Share

Bab 4

"Eggak usah Buk, udah nggak selera mau makan. Tapi, kayaknya teh ini aja, deh." Laila mengambil teh yang berada di atas nampan, lalu mencobanya.

"Tehnya terlalu manis Buk, bisa gemuk nanti aku," ujar Laila tanpa rasa bersalah diiringi kekehan kecil. Kemudian dia meletakkan gelas di atas nampan sedikit kasar. sedari tadi wanita itu sudah merasa kesal.

"Ah, maafkan Ibuk belum tau selera kamu," ucap Bu Tari sembari menundukkan kepala.

Laila menggenggam tangan Bu Tari.

"Kalau mau apa-apa izin aku dulu ya, Buk. Aku memang nggak biasa makan itu semua. Lebih baik nasi itu Ibuk kasih ke kucing, pasti kucing itu langsung gendut. Aku nggak mau jadi kayak gitu." Laila terkekeh pelan.

Ucapan lembut yang keluar dari mulut Laila sangat menusuk hati wanita paruh bayah yang berada di hadapannya.

Sungguh Bu Tari merasa tersinggung, tetapi untuk marah tidak bisa. Sudah terlanjur sayang pada sang menantu. Bu Tari menghirup oksigen dalam-dalam guna mengurangi sesak di dada.

"Kalau gitu Ibuk ke bawah dulu, kamu kalau butuh apa-apa bisa bilang ke Ibuk." Bu Tari kembali mengangkat nampan, lalu berjalan mendekati pintu. Sesekali dia menoleh berharap Laila mau memanggil dan mencicipi sedikit saja hasil masakannya, tetapi itu hanya harapan yang tidak mungkin terwujud. Pasalnya Laila kembali sibuk dengan ponsel.

Setelah Bu Tari menutup pintu, Laila melemparkan bantal hingga mengenai daun pintu.

"Buat kesel aja, pagi-pagi buat kacau," gumam Laila geram.

Sementara itu di meja makan Pak Tono, Hendra, Santi beserta keluarganya menyantap masakan Bu Tari dengan lahap karena terasa begitu nikmat. Gelak tawa memenuhi ruang makan. Apalagi saat Santi menggoda adiknya mengenai malam pertama karena melihat rambut Hendra tidak basah. Tentu saja kelakuan Santi membuat Hendra tersipu malu. Apalagi Pak Tono juga ikut menggodanya.

"Gitu aja malu, Ndra." Santi benar-benar tidak bisa menahan tawa.

Lelaki yang mengenakan baju kemeja biru itu membuang muka.

"Bagaimana mau malam pertama, istri aja merajuk karena Mbak," gumam Hendra. Namun, masih terdengar oleh semua orang. Sadar telah salah berucap, segera ditutup mulutnya.

Seketika suasana menjadi hening. Terlihat Santi menghela napas. Dia pikir masalah kemarin sudah selesai, tetapi mendengar ucapan adiknya barulah Santi sadar jika Laila tidak semudah itu memaafkan. Pak Tono pun mencuci tangan sebagai tanda selesai makan walau nasi di piring belum banyak tersentuh. Seketika nafsu makannya hilang.

Pak Tono melihat kejadian kemarin sebagai orang tua tidak ingin ikut campur dalam kehidupan anak-anaknya. Namun, sepertinya kali ini harus turun tangan.

"Itu penyebab istrimu nggak turun?" tanya Pak Tono. Matanya menelisik wajah putra semata wayangnya.

"Bukan Pak. Ibuk tadi yang bilang kalau Laila sarapan di kamar aja. Biar Laila nggak capek."

Pak Tono manggut-manggut tanda mengerti, tetapi lelaki paruh bayah itu menyayangkan sikap menantunya yang terkesan tidak menghargai.

"Nanti Mbak coba-"

Bunyi alas kaki dan lantai beradu menimbulkan bunyi, membuat Santi menghentikan ucapannya. Serentak semua menoleh.

"Bu, kok nasinya di bawa lagi?" tanya Santi, segera dihampiri Bu Tari. Kini, nampan telah berpindah ke tangannya.

"Ah, ini Laila nggak biasa makan nasi kalau pagi, cuma makan roti. Jadi Ibu bawa lagi nasinya," jawab bu Tari sembari duduk di kursi dekat pak Tono.

Mendengar jawaban bu Tari, mereka semua menggeleng tidak percaya. Sebab, semua orang tahu Laila dari keluarga miskin, tidak mungkin tidak makan nasi. Hendra pun menundukan kepala, jelas saja dia malu dengan tingkah istrinya.

Lagi-lagi lelaki itu harus menelan pil pahit. Rasa kecewanya sudah menggunung.

"Hari gini nggak makan nasi bukan orang indonesia," celetuk Santi tidak suka.

"Bun," tegur Roni, suami Santi.

"Mungkin memang Laila nggak bisa makan nasi kalau pagi. Udah jangan di perpanjang." Pak Tono mencoba menengahi.

"Nanti coba aku bicara sama Laila, Pak," kata Hendra tidak enak.

"Udah jangan diperpanjang masalah sepele, Nak," ujar bu Tari.

"Tapi Bu, aku-".

"Udah Ndra, bener kata ibumu nggak usah diperpanjang. Ibumu memang nggak tau apa kebiasaan istrimu." Pak Tono menimpali ucapan istrinya.

Akhirnya Hendra mengangguk pasrah.

Selesai menyantap sarapan, Hendra kembali ke dalam kamar guna melihat istrinya.

Saat pintu terbuka, tampaklah wanita berkulit putih itu tengah merawat diri, dari skincare yang Hendra berikan tempo hari sebagai hadiah hantaran. Hantaran yang Hendra berikan tidak main-main, produk skincare ternama, baju kebaya yang dijahit menggunakan tangan Bu Tari. Tidak ketinggalan satu set perhiasan membuat siapa pun yang memandang menginginkannya.

Perlahan Hendra mendekati, kulit putih nan mulus milik istrinya yang tersapu pelembab semakin memancarkan kecantikan. Berulang kali ucapan syukur lelaki itu lafalkan karena bisa memiliki istri secantik Laila. Kulit bersih, tubuh tinggi semampai dan rambut panjang yang tergerai indah menambah kecantikan di diri Laila.

"Kamu ngapain, Dek?"

"Lagi merawat diri." Laila menjawab tanpa menoleh. Tangannya masih fokus menepuk-nepuk pelan pipi.

"Kenapa nasi yang Ibuk bawa nggak kamu makan?" Hendra duduk di tepi ranjang, memperhatikan apa yang Laila lakukan.

Laila menghentikan aktivitas, lalu menghadap sang suami.

"Aku nggak bisa pagi-pagi makan nasi, Mas."

"Tapi, kan bisa kamu makan sedikit, untuk menghargai Ibu. Kita ini baru menikah Dek, tapi kenapa kesannya kamu nggak menghormati keluarga Mas?"

Emosi dalam diri Hendra mulai terpancing. Nada bicara mulai sedikit lebih tinggi. Tatapan lembut, kini berubah tajam.

"Udah Mas, aku nggak mau berdebat lagi. Ini masalah sepele. Pasti Ibu ngaduh yang nggak-nggak ke kamu kan," tuduh Laila.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status