Hai ... semoga suka dengan ceritanya.
Bab 1 Oh DewiKanaya Putri Larasati merasa beruntung karena almarhum papanya sudah menjodohkan dia dengan Elang Sanjaya. Lelaki yang sudah membersamai selama lima belas tahun tanpa membuat terluka. Oleh karena itu, Kanaya selalu berusaha keras untuk menjaga kecantikan dan penampilannya sebagai seorang istri. Bahkan di usia yang memasuki kepala empat ia masih memiliki tubuh yang ramping dan kencang.“Ay, aku sangat merindukanmu,” aku Elang setiba di rumah langsung menghujaninya dengan kecupan.“Mas kebiasaan ih, tidak tahu waktu dan tempat. Putri kita sudah remaja, loh!” Kanaya mengingatkan. Karena setiap kali pulang dari luar kota, suaminya itu main sosor saja saat bertemu.Baru saja Kanaya berujar, tenggorokkannya saja belum kering. Anna--anak sulungnya yang berusia 14 tahun tengah menyaksikan. Elang barulah melepaskan istri dengan pipi yang memerah karena malu.“Ekhm,” deham Anna dengan bibir dirapatkan dan mata menyipit.“Eh, putri Papa yang cantik. Sini Sayang!” Elang segera mengalihkan suasana, lalu merentangkan kedua tangan.Anna menghambur ke pelukan. “Papa, kok baru pulang sih?” rengeknya.“Iya maaf, Papa ada urusan sedikit.”Satu bulan sekali Elang diperintahkan atasannya pergi ke Bandung untuk mengecek perusahaan cabang. Dia biasa habiskan waktu selama dua hari terhitung dari hari jumat pagi dan pulang sabtu sore. Namun kali ini, Elang baru bisa pulang hari minggu siangnya. Padahal minggu pagi sudah ada janji dengan anak-anak akan mengunjungi sebuah tempat.“Kita jadi gagal main deh,” keluh Anna dengan wajah memberengut.“Maafkan Papa, Sayang. Kita ganti akhir pekan depan saja, ya!”“Udah enggak mood,” rajuk Anna seraya melerai pelukan.“Kesayangan Papa jangan ngambeuk, dong!” bujuk Elang seraya menjawil hidungnya.“Papa!” seru Alya si bungsu yang berusia 8 tahun baru keluar dari kamar.“Eh putri kecil Papa,” balas Elang.Alya langsung melompat ke gendongan papanya. Baik Anna maupun Alya memang dekat sekali dengan sosok Elang. Lelaki pertama yang mereka temui dalam hidup, juga merupakan cinta pertama baginya.“Tumben anak Mama sudah bangun?” tanya Kanaya. Karena biasanya Alya kalau tidur siang bisa sampai dua jam.“Kan dengar Papa pulang.”“Tahu saja kalau Papa pulang.”“Iya dong, Mah. Aku kangen Papa.” Alya mengeratkan pelukan di pangkuan Elang.Kanaya pun menutup pintu depan dan mereka memasuki ruang tengah.“Sayang, Papa mau mandi dulu. Gerah dan lengket soalnya.” Elang berujar sambil menurunkan Alya.“Siap, Papa.”“Anak pinter. Oya, oleh-olehnya ambil saja di bagasi mobil. Minta tolong sama Bi Darmi untuk mengambilnya.”Darmi adalah asisten rumah tangga mereka yang sudah mengabdi selama 10 tahun.“Oleh-oleh? Asik!” girang Anna. Seketika wajah badmood-nya berubah riang. Sebab ia yang memesan oleh-oleh paling banyak.“Mah, bantuin Papa siapkan air hangat di bathtub!” titah Elang sambil mengangkat alis sebelah sebagai kode.“Iya,” sahut Kanaya singkat dengan mengulum senyum.Pasangan suami istri pun masuk ke kamar pribadinya. Karena kamar mandi juga ada di setiap kamar masing-masing. Elang seperti tidak bisa menahan lagi keinginan yang tertahan sedari tadi. Ia langsung menarik istri untuk ikut serta dalam kegiatan mandinya.“Ay, miss you,” bisiknya di telinga yang sukses membuat bulu kuduk Kanaya meremang.Tanpa menyahut, Kanaya langsung menyambut suami. Sebab ia pun sama, sangat merindukan sosok yang masih dicintainya selama 15 tahun ini. Meski pernikahan mereka atas dasar perjodohan demi kepentingan bisnis, lantas tidak membuat pernikahan mereka hambar. Justru orang-orang menilainya sebagai pernikahan yang sempurna. Elang seorang putra pengusaha dan Kanaya pun demikian. Keduanya sama-sama rupawan dan dikenal baik hati. Sungguh pasangan yang sangat serasi tanpa cela.**Darmi dan anak-anak gegas ke garasi. Mang Dirman, sopir pribadi Elang baru saja memarkir mobil di sana.“Mang, ayo cepat buka bagasi mobilnya!” pinta Anna.“Iya siap, Non.”Setelah bagasi dibuka, Anna dan Alya langsung mendapati banyak kantong plastik dan paperbag. Mereka mengintip satu demi satu isinya. Ada kue, pakaian, aksesoris bahkan buah-buahan.“Tuan kita sangat memanjakan anaknya ya, Bi?” bisik Dirman.“Ya iya atuh. Tuan mah banyak duitnya, buat apa lagi coba kalau bukan buat anak-istri,” timpal Darmi dengan logat khas sunda.“Kemarin juga saya mengantar Tuan ke toko perhiasan di Bandung. Tuan beli kalung, kalungnya itu bagus sekali dan terlihat mewah.”“Pasti oleh-oleh buat Nyonya.”“Iya, buat siapa lagi atuh? Gaya ya, orang kaya mah oleh-olehnya juga mahal.”“Jadi penasaran. Ah, nanti juga nyonya pasti memakainya.” Darmi bergumam. “Sudah ah, saya mau bantuin non Anna dan non Alya bawa oleh-olehnya,” lanjutnya kepada Dirman.“Sok mangga.” Dirman mempersilakan.Darmi dan anak-anak berlalu dari hadapan Dirman dengan menenteng banyak kantong. Sementara Dirman sendiri hanya memandang Darmi hingga ia hilang di balik pintu. Sebenarnya ia sudah lama menaruh hati kepada asisten rumah tangga kesayangan Kanaya itu. Namun tidak cukup nyali untuk mengutarakan perasaannya. Padahal baik Dirman atau Darmi sama-sama sudah melajang sejak lama.Suami Darmi sudah meninggal lima tahun yang lalu dan anak-anaknya tinggal di kampung bersama orang tua. Pun dengan Dirman yang istrinya sudah meninggal dua tahun lalu, tetapi ia belum memiliki anak.**Hawa dingin bilik kamar mandi justru membuat sepasang suami istri kepanasan. Peluh keringat keluar dari sela-sela anak rambut. “Mas ….” Satu desahan lolos dari bibir Kanaya.Suara istrinya terdengar sangat seksi di telinga Elang membuat ia semakin bersemangat. Tidak dilewatkan sejengkal pun semua yang ada pada diri Kanaya. Permukaan air yang penuh di bath tub tampak bergoyang-goyang dan meluber.“Are you ready, Ay?”Kanaya hanya mengangguk dengan senyum yang mengembang. Betapa bersyukurnya ia dalam hati. Karena di usia pernikahan yang sudah belasan tahun, suami tampak selalu menginginkannya. Seperti biasa Elang suka mendominasi permainan. Unjuk gigi sebagai lelaki yang selalu berhasil menggagahi. Kanaya hanya pasrah menerima syurga dunia yang suami suguhkan. Bagi Elang, istri adalah ratu yang harus selalu dipuaskan. Terlebih ia merasa kalau dirinya lebih berpengalaman dalam hal ini, tentu paham apa yang harus dilakukan. Sebab dahulu sebelum menikah, ia adalah pecinta wanita. Pencariannya berakhir semenjak dijodohkan orang tua kepada Kanaya.“Ooo … Dewi.” Satu nama meluncur begitu saja dari bibir Elang.Seketika Kanaya menarik diri sehingga menghentikan pergerakan suami. “Mas, siapa Dewi?” tanyanya terkejut, lalu memicingkan mata penuh selidik.Pasalnya Elang selalu memanggilnya dengan sebutan ‘Ay’. Hawa panas yang penuh gairah cinta berubah menjadi hawa panas yang terasa membakar emosi.“Dewi?” Elang terperanjat dengan mata melebar.“Ya. Barusan kamu menyebut nama ‘Dewi’. Aku tidak mungkin salah dengar.” Kanaya penuh penekanan.“Dewi?” ulang Elang tergagap.“Siapa dia, Mas?!” sentak Kanaya.***Eum ... kira-kira siapa Dewi yang dimaksud Elang? Temukan jawaban di bab berikutnyaTerima kasih sudah mampir.SSN 75Semua berjalan sebagaimana mestinya. Akhirnya setelah melewati rasa perih pengkhianatan Kanaya bisa menemukan kebahagiaan lagi. Bersama Bima, ia merasa hidup berjalan normal. Meski yang namanya rumah tangga tidak lepas dari ujian. Hanya saja, selama ujian itu bukan kehadiran wanita lain, Kanaya akan selalu sanggup menjalaninya."Happy birthday to you, happy birthday Narain "Lagu ulang tahun mengantarkan Narain untuk meniup lilin dengan angka 5. Ya, buah hati Bima dan Kanaya tidak terasa sudah berusia lima tahun. Acara ulang tahun diselenggarakan sederhana. Hanya dihadiri keluarga dan kerabat dekat saja."Ayo sekarang potong kuenya!" Ucap Anna.Kanaya lekas membantu memotongkan."Suapan pertama buat siapa, Dek?" tanya Alya."Buat Ayah.""Kok, nggak buat mama dulu?""Ayah dulu. Mama itu suka celewet, kadang galak.""Ih, kok Rain gitu sama mama," protes Kanaya."Haha ...." Orang-orang malah nertawain Kanaya."Anak ayah yang Soleh, kue pertama harus buat mama ya. Soalnya mama lah
“Iya istriku, katakan saja hal apa yang sudah membuatmu marah, agar saya bisa memeprbaikinya.” “Ok. Pertama kamu kegatelan sama cewek muda waktu di taman. Alya sudah cerita semuanya. Bahkan kamu mau kasih nomer kan sama tuh cewek? Untung saja kamu enggak hapal. Coba kalau hapal, pasti sudah berkirim pesan sekarang juga.” “Cinta, kamu cemburu?” “Ini bukan perkara cemburu, Bim. Kamu sudah jelas suka dengan daun muda,” sengit Kanaya. “Eh Cinta, dengarkan dulu. Siapa bilang saya tidak hapal nomer Hp sendiri? Ya hapalah. Untuk apa coba saya pura-pura bilang enggak hapal? Itu karena saya sangat menjaga hati. Lagian buat apa juga tertarik sama bocah? Cantikan mama-nya Narain lah.” “Ehm … udah jangan bohong. Ngaku saja!” Bima pun menyebutkan nomer Hp-nya dan benar saja dia hapal, malah sangat hapal. Berarti alasan bilang tidak hapal memang karena tidak mau saja kasih nomer kepada cewek itu. “Gimana, masih mau bilang saya kegatelan? Emang benar sih, saya tuh udah gatel banget. Yang di ba
SSN-73Setelah mencoba mengingat, Bima tak kunjung menemukan kesalahannya sendiri. Pria kadang memang tidak peka.“Aduh, mama kalian tuh emang suka mendadak kayak gitu. Ayah jadi bingung.”“Ayo susul mama, Yah!” saran Alya.“Iya nanti saja. Sekarang tanggung, Ayah laper.”Mereka kembali melanjutkan aktifitas sarapannya dan tak lama Alya yang memang sudah sarapan sejak tadi merasa kenyang.“Aku dah selesai. Duluan ya Kak, Yah,” izin Alya.“Sayang tunggu, Ayah boleh minta tolong?”“Apa itu?”“Bawain sarapan buat mama. Mama pasti masih lapar. Kan tadi berhenti gara-gara marah sama ayah.”“Ok.”Alya segera membawa sepiring sarapan dan mencari mamanya. Ternyata Kanaya sedang duduk di balkon lantai dua.“Hey Mah.”“Bawa apa Sayang?”“Sarapan. Kata ayah, Mama harus sarapan banyak. Kan netein adek Narain.”“Terima kasih, Sayang.”Kanaya yang memang lapar langsung mengambil alih piring dari tangan Alya. Alya ikut menemani dengan duduk di samping mamanya.“Mah, tadi waktu jogging
Setelah baby Narain terbangun oleh suara bebek mainan, ia enggan terlelap lagi. Kanaya sampai terus nguap-nguap dan matanya berair menahan ngantuk.“Ya, udah tidur saja.”“Kan Narain belum bobo.”“Tidak apa-apa, biar saya yang jagain. Mungkin ia juga kangen, pengen gadang sama ayahnya.”“Enggak ah, aku juga mau di sini saja nemenin kamu.”Bima terus mengajak main anaknya. Sesekali ia pun menguap, tetapi terus ditahannya. Bima gegas membuat secangkir kopi untuk mengusir rasa kantuknya. Sekembali membuat kopi, rupanya Kanaya yang menunggu Narain sudah tertidur.“Mamanya sudah bobo ya? Tunggu, ayah minum dulu kopinya. Eum ….” Bima menghirup aromanya. Lalu ia seruput sedikit demi sedikit. Perlahan kantuknya pun hilang.Narain sama sekali tak rewel. Ia begitu asik bermain malam-malam bersama sang ayah. Tak terasa jarum jam sudah menunjuk angka 12. Berbagai nyanyian, solawat, doa-doa, tepuk-tepuk sampai ngoceh apa aja Bima lakuin agar si Buah hati tidur kembali. Usahanya tidak sia-s
Kanaya sulit terpejam. Ia terus menatap suami yang sudah terlelap kurang dari dua jam lamanya. Suami yang ditatap menggeliat. Kanaya menoleh pada jam yang nongkrong di meja samping bed. “Jam 00.00?” gumamnya. Biasanya di jam ini, Bima akan terbangun untuk buang air kecil. Mendadak Kanaya ingin memberi sedikit pelajaran dengan mengerjainya. Ia buru-buru bersembunyi di walk-in closet. “Ya ….” Terdengar Bima memanggil. Tidak lama terdengar juga langkahnya yang ke sana ke mari mencari. Lalu langkahnya kian menjauh dari ruang kamar. Kanaya keluar dari walk-in closet pelan-pelan. Ia mengintip dan mengendap seperti maling untuk menyaksikan kepanikan Bima di luar kamar. Tampak Bima berlari-lari kecil dari ruang ke ruang lainnya. Kanaya cekikikan sendiri sambil ditangkupnya mulut agar tidak kelepasan tertawa. Suaminya terdengar berteriak, untung saja anak-anak tidak terbangun. Lalu menyalakan semua lampu penerangan, terlihat napasnya terengah-engah. Raut penyesalan tampak jelas tergambar.
Bima menjemput Anna pulang sekolah. Sepanjang perjalanan ada yang dirasakan berbeda dalam diri Anna. Tak seperti biasanya mengoceh dan bercerita tentang harinya yang menyenangkan ataupun sebaliknya.“Ann, kamu kenapa?”“Tidak apa-apa.”“Tidak mau cerita sama Ayah?”“Tidak.”Suasana hening kembali sampai tiba di istina mereka. Kanaya sudah menyambut kepulangan putri sululungnya. Sementara Alya sudah lebih dahulu pulang.Anna masuk rumah begitu saja tanpa salam. Bahkan mamanya yang di ambang pintu ia lewati begitu saja. Ia pun langsung naik ke lantai dua dan terdengar membanting pintu kamar. “Bim, kenapa Anna?”“Anna tidak mau cerita.”“Apa Anna punya pacar?” selidik Bima. Meski mereka terbilang akrab, tetapi untuk urusan cinta, Anna enggan membagi kepada ayah sambungnya.“Iya. Dia jadian sama anak yang bernama Rangga itu, lho.”“Oh.”Kanaya sudah paham, walau suaminya hanya bilang ‘oh’, ia pasti akan melakukan sesuatu.“Aku mau temui Anna dulu, ya!”“Iya. Saya juga mau
Bima membawa istri untuk memeriksakan kehamilannya kembali. Sekalian mereka mau konsul tentang rencana babymoon-nya. Hasil pemeriksaan sejauh ini baik-baik saja, tetapi Indra sebagai dokter menyarankan agar mereka berangkat babymoon sekitar dua mingguan lagi. Untuk melihat sejauh mana kondisi Kanaya yang baru saja melewati fase mual muntah. Selagi ada waktu dua minggu, pasangan suami istri tersebut mempersiapkan segalanya. Mereka juga membujuk Anna dan Alya agar mau ditinggal selama seminggu. Bukan hal yang mudah tentunya, mengingat putri-putri Kanaya tidak pernah ditinggal lama. Akhirnya mereka semua mencapai mupakat setelah berdiskusi alot. Anna dan Alya mengizinkan hanya untuk lima hari. Destinasinya hanya Lombok, tidak boleh keliling ke tempat lain. Karena kalau keliling, mereka harus ikut turut serta. Setiap hari mereka juga harus video call untuk saling mengabari. Selama Bima dan Kanaya pergi, Mira juga diminta untuk menginap.** Wirawan sudah terlihat sangat sehat dan s
Depresi Kamila tidak kunjung membaik. Mira memasukkannya ke Rumah Sakit Jiwa karena kewalahan. Di rumah sakit, keadaan Kamila lebih terkontrol dan stabil. Sesekali ia mengunjungi Kanaya dan cucu-cucunya.“Nay, kenapa kamu jadi malas mandi begini sih?”“Enggak tahu, Bu. Rasanya mual kalau masuk kamar mandi itu.”“Padahal dulu waktu hamil Alya, kamu tuh rajin banget mandi. Sampai sehari lima kali, lho.”“Oh iya, hehe.”“Iya, Bu. Naya malas mandi tuh. Deket-deket saya juga, dia tidak mau,” timbrung Bima yang baru muncul.“Emang begitu Nak Bima bawaan orang hamil itu beda-beda. Yang sabar ya!”“Iya, Bu. Pasti.”“Tahu ah, kamu acara ngadu segala sama ibu,” ketus Kanaya.“Ya tak apa-apa Nay. Ibu malah senang kalau Nak Bima itu bisa akrab sama ibu. Lagian kamu juga aneh, justru lagi hamil itu harus deket-deket sama suami. Kamu juga dulu waktu hamil Anna, nempel banget sama suami. Sampai suamimu kamu larang masuk kantor. Jauh sedikit saja, kamu merajuk,” tutur Mira panjang tanpa sada
“Wah selamat, bentar lagi jadi dady, nih.”“Ngapain gue ganti nama jadi Dedi?”“Haha, enggak lucu lu!”“Engga lucu, ketawa.”“Haha … aduh Nyonya Anggara terima kasih banget karena Anda, hidup sahabat saya jadi berwarna. Padahal dulu hidupnya lempeng aja, mana bisa dia guyon.”“Begitulah. Waktu pertama kali bertemu juga, dia itu songong dan arogan.”“Eit, malah gunjingin suami,” seloroh Bima.“Hehe,” kekeh Kanaya.“Jadi beneran kan istri gue hamil?” ulang Bima memastikan lagi.“Beneran lah, masih aja lu nanya.”“Ya Tuhan, terima kasih.”Bima menangkup kedua pipi istri dengan gemas dan menghujaninya dengan kecupan.“Eh, eh, tolong kondisikan Pak Bima Anggara. Istri saya kebetulan lagi di LN, masih lama pulangnya,” sewot Indra.“Itu derita lu.”“Tega bener.”“Oya Dok, soal hubungan badan di trisemester pertama ini bagaimana?” tanya Kanaya.“Berhubung keadaan ibu dan janin sehat, jadi masih bisa dilakukan. Amanlah. Malah bisa menambah booster buat ibunya.”“Nambah booste