Share

Bab 4

Author: Humairah97
last update Last Updated: 2023-07-21 19:21:20

"Eggak usah Buk, udah nggak selera mau makan. Tapi, kayaknya teh ini aja, deh." Laila mengambil teh yang berada di atas nampan, lalu mencobanya.

"Tehnya terlalu manis Buk, bisa gemuk nanti aku," ujar Laila tanpa rasa bersalah diiringi kekehan kecil. Kemudian dia meletakkan gelas di atas nampan sedikit kasar. sedari tadi wanita itu sudah merasa kesal.

"Ah, maafkan Ibuk belum tau selera kamu," ucap Bu Tari sembari menundukkan kepala.

Laila menggenggam tangan Bu Tari.

"Kalau mau apa-apa izin aku dulu ya, Buk. Aku memang nggak biasa makan itu semua. Lebih baik nasi itu Ibuk kasih ke kucing, pasti kucing itu langsung gendut. Aku nggak mau jadi kayak gitu." Laila terkekeh pelan.

Ucapan lembut yang keluar dari mulut Laila sangat menusuk hati wanita paruh bayah yang berada di hadapannya.

Sungguh Bu Tari merasa tersinggung, tetapi untuk marah tidak bisa. Sudah terlanjur sayang pada sang menantu. Bu Tari menghirup oksigen dalam-dalam guna mengurangi sesak di dada.

"Kalau gitu Ibuk ke bawah dulu, kamu kalau butuh apa-apa bisa bilang ke Ibuk." Bu Tari kembali mengangkat nampan, lalu berjalan mendekati pintu. Sesekali dia menoleh berharap Laila mau memanggil dan mencicipi sedikit saja hasil masakannya, tetapi itu hanya harapan yang tidak mungkin terwujud. Pasalnya Laila kembali sibuk dengan ponsel.

Setelah Bu Tari menutup pintu, Laila melemparkan bantal hingga mengenai daun pintu.

"Buat kesel aja, pagi-pagi buat kacau," gumam Laila geram.

Sementara itu di meja makan Pak Tono, Hendra, Santi beserta keluarganya menyantap masakan Bu Tari dengan lahap karena terasa begitu nikmat. Gelak tawa memenuhi ruang makan. Apalagi saat Santi menggoda adiknya mengenai malam pertama karena melihat rambut Hendra tidak basah. Tentu saja kelakuan Santi membuat Hendra tersipu malu. Apalagi Pak Tono juga ikut menggodanya.

"Gitu aja malu, Ndra." Santi benar-benar tidak bisa menahan tawa.

Lelaki yang mengenakan baju kemeja biru itu membuang muka.

"Bagaimana mau malam pertama, istri aja merajuk karena Mbak," gumam Hendra. Namun, masih terdengar oleh semua orang. Sadar telah salah berucap, segera ditutup mulutnya.

Seketika suasana menjadi hening. Terlihat Santi menghela napas. Dia pikir masalah kemarin sudah selesai, tetapi mendengar ucapan adiknya barulah Santi sadar jika Laila tidak semudah itu memaafkan. Pak Tono pun mencuci tangan sebagai tanda selesai makan walau nasi di piring belum banyak tersentuh. Seketika nafsu makannya hilang.

Pak Tono melihat kejadian kemarin sebagai orang tua tidak ingin ikut campur dalam kehidupan anak-anaknya. Namun, sepertinya kali ini harus turun tangan.

"Itu penyebab istrimu nggak turun?" tanya Pak Tono. Matanya menelisik wajah putra semata wayangnya.

"Bukan Pak. Ibuk tadi yang bilang kalau Laila sarapan di kamar aja. Biar Laila nggak capek."

Pak Tono manggut-manggut tanda mengerti, tetapi lelaki paruh bayah itu menyayangkan sikap menantunya yang terkesan tidak menghargai.

"Nanti Mbak coba-"

Bunyi alas kaki dan lantai beradu menimbulkan bunyi, membuat Santi menghentikan ucapannya. Serentak semua menoleh.

"Bu, kok nasinya di bawa lagi?" tanya Santi, segera dihampiri Bu Tari. Kini, nampan telah berpindah ke tangannya.

"Ah, ini Laila nggak biasa makan nasi kalau pagi, cuma makan roti. Jadi Ibu bawa lagi nasinya," jawab bu Tari sembari duduk di kursi dekat pak Tono.

Mendengar jawaban bu Tari, mereka semua menggeleng tidak percaya. Sebab, semua orang tahu Laila dari keluarga miskin, tidak mungkin tidak makan nasi. Hendra pun menundukan kepala, jelas saja dia malu dengan tingkah istrinya.

Lagi-lagi lelaki itu harus menelan pil pahit. Rasa kecewanya sudah menggunung.

"Hari gini nggak makan nasi bukan orang indonesia," celetuk Santi tidak suka.

"Bun," tegur Roni, suami Santi.

"Mungkin memang Laila nggak bisa makan nasi kalau pagi. Udah jangan di perpanjang." Pak Tono mencoba menengahi.

"Nanti coba aku bicara sama Laila, Pak," kata Hendra tidak enak.

"Udah jangan diperpanjang masalah sepele, Nak," ujar bu Tari.

"Tapi Bu, aku-".

"Udah Ndra, bener kata ibumu nggak usah diperpanjang. Ibumu memang nggak tau apa kebiasaan istrimu." Pak Tono menimpali ucapan istrinya.

Akhirnya Hendra mengangguk pasrah.

Selesai menyantap sarapan, Hendra kembali ke dalam kamar guna melihat istrinya.

Saat pintu terbuka, tampaklah wanita berkulit putih itu tengah merawat diri, dari skincare yang Hendra berikan tempo hari sebagai hadiah hantaran. Hantaran yang Hendra berikan tidak main-main, produk skincare ternama, baju kebaya yang dijahit menggunakan tangan Bu Tari. Tidak ketinggalan satu set perhiasan membuat siapa pun yang memandang menginginkannya.

Perlahan Hendra mendekati, kulit putih nan mulus milik istrinya yang tersapu pelembab semakin memancarkan kecantikan. Berulang kali ucapan syukur lelaki itu lafalkan karena bisa memiliki istri secantik Laila. Kulit bersih, tubuh tinggi semampai dan rambut panjang yang tergerai indah menambah kecantikan di diri Laila.

"Kamu ngapain, Dek?"

"Lagi merawat diri." Laila menjawab tanpa menoleh. Tangannya masih fokus menepuk-nepuk pelan pipi.

"Kenapa nasi yang Ibuk bawa nggak kamu makan?" Hendra duduk di tepi ranjang, memperhatikan apa yang Laila lakukan.

Laila menghentikan aktivitas, lalu menghadap sang suami.

"Aku nggak bisa pagi-pagi makan nasi, Mas."

"Tapi, kan bisa kamu makan sedikit, untuk menghargai Ibu. Kita ini baru menikah Dek, tapi kenapa kesannya kamu nggak menghormati keluarga Mas?"

Emosi dalam diri Hendra mulai terpancing. Nada bicara mulai sedikit lebih tinggi. Tatapan lembut, kini berubah tajam.

"Udah Mas, aku nggak mau berdebat lagi. Ini masalah sepele. Pasti Ibu ngaduh yang nggak-nggak ke kamu kan," tuduh Laila.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Salah Pilih Istri   Bab 116

    "Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m

  • Salah Pilih Istri   Bab 115

    Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi

  • Salah Pilih Istri   114

    Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p

  • Salah Pilih Istri   Bab 113

    Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap

  • Salah Pilih Istri   Bab 112

    "Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."

  • Salah Pilih Istri   Bab 111

    "Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status