Share

Bab 5

“Sin,” suamiku mencoba menyentuhku, aku terdiam mencerna kata-kata yang masuk ke dalam indra pendengaranku, aku menepis tangannya, malas sekali di sentuh olehnya, semua penghinaan ini akibat ulahnya coba saja dia mau kuajak hidup mandiri, dan pisah rumah maka aku tidak akan stres seperti ini setiap hari.

“Sin, maafin semua kata-kata, Ayah!”

“Cukup, Mas. Segera urus surat penceraian kita, keputusanku sudah bulat, kecuali kamu mau pisah rumah dan secepatnya cari kos, atau kontrakan!” tegasku.

Terlihat wajah suamiku pucat pasi, sudah kuduga dia tidak akan mau pisah rumah, dan memilih untuk berpisah denganku.

“Mas!” teriakku lagi sedikit lirih, “Jawab, Mas!” aku merasa Frustrasi lalu masuk ke kamar menenangkan diri sendiri.

Mengadakan makan malam dadakan, di Restoran bernuansa coklat tampak klasik berpanduan dengan suara seruling, suara nyanyian tempo dulu, nuansa seperti berada di kota Yogya, tempat makan Lesehan pak Jarwo yang lagi viral saat ini.

“Hey, kamu apa kabar?” laki-laki berkulit putih berwajah tampan, menyapa Abidin sekeluarga, ia berdiri menyalami satu persatu orang yang baru datang.

“Loh, ada kak Bima juga?” tanya Abidin.

Ia hanya mengangguk dan mempersilahkan duduk. “Ya ampun, Sin. Kamu terlihat semakin kurus, lihat wajahmu juga pucat, kamu sakit?” laki-laki itu menanyai semua yang bersangkutan dengan Sindi, ia tampak khawatir dengan keadaan adik iparnya itu.

“Tidak, Kak. Sindi baik-baik saja, Kakak apa kabar?”

Sorot mata Abidin merasa tidak suka, mereka berdua memang selalu akrab, apa lagi Bima dulu sempat dekat dengan Sindi.

“Aku baik.” Jawabnya.

“Silakan mau pesan apa, sesuka hati kalian.” Laki-laki tersebut memberikan daftar menu ke, Abidin, dan sekeluarga.

“Loh, Ayah sama Ibu nggak satu mobil sama kalian?” tanyanya.

“Tidak, Kak.”

“Haduh, keponakanku lucu-lucu sekali, Raka, Riri. Sini biar Kaka gendong,” laki-laki tersebut mengulurkan tangannya hendak mengambil Riri yang masih bermanja di pangkuan Sindi.

Abidin menatap tajam Sindi, ia merasa tidak suka dengan kedekatan Kakak, dan Istrinya.

“Adik kandungnya di cueki ni dari tadi tidak di tanya sepata kata pun,”  protes Abidin, Bima hanya senyum memperlihatkan gigi rapinya.

“Ya, ampun. Kita kan sering ketemu di kantor, jangan cemburu lah,” jawab Bima terkekeh.

Bima, salah satu Manajer di perusahaan PT, Mukti. Ia menjadi atasan  Abidin di kantor, ia termasuk orang yang supel, menyenangkan, dan mudah bergaul. Sebelum Sindi menikah dengan adik kandungnya ia sempat dekat dengan Bima, tapi entah mungkin mereka tidak berjodoh.

“Kak Nana, gak ikut, Mas?” tanya Abidin menyelidik.

“Kamu ini kudet ya, Aku, dan Nana baru saja selesai sidang perceraian. Kami sudah resmi berpisah, Din.”

“Ya, ampun. Kenapa, Mas?” tanya Sindi.

“Nana memilih Laki-laki lain, mungkin kita Ngga jodoh, ya sudah jangan di bahas lagi, kamu pilih menu yang mana nanti, mas pesenin.”

“Ya ampun, kurang apa, mas Bima ini, sudah mapan sama istri baik pengertian, tapi mbak Nana malah memilih laki-laki lain, sangat di sayangkan” Sindi menggelengkan kepalanya ia kaget mendengar kabar perpisahan Kaka iparnya, padahal mereka terlihat akur bahkan tidak pernah ada kabar miring tentang pernikahan Bima, dan Nana.

“Orang itu, sawang sinawang. Belum tentu kehidupan orang lain kamu lihat bahagia menurut dia tidak, jangan lihat orang itu dari segi sampulnya saja, Sin,” ucap Abidin, seolah-olah menyindir keras Kaka kandungnya, memang mereka selama ini tidak begitu dekat, entah kenapa seperti itu.

Bima mendesah kesal atas sindiran keras yang terlontar di bibir Abidin, dan ia berkata, “Jadi mau pesan makan, atau tetap berdebat meja bundar?” menerbitkan senyuman di bibirnya, ia tetap santai meskipun kata-kata adiknya membuatnya jengah.

“Hay, sudah lama menunggu ya, maaf telat 15 menit,” datang lagu satu keluarga, wanita itu tampak elegan dari balutan dress yang ia kenakan.

“Hay, mbak apa kabar? Mbak Ayu juga hadir. ” Sindi langsung melebarkan senyumannya, berdiri dan menyalami Kaka iparnya lalu mencium pipi kiri-kanan Kakak ipar perempuannya itu.

“Aku, baik. Kamu cantik sekali pake gamis ini, perfeckto,”

“Hallo, Rere, apa kabar?” Sindi menyalami anak kecil yang sedang berdiri di depan Mamanya, ia anak semata wayang Ayu kakak kandung Bima, dari hasil pernikahannya.

“Di traktir sama Bos manajer, syukuran dalam arti apa ini? Jangan bilang syukuran kalau, Mas Bima sudah resmi bercerai.” Ayu duduk di sebelah suaminya, Dito suami Ayu menyapa kedua bersaudara yang sedari tadi menunggunya.

“Ya Ngga lah, Dek. Kamu ini ada-ada aja,” jawab Bima dengan wajah memerah, karena memang benar ucapan Adik kandungnya tersebut.

“Sudah kuduga,”Ayu menggelakkan kepalanya ia merasa heran dengan, Kakanya satu ini  memang ia tidak akan pernah berubah, sudah beberapa kali ia bercerai dengan istri-istrinya.

“Ayah sama Ibu, kok belum datang? Apa mereka kesasar? Kenapa Ngga bareng kamu saja sih, Din? Kan jadi repot kalau begini, lagi pula kalian kan satu rumah, bisa-bisanya bawa mobil sendiri-sendiri,” Ayu memilih daftar menu, “Aku sudah lapar, kalau nunggu Ibu, dan Ayah bisa pingsan kelaparan,”

“Ya ampun Mbak, bagaimana kabarku yang dari tadi menunggu mbak Ayu 15 menit di sini, baru datang sudah protes kelaparan,”

“Huss ... Diam kamu, Din. Yang traktir makan saja  diam Ngga  protes, Iya kan, Mas,” Ayu mengerlingkan matanya, ia menoleh ke arah Bima.

“Iya Ngga protes, tapi aku ngebatin, Yu.” Bima terkekeh sedari tadi mendengarkan Adiknya mengoceh terus, bahkan ia memandangi Adik iparnya yang terlihat santai, diam, dan tenang.

“Biasa saja kali, Mas. Lihatnya, Ngga takut sama pawangnya emang kamu, Mas?” Ayu menggelengkan kepalanya kembali, ia dari tadi memperhatikan Bima melihati Sindi terus menerus, bahkan  Abidin terlihat geram melihat Kakak kandungnya seperti itu.

Abidin mendesah kesal ia merasa tidak nyaman, “Ma, sini.” Abidin menepuk kursi di sebelahnya, Sindi pindah ke samping dia, memang dari tadi Sindi berada di depannya, dan Bima berada di samping Abidin.

“Kelihatannya nanti akan ada peperangan ke abat sembilan belas deh di rumah,” sindir Ayu menahan tawa, ia mengerti Abidin sudah mulai merasa gerah.

“Dito, kamu kasih makan apa sih Adikku ini, kok nerocos melulu dari tadi, membuatku kesal saja,” Bima mulai protes karena pemandangannya telah pindah tempat.

“Sudah-sudah diam, itu Ayah sama Ibu sudah datang,” timpal Dito, ia melihat Hani, dan suami sudah datang mengenakan baju kembar, Hani mengenakan gamis berwarna putih, begitu juga suaminya memakai baju hem berwarna putih, tidak lupa juga tas yang ia bawa tas branded.

“Hay, maaf ibu, sama ayah telat dikit.” Hani menyengir karena merasa bersalah, padahal berangkatnya lebih dulu daripada Abidin.

“Kesasar, maklum kudet tidak paham sama daerah sini, ayahmu juga tidak paham sama G****e map.” Hani duduk bersebelahan dengan Bima, anak pertamanya.

“Tadi kan, Abidin ajak Ibu bareng, Ibu saja mengeyel tidak mau satu mobil sama kita, iya kan, Ma?” Abidin menoleh ke arah istri tercintanya, lalu Sindi hanya mengangguk.

Mana mungkin mau ayah Abidin harus satu mobil sama menantunya, lihat wajahnya saja malas apa lagi harus satu di ruang yang sama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status