Doni naik di atas panggung berniat menyanyikan sebuah lagu, sebagai kata perpisahan. Lagu milik Judika berjudul Aku Yang Tersakiti mengalun indah mewakili perasaannya. Para tamu undangan terhanyut mendengar suara merdu milik Doni. Namun, lain lagi dengan Laila, wanita itu menunduk dalam merasa bersalah telah meninggalkan mantan pacarnya hanya demi masa depan yang baik.
Laila memejamkan mata meresapi setiap lirik yang terucap dari bibir Doni. Memori kenangan bersama mereka berputar seiring lirik lagu dinyanyikan. Gadis itu menyesalkan perjodohan yang dilakukan sang paman dan mengutuk kehidupannya yang jauh dari kata layak.'Sakit sekali Tuhan.' Laila menekan dada pelan.Disisi lain Hendra bercengkrama bersama sahabatnya tidak memperhatikan Laila.Ya, tidak lama setelah Doni turun dari prlaminan beberapa teman Hendra datang, termasuk Saka sahabat yang menjadi mak comblang. Mereka membuat riuh di atas pelaminan hingga Hendra tidak menyadari jika Doni di atas panggung dan bernyanyi."Eh, lelaki itu tatapan matanya dalam banget ke kamu, La." Celetukan Santi, kakak Hendra. Seketika suasana menjadi hening.Santi yang ingin mengajak adik iparnya berkenalan dengan keluarga, tidak sengaja melihat tatapan mata Doni."Bener tuh, dalem banget lagunya." Bisik-bisik dari sahabat Hendra pun terdengar menyakitkan lelaki yang baru saja menyandang status suami. Dia langsung menoleh, melihat Laila dan lelaki tadi secara bergantian.Laila yang mulai sadar menjadi pusat perhatian, mulai mencari alasan."Mana ada, kalian ini sembarangan aja kalau ngomong," ujar Laila ketus sembari membuang muka. Dalam hati Laila benar-benar takut semua orang tahu siapa Doni."Lihat dulu, La. Pandangan matanya. Seperti tersakiti banget, lho." Lagi, Santi berbicara dan mendapat anggukan dari yang lain."Mbak! Jangan ikut campur urusan orang. Urus sendiri urusan kamu." Tanpa sadar Laila berbicara dengan suara lantang, sebab jengah dan merasa terpojok. Dia berdiri sembari menyincing gaunnya, siap untuk meninggalkan pelaminan.Dengan cepat Hendra menahan tangan Laila seraya bertanya,"Dek, kamu kok begitu?""Kakakmu yang mulai, Mas." Dihempaskan tangan Hendra, lalu melipat tangan di dada.Saka dan beberapa teman Hendra yang lain cukup terkejut dengan sikap Laila. Terutama Santi, wanita beranak satu itu terdiam dengan mulut terbuka."Mbak Santi 'kan cuma bicara yang dia lihat, memang tatapan mata lelaki itu sangat dalam sama kamu." Hendra mencoba menjelaskan. Namun, karena Laila terlanjur kesal, tanpa memperdulikan ucapan Hendra, dia melangkah menuruni tangga pelaminan."La, Mbak minta maaf." Santi berteriak sembari berusaha mengejar, tetapi Laila tidak perduli.Teriakan Santi beberapa kali akhirnya menjadi pusat perhatian, terutama Bu Tari. Wanita paruh bayah tersebut menghampiri Laila yang hampir sampai di ambang pintu, penghubung antara tempat acara dan ruang tamu."Ada apa, Nak?" Raut khawatir nampak jelas di wajah tua itu.Sama seperti Santi tadi, Laila pun tidak memperdulikan pertanyaan dari mertuanya. Dia berjalan sembari menghentak-hentakan kaki. Tentu saja ucapan sumbang dari para tamu undangan tidak terelakkan."Menantu nggak punya sopan santun.""Baru sehari, gimana sebulan, terus setahun. Benar-benar menantu durhaka."Banyak lagi ucapan sumbang yang di dengar Bu Tari, tapi dia hanya mampu mengusap dada dan beristigfar. Melihat Laila sudah jalan menjauh, tidak kehabisan akal Bu Tari mengejar sebab ingin tahu penyebab kegaduhan. Di kesampingkan rasa sedih dan kesal."La, Laila. Tunggu!" Sembari berteriak Bu Tari berlari-lari kecil, tetapi karena sudah tua tenaganya tidak lagi kuat mengejar langkah Laila yang lebar.Sementara itu Hendra dan Santi masih terkejut dengan sikap yang Laila tunjukkan. Apalagi di depan tamu, sangat tidak patut di tunjukan.Tidak lama setelahnya, Hendra menyusul sang ibu. Sampai di undakan tangga terakhir dekat kamar Hendra melihat beberapa kali Bu Tari mengetuk pintu. Lelaki itu menghela napas sembari berjalan mendekat."Buka pintunya, La. Kalau ada yang salah kita bicarakan baik-baik." Tidak putus asa Bu Tari terus saja membujuk."Buk." Hendra memegang bahu ibunya.Bu Tari menoleh."Laila kenapa? Baru sehari dia jadi bagian keluarga kita, kenapa udah ada masalah? Kamu apakan, Hendra?" Bu Tari menatap tajam putranya."Masalah sepele, Buk. Udah Ibuk pergi aja nanti aku yang ngomong sama Laila.""Kamu harus jaga mantu Ibuk, Ndra. Awas kalau kamu sakiti, kamu bakal berhadapan sama Ibuk. Ingat itu!" Setelah mengatakan itu Bu Tari pergi meninggalkan putranya.Di dalam kamar Laila sengaja menempelkan telinga di daun pintu guna mendengar pembicaraan suami dan mertuanya. Mendengar ibu mertua membela, bibir mungilnya menyunggingkan senyum kemenangan.Dia bersandar di pintu. Namun, saat yang besamaan Hendra memutar gagang pintu.Laila panik, bergegas menjatuhkan bobot tubuhnya di atas ranjang, lalu menutup tubuhnya menggunakan selimut."La, kamu udah tidur?" Hendra bertanya setelah pintu terbuka. Namun, tidak ada jawaban dari Laila. Sayup-sayup Hendra mendengar suara isak tangis.Hendra menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, disibaknya selimut yang menutupi tubuh wanita yang baru saja menjadi istrinya itu."Kamu kenapa, hm?" Dengan suara lembut dia bertanya.Laila mengusap air mata yang sengaja dikeluarkan, lalu duduk."Aku nggak suka sama ucapan Mbak Santi.""Tapi, Mbak Santi tadi udah minta maaf. Nggak salah juga, laki-laki tadi natap kamu dalam banget. Ada hubungan apa kamu sama dia?" Hendra memicingkan mata menunggu jawaban dari sang istri.Mendapat pertanyaan menohok, membuat Laila salah tingkah. Tadi dia berani menatap mata Hendra, tetapi kini membuang muka ke sembarang arah."Berulang kali aku bilang dia bukan siapa-siapa. Kalau kamu nggak percaya ya terserah. Aku bisa apa." Untuk menutupi rasa gugup, Laila berbicara sesantai mungkin.Hendra mengangguk percaya."Tapi, sikap kamu ke Ibuk keterlaluan, La. Di depan banyak orang kamu nggak menghargai Ibuk."Tentu saja sikap yang ditunjukan oleh Laila tadi, Hendra tahu dan bisik-bisik tidak enak pun dia mendengarnya."Salah Ibuk kenapa sok perduli," ujar Laila ketus.Seketika wajah Hendra memerah, kedua tangannya mengepal. Dia tidak suka dengan perkataan yang baru saja Laila ucapkan dan tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut wanita yang baru hitungan jam menjadi istrinya."Laila!" bentak Hendra. Lelaki yang tadi duduk, kini sudah berdiri sembari berkacak pinggang.Mendapat bentakan Laila beringsut mundur. "Aku nggak salah, Mas. Aku begini karena Mbakmu."Walau ketakutan Laila berusaha membela diri."Tapi, La kamu-""Keluarlah, Mas. Aku mau tidur."Tidak perduli dengan perasaan pasangannya, Laila kembali membungkus tubuh dengan selimut."Kita belum selesai, buka selimutnya." Hendra menarik selimut. Laila menahannya. Akhirnya terjadi aksi saling tarik."Laila, kita bicara baik-baik. Mas nggak mau kita seperti ini." Sedikit sentakan, selimut yang dipertahankan Laila tersingkap.Pesta telah usai, tamu telah kembali ke rumah masing-masing, meninggalkan rumah yang menjadi tempat berlangsungnya acara. Begitu juga tenda sudah dibuka dan dibersihkan. Hanya tinggal keluarga inti saja.Lelaki yang baru saja menyandang setatus suami itu duduk termenung sembari melihat langit bertabur bintang. Harusnya Malam ini menjadi malam penuh makna dan bersejarah bagi sepasang suami istri, untuk lebih mengenal satu salam lain. Namun, sayang sekali itu tidak terjadi. Hendra memijit pelipis yang terasa pening, lalu menyugar rambut dengan kasar. Kata-kata kasar yang terucap dari mulut Laila masih terngiang-ngiang."Semua sok perduli. Padahal kalian mau menyudutkan aku! Keluar!" teriak Laila seperti orang kesetanan.Tadi setelah selimut dibuka paksa, Laila mengamuk hingga kamar pengantin yang sudah penuh dengan hiasan rusak tidak berbentuk. Bu Tari dan beberapa saudara pun sampai datang menghampiri karena suara Laila kuat sekali.Pada akhirnya di sinilah Hendra menepi guna menenan
"Eggak usah Buk, udah nggak selera mau makan. Tapi, kayaknya teh ini aja, deh." Laila mengambil teh yang berada di atas nampan, lalu mencobanya. "Tehnya terlalu manis Buk, bisa gemuk nanti aku," ujar Laila tanpa rasa bersalah diiringi kekehan kecil. Kemudian dia meletakkan gelas di atas nampan sedikit kasar. sedari tadi wanita itu sudah merasa kesal. "Ah, maafkan Ibuk belum tau selera kamu," ucap Bu Tari sembari menundukkan kepala.Laila menggenggam tangan Bu Tari."Kalau mau apa-apa izin aku dulu ya, Buk. Aku memang nggak biasa makan itu semua. Lebih baik nasi itu Ibuk kasih ke kucing, pasti kucing itu langsung gendut. Aku nggak mau jadi kayak gitu." Laila terkekeh pelan.Ucapan lembut yang keluar dari mulut Laila sangat menusuk hati wanita paruh bayah yang berada di hadapannya.Sungguh Bu Tari merasa tersinggung, tetapi untuk marah tidak bisa. Sudah terlanjur sayang pada sang menantu. Bu Tari menghirup oksigen dalam-dalam guna mengurangi sesak di dada."Kalau gitu Ibuk ke bawah du
Berulang kali Hendra menghirup oksigen dan menghembuskan secara kasar untuk mengurangi sesak di rongga dada. Sebab, melihat kelakuan wanita yang baru saja menjadi istrinya itu."Ibuk nggak pernah mengaduh, La. Tapi, Mas tahu sendiri. Tolong hargai Ibuk, beliau sayang sekali sama kamu." Hendra meraih tangan istrinya yang mencengkram sprei.Manik hitam milik lelaki itu menatap Laila dengan tatapan memohon.Hendra benar-benar kasihan melihat ibunya yang sudah susah payah memasak, apalagi harus bangun pagi tanpa ada yang membantu. Walau keluarga Hendra golongan menengah ke atas, tetapi urusan rumah selalu diurus Bu Tari sendiri, tanpa asisten rumah tangga. Usaha Bu Tari mendekatkan diri pada menantunya mendapat penolakan. Hati Hendra sangat sakit melihat tatapan kecewa di mata ibunya."La, tolong!" Kembali Hendra memohon."Maaf, aku salah. Aku akan minta maaf sama Ibuk, tapi temenin ya?" Laila menundukan kepala. Ucapan maaf hanya untuk mengakhiri perdebatan di antara mereka. bukan berarti
"Pak, besan kita mau datang. Bagusnya masakkan apa, ya?" Bu Tari sedari tadi memikirkan membuat masakan apa untuk besannya itu, sehingga wanita paruh bayah itu tidak bisa memejamkan mata. Padahal hari sudah larut malam.Pak Tono yang sudah memejamkan mata, kini kembali membuka matanya mendengarkan ocehan sang istri yang tidak ada habisnya."Masak apa ya, Pak?" Pertanyaan kedua di lontarkan. Namun, Pak Tono tidak juga menanggapi. Wanita paruh bayah itu menoleh. "Lah wong di tanya kok malah diam aja, dikasih solusi loh, Pak. Jangan diam aja.""Dari tadi itu terus yang di bahas. Udah kamu masak yang biasa aja. Kalau nggak tanya Laila, ibunya suka apa." Pak Tono memberikan saran."Terserah Ibuk aja, yang penting makanan enak. Itu yang diminta ibuku." Begitu kata Laila kala Bu Tari menanyakan apa makanan kesukaan besannya.Tentu saja Bu Tari semakin bingung harus memasak apa. Laila seakan tidak perduli akan kedatangan sang ibu. Dia terkesan tidak bahagia. Padahal sudah cukup lama wanita it
"Mak, rumah Kak Laila bagus banget ya," ucap anak berusia empat tahun yang baru saja turun dari angkot.Setelah membayar, Bu Hambar menjawab pertanyaan anaknya."Iya, kakakmu udah jadi orang kaya. Kamu bisa minta apa aja."Riuh gembira keempat anak Bu Hambar, menyambut ucapan sang ibu.Dipandangi rumah di hadapannya.Rumah siapa lagi, jika bukan rumah keluarga Pak Tono. Rumah bergaya modren dengan pagar besi mengelilingi serta perpaduan cat warna putih dan krem membuat rumah minimalis itu terlihat mewah. Apalagi sekeliling rumah banyak pepohonan dan rerumputan hijau, menambah kesan sejuk dan teduh.Ya, Bu Hambar baru kali ini menginjakkan kaki di rumah besannya. Saat acara pernikahan dan resepsi tidak bisa datang karena di kampung halaman sedang masa tanam padi. Sebagai buruh, tentu saja Bu Hambar tidak bisa meninggalkan sumber mata pencariannya.Sebagai perwakilan, maka Paman Laila yang mendampingi. Setelah mempunyai kesempatan untuk datang, tidak membuang waktu Bu Hambar datang ke k
"Bu-kan gi-tu, Mbak." Laila tergagap.'Mati! Salah ngomong!' gumam Laila dalam hati."Kamu-"Karena panggilan dari Bu Tari, Santi menyudahi introgasi. Kemudian mengambil piring berisi cemilan. Sebelum meninggalkan dapur dia memberikan lirikan maut. "Bilang mau aja, susah banget!" Santi menggerutu.Setelah kepergian Santi, istri Hendra itu menghembuskan napas lega dan mengusap dadanya.'Hampir aja ketauan. Enak banget itu kue, baru juga coba dikit,' keluh Laila dalam hati. Dan, segera Laila menyusul iparnya.Cemilan baru saja di letakkan, dengan cepat pula tangan Bu Hambar dan anak-anaknya mengambil kue dan makan dengan rakus, seperti orang kelaparan.Santi dan Roni bergidik ngerih melihat cara makan anak-anak Bu Hambar. Pak Toni dan Bu Tari saling lirik."Loh, Emak kok udah sampai sini? Tadi aku sama Mas Hendra cari di terminal nggak ada.""Iya, Mak. Kami muter-muter nggak ketemu jadi pulang." Hendra ikut menimpali ucapan istrinya. Sedari tadi Hendra ingin bertanya, tetapi tidak memi
Bu Hambar beserta anak-anaknya berjalan menuju meja makan. Laila dan Bu Tari sudah lebih dulu. Sebelum Laila meninggalkan ibunya, dia berpesan agar tidak makan terlalu banyak karena akan mempengaruhi citranya sebagai menantu tersayang. Namun, sepertinya kata-kata Laila tadi tidak diindahkan.Terbukti saat ini, Bu Hambar berbisik ke anak-anaknya,"Makan yang banyak aja, nggak apa. Semua yang ada di sini punya kakak kalian.""Hore, Ibu memang terbaik." Anak Bu Hambar yang paling kecil mengacungkan kedua ibu jari. Senyum bu Hambar tidak luntur. Saat sudah di meja makan, berulang kali menelan saliva, melihat banyaknya hidangan. Ada gulai udang, sup ayam, dan rendang yang dimasak sepenuh hati.Wanita yang masih muda. Namun, terlihat tua karena banyak terpapar sinar matahari itu mengamati keadaan. Dilihat tidak ada pak Tono, Santi dan menantu kesayangan. Hatinya bersorak gembira bisa makan tanpa harus memperhatikan sopan santun."Mana yang lainnya, Buk?" tanya Bu Hambar sekadar berbasa bas
Di bengkel, Hendra masih berkutat dengan peralatan bengkel dan oli. Tidak seperti biasanya dia hanya memantau keadaan bengkel, tidak pernah turun tangan langsung. Kali ini sedikit berbeda, padahal sebentar lagi azan magrib berkumandang. Bengkel pun sudah tutup sedari tadi, tetapi tidak mengurungkan niat lelaki itu untuk berhenti bekerja.Lelaki yang mengenakan pakaian bengkel itu bekerja untuk mengurangi beban di hati. Perbincangan bersama sang ayah sangat mengganggu pikirannya."Ndra, kamu saat mau menikahi Laila apa nggak tau seluk beluk keluarganya?" tanya Pak Tono kala itu.Hendra sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. Sudah pasti membahas perihal sikap ibu mertuanya. Kemudian lelaki itu menggelengkan kepala karena saat menikah memang benar-benar tidak tahu seperti apa keluarga Laila. Yang dia tahu paman istrinya adalah orang taat agama dan berakhlak baik. Itulah yang membuat dia tertarik untuk meminang Laila. "Bapak nggak habis pikir ..., kenapa ibunya Laila seperti itu sikap