Share

Bab 3

Setelah dua hari Abidin tidak pulang Sindi merasa yakin bahwa ada yang tidak beres.

Sindi menarik napas panjang lalu membuang dengan perlahan mungkin itu terapi agar ia tidak terlalu Stres.

“Kok, mas Abidin belum pulang, Bu?” tanya Sindi dengan nada kesal, padahal Abidin sudah tahu kalau Riri sakit, tapi kenapa tidak sampai-sampai bahkan perjalanan Jakarta-Bandung tidak selama itu, Sindi yakin Suaminya itu sedang bersenang-senang dengan temannya.

“Coba Ibu telepon sekali lagi,”pinta Sindi terhadap Mertuanya.

Riri dan Raka semakin rewel ia menangis, dan tak mau makan, Sindi dibuat bingung oleh kedua anaknya apa lagi suaminya tidak memberi kabar sama sekali.

Hani menggeleng, Sindi terdiam berarti suaminya masih belum bisa dihubungi.

Sindi mengentakkan kaki ke lantai sekeras mungkin darahnya sudah mendidih, setiap keluar bersama teman-temanya Abidin selalu lupa dengan keluarga. Sindi mendengus kesal padahal dua hari ini Riri rewel, dan itu sudah menguras banyak tenaganya di tambah lagi Raka juga ikut-ikutan sakit.

“Bu, mana mungkin perjalanan Bandung-Jakarta sembilan jam. Yang benar saja,”

Hanya kalimat itu yang Sindi lontarkan karena sudah tidak kuat menahan emosi lagi. Ayah mertuanya turun dari singgasana dan menegurnya.

“He, Sindi!” bentaknya di depan kamar Sindi. Sindi hanya terdiam meringkuk di kamar sambil mengeloni Raka putranya sedangkan Riri di gendong Hani.

“I-iya, Ayah,” jawab Sindi lembut mau bagaimana pun orang tua tetap orang tua, Sindi sebagai anak harus patuh dengannya. Tekanan jantung Sindi terasa lebih cepat, setelah Ayah mertuanya sudah mulai ikut angkat bicara. Karena ia sudah tahu kalau Ayah mertua angkat bicara akan panas gendang telinganya.

“Kamu kira, Bandung-Jakarta tidak jauh, Hah!” kalimat pertama sudah keluar dari bibir laki-laki paruh baya yang disebut mertua itu.

“Dari tadi didengerin membuat telingaku gatal saja,”

“Kamu, itu harus sadar diri kalau numpang di sini, gedebak-gedebuk kayak rumah sendiri. Ngaca sebelum kamu kesini itu anakku, Abidin. Mungut kamu dari mana? Sekarang hidupmu enak berkat anakku, jaga sikap disini! Kalau tidak mau tinggal disini angkat kakimu, kamu kira aku ikhlas punya menantu seperti kamu, hanya bawa modal raga saja.”

Sindi hanya meringkuk menahan pedih di hati tidak satu kali, dua kali, laki-laki yang di sebut mertua itu sudah berkali-kali menghinanya, memang dari dulu ia tidak merestui hubungan Sindi, dan Abidin.

Buliran bening keluar setetes, demi setetes di pelupuk mata Sindi. Ia merasa sudah tidak tahan untuk tinggal di rumah itu, Rumah mewah sepeti surga. Namun, neraka bagi Sindi. Setiap hari ia di cibir oleh Mertuanya karena tidak bekerja dan merepotkan saja. Apa lagi Sindi dari keluarga tidak punya.

Seperti biasa Sindi hanya diam dan menerima makian dari Ayah suaminya itu, seseorang yang di segani dan dianggap malaikat bagai Suaminya itu.

“Kamu kira, aku tidak milih-milih cari menantu? Sudah kusiapkan calon istri sempurna buat, Abidin. Tapi kamu menghalangi, kamu datang begitu cepat seolah-olah anakku kau jebak,”

Seperti ingin menjerit tapi tak berani Sindi memilih diam daripada ucapannya menyakiti hati orang tua, bagaimana pun orang tua tetaplah orang tua.

“Sudah, Pah. Sudah!” suara baru terdengar dari bibir Hani setelah beberapa kalimat keluar dari bibir suaminya dan membaku hantam hati menantunya.

“Sudah, Pah. Biar aku nanti yang kasih tahu, Sindi.” Wanita itu mencoba melerai.

“Brak”

Terdengar nyaring di telinga, membuat Raka yang tertidur bangun seketika menangis karena kaget.

“Ya Allah...,” ucap lirih Sindi, setelah Raka menangis ia kembali mengelus punggung Raka agar tidur kembali. Seperti itulah setiap hari Sindi ia harus senam jantung.

Hanya demi keutuhan rumah tangga bersama Abidin, memilih untuk diam dan tetap tinggal bersama mertuanya, walaupun kadang ia merasa lelah, dan ingin mengakhiri semuanya.

Semua ini karena Abidin jika ia setuju pisah rumah dengan orang tuanya maka perselisihan tidak akan terjadi, Sindi pun akan merasa nyaman.

Seharian menunggu Suami pulang, Sindi merasa bahwa dirinya selama ini terlalu bodoh, ia rela di injak harga diri demi melindungi rumah tangganya.

“Sudah bangun, Ma?”

Abidin sudah tersenyum meringis di samping Sindi, ia merasa senang tes wawancara lolos bahkan ia akan terbang lagi ke Dubai, entah mengejar Cinta, atau Cita-cita, hanya Tuhan dan Abidin yang tahu.

“Kamu, sudah pulang?”

Sindi ketiduran setelah ia mendapatkan sidang dadakan dari Ayah mertuanya. Ia merasa capek menangis sehingga ketiduran.

“Riri, mana?,” kata Sindi melihat seisi kamar. Namun, putri kecilnya tidak ada.

“Di kamar, Ibu,” sahut Abidin.

Sindi melangkah keluar sekarang ia sudah berani keluar kamar karena Abidin sudah ada, ia mengambil piring dan menuangkan nasi dengan kecap ditambah kerupuk itu saja yang berada di meja makan.

Sindi merasa lapar ia tidak berani mengambil nasi setelah sidang dadakan.

Di lahap nasi beserta kecap, dan kerupuk secara brutal, Abidin bergidik ngeri melihat istrinya seperti orang kerasukan.

“Ma, pelan-pelan. Nanti keselak,”

Sindi melengos tidak menghiraukan Abidin, ia masih sakit hati karena ucapan orang tua yang selama ini ia segani.

“Ma, pelan-pelan,” kata Abidin lagi ia takut istrinya keselak.

Sindi tetap melengos tidak mau menatap wajah Ayah dari anak-anaknya itu.

“Ma, wawancaraku lolos. Mama mau minta apa? Nanti aku belikan,”

Sindi tetap bungkam dan melahap nasi yang masih berada di piringnya.

Tap__tap__tap

Hentakan kaki berjalan menuju ke meja makan, Sindi bergegas melangkah ke pencucian piring, meskipun nasi yang berada di piring masih ada ia tetap membuangnya dan mencuci piring.

“Gimana, Tesnya?,” Ayah mertua Sindi mendatangi Abidin dan ikut duduk di meja makan.

Sindi tetap fokus mencuci piring sesekali ia melengos ke belakang dan melihat Ayah mertuanya beserta Suaminya bercengkerama.

Sindi berjalan malas melewati Ayah dan Anak itu di meja makan, ia merasa muak dengan semuanya, ia rasa sudah tidak sanggup lagi. Mending hidup di desa bahagia meskipun rumah sepetak di sayangi keluarga daripada hidup seperti orang kaya. Namun, nyatanya nelangsa.

“Ma, sini duduk sama kita,” kata Abidin menepuk kursi kosong di sebelahnya.

Netra dingin Ayah Abidin terlihat jelas, sesekali Sindi melirik dan kembali menatap ke sembarang arah. “Mau kasih nen, Riri,” jawab Sindi mencoba menghindar.

Rembulan terang menyinari bumi, gemerlap cahaya bintang berkelap-kelip di atas sana, malam ini Sindi sudah tidak tidur sendiri lagi, ia sudah di temani suami tercinta. Bahkan malam itu terasa dingin membuat tubuh bergelora.

Abidin membersihkan diri, Sindi menelisik di sembarang tempat lalu ia merogoh saku celana suaminya, ia sedari tadi mencari benda pipih. Sindi penasaran kenapa malam kemarin suaminya Online tapi tidak membalas Chat dan mengangkat teleponnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status