Share

Bab 6

Pove Sindi. 

‘Kasihan, kak Bima.  Masak iya laki-laki tampan dan memanjakan istri justru dikhianati,  lalu apakabar dengan aku yang selama ini sabar menghadapi suamiku.’ 

Aku menatap jenggah Mas Abidin,  ia tampak sewot setelah aku duduk di depan Kak Bima,  padahal kami hanya mengobrol sudah lama tidak berjumpa. 

“Jadi mau pesan apa ini? Biar aku pesankan,  tuh lihat Ayu sudah kelaparan nunggu, Ibu.” Kata-kata Kak Bima membuyarkan lamunanku,  ia menyodorkan sehelai kertas menu.

“Ma, mau pesan apa?” Tanya Mas Abidin. 

“Terserah,” sahutku,  iya memang aku masih marah sama dia soal tadi, sebenarnya malas juga ikut acara ini,  apa lagi harus bersih tatap sama Ayah mertuaku. 

“Sama suami itu harus sopan,  tidak boleh bicara seperti itu. Ayu, kamu kalau bicara harus sopan ya sama, Ditto.” Kata laki-laki yang kusebut dengan Ayah mertua ini mulai bertingkah, dia mulai memanasi keadaan dan menyalahkanku. 

“Sudahlah,  Ayah,  mau pesan apa?” Kak Bima,  menyodorkan menu ke depan Ayah mertua, aku tahu dia sudah paham jika kata-kata Ayahnya barusan nyindir aku. 

“Dasar orang desa,  liar ya tetap liar. walaupun sudah lama di Kota tetap saja tidak berubah,” ucap Ayah mertuaku,  aku tahu jika dia sedang mengumpatku walapun suaranya agak lirih aku masih bisa mendengarnya. 

Ya Allah,  mulutnya tetap saja tajam,  gak di rumah gak di sini sama saja,  selalu sinis terhadapku,  terasa sesak hati ini.

“Mas,  aku nitip, Riri. Mau ke kamar mandi sebentar,” kuserahkan Riri kepangkuan Mas Abidin,  daripada mendengar ocehan mertua lebih baik aku menghindar saja,  apa lagi air bening di pelupuk mataku ingin segera jatuh.

Berjalan setengah lari,  kumenuju toilet,  air bening berhasil mendarat di pipi keduaku,  dadaku terasa perih jika mendengar ocehan  Ayah mertua, entah kenapa hatiku sangat sensitif jika menyangkut beliau. 

Kusenderkan kepalku di dinding,  aku terisak rasanya tidak sanggup lagi,  jika bukan karena anak-anak aku memilih pulang ke Desa,  hidup bersama Nenek walaupun kekurangan tapi bahagia. 

“Sin....”

“Mas Abidin....” Kuhapus linangan air mataku segera, aku takut jika dia melihatku menangis.  “Mas Bima!” Aku menoleh kebelakang ternyata bukan suamiku melainkan iparku. 

“Mas,  ngapain kasini?” Bahkan Mas Abidin tidak menyusulku setelah apa yang Ayahnya ucapkan untukku. 

“Kamu nangis?” Mas Bima memberikan Tissu, dia tahu jika Ayahnya memang tidak menyukaiku.  “Maafin, Ayah, ya.” Mas Bima mengusap pipiku yang masih basah segera ku tepis tangan kekarnya. 

“Mas,  aku tidak apa-apa,  sebaiknya, Mas Bima,  kembali kesana. Aku takut kalau suamiku salah paham lagi. Aku mohon!”

“Baiklah,  segera kembali makanan sudah datang.  Tenangkan hatimu dulu, jangan menangis.” 

“Iya Mas. Terimakasih tissunya,” ucapku, kuperlihatkan senyuman semanis madu yang kupunya,  ia membalas senyumanku lalu pergi. 

Coba saja Mas Abidin seperti Kak Bima,  pasti bahagia hati ini,  Ah...  Kenapa pikiranku jadi begini dosa Sindi dosa,  kuusap wajahku dengan air,  kumatikan keran air,  kuusap bekas air di wajahku pake tissu, kubalut sedikit bibirku dengan lipstik warna nude, setelah selesai aku kembali ke meja makan. 

Hidangan sudah datang,  pesanan sudah berada di hadapan masing-masing,  Sindi baru kembali dari toilet,  ia duduk di samping suaminya. 

“Kok,  lama?  Ngapain saja di Toilet?” Abidin bertanya, ia tampak marah sudah terlihat dari lirikan matanya. 

“Iya,  Maaf.” Sindi menjawab, ia duduk dan kembali merapikan kerudungnya yang terlihat berantakan. 

“Ngapain saja di Toilet? Sampai kerudung kamu berantakan!” Abidin menatap tajam Sindi,  rahangnya mengeras sudah bisa di tebak jika Abidin sangat marah namun,  masih bisa menahannya. 

“Sudahlah,  kita disini ingin makan bukan berdebat yang unfaedah!” Akhirnya Ayu angkat bicara ia tahu jika adiknya sedang marah. 

Bima hanya mengelangkan kepalanya ia tampak santai dan berkata, "Ayo makan, jarang-jarang kita kumpul seperti ini. Sin, kalau kurang bisa pesan lagi," kata Bima ia tersenyum menoleh kearah Sindi, Sindi menjawab dengan senyuman.

Brak...

"Cukup, Sin, Ayo pulang!" Abidin meletakan sendok dengan kasar, tampaknya ia sudah tidak sangup lagi menahan amarahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status