Langkah Lena dan Alen memasuki lantai berikutnya terasa berat. Udara di sini kental dengan ketegangan, seperti ruangan yang menyimpan terlalu banyak rahasia. Dinding-dindingnya dipenuhi coretan merah tapi bukan darah. Itu tinta. Tinta yang pernah menuliskan nama-nama tokoh, sebelum mereka dihapus dari cerita.Di tengah ruangan berdiri sebuah kursi editorial kosong, dengan pena menggantung di udara, menari-nari tanpa arah. Tapi Lena tahu… seseorang sedang mengamatinya.“Namamu tak pernah ditulis sepenuhnya,” suara itu terdengar datar namun tajam. “Maka aku bisa mencoretnya kapan pun.”Dari balik bayangan, muncul sosok berjubah panjang tanpa wajah hanya siluet kepala, tapi tidak ada identitas, tidak ada ciri. Ia membawa gunting besar dan naskah tebal yang robek di bagian tengah.“Aku adalah Editor Tanpa Nama.”“Apa yang kau edit?” tanya Lena.“Segalanya. Termasuk alasanmu hadir di cerita ini. Termasuk Alen. Termasuk motivasimu.”Alen tiba-tiba mundur selangkah. “Lena… aku… aku tidak ing
Menara tinta menjulang seperti bayangan dari ide yang dibatalkan. Lena memandangi siluet hitamnya dari kejauhan, tiap puncaknya tampak bergerak seperti goresan pena yang hidup. Ia tahu ia harus ke sana, tapi dunia di sekitarnya masih asing seakan menunggu untuk ditulis ulang… atau dimusnahkan.Di tengah perjalanan, Lena memasuki kota kosong bernama Outline, kota yang sempat dirancang sebagai latar cerita, tapi tak pernah diisi. Jalan-jalannya ada, bangunannya berdiri, tapi tak satu pun penghuni tampak. Hanya tiupan angin yang terdengar, membawa serpihan kertas dengan coretan ide-ide mentah.Di tengah kota itu, ia mendengar suara:"Akhirnya... ada yang datang."Lena berbalik, dan mendapati seorang lelaki muda duduk di tangga perpustakaan yang belum memiliki judul. Wajahnya tampak akrab, meskipun ia yakin belum pernah bertemu dengannya. Tapi di matanya, Lena melihat sesuatu yang aneh seperti garis besar wajah yang belum diwarnai oleh emosi yang nyata."Siapa kamu?""Namaku... seharusnya
Halaman yang Tak Pernah DicetakLena terbangun di tengah kekosongan yang nyaris sempurna. Tidak ada langit. Tidak ada tanah. Tidak ada huruf.Hanya suara denyut samar yang berasal dari dalam dadanya sendiri.Ia melangkah pelan, seolah tanah tercipta di bawah kakinya setiap kali ia maju. Dunia di sekitarnya seperti menunggu untuk ditulis kosong, diam, tapi penuh potensi. Dan Lena tahu, ia bukan berasal dari dunia yang Adrian kenal. Ia adalah sesuatu yang lain.“Aku… bukan karakter,” bisiknya. “Tapi kenapa aku ada?”Suara aneh, seperti tinta yang ditumpahkan di atas kertas, menggema dari belakangnya. Ia berbalik. Di sana, berdiri seorang lelaki tua dengan mata transparan dan pena tergantung di udara, tidak menyentuh jemari atau tali apapun. Lelaki itu hanya berkata satu kalimat:"Kamu adalah kemungkinan."Lena mengernyit. “Kemungkinan untuk apa?”Lelaki itu tidak menjawab, melainkan menghilang seperti noda tinta yang menguap, meninggalkan Lena sendirian lagi. Namun kali ini, sesuatu ber
Dunia putih itu kini retak.Retakan pertama muncul di bawah kaki Adrian saat ia menatap versi lain dari dirinya sendiri versi yang dingin, sempurna, dan terstruktur. Dunia ini tidak lagi tenang. Setiap kata yang belum ditulis kini bergetar, seolah tahu bahwa konflik akan segera menggores permukaan halaman.“Aku tidak akan membiarkanmu menulis ulang diriku,” kata Adrian, perlahan maju.Versi lain darinya tersenyum datar. “Tapi aku bukan menulis ulangmu. Aku menulis akhir cerita ini. Dan di akhir itu… hanya aku yang tersisa.”Retakan kedua muncul di langit, tempat bayangan Lena melayang di kejauhan, tak bisa masuk, tapi bisa menyaksikan. Ia menggenggam pena holografik, tapi tak bisa menorehkannya. Dunia putih ini adalah “halaman karakter.” Hanya karakter yang bisa menulis di sini.“Apa yang membuatmu pantas menjadi Adrian yang bertahan?” tanya Adrian kedua.Adrian asli diam sejenak. Ia tahu ia tidak punya jawaban sempurna. Ia pernah ragu. Pernah gagal. Pernah kehilangan Lena, kehilangan
Lena duduk di tengah pusaran cahaya dan bayangan, pena patah di tangan, dan secarik naskah tua yang hampir hancur di pangkuannya. Di sekelilingnya, dinding narasi terus berganti bentuk seperti pikiran yang tak bisa fokus, seperti memori yang tak stabil. Suara Void-0 tak lagi samar. Ia mulai mendiktekan apa yang harus ditulis Lena.“Tulislah dia kembali. Tapi ubahlah sedikit. Hapus luka-lukanya. Hapus ingatannya padamu. Hapus keraguannya. Buat dia jadi sempurna.”Lena menggertakkan giginya. “Tidak,” katanya pelan, tetapi tegas. “Aku tidak menulis untukmu. Aku menulis untuk menyelamatkannya.”Void-0 tertawa. Tawa itu bergetar seperti resonansi naskah-naskah yang pernah dibakar. “Jika kamu ingin menyelamatkan Adrian… kamu harus membunuh versi dirinya yang lama.”Lena tahu maksudnya. Jika ia menulis ulang Adrian, yang lama akan lenyap. Hanya satu versi bisa hidup di satu narasi.Tetapi waktu hampir habis.Fragmen Adrian yang tersisa hanya tinggal setitik cahaya di ruang narasi. Ia berjala
Di langit yang tak memiliki warna, ada suara yang tidak berasal dari mulut mana pun:“Semua cerita berakhir. Tapi beberapa cerita... menolak untuk dilupakan.”Lena berdiri di tengah ruang kosong. Ia telah menulis ulang sebagian dunia. Ia telah menyusun kembali serpihan narasi, menyelamatkan fragmen-fragmen yang bisa dihidupkan kembali. Tapi sekarang, sesuatu yang lebih besar mulai merayap masuk.Sesuatu yang bahkan Penulis Pertama pun tak sempat tulis.Sesuatu yang disebut: Void-0.Void-0 bukan hanya kekosongan. Ia adalah kekosongan yang menyadari dirinya kekosongan. Ia tidak memakan cahaya, ia memakan arti. Ia menghancurkan makna, tujuan, emosi, dan bahkan struktur cerita itu sendiri.Lena pertama kali menyadarinya ketika sebuah kalimat yang ia tulis tiba-tiba hilang begitu saja dari halaman. Bukan dihapus. Tapi tidak pernah ada.Fragmen yang ia tulis berubah menjadi tanda tanya besar. Bahkan ingatannya tentang tulisan itu mulai pudar. Ia merasakan satu rasa asing yang bahkan tak bis