Kedua tangan itu bergetar sangat hebat saat melihat benda yang tengah dipegangnya. Matanya membola begitu sempurna hingga nyaris keluar. Tenggorokannya bahkan terasa tercekat hingga membuat saluran pernapasannya terganggu.
Sebuah benda pipih panjang yang menunjukkan dua garis merah di sana membuat seorang perempuan bernama Anindya Kemala ini nyaris terjatuh di depan wastafel toilet kampus.
“Enggak mungkin aku hamil,” gumamnya lirih.
Tak terasa cairan Kristal itu mengalir begitu deras melewati pipinya yang mulus. Perempuan berusia dua puluh tahun ini masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Ia mulai mengingat-ingat melakukan hal itu terakhir kali bersama Rayyan sekitar sebulan yang lalu, dan pria itu menggunakan pengaman. Entah kenapa hal yang tidak diharapkan justru terjadi seperti ini? Lalu apa yang akan ia katakan nanti kepada kedua orang tuanya? Terlebih kedua orangtuanya kini tengah mencalonkan diri sebagai salah satu pemimpin daerah di pulau Jawa. Perempuan yang biasa disapa Anin ini mulai merasakan pusing juga sakit kepala memikirkan hal-hal yang tidak diinginkan justru kini kian terjadi.
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Anin langsung memasukkan alat tes kehamilan itu ke dalam tas. Anin membasuh wajah kuyu-nya agar tidak terlihat acak-acakan.
Selesai menyamarkan penampilan wajahnya, Anin langsung keluar toilet dan buru-buru bergegas menuju ke fakultas Tehnik di mana Rayyan—kekasihnya—berkuliah di sana.
Melihat postur tubuh kekasihnya yang sedang bersenda gurau dengan mahasiswa lain membuat Anin mempercepat laju jalannya agar kekasihnya itu tidak lagi menghindar seperti sebulan belakangan ini. Anin merasakan seperti dighosting setelah mereka melakukan hubungan intim yang terakhir kalinya. Ia merasakan dicampakkan dan seperti jalang yang sudah tidak lagi dibutuhkan kehadirannya. Bahkan seorang jalang saja masih mendapatkan bayaran yang setimpal. Lain hal dengan harga dirinya yang seperti buah tebu. Habis manis sepah dibuang.
“Rayyan.”
Pria itu menoleh sambil tersenyum tipis. Bahkan para teman-temannya langsung pamit pergi yang kini hanya meninggalkan Anin dan Rayyan saja di depan kelas.
“Ada apa?” tanya pria itu malas.
“Aku mau bicara sesuatu sama kamu.”
Pria itu masih tampak menunjukkan wajah malasnya, namun tetap berjalan mendekati posisi Anin berdiri. “Ngomong aja di sini.”
“Enggak bisa. Aku butuh tempat yang tenang karena—“
“Cih! Emang apa, sih, yang ingin kamu bicarakan sampai harus mencari tempat yang tenang begitu? Di sini, kan, juga bisa?” Rayyan mengangkat kedua alisnya—menunjukkan kalau dia tidak suka dengan usulan perempuan itu.
“Masalahnya ini soal ….”
“Soal apa, hm?” potong Rayyan sambil menyenggih bibirnya.
Ada rasa khawatir yang dialami oleh perempuan itu. Rasa ketakutan yang menjalari keseluruh tubuhnya jika Rayyan tahu dan pria itu menolak untuk bertanggung jawab atas perbuatan hina yang telah mereka berdua lakukan bersama.
Rasanya kerongkongan Anin saat ini terasa kering mendadak. Perempuan itu mencoba membasahinya dengan menelan ludahnya sendiri dengan susah payah.
“Mau ngomong apa, sih? Aku tidak punya banyak waktu!”
Mendengar suara Rayyan yang sudah meninggi membuat Anin mencoba membuka mulutnya. Mengucapkan sesuatu hal dengan suara tercekat-cekat dan keringat dingin yang mendadak keluar begitu saja. “A-a-aku ha-hamil.”
Tentu saja mata Rayyan langsung melotot tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Pria itu masih saja menyenggih jika Anin tengah mengerjainya saat ini.
“Enggak usah ikutan youtuber yang suka ngeprank-ngeprank deh. Enggak lucu tahu.”
Anin langsung membuka mulutnya tidak percaya dengan respon Rayyan barusan. Ia mengatakan hal yang benar adanya. Kenapa kekasihnya itu tidak percaya. “Aku serius,” sahutnya, lirih.
Melihat air muka Anin yang serius membuat Rayyan langsung gusar sendiri. Pria itu langsung menoleh kanan kiri untuk memastikan keadaan sekitar jika ucapan Anin barusan tidak ada yang mendengar kecuali dirinya sendiri.
Dengan gerakan cepat, Rayyan langsung menarik lengan tangan Anin—menyeret ke arah parkiran dengan cengkeraman yang sangat kencang—hingga membuat Anin meronta-ronta kesakitan.
Sesampainya di parkiran, Rayyan segera membanting perempuan itu di dalam mobilnya. Menutup pintu mobil dengan perasaan yang tidak bisa diuraikan saat ini. Rayyan sendiri langsung memasuki pintu kemudi dan menjalankan mobil itu untuk melesat pergi jauh dari area kampus.
Merasakan jika cara mengemudi Rayyan tidak seperti biasanya membuat Anin ketakutan. Perempuan itu segera menarik seatbelt dan menggunakan dengan cepat. Tak lupa juga kepalanya menoleh ke arah Rayyan yang masih menunjukkan ekspresi kekesalan. Bahkan rahangnya sangat begitu mengeras hingga membuat Anin menelan ludahnya susah payah karena takut jika pria itu akan berbuat nekat.
“Rayyan, kita mau ke mana?”
Tidak ada respon yang Anin dapatkan atas pertanyaannya barusan. Justru ia hanya mendengar suara gemeletukan gigi dari mulut pria itu. Anin merasakan takut luar biasa. Jujur saja ia tidak ingin mati muda saat ini.
“Rayyan, please … jangan ngebut seperti ini. Aku takut,” pinta Anin, memelas.
Merasa tidak siap dengan berita kehamilan Anin membuat Rayyan kebingungan sendiri. Dia belum siap menikah apalagi jadi bapak. Diliputi rasa emosi membuat dirinya tidak terkontrol saat ini hingga mengakibatkan dia hilang kendali saat menyetir.
“Rayyan, awas!” pekik Anin, menjerit kencang.
Ckiiiitttttt.
BRAK!
Hari ini adalah hari yang paling bersejarah di dalam keluarga Sastrowidjojo. Apalagi pagi ini Sekar tengah menanti dengan perasaan harap-harap cemas. Anindya—menantunya tengah berada di dalam kamar mandi untuk menguji kebenaran apa yang dikatakan oleh Ibu Nyai. Apakah benar hamil atau hanya mual-mual biasa karena asam lambung ataupun masuk angin.Semoga saja hasilnya sesuai harapan. Sekar ingin sekali menimang cucu dari Ares. Bukan ingin menuntut, tapi Sekar sadar jika usianya sudah tidaklah lagi muda. Sekar ingin menggendong anak hasil dari Ares agar bisa adil dengan Nadia. Di samping itu mumpung ia masih hidup juga karena usia tiada yang tahu bukan? Untuk itu Sekar selalu berdoa supaya Anin bisa sehat selalu dan mengandung benih dari Ares.Ceklek! “Bagaimana hasilnya?” tanya Sekar, harap-harap cemas.Anin diam saja. Ia justru langsung menyerahkan alat tes kehamilan itu kepada Sekar. “Enggak tahu, Bu. Anin enggak lihat soalnya takut,” jawab
Semua orang yang berada di kamar itu tentu saja terkejut dengan ucapan Ibu Nyai. Apalagi hanya dengan memegang perut saja langsung berasumsi seperti itu.“Iya betul ini lagi hamil,” ulang Ibu Nyai.“Itu seriusan Ibu Nyai?” tanya Sekar, masih tidak percaya akan ucapan Ibu Nyai. Tapi memang suka betul ucapan Ibu Nyai ini.“Iya, Ibu Sekar. Coba saja diperiksa ke dokter pasti hasilnya positif.” Ibu Nyai masih terus mengusap-usap perut milik Anin lembut. “Belum datang bulan, ‘kan, Nduk?” tanya Ibu Nyai kepada Anin.Anin tampak terdiam sesaat. Mencoba mengingat kapan terakhir dirinya kedatangan tamu bulanan.Dan, ketika ingat jika terakhir datang bulan saat akan menikah. Sedangkan ini sudah satu bulan lebih dirinya menikah dengan Ares. Sedangkan ia belum datang bulan lagi.“Astagfirullah! Anin belum datang bulan, Bu,” ucap Anin menatap ke arah Sekar dengan ekspresi wajah kebingungan. “Apa benar Anin hamil, ya, Bu?”“Walah Ibu juga tidak tahu, Nin. Kamu ada tespack?” tanya Sekar, jadi penasa
Meski tidak enak badan, Anin harus tetap bersiap-siap untuk pergi ke rumah Mama Rosa. Apalagi kue Mama Rosa mulai banjir orderan dari teman-temannya.Tok! Tok! Tok!“Nin,” panggil Sekar dari luar kamar.“Masuk, Bu. Pintunya enggak dikunci.”Ceklek! Sekar membawa nampan yang berisi wedang jahe juga menu sarapan untuk Anin. Apalagi menantu-nya ini sedang tidak enak badan karena ulah dari Ares, putranya.“Lho, Bu. Tidak perlu repot.”“Kata Ares kamu lagi enggak enak badan.”“Hanya masuk angin aja kok, Bu. Nanti juga sembuh.”“Maafkan anak Ibu, ya. Maaf kalau dia terlalu menggebu-gebu,” kata Sekar, merasa tidak enak sendiri. Padahal yang melakukan perbuatan itu Ares bukan dirinya.Anin hanya menyengir saja karena yang dibahas sudah ke ranah sana. Meski merasa tidak enak dengan Sekar karena diperlakukan sangat baik, Anin tetap menghargai dengan memakan dan meminum wedang jahe itu.“Makasih banyak ya, Bu. Ibu sudah makan?”“Ibu sudah makan tadi setelah A
Dari banyaknya tempat perbelanjaan entah kenapa harus bertemu dengan Vivi di mal ini. Anin juga kaget tetapi ia harus tetap sopan serta ramah.“Eh, Anin. Sendirian aja?” tanya Vivi, masih fokus menatap cermin karena sedang memakai bulu mata palsu jadi harus fokus.“Sama Mama dan suami.”“Hah?! Suami? Kamu udah nikah?” Vivi langsung berputar badan menatap Anin yang memang berdiri di belakangnya ini. Ekspresinya benar-benar terkejut luar biasa. “Sama Ares?” lanjut Vivi, sambil menelan ludahnya susah payah.Anin tersenyum manis sambil mengangguk. “Iya, Tante.”“Kapan?” Ada rasa kecewa di dalam hati Vivi karena teringat akan lamarannya yang ditolak. Akan tetapi kali ini Vivi bisa mengendalikan diri karena banyak orang di toilet. Di samping itu juga sudah janji dengan Rayyan untuk bersikap baik kepada Anin. “Kok Tante enggak diundang?”“Baru kemarin, Tante. Kami mengadakan pernikahan sederhana saja. Yang datang juga dari pihak keluarga saja dan memang tidak mengundang orang lain.”Vivi men
Pagi ini Anin terbangun dengan perasaan yang berbunga-bunga. Apalagi semalam Ares telah menggagahi-nya dengan penuh kelembutan meski sedikit beringas kalau kata Bayu. Mungkin bagi dia mumpung sudah halal hingga sedikit beringas. Tapi semuanya membuat Anin puas juga terngiang-ngiang akan permainan pria itu.Ketika sedang mengeringkan rambut akibat keramas pagi pun membuat Anin tidak kuat menahan untuk tidak tersenyum. Alhasil Anin selalu cengar-cengir di depan cermin tempat ia make-up.Tak lama pintu kamar mandi terbuka yang menampilkan Ares. Anin pun rasanya malu ingin menoleh—melihat tubuh kekar suaminya yang semalam ia kecupi.“Sayang, bisa ambilkan bajuku tidak?”“Kamu mau kerja?”“Enggak lah. Aku cuti seminggu. Ambil baju santai aja. Terserah kamu pilih yang mana. Yang pasti hari ini kita akan jenguk Papa.”Mendengar ingin ‘menjenguk papa’ membuat Anin segera berdiri dari kursi. Sampai akhirnya Anin tidak sengaja melihat tubuh atletis milik Ares. Sontak hal ini membuat Anin segera
Anin bergegas turun dari atas ranjang. Ia melihat penampilan dirinya yang begitu acak-acakan. Merasa gerah membuat Anin memutuskan mandi terlebih dahulu sebelum akhirnya merias wajahnya ulang.Tak lupa Anin meminta bantuan kepada MUA, teman kuliahnya yang Anin undang ke acara pernikahan ini.“Enggak nyangka kalau lo nikah duluan, Nin.”“Hehehe, makasih banyak, Sara.”“Pokoknya doa yang baik buat lo dan suami. Kangen masa-masa kuliah deh. Enggak ada lo kurang rame di kampus.”“Ck! Masa, sih.”“Hm, betul dong. Pokoknya di kampus selalu heboh berita soal lo sama Rayyan. Tapi lo seriusan bakalan pindah kampus dan ngulang dari semester awal lagi?”“Kalau diizinkan sama suami, Sar.”“Kalau dilihat-lihat secara langsung tipikal Ares itu bucin banget tahu. Dih, betapa beruntungnya lo dapatin dia. Mimpi apa deh lo kemarin bisa dinikahi pengusaha kaya raya.”“Hahaha, ada-ada aja lo.”Akhirnya Anin selesai di make-up. Penampilannya kembali cantik bahkan lebih fress dari sebelumnya. Anin bahkan