Share

Bab 4

Namun, benda pipih itu tidak berada di saku celana, ia kembali menelisik tas berwarna hitam lalu  merogoh semua sudut tas.

Dan akirnya menemukan benda pipih itu, super kilat Sindi merazia ponsel suaminya. Seketika di buat kaget oleh benda pipi itu, netranya melihat panggilan Videocall masuk dan keluar.

“Anjani,” tangan Sindi mulai bergemetar melihat panggilan masuk dan keluar bahkan ia tidak pernah di telepon oleh suaminya, tapi justru suaminya menelepon  wanita lain.

Tetap penasaran dengan isi Chat yang belum sampat ia baca, Riri  menangis meminta Susu.

Ponsel di letakan di atas Nakas Sindi bergegas menuju Riri, lalu memberi asi kehidupan.

Setelah setengah jam Riri menyusu, Sindi kembali lagi mengecek ponsel Abidin, tapi dengan berat hati Chat yang beluk sempat ia baca di hapus oleh suaminya. Sindi mencengkeram ponsel Abidin dan menaruh kembali di atas nakas dengan kasar.

BRAK...

begitu bunyinya.

Sindi terisak dan duduk di tepi ranjang memandangi Raka bermain dan Riri mengguling ke kanan, dan ke kiri.

Ia merasa sakit hati dengan sikap Suaminya bahkan nama Anjani dulu pernah hadir di dalam hidup suaminya dan bisa disebut mantan terindah.

Rahangku mengeras melihat panggilan telepon dari mantan kekasih suamiku, ia setega ini membodohiku, bahkan aku sudah susah payah untuk memperjuangkan rumah tangga ini, semakin ke sini semakin bulat keputusanku untuk berpisah darinya.

Malas rasanya di rumah ini,  ingin sekali kaki ini melangkah pergi menjalani hidup yang bebas tanpa tekanan dari orang lain.

“Kita cerai saja, Mas!”

Dia terdiam, dan berhenti mengunyah nasi goreng yang masih berada di dalam mulutnya, netranya menatapku dengan tajam.

“Bicara omong kosong, apa lagi ini, Sin? Sudah jangan bercanda, lanjutkan makan malam, cepat dihabiskan nanti, Riri, dan Raka keburu nangis.”

“Aku serius, Mas. Kita sebaiknya berpisah saja itu lebih baik,” ucapku, rasanya berat untuk berkata seperti ini.

Ia meletakan sendok di atas piring, sembari meneguk air putih ia menatapku intens.

“Sin, pernikahan ini sakral kamu tahu kan perceraian di haramkan di agama kita? Kalau masih bisa di pertahankan kenapa tidak, hanya masalah sepele kamu besar-besarkan, lihat Riri, dan Raka. Kamu mau anak kita nanti seperti kamu?”

“Maksud, Mas. Seperti aku gimana? Jelas in!”

Aku meletakan sendok dengan kasar, merasa tersinggung dengan ucapan suamiku. Memang orang tuaku sudah bercerai ketika aku masih duduk di kelas empat sekolah dasar, kenapa harus di sangkut pautkan dengan masalah orang tuaku?

“Kalau kita berpisah menuruti ego kita, anak-anak yang jadi korban, seharusnya kamu berpikir terlebih dahulu, gimana nasibmu setelah orang tuamu berpisah tidak jelas, kan?  Terus apa kamu bahagia hidup tanpa kedua orang tua? Aku mohon pikir lagi keputusan konyolmu itu, Sin!” ia pergi meninggalkanku mematung di meja makan, mungkin selera makannya sudah hilang, ketika aku mulai membahas perpisahan yang sempat tertunda kemarin.

Aku terdiam dan berpikir sejenak, sudah kupikir matang-matang, keputusan sudah bulat tidak bisa di ganggu gugat, kecuali, ia mau keluar dari neraka ini bersamaku, dan tinggal kos ataupun kontrak di luaran sana bersama anak-anak.

“Mas, aku belum selesai bicara,” ucapku menarik pergelangan tangan suamiku yang hendak pergi meninggalkanku.

“Apa lagi? Cukup aku sudah tahu apa yang ingin kamu bicarakan, aku rasa itu tidak penting, dan buang-buang emosiku saja, habiskan nasimu, dan tidurkan anak-anak,” terdengar lantang suara laki-laki yang disebut suamiku itu.

“Mas!” teriaku, ini kesempatan emasku untuk mencecar habis Mas Abidin tentang panggilan telepon bersama Anjani, kedua mertuaku pergi keluar, ini kesempatanku untuk meluapkan segala emosiku.

“Mas!” teriakku lagi setelah panggilan pertamaku tak dihiraukan.

“Apa?! Sudah jangan membuat aku emosi, Sin! Aku lelah.”

Dia bilang lelah, padahal selama ini aku yang lelah, lelah menghadapi Ibunya yang suka mengatur pengeluaran, Ayahnya yang suka menindasku, hanya satu permintaan saja yang aku minta tidak pernah dikabulkan olehnya, aku hanya minta keluar dari rumah ini, cari kos, atau kontrakan yang bisa membuat hari-hariku nyaman tanpa ada penekanan, bukan meminta sebongkah berlian dan harta melimpah, aku hanya mau kita bisa hidup mandiri berdua bersama anak-anak itu saja. Bukannya sandang, dan mapan itu suatu kewajiban suami? bahkan untuk tinggal di kos kecil tidak akan memakan habis hartanya.

“Ada apa lagi ini, Din?!” suara familier itu mengagetkanku, suara yang selalu menusuk gendang telingaku dan membuat hatiku sakit setiap hari, suara Ayah dari suamiku, beliau tiba-tiba datang, kukira beliau masih  berada di luar, tapi dugaanku salah, berarti beliau mendengar semua percakapan kami tadi.

“Kurang enak apa lagi kamu tinggal disini, kamu meminta cerai anak saya, silakan. Anak saya sudah bertanggung jawab, menafkahi kamu, memberi apa yang ia punya, mengutamakan kamu, tapi apa balasanmu, kamu meminta pisah, silahkan!”

Jantungku mulai tidak normal, tekanannya sangat cepat, keringat dingin keluar dari kulitku, terasa dingin telapak tanganku  melihat tatapan dingin Ayah mertuaku.

“Ayah, Abidin mohon, ayah tidak usah ikut campur dengan masalah rumah tangga kami,”

“Ini kesalahanmu, memilih istri yang salah, kamu mungut di jalan, dan membawanya pulang tanpa tahu bibit bobot keluarganya, dari dulu ayah sudah melarangmu untuk menikahi wanita ini, tapi kamu saja yang susah diatur.” Imbuhnya membuat hatiku semakin sulit bernapas.

Tumpah buliran bening di peluluk mataku, terasa sakit kata-katanya selalu saja mengucap ‘mungut di jalan’, serendah itu aku di mata mertuaku, selama ini memang beliau tidak pernah menyukaiku, walaupun benar pun tetap salah di matanya.

“Ayah, Abidin mohon, biar kami menyelesaikan masalah rumah tangga kami sendiri, Ayah!” tegas Abidin setelah melihat buliran bening di pelupuk mataku terjatuh, mungkin ia baru sadar kalau hatiku selama ini sakit dengan lisan orang tuanya.

“Kalau wanita ini meminta cerai, ya sudah ceraikan saja! Wanita di luaran sana masih bayak, Nak!”

Sepasang matanya menatap sinis aku, membuatku bergidik ngeri.

“Wanita yang tidak tahu rasa bersyukur ini tidak pantas di sandingkan dengan kamu, Abidin!”

Ini yang membuatku tidak betah tinggal di rumah ini, lisannya selalu menyakitiku, aturan yang membuatku susah bernapas, setiap kami bertengkar beliau selalu ikut campur.

“Cukup, Ayah, cukup! Hinaanmu selama ini saya terima dengan senang hati. Namun, kali ini tidak lagi, sudah cukup selama empat tahun ini, percuma ayah Shalat liwa waktu kalau lisannya menyakiti orang lain!”

Entah kekuatan, dan dorongan dari mana aku bisa menjawab semua hinaannya, mungkin karena hati ini sudah tidak bisa menampungnya lagi.

“Terus kamu tidak terima, Hah!” kedua telapak tangannya mengepal aku tahu jika Ayah mertuaku saat ini sangat emosi.

“Sudah cukup, Ayah!” teriak mas Abidin.

“Sudah ceraikan saja wanita ini, Nak! Ayah sudah tidak sudi lagi mempunyai memantu seperti dia, masih banyak wanita di luaran sana, kamu tinggal tunjuk pasti ada wanita yang lebih baik dari wanita ini,” ia menunjuk wajahku, menatap sinis ke arahku.

“Ayah, Abidin mohon, kembali ke kamar, biar kami menyelesaikan masalah rumah tangga kami sendiri!”

“Sudah kere, di pungut kesini tidak tahu diri, bisa-bisanya minta cerai, memang bisa dia hidup tanpa anak saya, belagu kayak bisa cari uang sendiri saja,” gerutu ayah mertuaku seraya melangkah pergi meninggalkan kami di ruang makan.

Aku terduduk lemas di kursi, mencerna semua caci-maki orang yang selama ini aku segani seperti orang tuaku sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status