"Hm, begini, aku .... mau minta uang lagi, yang di ATM udah habis semua."Laila menunduk tidak berani menatap Hendra. Namun, dari sudut matanya bisa dilihat lelaki yang memiliki rahang tegas itu pun santai tanpa ada beban. Tidak ada raut terkejut sama sekali. Hanya saja lelaki itu menghela napas, hembusan napasnya bisa Laila rasakan.Lantas wanita itu tersenyum tipis merasa aman telah menghabiskan uang sepuluh juta untuk satu hari. Namun, senyum itu menyusut karena Hendra belum juga angkat suara, dia bungkam sembari menatap lekat istrinya."Mas ...." panggil Laila, dipegang tangan Hendra."Mas, udah tau kalau kamu habiskan uang di ATM. Untuk apa uang itu?" Tidak mau gegabah mendulukan emosi, Hendra bertanya baik-baik.Kemudian dia kembali menelisik wajah istrinya, mencari jawaban. Semua penarikan yang Laila lakukan langsung masuk ke ponsel Hendra. Tidak heran jika dia sudah mengetahui lebih dulu, tanpa diberi tahu. Sempat ada rasa marah dan ingin langsung pulang meminta penjelasan,
Laila berteriak histeris mendengar dentuman kaca yang terkena benda padat. Tubuh yang terbuka akibat pertempuran panas bersama sang suami segera ditutupnya dan beringsut di sudut ranjang.Batu sebesar kepalan tangan orang dewasa menggelinding tepat di bawah ranjang. Untung saja tidak mengenai wanita yang kini tengah duduk ketakutan."Mas ...." teriak Laila takut"Mas Hendra!"Hendra segera menyelesaikan mandi dan keluar dengan terburu-buru karena mendengar teriakan sang istri. Lelaki itu belum tahu apa yang terjadi."Ada apa, Sayang?" tanya Hendra panik."Itu, kacanya pecah." Laila menunjuk kaca dengan tangan bergetar.Mata lelaki itu terbelalak. Kemudian diambilnya batu itu, lalu dia berjalan mendekati jendela, maksud hati ingin mencari tahu siapa pelakunya."Woy!" Melihat ada seorang lelaki di bawah sana, Hendra berteriak dan bersiap melemparkan batu, tetapi lelaki itu cepat mengendarai motornya melesat meninggalkan kediaman Hendra. Namun, sayup-sayup lelaki itu meneriakkan nama La
Kebisingan di bengkel tidak menganggu lelaki yang tengah duduk termenung sembari mengetuk-ngetukan pena di dagunya. Buku di hadapan tidak lagi menarik, padahal tadi niatnya datang ke bengkel akan mengecek pembukuan, sebab sebentar lagi akhir bulan. Namun, Hendra sepertinya tidak ingin menyelesaikan tepat waktu.Ruangan kecil yang Hendra desain untuk tempat istirahat itu menjadi tempat ternyaman kala dia memiliki masalah. Pikiran lelaki berkumis tipis itu sedang kalut. Menerka-nerka siapa yang melakukan teror di rumah sampai menyebut nama istrinya. Ingin bertanya pada Laila, tetapi tidak memiliki kesempatan yang baik.Ponsel di atas meja berdering. Tertera nama Bu Tari di layar ponsel. Hendra langsung menjawab. Tiba-tiba saja perasaannya tidak enak. Pikirannya langsung tertuju pada Laila di rumah."Asalamualaikum, ada apa, Buk? Apa ada masalah sama Laila?" cecer Hendra, cemas."Ndra, Laila nggak mau ditemani sama Ibuk. Jadi sekarang dia di rumah sendiri. Bali yo, Le. Ibuk khawatir sa
"Apa kamu mau meninggalkan dia untukku?"Doni menatap jendela pecah yang pelakunya dia sendiri. Hampir saja mereka melewati batas, jika Laila tidak menghentikan. Laila menyeritkan dahi."Maksud kamu, By?"Ya, bisa nggak kamu tinggalkan dia untukku? Aku cemburu. Kamu tinggalkan dia, setelah itu kita menikah."Bibir wanita yang tengah berbaring itu tersenyum sinis."Aku mau kamu kasih makan apa? Memangnya game kamu ada hasilnya? Kita kembali begini, seharusnya kamu bersyukur kita punya sumber uang. Hendra bisa di manfaatkan," kata Laila ketus.Dulu, Doni dan Laila pacaran sering menggunakan uang Laila, walau hanya sekadar membeli minum atau makanan. Semiskin itu Doni hingga sekarang pun lelaki itu masih menjadi benalu jika bukan pada orang tuanya pasti dengan Laila."Tapi-""Udahlah, By. Aku nggak mungkin tinggalkan Mas Hendra.""Apa udah ada cinta di hatimu untuk dia?" Doni menyipitkan mata mencari jawaban dari manik mata kekasihnya."Bukan gitu, aku butuh dia untuk memenuhi kebutuhan
Ah, itu motor temenku, Mas. Tadi dia nitip di sini."Hendra manggut-manggut."Eh, tapi ada sandal laki-laki di teras, La?" Kali ini bukan Hendra, tetapi Saka yang bertanya.Lelaki humoris itu sudah mulai dekat dengan Laila. Namun, masih dalam batasan wajar. Jika tidak ada sahabatnya, Saka tidak akan berbicara pada Laila. Dia tahu betul batasan-batasan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram."Iya itu punya temenku juga. Dia tomboi jadi suka pakai barang-barang cowok."Dengan santai Laila menjawab sembari terus memasukkan nasi dalam mulutnya. Kebohongan demi kebohongan Laila lakukan untuk menutupi kesalahan. Tidak ada rasa gugup atau takut yang Laila tunjukkan, sebab sudah terlalu sering dia lakukan."Jadi sekarang di mana temen kamu, Sayang?" tanya Hendra seraya mengusap mulutnya dengan tisu. Lelaki itu telah selesai makan, kini tengah menunggu jawaban dari istrinya.Lama Laila terdiam, lalu meraih gelas di atas meja dan meneguknya hingga tandas sembari mencari alasan lain atau
Rumah terbuat dari anyam bambu di pelataran banyak di tumbuh rumput itu, Laila tunjuk sebagai rumahnya, keadaan benar-benar sederhana. Jauh berbeda dari rumah disekitarnya.Rumah Laila tepat sekali di pinggir persawahan. Rumah itu adalah hasil gotong royong warga karena kasihan melihat Bu Hambar yang memiliki banyak anak. Namun, tidak lagi memiliki suami. semua mantan suaminya tidak ada yang benar."Itu rumahnya?" tanya Hendra memastikan."Iya, jelek kan? Maka dari itu aku malas pulang, tinggal di gubuk reot gitu." Tanpa sadar Laila berucap demikian membuat kening Hendra berkerut dalam.Namun, Laila cepat menyadari kesalahannya."Aku udah lama nggak pulang. Ya, begini keadaan rumah kami, Mas. Menyedihkan, apalagi Emak suka sekali kawin cerai itu memperkuat niatku untuk nggak pernah pulang." Laila sedikit menyudutkan ibunya.Sebisa mungkin Laila akan membuat Hendra tidak suka pada ibunya. Sebab, Bu Hambar yang mata duitan bisa menghalangi kehidupan Laila. Tentu saja itu jangan sampai t
"Mas, kamu dapat duit dari mana?" tanya Laila sedikit geram. Sebab, suaminya ingkar janji.Hendra tersenyum melihat kepanikan di wajah istrinya. "Ada uang lebih dari bengkel. Uang yang kamu pegang nggak Mas minta lagi. Kasian Emak, kemarin sebelum berangkat nelepon Mas lagi, Emak nangis-nangis. Jadi, Mas usahakan ada uangnya." Begitu perdulinya Hendra dengan keluarga Laila. Lelaki itu tahu jika Laila kurang menyayangi ibunya. Maka dari itu sebisa mungkin dia memberikan uang pada Bu Hambar tanpa mengusik uang Laila. "Tapi Emak itu .... Ah, udahlah susah ngomong sama kamu," ucap Laila, ketus.Wanita itu beranjak ke luar rumah untuk mencari angin segar. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa panas dan kepala berdenyut mengetahui ibunya selangkah lebih maju darinya. Panggilan dari suaminya pun tidak direspon.Hendra memutuskan istirahat. Pasalnya tubuh terasa lelah, berkendara terlalu lama. Di atas tikar dia membaringkan tubuh.Sedangkah Laila duduk di ayunan yang berada di depan rumah. Ingata
"Ada apa ribut-ribut tadi, Sayang?" tanya Hendra sembari memasukkan koper dalam mobil."Nggak, Emak nggak mau aku pulang. Udah yuk, kita jalan sekarang." Laila lebih dulu masuk mobil. Sedangkan Hendra masuk lagi dalam rumah."Mas, mau ke mana lagi?" Laila menyembulkan kepalanya dari balik kaca mobil."Bentar, pamitan dulu."Di dalam rumah, Bu Hambar menangis tergugu sembari mengucapkan sumpah serapah pada putri sulungnya. Mau melawan percuma, wanita itu masih memiliki rasa malu juga kebohongan akan terbongkar jika nekat bertengkar dengan Laila. Puji, Weni dan Denis mengintip dari dapur, mereka menyaksikan pertengkaran kakak dan ibunya. Sesekali Puji mengusap air mata yang mengalir di pipi. Begitu juga Denis menatap tak suka."Dari dulu selalu kayak gitu ya, Bang. Emak nggak pernah sayang sama kita," ujar Puji dengan nada getir.Denis tidak menjawab hanya memberi usapan di puncak kepala adiknya itu."Ma, kenapa?" Hendra bertanya seraya membantu mertuanya berdiri.Bu Hambar menggeleng