Share

Bab 2

Pove Sindi.

Egois, keras kepala mau menang sendiri, aku menyesal menikahimu, Mas. Kamu tidak akan pernah berubah aku yakin.

Aku terdiam di kamar suamiku keluar entah kemana setelah pertengkaran tadi, aku yakin dia sedang menyalakan batang rokok dan menyesap benda itu di depan rumah, jika kami sedang bertengkar suamiku selalu menghindar dan menyesap benda itu.

"Ya Allah, kenapa mas Abidin, tidak mau melepaskan aku, jika dia tahu kalau orang tuanya selalu kasar denganku. Aku yakin dia tidak akan tinggal diam, tapi aku tidak mau mengadu takut jika hubungan anak dan orang tua itu hancur gara-gara aku," aku bergumam sendiri di dalam kamar, kamar yang dulunya terasa nyaman sekarang mendadak terasa sempit. Bahkan mertuaku menyuruh mas Abidin menikah lagi, apa yang kurang dariku, padahal kami sudah mempunyai putra-putri lucu lantas apa? apa karena aku mengangur tidak bekerja?

Aku terisak sendiri di kamar setelah beberapa hari terakhir Mas Abidin juga berubah tidak seperti dulu lagi.

Apa karena Anjani? huh biarkan saja.

Sudah dua jam mas Abidin tidak masuk, aku penasaran tidak biasanya suamiku seperti ini, gegas aku mneghampirinya dan benar saja dia sedang menempelkan benda pipi tersebut di telinganya, mungkin sedang menghubungi seseorang.

Kutempelkan telinggaku dicendela, aku mendengar samar ucapan suamiku ia berkata, "Besok, kita ketemu di tempat biasa," netraku membulat sempurna siapa yang ia ajak berkomunikasi apa lagi janjian tengah malam seperti ini.

Track...

Aku membuka pintu ia segera mematikan pangilan masuk tersebut kutatap dalam-dalam wajahnya aku tahu suamiku sedang melakukan kesalahan, jika tingkahnya gugup berarti benar.

"Siapa, mas?" tanyaku menyelidik. Ia diam menggaruk kepalanya yang tidak gatal aku tahu dia sedang mencari alasan.

"Anu ... itu ... teman kerja," ucapnya gelagapan aku tahu dia sedang berbohong.

"Siapa, mas? teman kerja siapa?" tanyaku lagi, ia mengusap wajahnya kasar aku tahu kamu berbohong, mas. Lihat saja wajahmu memerah.

"Anu ... itu Arman." Wajahnya pucat Pasih sudah pasti dia berbohong.

"Oh, Armando," kataku, aku mengangukkan kepala pura-pura percaya.

"Ya sudah kalau tidak mau masuk, aku kunci dari dalam ya pintunya?"

Mas Abidin langsung mengikutiku dari belakang ia ikut masuk kedalam bersamaku dan berkata, "Kamu masih marah, Sin?" tanyanya.

"Menurut, kamu?" aku mendelik kearahnya.

"Kalau sudah menyusulku kedepan berarti kita baikan, ya?"

What? baikan maaf aku tidak akan mau berbaikan denganmu akan kubalas perbuatanmu Abidin suamiku tersayang.

Malam berlalu begitu saja, pagi memulai aktifitas seperti biasanya. Sindi terlihat baik namun ia sedikit menjadi pendiam tidak seperti biasanya.

"Ma." Abidin meraih tangan Sindi.

"Apa?"

"Malam ini, mas, ada acara ke Bandung, tes wawancara," katanya sambil menyendok nasi.

"Kok mendadak?" .

"Kantor yang minta, tadi subuh aku dapat pesan dari Arman, dapat rekomendasi pekerjaan wawancara di Dubai,"

"Arman atau Arman, ah... Terserah kau saja, toh secepat mungkin kita akan berpisah." ucapku. IA menghentikan sarapannya menatap tajam kearahku namun, aku tidak mau tahu aku tetap sibuk menyiapkan bekal untuk di bawah ke kantor.

"Sindi, jangan berharap kamu bisa pisah dariku," justru mas Abidin malah tersenyum kearaku, dasar manusia apa yang sudah kunikahi ini manusia egois nomor satu di dunia.

"Nanti dari kantor, aku langsung berangkat ke Bandung," katanya aku mendengus kesal.

"Terserah kau saja."

Setelah berpamitan Abidin maljukan mobilnya, Ia menenteng bekal dan juga kebutuhan kantor.

"Sindi," ibu memangilku gegas aku berlari kesumber suara.

"Kata, Abidin, tadi dia mau ke Bandung? kok ngga pamit Ibu?" tanyanya, aku mengedihkan bahu dan berkata, "Sindi, kira ibu sudah tahu kalau, mas Abidin mau ke Bandung."

Ibu terdiam aku yakin dia sedang marah, segera beliau meraih gawai yang sedang ia ces lalu menghubungi seseorang.

"Kenapa kamu ngga pamit sama, Ibu?"

"Ya sudah hati-hati," ucapnya seraya mematikan pangilan keluar tersebut.

Ibu mertuaku berjalan menghampiriku, aku sedang memandikan kedua anakku dia tersenyum lebar dan berkata, "Alhamdulilah mungkin sudah rejeki, Abidin, dapat rekomendasi kerja di Dubai," ucapnya pdahal aku tidak tertarik jika suamiku harus jauh dariku.

Bahkan aku tidak yakin jika suamiku benar sedang wawancara bukan ada alasan lain untuk berangat kebandung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status