ibu duduk di depanku, dan Dinda berada di sebelahnya, berhadapan dengan mantan kekasihnya. Meja kayu berbentuk segi empat itu berada di tengah kami, dimana beberapa iris empal daging sisa resepsi kemarin masih tersaji di atas meja, berikut dengan telur sambalado yang sepertinya baru saja dibuat oleh emak. Asap yang masih mengepul dari telur bulat itu, menandakan kondisinya yang masih panas. Ibu melirik ke arahku dan Ammar secara bergantian. Lalu seutas senyum terbit, kala menyadari rambutku dan lelaki di sebelahku sama-sama basah. Ya, aku memang terbisa melepas jilbab ketika di rumah, hanya mengenakannya ketika ada tamu datang atau saat keluar rumah. Sedangkan semenjak Ammar di sini, Dinda lebih konsisten mengenakan jilbab yang menutup rambut panjangnya. “Sepertinya kamu bakal segera punya keponakan, Din,” goda emak sambil menatap anak wanitanya yang cantik. Dinda meringis. Ia menoleh ke arahku, lalu melempar pandangan ke arah Ammar. Ketika ia menyadari tatapanku kepadanya, barulah ia tersadar dan menundukkan pandangan.Seorang istri akan menjadi ratu ketika berjumpa dengan suami yang tepat. Ya, aku benar-benar meyakini pernyataan itu. Demi apapun, Mas Adam seorang lelaki yang terbaik dengan segala kekurangannya. Meskipun sejujurnya, tak nampak sedikitpun kekurangan itu di mataku. Dari awal kita menikah, hingga janin ini ada di rahimku. Ia adalah suami siaga, yang selalu ada dan emnerima semua kekuranganku. “Apa kita batalin pertemuannya saja, Sayang?” tanya Mas Adam yang memandangku lekat. Aku berbaring di ranjang kamar hotel, dengan dua bantal yang kuajdikan tumpuan belakang punggungku. Sedangkan minyak putih terus menguar dalam indra, berikut dengan sensasi panas di bawah hidung. Semenjak pulang dari praktik dokter tadi, aku sudah diresepkan obat dan vitamin. Namun, rasa mual itu tak pernah memberiku jeda untuk sekedar beristirahat. Hanya bisa berbaring dengan ember kecil yang di letakkan di bawah ranjang, supaya aku tak harus wira-wiri ke kamar mandi saat hendak mengeluarkan isi perutku kembal
“Dijah gak ngambek, mas. Dijah hanya ....”“Hanya apa? nesu ... atau mrengut ...?” tanyanya dengan bahas jawa medhok, membuatku terkekeh.“Hanya rindu.”Mas adam menarik sudut bibirnya, lalu mengusap lembut rambut panjangku. “Ijinkan ibu menghabiskan waktu untuk cucunya ya, sayang.”Aku mengangguk.Waktu terus berlalu. Namun kini bukan hanya sifat manjaku yang dominan, tapi ego dan mood ku yang berubah begitu cepat. Bahkan untuk kesalahan yang bagiku biasa saja, mampu menghadirkan emosi yang menggunung. Mas Adam yang melupakan handuk di kasur. Mas adam yang lupa mematikan air kran kamar mandi. Masalah spele begitu saja, membuatku mendiamkannya berjam-jam. Sebenarnya iba juga menatapnya, tapi entah kenapa bawaannya pengen emosi. Namun, di balik itu semua, bukan Mas adam namanya jika tak mampu lagi mengambil hatiku. Dengan telaten dan sabarnya, ia menghadirkan senyuman dan tawa kecil kembali.“Apa gak sebaiknya kamu di rumah saja, Sayang? Dua harian lagi juga aku pulang,” ucap Mas Adam
Waktu terus berlalu begitu cepat, detikan jam yang berjalan selalu kuisi dengan senyuman. Mas Adam terus memanjakanku, dengan segala perhatian dan kasih sayangnya nan hangat. Ia adalah sosok suami dan ayah yang siaga, yang terus telaten menghadapi sikapku yang mendadak manja dan selalu ingin menang sendiri. Ya, aku tak tahu bagaimana sikap ini muncul begitu saja. padahal dulunya, aku adalah seorang wanita yang mandiri. “Mas Adam, boleh Dijah meminta ....”“Boleh, Sayang,” ucapnya sambil mengembangkan senyum di paras tampannya. Tanpa menyelesaikan kalimatku, Mas Adam seakan tahu apa yang aku pikirkan.Lelaki yang baru saja masuk dengan tabung gas melon di tangannya itu langsung menuju ke dapur, dan memasangnya. Hal yang dulunya bisa kulakukan sendiri tanpa minta bantuan siapapun. “Ada lagi yang mau dibantu, Ratuku?” tanyanya yang membuatku terkekah. Diberi pertanyaan seperti itu membuatku malu sendiri, kalau aku sering merepotkan lelaki yang beberapa bulan ini menemani hariku. “Air
“Ada apa, Mas?” tanyaku. Alih-alih menjawab, lelaki dengan handuk kecil itu justru menenggelamkan diri ke dalam kamar. Aku beranjak, menuju sumber jeritan berasal. “Dek, ada apa?” tanyaku. Pipi yang biasa berwarna merah muda itu kini menjadi lebih merah dari biasanya. Tak kalah dari Mas Adam.“Dek, ada apa?” tanyaku lagi mengulang pertanyaan karena tak kunjung dijawab.“Mbak, ini Zahra. Dinda mau masuk kamar dulu,” ucapnya yang langsung mengangkat tubuh gemoy anakku.Akupun mengambil alih, sejurus kemudian wanita cantik dengan jilbab segi empat warna merah muda itu lari ke kamarnya, membuatku geleng kepala kebingungan.“Mas Adam, tolong ajak main Zahra ya. Dijah mau mandi,” ucapku masuk kamar menatap lelakiku yang duduk terpaku di bibir ranjang. Ia menoleh dan meringis, masih dengan wajah yang kemerah-merahan. “Mas, sebenarnya ada apa? kenapa mas adam dan dinda aneh?” tanyaku dengan dahi mengernyit. Kuletakkan tubuh gemoy anakku ke dalam pangkuannya.“Sumpah, Sayang. Sumpah bukan
Di dalam gedung yang dijadikan kelas anak-anak itu disiapkan panggung dengan spanduk besar yang menjangkau seluruh panggung kayu tersebut. Nama komunitas tertulis jelas, bersamaan dengan nama-nama para anggota. Termasuk nama almarhum Mas Ammar yang tertulis di bagian paling atas, karena sebelumnya beliau adalah ketuanya. Termasuk novel pertama dan terakhir yang menjadi karya terindah untukku, terpotret jelas di spanduk tersebut. Aku tersenyum, andai Mas Ammar masih ada, tentu ia akan begitu bangga dengan pencapaiannya yang luar biasa. Hingga aku tersadar dengan lamunanku ketika Mas Adam mengusap air mata yang membasahi pipiku dengan sapu tangan miliknya. “Sayang, yang kuat ya,” ucapnya dengan tangan kiri yang tak pernah lepas dari menggengam tanganku.Aku diminta duduk di bagian meja depan paling dekat dengan panggung. Juga dengan Mas adam yang selalu ada di sisiku. Sedangkan zahra kini asyik dengan tantenya dan beberapa panitia yang tergabung dari komunitas ciptaan Mas Ammar. Seora
“Mas, kamu sudah bangun?” tanyaku yang sedikit menjauh dari tubuhnya. Dengan cepat ia menahan tanganku, dan membawanya kembali ke dalam pucuk kepalanya. “kenapa berhenti? Aku suka diperlakukan seperti tadi. Apa aku harus terpejam lagi supaya kamu kembali melakukannya, Sayang?”“Mas, aku malu.”Lelaki itu terkekeh, dengan pelupuk mata yang kembali ditutup. “Malu kenapa? Aku saja terpejam seperti ini?”“Mas ....”Mas Adam melingkarkan lengannya ke perutku, hingga aku kembali dibuat hangat dan nyamana dalam dekapannya. “Mas, boleh Dijah tanya sesuatu?”“Apa, sayang?”“Sebenarnya Dijah penasaran dari beberapa bulan yang lalu, tapi malu untuk bertanya.”“Apa itu? Kok sampai ditahan beberapa bulan?”“Sebelum kita nikah ....”“Iya .”“Kenapa selalu ada untuk Dijah? Dari rumah bocor, lampu teras yang mati, selokan yang mampet?” Aku mengernyit, menatap lelakiku yang justru terkekeh.“Gak dijawab, malah ditertawakan?” tanyaku lagi.“Sampai sekarang tidak tahu?”Aku menggeleng.“Di teras kan ak