Share

Bab 7

"Kalian, tidak menghargai undangan, Bima." Ayah mertua Sindi akhirnya angkat bicara ia tampak menghela napas menetralisir amarahnya agar tidak memuncak. 

"Oh, jadi yang ngundang ini, Kak Bima? Bukan Ayah atau Ibu? Jika dari awal kalau, Kak Bima, yang ngundang lebih baik kami tidak ikut hadir." Abidin meraih kunci mobil miliknya ia mencengkram tangan Sindi.

"Mas, kamu kenapa? Mas  lebih baik kita makan, dari tadi kamu belum makan, kan?" 

"Aku sudah kenyang. Ayo pulang!" Abidin mencengkram tangan Sindi sampai berdarah.

"Mas ... lepas sakit!" Ucap Sindi ia melihat tangannya berdarah, namun Abidin engan untuk melepaskan tangannya.

"Abidin, apa ini caramu memperlakukan wanita. Aku bilang lepas!" Bima mulai angkat bicara ia meraih tangan Abidin, dan melepaskan cengkramannya, lalu ia meraih tangan Sindi dan berkata, "Apa ini sakit, maafkan adikku, yang tidak becus menjadi suami."

Bug... Bug... Bug..

Bogem mentah mendarat di wajah tampan Bima, Abidin sekuat tenaga memukul rahang Bima sampai berdarah.

"Cukup Abidin tenangkan dirimu!" Hani meraih tangan anaknya, ia melerai pertengakaran kedua bersodara itu.

Bima tidak terima dan membalas bogem mentah Abidin. "Rasakan ini, Abidin, Rasakan!" Bima tetap membabi buta adik kandungnya ia terus meninju perut Abidin berulang kali dan berkata, "Lebih baik kau enyah saja dari muka bumi ini!".

"Mas cukup, Mas!" Sindi memegang tangan Bima lalu ia reflek memeluk Bima, Sindi takut jika Ayah dari anak-anaknya sampai terluka parah dan dia tidak tega jika suaminya kesakitan.

"Bahkan kamu berani memeluk, Bima, dasar Anak liar!"

Plak... Plak... Plak...

Sindi tersungkur, tangan kekar Ayah mertuanya mendarat dikedua pipinya sampai memerah, bibirnya sedikit robek dan mengelurkan darah. Baru kali ini ayah mertuanya bermain tangan, selama ini ia tidak pernah memukul menantunya.

"Ayah cukup!" Ayu meraih Sindi, ia menenangkan Sindi, Riri dan Raka menangis. 

Ditto meraih Riri dari gendongan Sindi, bayi berumur satu tahun setengah itu kelihatannya kaget.

"Mama ... hiks ... hiks ...." Raka menghampiri Sindi ia memeluk Ibunya.

"Ayah kenapa harus menampar, Sindi!" Lagi-lagi Bima yang membela Sindi sedangkan Abidin hanya terdiam, ia meringgis memegangi perutnya.

"Ayah! Sindi itu perempuan tidak sepatutnya ia diperlakukan kasar seperti itu," ucap Bima lagi, ia meraih tangan Sindi membantu adik iparnya berdiri, Bima mengulurkan tangannya, telapak tangan Sindi terasa dingin peluhnya keluar sebiji jangung ia sangat tekakutan.

Bug... Bug... Bug...

Abidin meninju rahang Bima lagi, kali ini bogem mentahnya sangat keras sisah tenanganya ia keluarkan semua dan berkata, "Berani sekali kamu menyentuh tangan istriku lagi. Akan aku bunuh kamu sekarang juga, Bima!" Abidin berteriak ia menggepalkan tangannya, Netranya melotot seoalah-olah ingin lepas dari sangkarnya.

"Cukup Abidin! Bima Cukup!" Hani berteriak ia menangis histeris, hatinya terasa pilu kedua anaknya ini selalu saja bertengkar. "Ibu mohon, jangan bertengkar!" Hani tergugu, lututnya terasa lemas bahkan ia ambruk terduduk si hadapan suaminya.

"Ibu... Ibu...." Ayu meraih tangan Ibunya, ia merogoh tas miliknya mengambil benda berwarna hijau, lalu menuangkan minyak kayu putih sedikit ke hidung Hani. "Ibu... bangun, Bu...." Ayu mengusap telapak tangan Hani, Bima, Abidin dan Ayah mertua berhampur memeluk Hani wanita tersebut tampak tak sadarkan diri.

Sindi masih diam mematung ia masih shock dengan pertengaran barusan, Sindi tidak berani mendekat ia takut jika Ayah mertuanya menamparnya lagi, sedangkan Ditto, ia mengajak Riri, Raka dan anaknya menjauh ke taman.

Hati Sindi mulai teriris bahkan darah di bibirnya masih segar, untuk menenangkan sang istri saja tidak.

"Tega kamu, Mas." Hati Sindi pilu dadanya merasa sesak bahkan ia terabaikan.

"Bima, Abidin. Berjanjilah dengan, Ibu, kalian jangan bertengkar terus ya, Nak." Hani mulai sadar, ia bersandar di pangkuan suaminya.

"Bawa ibu ke rumah sakit segera!" Ayu merasa panik.

"Tidak, ibu baik-baik saja." Hani meraih tangan kedua putranya, matanya tampak berkaca-kaca ia merasa sedih jika kedua putranya bertengkar.

"Jangan bertengkar lagi ya, Nak. Ibu sayang kalian." Hani kembali tergugu ia merangkul pundak kedua putranya Bima, dan Abidin hanya mengangguk.

"Maafkan, Abidin, Bu."

"Bima, juga minta maaf, Bu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status