Share

BAB 2. Huru hara mulai terjadi

    Sampai Kapanpun, Aku Tetap Milik Ibuku

Bab : 2

Oleh: Enik Wahyuni

Sungguh sial diriku hari ini, datang ke kantor kesiangan, ditambah lagi perut keroncongan karena tak sarapan. Akhirnya kerjaan banyak terbengkalai. Ah, ini semua gara-gara Salma.

"Bro, kusut amat, tumben," tanya Aldo, teman kantorku.

Aku hanya mencebikkan mulutku, sungguh, rasa lapar mendera membuatku tidak fokus untuk bekerja hari ini. Hingga jam istirahat berlangsung, aku masih berkutat dengan kerjaan yang tak ada habisnya.

"Udah, istirahat dulu, yuk, kita makan dulu, nanti aku yang traktir," tawar Aldo.

Serasa mendapat angin segar, aku langsung menyetujui ajakan Aldo. Rejeki tak boleh ditolak bukan? Ah, Aldo dari dulu memang sahabat paling pengertian.

"Kamu lagi berantem sama istrimu?" ucap Aldo yang seakan tahu apa yang kuhadapi saat ini.

"Lagi kesel sama Salma, gak tahu kenapa hari ini nyebelin banget," ucapku.

"Padahal setahuku Salma itu istri yang baik, nggak banyak menuntut, mungkin kamu kali yang nyebelin?" ujar Aldo memojokkanku.

"Baik darimana, pagi-pagi udah bikin huru hara, minta sarapan malah nge prank, kan gila. Masa aku disuruh minta sarapan sama Ibuku di kampung, gila gak tuh," ucapku menyampaikan sikap Salma tadi pagi.

"Ha ha ha ha … parah lo bro, parah beneran. Kok sampai Salma begitu, emang gak dinafkahin sama lo, bro," 

"Ya dinafkahin lah, cuma kemaren aku pinjam lagi, eh, malah Ibuku di kampung nelpon katanya butuh uang, yaudah aku kirimin,"

"Kamu ngirimin jatah punya bini lo?" tanya Aldo. Dan kujawab dengan anggukan.

Memang begitulah kenyataannya, aku meminjam uang nafkah Salma yang tak seberapa itu, kemudian mengirimkan uangnya kepada ibu di kampung. Sungguh, jika dihadapkan dengan rengekan Ibu yang selalu butuh uang, aku pun tak kuasa untuk menolak.

Sehingga Salma pun akhirnya marah, aku juga tak begitu memperdulikannya. Sudah biasa seperti itu, nanti juga biasa lagi. Mana bisa dia jauh dariku. 

"Kalau biniku, mungkin aku udah gak dibukain pintu masuk rumah," ucap Aldo.

"Lah, memangnya kenapa? Ibu itu harus yang utama, bro, kita sukses kan berkat usaha dan doa Ibu," ujarku kepada Aldo. 

"Lah, yaudah kawin aja sendiri ma Ibu lo, jangan ngawinin anak orang kalau dibuat sengsara," ujar Aldo sambil berlalu pergi.

Ah, Aldo kadang selucu itu. Memang kalau kita gak tegas dari awal, nantinya bakal ngelunjak. Udahlah nanti istri gak nurut sama kita, Ibu pun juga pasti marah. 

Mungkin dia lupa kalau surga kita berada dibawah kaki Ibu. Sampai kapanpun, kita dituntut untuk berbakti sama Ibu bukan? Sedangkan istri membantu suaminya untuk berbakti. Ah, Salma, nanti akan kuajari pelan-pelan caranya mencintai Ibu ku sepenuh hati. 

Disaat sedang berkutat dengan pekerjaan, tiba-tiba gawaiku berbunyi, saat kulihat ternyata Ibu yang menelpon.

"Halo, Rama, ini Ibu sama Fera lagi di stasiun, Ibu mau kerumah ya," ujar Ibu di seberang sana.

"Tapi Rama nggak bisa jemput, Bu, Rama masih kerja, Ibu gapapa kesini sendiri ya," ucapku kepada Ibu.

"Nggak apa-apa, Salma ada kan, bilang sama istrimu suruh masakin kita yang enak, yaudah Ibu mau jalan dulu."

Ibu dan adikku mau kesini, antara senang dan sedih sebenarnya. Senang karena rumah pasti ramai kedatangan keluarga dari kampung. Sedih karena sekarang aku sudah tak pegang uang lagi. Tidak ada jalan lain, aku pun mengajukan pinjaman kepada bos, agar uangnya nanti segera cair.

-------------------

Setelah sampai dirumah aku dikagetkan dengan kehadiran Ibu dan juga adikku, Fera. Mereka nampak asyik bercanda ria di depan TV dengan aneka cemilan yang berserakan dimana-mana.

Mataku mengelilingi pandangan, mencari sosok yang tak nampak hari ini. Dimana Salma? Lantas aku menuju ke kamar, dimana tempat itu adalah tempat terfavoritnya.

"Istrimu itu kurang ajar sekali memang, Ibu dan Fera baru datang bukannya dimasakin malah dikamar terus, gak sopan memang," ujar Ibu.

Benarkah Salma seperti itu, keterlaluan sekali dia. Ada Ibu bukannya disambut malah ditinggal dikamar terus.

"Bentar ya, Bu, coba aku ngomong dulu sama Salma," ujarku kepada Ibu. Kasihan sekali, Ibu baru datang sudah mendapat perlakuan tak enak dari Salma.

"Sal, itu ada Ibu, masa kamu dikamar terus, nggak enak lah Sal, kan ada Fera juga," ujarku agar Salma paham.

"Mas, tadi Vino ngerebutin mainan Sania, yaudah Sania aku bawa ke kamar aja biar gak nangis," ujar Salma.

"Ya, namanya juga anak kecil, Sal, ajarin lah Sania biar mengalah dulu sama Vino, mereka tamu Sal, jadi sebisa mungkin kita menghargai mereka," ujarku pada Salma.

"Ya lihat-lihat dulu lah, Mas, tamunya kayak gimana? Kalau aku harus selalu mengalah ya, kasian Sania kalau begitu," ujar Salma.

"Terserahlah, Mas capek, mau istirahat." ucapku sambil berlalu meninggalkan Salma.

Aku pergi ke ruang depan menemui Ibu dan Fera, rupanya mereka mendengarkan percakapanku dan Salma. 

"Istrimu itu memang gak ngerti sopan santun sama orang tua, ini mertua datang dari jauh malah disuruh masak sendiri. Aku dan Fera lo, tadi masak mie instan di dapur, masak sendiri lagi," ucap Ibu membuatku menoleh seketika.

"Iya, kita kan tamu ya, Bu, bukannya dilayanin malah ditinggal tidur, bener-bener ipar gak ada akhlak," oceh Fera memonyongkan bibirnya.

"Tadi Sania habis nangis, katanya rebutan mainan sama Vino?" tanyaku kepada Fera.

"Iya tapi Sania yang harus ngalah lah, dia kan udah tiap hari pegang mainan disini, sedangkan Vino kan baru, jadi ya nunggu Vino bosen dulu baru dikasihkan ke Sania." ujar Fera juga tak mau kalah.

Sungguh, rasanya kepalaku seperti nyut-nyutan. Berharap pulang kerja mendapatkan ketenangan dan istirahat dengan nyaman. Tapi mendapat segudang masalah dirumah.

Rumah yang berantakan seperti kapal pecah karena mainan berhamburan, juga suara yang bising memekakan telinga membuatku susah beristirahat.

Ibu dan Fera masih asyik bercengkrama sambil nonton TV ditambah dengan Vino yang mengacak semua mainan Sania, membuatku pusing setengah mati. 

Aku pun pergi ke kamar menyusul Salma untuk beristirahat. Salma dan Sania sudah mendengkur dengan halusnya. Tanpa berpikir lagi aku merebahkan diri di samping mereka. Rasa lelah yang mendera membuatku ingin sekali pergi ke alam mimpi.

Ke alam mimpi? Ah, kadang memang selebai itu diriku. Mereka kan keluargaku yang ingin menemaniku disini. Harusnya aku senang mereka ada disini. Juga Salma, harusnya juga senang akan ada yang membantu membereskan rumah nantinya. Aku tersenyum sendiri dengan pikiranku, udahlah yang penting sekarang aku ingin istirahat dulu. 

Prang …!

Suara pecahan piring menggema ke seluruh ruangan, sehingga aku pun terbangun dari tidurku. 

Shit! Baru saja mau memejamkan mata, nampak Salma juga ikut terbangun mendengar suara kegaduhan di rumah ini. Aku pun berinisiatif untuk melihat apa yang terjadi. Dan sungguh, aku sangat tercengang melihat apa yang ada di depan mataku.

*********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status