"Eggak usah Buk, udah nggak selera mau makan. Tapi, kayaknya teh ini aja, deh." Laila mengambil teh yang berada di atas nampan, lalu mencobanya.
"Tehnya terlalu manis Buk, bisa gemuk nanti aku," ujar Laila tanpa rasa bersalah diiringi kekehan kecil. Kemudian dia meletakkan gelas di atas nampan sedikit kasar. sedari tadi wanita itu sudah merasa kesal."Ah, maafkan Ibuk belum tau selera kamu," ucap Bu Tari sembari menundukkan kepala.Laila menggenggam tangan Bu Tari."Kalau mau apa-apa izin aku dulu ya, Buk. Aku memang nggak biasa makan itu semua. Lebih baik nasi itu Ibuk kasih ke kucing, pasti kucing itu langsung gendut. Aku nggak mau jadi kayak gitu." Laila terkekeh pelan.Ucapan lembut yang keluar dari mulut Laila sangat menusuk hati wanita paruh bayah yang berada di hadapannya.Sungguh Bu Tari merasa tersinggung, tetapi untuk marah tidak bisa. Sudah terlanjur sayang pada sang menantu. Bu Tari menghirup oksigen dalam-dalam guna mengurangi sesak di dada."Kalau gitu Ibuk ke bawah dulu, kamu kalau butuh apa-apa bisa bilang ke Ibuk." Bu Tari kembali mengangkat nampan, lalu berjalan mendekati pintu. Sesekali dia menoleh berharap Laila mau memanggil dan mencicipi sedikit saja hasil masakannya, tetapi itu hanya harapan yang tidak mungkin terwujud. Pasalnya Laila kembali sibuk dengan ponsel.Setelah Bu Tari menutup pintu, Laila melemparkan bantal hingga mengenai daun pintu."Buat kesel aja, pagi-pagi buat kacau," gumam Laila geram.Sementara itu di meja makan Pak Tono, Hendra, Santi beserta keluarganya menyantap masakan Bu Tari dengan lahap karena terasa begitu nikmat. Gelak tawa memenuhi ruang makan. Apalagi saat Santi menggoda adiknya mengenai malam pertama karena melihat rambut Hendra tidak basah. Tentu saja kelakuan Santi membuat Hendra tersipu malu. Apalagi Pak Tono juga ikut menggodanya."Gitu aja malu, Ndra." Santi benar-benar tidak bisa menahan tawa.Lelaki yang mengenakan baju kemeja biru itu membuang muka."Bagaimana mau malam pertama, istri aja merajuk karena Mbak," gumam Hendra. Namun, masih terdengar oleh semua orang. Sadar telah salah berucap, segera ditutup mulutnya.Seketika suasana menjadi hening. Terlihat Santi menghela napas. Dia pikir masalah kemarin sudah selesai, tetapi mendengar ucapan adiknya barulah Santi sadar jika Laila tidak semudah itu memaafkan. Pak Tono pun mencuci tangan sebagai tanda selesai makan walau nasi di piring belum banyak tersentuh. Seketika nafsu makannya hilang.Pak Tono melihat kejadian kemarin sebagai orang tua tidak ingin ikut campur dalam kehidupan anak-anaknya. Namun, sepertinya kali ini harus turun tangan."Itu penyebab istrimu nggak turun?" tanya Pak Tono. Matanya menelisik wajah putra semata wayangnya."Bukan Pak. Ibuk tadi yang bilang kalau Laila sarapan di kamar aja. Biar Laila nggak capek."Pak Tono manggut-manggut tanda mengerti, tetapi lelaki paruh bayah itu menyayangkan sikap menantunya yang terkesan tidak menghargai."Nanti Mbak coba-"Bunyi alas kaki dan lantai beradu menimbulkan bunyi, membuat Santi menghentikan ucapannya. Serentak semua menoleh."Bu, kok nasinya di bawa lagi?" tanya Santi, segera dihampiri Bu Tari. Kini, nampan telah berpindah ke tangannya."Ah, ini Laila nggak biasa makan nasi kalau pagi, cuma makan roti. Jadi Ibu bawa lagi nasinya," jawab bu Tari sembari duduk di kursi dekat pak Tono.Mendengar jawaban bu Tari, mereka semua menggeleng tidak percaya. Sebab, semua orang tahu Laila dari keluarga miskin, tidak mungkin tidak makan nasi. Hendra pun menundukan kepala, jelas saja dia malu dengan tingkah istrinya.Lagi-lagi lelaki itu harus menelan pil pahit. Rasa kecewanya sudah menggunung."Hari gini nggak makan nasi bukan orang indonesia," celetuk Santi tidak suka."Bun," tegur Roni, suami Santi."Mungkin memang Laila nggak bisa makan nasi kalau pagi. Udah jangan di perpanjang." Pak Tono mencoba menengahi."Nanti coba aku bicara sama Laila, Pak," kata Hendra tidak enak."Udah jangan diperpanjang masalah sepele, Nak," ujar bu Tari."Tapi Bu, aku-"."Udah Ndra, bener kata ibumu nggak usah diperpanjang. Ibumu memang nggak tau apa kebiasaan istrimu." Pak Tono menimpali ucapan istrinya.Akhirnya Hendra mengangguk pasrah.Selesai menyantap sarapan, Hendra kembali ke dalam kamar guna melihat istrinya.Saat pintu terbuka, tampaklah wanita berkulit putih itu tengah merawat diri, dari skincare yang Hendra berikan tempo hari sebagai hadiah hantaran. Hantaran yang Hendra berikan tidak main-main, produk skincare ternama, baju kebaya yang dijahit menggunakan tangan Bu Tari. Tidak ketinggalan satu set perhiasan membuat siapa pun yang memandang menginginkannya.Perlahan Hendra mendekati, kulit putih nan mulus milik istrinya yang tersapu pelembab semakin memancarkan kecantikan. Berulang kali ucapan syukur lelaki itu lafalkan karena bisa memiliki istri secantik Laila. Kulit bersih, tubuh tinggi semampai dan rambut panjang yang tergerai indah menambah kecantikan di diri Laila."Kamu ngapain, Dek?""Lagi merawat diri." Laila menjawab tanpa menoleh. Tangannya masih fokus menepuk-nepuk pelan pipi."Kenapa nasi yang Ibuk bawa nggak kamu makan?" Hendra duduk di tepi ranjang, memperhatikan apa yang Laila lakukan.Laila menghentikan aktivitas, lalu menghadap sang suami."Aku nggak bisa pagi-pagi makan nasi, Mas.""Tapi, kan bisa kamu makan sedikit, untuk menghargai Ibu. Kita ini baru menikah Dek, tapi kenapa kesannya kamu nggak menghormati keluarga Mas?"Emosi dalam diri Hendra mulai terpancing. Nada bicara mulai sedikit lebih tinggi. Tatapan lembut, kini berubah tajam."Udah Mas, aku nggak mau berdebat lagi. Ini masalah sepele. Pasti Ibu ngaduh yang nggak-nggak ke kamu kan," tuduh Laila.Berulang kali Hendra menghirup oksigen dan menghembuskan secara kasar untuk mengurangi sesak di rongga dada. Sebab, melihat kelakuan wanita yang baru saja menjadi istrinya itu."Ibuk nggak pernah mengaduh, La. Tapi, Mas tahu sendiri. Tolong hargai Ibuk, beliau sayang sekali sama kamu." Hendra meraih tangan istrinya yang mencengkram sprei.Manik hitam milik lelaki itu menatap Laila dengan tatapan memohon.Hendra benar-benar kasihan melihat ibunya yang sudah susah payah memasak, apalagi harus bangun pagi tanpa ada yang membantu. Walau keluarga Hendra golongan menengah ke atas, tetapi urusan rumah selalu diurus Bu Tari sendiri, tanpa asisten rumah tangga. Usaha Bu Tari mendekatkan diri pada menantunya mendapat penolakan. Hati Hendra sangat sakit melihat tatapan kecewa di mata ibunya."La, tolong!" Kembali Hendra memohon."Maaf, aku salah. Aku akan minta maaf sama Ibuk, tapi temenin ya?" Laila menundukan kepala. Ucapan maaf hanya untuk mengakhiri perdebatan di antara mereka. bukan berarti
"Pak, besan kita mau datang. Bagusnya masakkan apa, ya?" Bu Tari sedari tadi memikirkan membuat masakan apa untuk besannya itu, sehingga wanita paruh bayah itu tidak bisa memejamkan mata. Padahal hari sudah larut malam.Pak Tono yang sudah memejamkan mata, kini kembali membuka matanya mendengarkan ocehan sang istri yang tidak ada habisnya."Masak apa ya, Pak?" Pertanyaan kedua di lontarkan. Namun, Pak Tono tidak juga menanggapi. Wanita paruh bayah itu menoleh. "Lah wong di tanya kok malah diam aja, dikasih solusi loh, Pak. Jangan diam aja.""Dari tadi itu terus yang di bahas. Udah kamu masak yang biasa aja. Kalau nggak tanya Laila, ibunya suka apa." Pak Tono memberikan saran."Terserah Ibuk aja, yang penting makanan enak. Itu yang diminta ibuku." Begitu kata Laila kala Bu Tari menanyakan apa makanan kesukaan besannya.Tentu saja Bu Tari semakin bingung harus memasak apa. Laila seakan tidak perduli akan kedatangan sang ibu. Dia terkesan tidak bahagia. Padahal sudah cukup lama wanita it
"Mak, rumah Kak Laila bagus banget ya," ucap anak berusia empat tahun yang baru saja turun dari angkot.Setelah membayar, Bu Hambar menjawab pertanyaan anaknya."Iya, kakakmu udah jadi orang kaya. Kamu bisa minta apa aja."Riuh gembira keempat anak Bu Hambar, menyambut ucapan sang ibu.Dipandangi rumah di hadapannya.Rumah siapa lagi, jika bukan rumah keluarga Pak Tono. Rumah bergaya modren dengan pagar besi mengelilingi serta perpaduan cat warna putih dan krem membuat rumah minimalis itu terlihat mewah. Apalagi sekeliling rumah banyak pepohonan dan rerumputan hijau, menambah kesan sejuk dan teduh.Ya, Bu Hambar baru kali ini menginjakkan kaki di rumah besannya. Saat acara pernikahan dan resepsi tidak bisa datang karena di kampung halaman sedang masa tanam padi. Sebagai buruh, tentu saja Bu Hambar tidak bisa meninggalkan sumber mata pencariannya.Sebagai perwakilan, maka Paman Laila yang mendampingi. Setelah mempunyai kesempatan untuk datang, tidak membuang waktu Bu Hambar datang ke k
"Bu-kan gi-tu, Mbak." Laila tergagap.'Mati! Salah ngomong!' gumam Laila dalam hati."Kamu-"Karena panggilan dari Bu Tari, Santi menyudahi introgasi. Kemudian mengambil piring berisi cemilan. Sebelum meninggalkan dapur dia memberikan lirikan maut. "Bilang mau aja, susah banget!" Santi menggerutu.Setelah kepergian Santi, istri Hendra itu menghembuskan napas lega dan mengusap dadanya.'Hampir aja ketauan. Enak banget itu kue, baru juga coba dikit,' keluh Laila dalam hati. Dan, segera Laila menyusul iparnya.Cemilan baru saja di letakkan, dengan cepat pula tangan Bu Hambar dan anak-anaknya mengambil kue dan makan dengan rakus, seperti orang kelaparan.Santi dan Roni bergidik ngerih melihat cara makan anak-anak Bu Hambar. Pak Toni dan Bu Tari saling lirik."Loh, Emak kok udah sampai sini? Tadi aku sama Mas Hendra cari di terminal nggak ada.""Iya, Mak. Kami muter-muter nggak ketemu jadi pulang." Hendra ikut menimpali ucapan istrinya. Sedari tadi Hendra ingin bertanya, tetapi tidak memi
Bu Hambar beserta anak-anaknya berjalan menuju meja makan. Laila dan Bu Tari sudah lebih dulu. Sebelum Laila meninggalkan ibunya, dia berpesan agar tidak makan terlalu banyak karena akan mempengaruhi citranya sebagai menantu tersayang. Namun, sepertinya kata-kata Laila tadi tidak diindahkan.Terbukti saat ini, Bu Hambar berbisik ke anak-anaknya,"Makan yang banyak aja, nggak apa. Semua yang ada di sini punya kakak kalian.""Hore, Ibu memang terbaik." Anak Bu Hambar yang paling kecil mengacungkan kedua ibu jari. Senyum bu Hambar tidak luntur. Saat sudah di meja makan, berulang kali menelan saliva, melihat banyaknya hidangan. Ada gulai udang, sup ayam, dan rendang yang dimasak sepenuh hati.Wanita yang masih muda. Namun, terlihat tua karena banyak terpapar sinar matahari itu mengamati keadaan. Dilihat tidak ada pak Tono, Santi dan menantu kesayangan. Hatinya bersorak gembira bisa makan tanpa harus memperhatikan sopan santun."Mana yang lainnya, Buk?" tanya Bu Hambar sekadar berbasa bas
Di bengkel, Hendra masih berkutat dengan peralatan bengkel dan oli. Tidak seperti biasanya dia hanya memantau keadaan bengkel, tidak pernah turun tangan langsung. Kali ini sedikit berbeda, padahal sebentar lagi azan magrib berkumandang. Bengkel pun sudah tutup sedari tadi, tetapi tidak mengurungkan niat lelaki itu untuk berhenti bekerja.Lelaki yang mengenakan pakaian bengkel itu bekerja untuk mengurangi beban di hati. Perbincangan bersama sang ayah sangat mengganggu pikirannya."Ndra, kamu saat mau menikahi Laila apa nggak tau seluk beluk keluarganya?" tanya Pak Tono kala itu.Hendra sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. Sudah pasti membahas perihal sikap ibu mertuanya. Kemudian lelaki itu menggelengkan kepala karena saat menikah memang benar-benar tidak tahu seperti apa keluarga Laila. Yang dia tahu paman istrinya adalah orang taat agama dan berakhlak baik. Itulah yang membuat dia tertarik untuk meminang Laila. "Bapak nggak habis pikir ..., kenapa ibunya Laila seperti itu sikap
Pagi ini seperti biasa selesai memasak Bu Tari memanggil semua orang untuk menyantap sarapan.Hendra dan Laila turun, dengan sigap Laila membantu Bu Tari yang menyusun lauk dan piring. Kemudian dengan cekatan menyendokkan nasi ke piring suaminya.Itu semua tidak luput dari pandangan Pak Tono dan Bu Tari. Keduanya saling lirik dan tersenyum tipis."Lihat Pak, Hendra berhasil didik istrinya," bisik Bu Tari dan diangguki oleh Pak Tono."Ayo, La. Kamu makan juga, jangan terlalu sibuk ngurus Hendra," ujar Bu Tari sembari menyendokkan nasi. Namun, belum sempat mendarat di piring, Laila lebih dulu menolak."Maaf, Buk. Aku belum bisa makan nasi." Kemudian Laila mengambil appel yang tersedia. Ya, dia memutuskan makan buah saja dari pada makan nasi yang konon katanya bisa membuat tubuh langsingnya berubah."Oh, iya. Ibuk lupa, kamu belum terbiasa makan nasi kalau pagi."Akhirnya disela makan Bu Tari banyak bertanya tentang kehidupan Laila selama ini. Tentu saja Laila sedikit melebih-lebihkan ce
"Aku nggak kenal, Buk. Ayo kita pergi." Laila menarik paksa tangan Bu Tari."Tapi, kita belum selesai belanja, La." Bu Tari sedikit terhuyung, sebab Laila menariknya terlalu kuat. Namun, wanita yang mengenakan gamis hitam itu tidak perduli dengan keadaan mertuanya.Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah pergi menjauh dari mantan kekasihnya itu. Jika berlama-lama ditakutkan Bu Tari akan tahu siapa lelaki tadi.Ya, lelaki yang menyapa Laila adalah Doni. Dari kejauhan dia melihat Laila sendiri, itu sebabnya Dia menghampiri karena rindu yang menggebu."La, pelan-pelan. Kaki Ibuk sakit," ujar Bu Tari dengan napas terengah.Sontak saja Laila langsung melepas genggaman tangannya. Terlihat kulit putih Bu Tari memerah, lalu wanita itu mengusap kulitnya yang terasa sakit.Melihat itu Laila mengucapkan maaf dan meminta pada mertuanya untuk segera pulang dengan alasan tubuhnya lelah dan Bu Tari mengiyakan, wanita itu pun merasakan hal yang sama. "Kayaknya Ibuk pernah jumpa laki-laki tadi, tapi