POV: RYANA
"Kamu ini cantik, Ryana," ujar Dian sahabatku. "Banyak pria yang antri melamar kamu. Tapi kenapa sampai sekarang kamu belum menetapkan pilihan?""Belum ada yang sesuai kriteria, Say.""Kriteria kamu terlalu banyak, sih.""Memang harus seperti itu, kan?"Ya. menurutku harus seperti itu. Kriteria itu sangat penting agar kita mendapatkan jodoh terbaik sebagai pendamping hidup. Jodoh bukan urusan main-main, bukan? Aku tak mau jika kelak menyesal karena memilih orang yang salah sebagai suamiku."Emang kriteria kamu seperti apa?" tanya Dian lagi.“Well, dia harus cerdas, minimal lulusan S1 juga seperti aku, sudah mapan dari segi finansial, taat beribadah, hafal Al Quran minimal lima juz, punya jiwa pemimpin, usia minimal tiga tahun lebih tua dari aku.”“Dan harus ganteng seperti Reza Rahadian, aktor idola kamu itu?”“It's not important. Yang penting orangnya baik.”“Berarti kalo mukanya ancur, boleh dong?”"Hihihi.. enggak jugalah. At least enak dipandang."“Yeee...itu sih sama aja. Yang enak dipandang pasti ganteng, kan?”"Belum tentu, Say. Mas Rahmad contohnya," kusebut nama office boy di kantor kami. “I think he's not handsome. Wajahnya biasa saja. Tapi enak dilihat.”"Cieee.... Jadi kamu naksir Mas Rahmad?" Dian tersenyum menggoda.“Hush! Cuma ngasih contoh, Say. Jangan bikin gosip baru, ah!”"Hehehe....iya, deh."Aku ikut tertawa."Ngomong-ngomong, kamu udah pernah ketemu belum, cowok yang sesuai semua kriteria?""Hm.... not yet. Kalau yang mendekati kriteria itu sih ada. Tapi aku tak mau. Aku pengen dapat suami yang memenuhi seluruh kriteriaku.""Ya ampun, Ryana!" Dian tertawa. "Sori lho ya. Kalo aku ngasih masukan. Menurutku, kriteria kamu tak perlu ketat gitu, deh.""Lho... kenapa?""Itu akan bikin kamu terlalu selektif. Kalo nanti ketemu yang memenuhi semua kriteria, syukurlah. Tapi kalo enggak, gimana? Mau nunggu sampai tua?""Hehehe... enggaklah. I just look for the best."Ya, kukira semua orang pasti menginginkan jodoh terbaik dalam hidupnya. Aku pun begitu. Siapapun suamiku kelak, dia tentu harus pria terbaik yang akan menjadi imamku, bersinergi denganku dalam membangun keluarga bahagia, mendidik anak-anak kami menjadi insan-insan yang dirindukan oleh surga.Sampai hari ini, sudah ada beberapa pria yang mendekatiku. Ada yang terus terang menyatakan cinta, ada yang sudah bertanya tentang minatku untuk menikah dengannya, ada yang baru coba-coba mencari perhatian, ada yang sudah melamar, tapi belum ada yang kuterima. Sebab belum ada yang menurutku sesuai kriteria.Karena itulah, hingga hari ini aku belum menikah juga. Wajar jika banyak orang yang mempergunjingkan statusku itu, dan banyak yang menyebutku perawan tua. Sebuah julukan yang sebenarnya membuatku gelisah dan tersinggung.Perkenalkan namaku Ryana, usia 26 tahun, anak sulung dari tiga bersaudara, lahir dan besar di Jakarta. Saat ini, aku bekerja sebagai staf marketing di sebuah penerbitan buku.Aku menganggap bahwa jodoh merupakan hal yang sangat rumit, penuh rumus, penuh kriteria yang harus dipenuhi. Jika bertemu seorang pria yang melamarmu, kau harus teliti dulu, apakah dia cocok atau tidak dengan kriteria yang kau tetapkan.Selama bertahun-tahun prinsip ini kupegang dengan sangat teguh. Aku sangat memercayainya.Namun ternyata, semua hal di dunia ini bisa berubah drastis. Pertemuan dengan seorang pria di suatu hari yang cerah telah menjungkirbalikkan semua prinsip dan pandangan hidupku mengenai kriteria jodoh.Kisahnya berawal saat Mbak Sinta - guru ngajiku - menyuruhku tidak pulang dulu setelah kami mengikuti pengajian di rumahnya, di suatu Sabtu siang yang cerah."Ada yang hendak saya sampaikan," ujar Mbak Sinta sambil membereskan meja yang penuh oleh piring, gelas, makanan dan minuman."Apa itu, M
‘Ryana, kamu sudah shalat istikharah?’Pesan WhatsApp dari Mbak Sinta mengagetkanku, di suatu siang yang cerah.Ya Allah, kok lupa begini? Kemarin aku sudah niat untuk minta petunjuk pada Allah; apakah bersedia ta'aruf dengan Rangga atau tidak.Jawaban apa yang harus kuberikan pada Mbak Sinta? Aku tak mau berbohong dengan menjawab "sudah". Aku benar-benar lupa shalat istikharah!Kucoba merenung sejenak. Kupikirkan dan kupelajari sosok Rangga dengan cermat.Sejujurnya aku selama ini jatuh simpati padanya. Orangnya sangat baik, rajin beribadah, hafalan Al Qurannya sudah lebih dari lima juz. Rangga memiliki wajah bulat, tidak terlalu ganteng. Hobinya fotografi.Rangga juga lumayan cerdas, lulusan S1, sudah mapan dari segi finansial, bahkan keluarganya pun kaya. Ayahnya seorang pejabat tinggi di pemerintahan. Tapi dia kurang bagus dalam hal memimpin, dan usianya lebih muda dua bulan dari aku.Ada dua kriteriaku yang tidak ada pada Rangga. Tapi di sisi lain, ada rasa simpati yang cukup bes
Suatu malam, sudah kuniatkan untuk shalat istikharah. Tapi entah kenapa, aku lupa dan ketiduran.Esoknya, aku buru-buru ke kantor karena ada rapat penting di pagi hari. Seusai rapat, Mbak Dewi - atasanku - memanggilku ke ruangannya."Ada tugas untuk kamu," ujarnya dengan nada penuh wibawa."Tugas apa, Mbak?""Ada tawaran kerjasama sponsorship dari sebuah komunitas anak muda di Jakarta Utara. Namanya Komunitas Nuansa. Mereka membuat acara santunan di panti asuhan. Kita akan menyumbang buku. Kamu siapkan semuanya, ya. List bukunya sudah ada pada Dian.""Insya Allah, Mbak. Siap! Acaranya kapan, ya?""Besok.""Okay.""Oh, ya. Besok kamu juga harus datang ke acara mereka. Nanti harus ada laporan tertulis yang dilengkapi dokumentasi foto dan video.""Okay."Maka di hari yang ditentukan, aku datang ke lokasi acara santunan anak yatim piatu yang diselenggarakan oleh komunitas anak muda tersebut. Panti asuhan yang menjadi lokasi kegiatan mereka, tempatnya agak jauh dan terpencil. Untung ada Ma
Kutaksir usia pemuda ini sekitar 21 atau 23 tahun. Masih lebih muda dariku. Penampilannya terlihat keren dengan kemeja kotak-kotak warna hitam yang semua kancingnya dibiarkan terbuka. Dan di bagian dalam dia mengenakan kaos warna krem yang sangat serasi dengan tubuh atletis dan kulitnya yang berwarna sawo matang.Badannya tidak terlalu tinggi, namun juga tidak terlalu pendek. Bentuk wajahnya lonjong, rambutnya pendek namun tidak cepak. Secara umum penampilannya terlihat sangat casual, sederhana namun trendi. Khas anak muda sekali.Sebuah name tag yang dikalungkan di lehernya membuatku yakin bahwa dia salah seorang panitia. Sayangnya, name tag itu dalam posisi terbalik sehingga aku tidak bisa melihat namanya."Eh... sorry," aku gugup, merasa malu karena si pemuda ganteng tersebut melihat diriku untuk pertama kalinya dalam posisi tubuh yang memalukan seperti itu. Dengan cepat aku segera bangkit, duduk di jok mobil, berusaha menenangkan diri dan tersenyum ke arahnya. "HP saya hilang.""H
Kami tadi memang sempat ngobrol, tapi tidaklah lama. Tak banyak yang bisa kuketahui dari dirinya melalui obrolan yang sangat singkat.Dan HPku yang "hilang" ternyata membawa keberuntungan tersendiri. Tadi Syarif sempat menawarkan diri untuk menghubungi nomorku pakai HP dia. Alhamdulillah, tersambung. Yang menerima adalah Dian."Halo, ini HP Ryana. Tertinggal di kantor. Orangnya sedang ada acara di luar. Saya temannya, Dian. Ada yang bisa dibantu?""AIhamdulillah, ternyata tidak hilang." aku menatap Syarif sambil tersenyum bahagia, merasa amat bersyukur.Lebih bersyukur lagi karena secara tidak langsung bantuan Syarif membuatku berhasil mendapatkan nomor HPnya, tanpa harus kupinta.Sesampai di kantor, segera kucek fitur received call di HP. Nomor Syarif kusimpan rapi di phonebook. Ada godaan untuk menghubungi dia, sekadar mengucapkan apa kabar. Tapi rasa malu dan gengsi menguasai diriku. Hm... rasanya kok tidak pantas. Seperti perempuan murahan saja.Lagipula aku kan belum tahu, apakah
Saat sedang santai di kantor, kubuka aplikasi Facebook, singgah di fan page Komunitas Nuansa. Kuperhatikan satu-persatu statusnya, termasuk orang-orang yang berkomentar.Dari situlah, aku berhasil menemukan akun Syarif. Aku merasa sangat gembira, karena berkesempatan mencari tahu mengenai dirinya lebih detil. Aku sangat antusias dan penasaran, kepo sekepo-keponya, ingin mengetahui profil Syarif sampai sedalam-dalamnya.Kuperhatikan profil pria yang telah merebut hatiku itu dengan penuh antusias. Kubaca satu-persatu status yang dia tulis. Kuamati foto-foto yang dia pajang.Banyak sekali fakta yang kutemukan dari halaman Facebooknya itu. Ternyata dia masih single dan tak kulihat anda-tanda dia sedang pacaran (duh, senangnya hatiku!). Dia hobi sepakbola, membaca, fotografi, dan desain grafis. Ketika SMA, dia aktif di ekskul teater. Jadi pasti dia pandai berakting.Yang mengejutkanku, ternyata Syarif juga aktif di Gerakan Islam Lurus!'Kok bisa? Kok selama ini aku tak tahu? Kok selama ini
Mungkin karena keseriusanku memikirkan Syarif, atau karena sering berdoa, secara mengejutkan keajaiban itu datang. Suatu hari, sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari dirinya!‘Assallamualaikum, Mbak Ryana. Saya Syarif, panitia acara yatim piatu beberapa minggu lalu. Moga masih ingat, ya.’Alhamdulillah! Aku merasa sangat bahagia dan bersyukur ketika membaca pesan WA itu. Bukan hanya karena Syarif menghubungiku, tapi kedatangan pesannya membuatku yakin bahwa dia pun ternyata menyimpan nomor HPku. Berarti dia tidak melupakanku. Berarti dia pun merasa penting untuk terus menjalin silaturahmi denganku.Duhai, betapa bahagianya ketika aku memikirkan hal itu.'Walaikumsalam, tentu masih ingat. Apa ķabar, Mas Syarif?' Segera kubalas WA-nya dengan penuh sukacita.'Alhamdulillah, baik Mbak. Maaf kalau saya lancang. Di ķantor Mbak Ryana ada lowongan, gak? Untuk sepupu saya.''Sepupunya lulusan apa? Cari kerja di bidang apa?''Lulusan SMA. Kerja apa saja boleh.'Masya Allah! Mungkin inilah jawaban
POV: SYARIFSecara tak terduga, tiba-tiba hadir seorang gadis yang menarik perhatianku, membuatku jatuh cinta. Namanya Ryana.Pertemuan pertama kami terjadi di sebuah panti asuhan, saat komunitas yang aku ikuti - Komunitas Nuansa - mengadakan acara santunan di sana. Padahal saat itu yang kulihat baru punggungnya! Ia sedang jongkok di dalam mobil, mencari sesuatu di lantai.Saat kusapa dirinya, kepalanya mendongak, menoleh ke arahku, menatapku dengan ekspresi gugup serta malu, membuat hatiku berdesir dengan kuat. Namun sebagai juara pendam-memendam sejati, aku bisa menyembunyikan rasa tertarikku dengan sangat sempurna."Perkenalkan, saya Ryana."[‘Saya Syarif, Kamu cantik banget, deh. Nikah, yuk.’]"Nama saya Syarif, Mbak."Ia tersenyum. Hatiku mabuk kepayang, melayang-layang di udara.Perlu kujelaskan bahwa kejadian di panti asuhan itu adalah pertemuan pertama kami. Namun sebenarnya, aku sudah lama mengenal Ryana, karena kami sama-sama aktif di komunitas Gerakan Islam Lurus (GIL). Dia