Share

Bab 3

Pesta telah usai, tamu telah kembali ke rumah masing-masing, meninggalkan rumah yang menjadi tempat berlangsungnya acara. Begitu juga tenda sudah dibuka dan dibersihkan. Hanya tinggal keluarga inti saja.

Lelaki yang baru saja menyandang setatus suami itu duduk termenung sembari melihat langit bertabur bintang. Harusnya Malam ini menjadi malam penuh makna dan bersejarah bagi sepasang suami istri, untuk lebih mengenal satu salam lain. Namun, sayang sekali itu tidak terjadi.

Hendra memijit pelipis yang terasa pening, lalu menyugar rambut dengan kasar. Kata-kata kasar yang terucap dari mulut Laila masih terngiang-ngiang.

"Semua sok perduli. Padahal kalian mau menyudutkan aku! Keluar!" teriak Laila seperti orang kesetanan.

Tadi setelah selimut dibuka paksa, Laila mengamuk hingga kamar pengantin yang sudah penuh dengan hiasan rusak tidak berbentuk. Bu Tari dan beberapa saudara pun sampai datang menghampiri karena suara Laila kuat sekali.

Pada akhirnya di sinilah Hendra menepi guna menenangkan diri yang sempat tersulut emosi.

"Kamu benar-benar, La," gumam Hendra.

Ada sedikit penyesalan di sudut hati, mendapati sikap Laila yang tidak sesuai ekspetasi, tetapi Hendra segera menepisnya. Sebab, manusia tempatnya salah sudah sepatutnya saling memaafkan, terlebih lagi Laila adalah istrinya. Begitulah ajaran yang Bu Tari tanamkan pada anak-anaknya.

"Melamun aja." Bu Tari menyentuh lembut bahu putranya.

Hendra menoleh seraya memberikan senyum terbaik.

"Ada apa? Masih kepikiran yang tadi?"

Hendra menunduk dan menopang kepala dengan kedua tangannya.

"Kenapa jadi begini, Buk?"

"Dalam rumah tangga biasa hal seperti ini, Ndra. Apalagi kamu dan Laila bertemu baru beberapa kali. Sifat aslinya baru kelihatan sekarang, tapi kamu bisa rubah itu pelan-pelan. Tugas pertama kamu sebagai iman berlaku hari ini, tapi ingat ya, tulang rusuk itu bengkok jangan dipaksa lurus, harus pelan-pelan."

Bu Tari menepuk lengan Hendra untuk menguatkan. Sementara anaknya masih meresapi setiap kata yang baru saja diucapkan ibunya. Bu Tari sangat tahu bagaimana perasaan anaknya saat ini. Dia pun sempat terkejut, tetapi tidak berlarut. kemudian wanita paruh bayah itu beranjak dari duduknya.

"Ibuk tidur dulu, mata mulai berat. Kamu pergi ke kamar sana, nggak baik pengantin perempuan di tinggal sendiri."

"Makasih, Bu. Udah buat Hendra tenang." Ucapan terima kasih Hendra dibalas senyum. Setelah itu Bu Tari melangkah memasuki rumah.

Kemudian Hendra beranjak dan menghembuskan nafas kasar sembari berjalan menyusuri dapur, di ujung sana tepat sekali tangga untuk naik ke kamarnya. Namun, tiba-tiba ada rasa enggan untuk menghampiri Laila, tapi lagi-lagi Hendra menurunkan ego.

Tiba di dalam kamar lelaki berkumis tipis itu melihat istrinya sudah tertidur pulas, tanpa beban. Beberapa anak rambut menutup wajah ayunya. Hendra menghela napas lega. Didekati Laila, lalu perlahan disingkirkan anak rambut itu.

"Cantik, tapi kesan pertama di malam pertama ini terlihat buruk hanya karena sikapmu." Hendra bergumam sembari terus memandangi wajah istrinya. Sesekali senyumnya terbit, melihat gaya tidur Laila. Mulut terbuka dan keluar dengkuran halus. Hendra bergegas menyingkir, takut jika tidak mampu menahan tawa.

Bergegas Hendra mengambil selimut dan bantal. Setelah itu, dia menuju sofa beth. Ya, lelaki bertubuh tinggi itu memutuskan tidur terpisah. Sebab, menghindari kejadian tidak terduga saat bagun keesokan hari.

Bunyi alat masak saling beradu mengusik tidur Laila. Berulang kali dia menutup telinga dengan bantal. Namun, tetap saja suara itu sangat menganggu. Dengan terpaksa Laila duduk sembari mengusap matanya.

"Siapa sih sibut banget? Masih pagi buta juga," omel Laila.

Hendra yang baru saja melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim menoleh.

"Itu Ibuk di dapur masak. Udah subuh, nggak ada kata pagi buta kalau udah subuh gini. Cepetan bangun salat."

Untuk ukuran keluarga Pak Tono pukul 05.00 bukalah pagi buta. Bu Tari sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Namun, ini merupakan hal baru bagi Laila karena wanita itu jarang sekali bangun pagi, walau pun pamannya orang yang taat agama, tetapi tidak untuk Laila. Dia hidup sesuka hati.

Laila tidak menghiraukan ucapan Hendra. Dia kembali membenamkan kepalanya ke bantal.

"La, salat. Nanti waktunya habis." Untuk kesekian kalinya Hendra mengingatkan. Sampai pada akhirnya Laila terpaksa bangun, kakinya dihentak-hentakan ke lantai.

Selesai Laila melaksanakan salat yang terpaksa, dia duduk dan bermain ponsel. Hatinya masih marah sebab kejadian kemarin, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

"Kamu masih marah?" tanya Hendra sembari meletakkan buku yang dibaca.

Laila mengangkat kepalanya,

"Menurut Mas?" Tidak ada raut takut sama sekali di wajah Laila.

Hendra menghembuskan napas kasar. Memikirkan cara bicara dengan sang istri agar tidak melukai hatinya dan bisa mengontrol emosi. Dia harus bisa menjadi imam yang baik sesuai pesan Bu Tari semalam.

"Maaf, tadi malam kasar sama kamu. Maksud Mas, kamu harus lebih sopan lagi sama Ibuk dan soal Mbak Santi, Mas minta maaf untuk itu, dia nggak ada maksud untuk buat kamu tersinggung." ucap tegas Hendra.

Laila meletakan gawai yang dipegang di atas nakas.

"Oke, aku yang salah. Puas!"

"Bukan gitu, La."

"Aku bakal minta maaf sama Ibuk, biar selesai semua. Terus aku mau Mbak Santi minta maaf langsung ke aku. Bukan kamu yang minta maaf," ucap Laila tegas. Kemudian kembali mengambil ponselnya dan memainkan.

"Tapi-"

Saat Hendra akan membuka mulutnya, terdengar ketukan pintu.

"Pakai jilbabnya, Dek. Biar pintu Mas buka."

Sembari mengecutkan bibir Laila menuruti perintah sang suami.

Begitu pintu terbuka, terlihatlah Bu Tari membawa nampan. Kedua alis Hendra berkerut.

"Kok bawa nampan, Bu? Untuk apa nasi itu?"

"Hm, Ibuk habis masak. Tapi, kalian nggak turun-turun, jadi Ibuk bawakan nasi ke sini untuk Laila. Awas Ibuk capek berdiri terus." Bu Tari menerobos masuk tanpa memperdulikan tatapan protes dari anaknya.

Kemudian Hendra mengikuti ibunya yang lebih dulu duduk di atas ranjang.

"Ngapain ke sini, Ndra? Bapak udah nunggu buat makan bersama itu. Sana pergi."

"Tapi, Laila-"

"Laila biar makan di kamar. Dia pasti lelah. Udah sana."

Hendra melangkah meninggalkan kamar. Bu Tari tersenyum melihat Laila yang bermain ponsel. Menantunya itu tidak terganggu dengan apa pun. Perlahan, Bu Tari mengambil piring, lalu menyendokkan nasi uduk buatannya beserta lauk dan menyodorkan pada Laila.

"Ayo makan La, mumpung masih hangat. Sepesial Ibuk buatkan untuk kamu." Raut bahagia tidak luput di wajah tua Bu Tari.

Sebelum subuh datang, wanita paruh bayah itu sudah menanak nasi karena memasak nasi uduk memakan waktu yang cukup lama. Semua itu dilakukan hanya untuk menyambut menantu tercinta. Diabaikan rasa lelah dan kantuk yang mendera. Sebab, terlalu semangat mendapat menantu perempuan. Bu Tari hanya memiliki dua anak, yaitu Santi dan Hendra karena Santi sudah memiliki keluarga sendiri, jadilah Bu Tari sangat ingin memanjakan Laila, seperti anak sendiri.

"Aduh, aku nggak bisa makan berat kalau pagi-pagi, Buk. Aku cuma minum teh sama roti aja biasanya," kata Laila tanpa rasa bersalah.

Mendengar penuturan sang menantu senyum cerah bak mentari di bibir Bu Tari, seketika hilang.

"Jadi kamu nggak mau makan ini, La?" tanya Bu Tari ragu-ragu. Dia berharap Laila tidak menolak makanan yang telah dibuatnya.

"Iya, maaf Buk, lain kali Ibuk nggak usah repot-repot buat ini itu." Bibir mungil milik Laila mengecut, pertanda jika dia sedang kesal.

"Maaf ya, sekarang kamu mau apa biar Ibuk buatkan?" Dengan senyum terpaksa Bu Tari menawarkan hal lain untuk menantunya. Walau hatinya sedikit kecewa dengan penolakan Laila. Sekadar menyicipi masakannya pun tidak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status