LOGINVivianne mematung selama beberapa detik. Sulit baginya untuk percaya bahwa yang ada dihadapannya ini adalah laki-laki yang sama yang meninggalkannya begitu saja setelah Vivianne menyerahkan segalanya, lima tahun lalu. "Kau ... klien itu?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Iya, ini aku, Vi. Apa kau merindukanku?" Dylan balas bertanya. Nadanya terdengar begitu lembut dan hangat. "Rindu?" Vivianne tertawa getir. "Kenapa aku harus merindukan pria brengsek sepertimu?" Berbeda dengan Dylan, air muka Vivianne menyorotkan amarah dan kekecewaan yang teramat sangat. "Kau masih marah, Vi?" Dylan masih dengan wajah tak bersalahnya. Vivianne kembali tergelak. "Serius, kau bertanya hal bodoh seperti itu padaku?" timpalnya sengit. Menyesal rasanya Vivianne memenuhi panggilan wawancara dari agensi profesional yang membuka lowongan melalui iklan lowongan khusus di internet. Vivianne mengira bahwa dia akan mendapatkan pekerjaan yang nyaman dan menjanjikan. Pada kenyataannya, dia malah bertemu Dylan Woods, mantan kekasih yang kini sudah menjadi aktor terkenal. Ya, dua tahun setelah menghilang, pemuda itu tiba-tiba muncul di layar televisi dan sosial media, menjadi bintang iklan parfum khusus pria. Beberapa bulan kemudian, Dylan memulai debutnya sebagai bintang film. Sejak itu, karirnya terus menanjak hingga kini namanya disejajarkan dengan artis-artis papan atas Hollywood. Dalam puncak karirnya itulah Dylan Woods memutuskan untuk bertunangan dengan model terkenal yang bernama Rosie Duvall. Makin hancurlah hati Vivianne, dan sampai detik ini lukanya masih menganga. "Maaf, saya ingin membatalkan wawancara ini, Tuan Woods. Saya tidak jadi melamar sebagai asisten pribadi," putus Vivianne. Gadis bertubuh semampai itu segera berdiri dan bermaksud untuk meninggalkan ruangan meeting. Namun, sebelum niatnya terlaksana, Dylan lebih dulu mencekal pergelangan tangan Vivianne. "Aku tahu kau sedang membutuhkan uang, Vi. Beberapa hari lagi, utang-utangmu yang berjumlah ribuan dollar itu jatuh tempo, kan? Kau tidak ingin dikejar para debt colector tentunya," bujuk Dylan setengah memaksa. Mata bulat Vivianne terbelalak sempurna. Tubuhnya menegang seketika. "Ka-kau? Darimana kau tahu?" desisnya, antara terkejut dan tak percaya. "Percayalah. Aku tahu semua tentangmu," jawab Dylan kalem. "Brengsek!" Vivianne tak dapat menahan diri lagi. Dia memukul-mukul dada bidang Dylan cukup keras demi menyalurkan emosi. Dylan sendiri juga tak berniat menghindar. Dia membiarkan Vivianne meluapkan perasaan sampai puas. "Apa maumu, sialan!" maki Vivianne. "Bagaimana bisa kau tahu, hah!" "Aku tidak pernah benar-benar meninggalkanmu," sahut Dylan pelan. "Bohong!" sentak Vivianne. "Omong kosong, dasar pembual! Apa kau lupa, lima tahun lalu, kau membuangku seperti sampah, lalu sekarang kau berlagak seperti pahlawan! Makan saja kata-kata gombalmu itu!" umpatnya tanpa jeda. "Terserah apa katamu. Aku tak memaksamu untuk percaya," balas Dylan. "Tentu saja aku tidak percaya. Buktinya, kau sudah bertunangan dengan perempuan lain! Kau pikir aku tak tahu? Beritanya ada di mana-mana!" seru Vivianne. Dylan pun membisu. Dia sempat terdiam selama beberapa saat, tapi tetap menggenggam pergelangan Vivianne. "Suatu saat kau akan sadar, Vi. Cinta saja tidak cukup. Sudah lama aku membuang rasa tak berguna itu," tutur Dylan. Sorot matanya berubah sendu. Vivianne menyeringai getir, matanya memancarkan amarah bercampur luka. “Kalau begitu, untuk apa kau menahanku seperti ini? Lepaskan! Bukankah kau sudah bilang cinta itu tak berguna?” Dylan menghela napas, genggamannya kian mengencang, seolah takut kehilangan meski mulutnya menyangkal. “Karena kau bukan sekadar cinta, Vi. Kau… alasan yang tak pernah bisa kujelaskan.” Vivianne terdiam sejenak, terpaku pada kejujuran samar yang muncul di sorot mata Dylan. Namun, sebelum hatinya sempat goyah, ia menepis tangannya kasar. “Jangan lagi mencoba mempermainkanku, Dylan!" peringat Vivianne. Cengkeraman itupun terlepas, sehingga Vivianne memiliki kesempatan untuk menjauh. Sayangnya, gadis itu kembali gagal. Dylan lebih dulu melingkarkan tangan di pinggang ramping Vivianne, lalu menariknya mendekat. Tubuh dua anak manusia itu menempel, tanpa jarak. Vivianne bahkan dapat mendengar detak jantung Dylan dengan jelas. “Lepaskan aku!” Vivianne meronta, tapi semakin dia berusaha melepaskan diri, semakin erat pelukan Dylan menahannya. "Aku akan melepasmu setelah kau bersedia menjadi asisten pribadiku," tawar Dylan. "Tidak!" tolak Vivianne tegas. Dia sudah hendak mengumpat lagi, tetapi bibir Dylan lebih dulu mengunci bibirnya. Vivianne membeku. Ciuman itu membangkitkan kenangan saat di mana cinta remaja mereka tumbuh liar tak terkendali. Vivianne sempat terhanyut, bahkan tanpa sadar dirinya membalas ciuman Dylan. Sementara Dylan memejamkan mata rapat-rapat, membayangkan masa lalu yang mungkin tak akan bisa terulang. Hasrat dan gairah mulai membakar sisi waras keduanya. Tangan Dylan seolah bergerak tanpa sadar, mengangkat tubuh Vivianne lalu mendudukkannya di meja. "Dylan, jangan," desah Vivianne tatkala bibir tipis kemerahan pria tampan itu menyapu lehernya. Mulut Vivianne menolak walaupun tubuhnya merespon sebaliknya. Vivianne menelusupkan jemari ke rambut gelap Dylan kemudian meremasnya kuat-kuat, seiring dengan gerakan bibir Dylan yang kini sudah sampai di dada. "Kau membuatku gila, Vi!" desis Dylan seraya menelusupkan tangan ke dalam kemeja putih Vivianne. Jemarinya hampir menyentuh puncak dada gadis itu ketika akal waras Vivianne kembali. Sekuat tenaga dia mendorong tubuh Dylan menjauh, tapi gagal. Tak kehabisan akal, Vivianne mengangkat lutut dan menghantamkannya ke pangkal paha Dylan. "Awhh!" Pria tampan itu mengerang kesakitan.Tak hanya sang sutradara yang terkejut. Beberapa kru dan artis yang duduk di sekitar meja mereka pun demikian. Semua mata tertuju pada Rosie. Namun, hal itu tak membuat Rosie terganggu. Dia malah melanjutkan amarahnya. "Kukira kau wanita baik-baik. Ternyata kau tak berbeda dengan penggemar-penggemar gila Dylan di luar sana!" bentak Rosie. "Hentikan, Rose! Kau membuatku malu!" hardik Dylan. Aktor tampan itu berdiri, lalu menarik Vivianne agar berada di belakangnya. Satu tangannya terus menggenggam pergelangan Vivianne. Betapa sakitnya hati Rosie melihat Dylan pasang badan, menjadi tameng demi melindungi Vivianne. "Kau serius melakukan ini padaku, Dylan?" desis Rosie. Bibirnya bergetar menahan emosi yang semakin tak terbendung. "Aku melakukan yang seharusnya! Vivianne adalah teman masa kecilku. Saat kecil dulu, kami bertetangga dan ayah kami saling berteman!" beber Dylan. Dia sedikit menambahkan bumbu kebohongan, tentang kedua ayah mereka yang berteman. Pada kenyataannya, ayah
Aroma menyengat memasuki indra penciuman Vivianne. Pusing mulai melanda akibat bau menusuk itu. Dalam posisi panik, dia berusaha melepaskan diri, menjauhkan wajahnya dari orang-orang misterius itu. Namun, rasa pening yang menyergap, membuat kekuatan Vivianne menghilang. Tenaganya seperti habis tersedot. Vivianne tak mempunyai pilihan selain pasrah. Beruntung, saat dirinya hendak menyerah, terdengar teriakan nyaring yang entah darimana asalnya. "Lepaskan dia, atau akan kutelepon polisi!" sentak suara yang Vivianne mengenalinya sebagai milik Liam. Beberapa pria tadi langsung membeku. Satu pria yang masih membungkam Vivianne dengan saputangan, segera melepaskan tangannya dan menjauh. Hampir saja Vivianne terjatuh jika saja Liam tidak sigap menangkapnya. "Vi, apa kau baik-baik saja?" tanya pria itu khawatir. Vivianne menggeleng lemah. Sesaat kemudian, dia mengalihkan tatapannya ke arah pria-pria asing itu. "Apa mau kalian?" desisnya pelan. Pria-pria tersebut tak menjawab. Mereka ma
"Dylan! Aku tahu kau di dalam. Aku melihatmu masuk tadi!" seru seseorang yang tak lain adalah Liam. Vivianne dan Dylan sempat saling pandang sejenak sebelum Dylan memutuskan untuk membuka pintu ruangan dalam rumah utama yang dialihfungsikan menjadi tempat wardrobe itu. "Ada apa?" tanya Dylan tanpa basa-basi. "Kau terlalu gegabah." Liam berbisik lirih, memastikan Vivianne tak mendengar kalimatnya. "Jangan ikut campur, Liam. Tugasmu adalah menjerat Rosie! Bukan menguntit Vivianne terus-terusan!" Dylan balas berbisik. Liam yang berdiri berhadapan dengan Dylan itu memiringkan kepala, agar dapat melihat Vivianne yang mematung beberapa meter di belakang mereka. Liam lalu kembali pada posisinya semua, sejajar dengan Dylan. "Untuk apa kau menyeretnya kemari?" desisnya. "Bukan urusanmu!" tegas Dylan. Liam tersenyum miring. "Baiklah, kalau itu maumu. Jangan salahkan aku seandainya Rosie nekat dan berbuat lebih gila. Jangan sampai Vivianne terluka lebih parah lagi," peringatnya.
Di belakang batas set, Vivianne berdiri tenang dengan ipad di tangan. Namun, matanya tak lepas dari sosok pria yang satu jam lalu mengajaknya menikah. Pria itu tampak begitu serius dengan adegan yang dilakoninya. Walaupun gerakannya sederhana, tapi setiap gerak-geriknya mampu menghipnotis siapapun yang melihat. Dalam satu scene, Dylan hanya perlu memakai kacamata, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling padang rumput yang terbentang di belakang rumah utama Ranch. Setelah itu, Rosie masuk dan mengalungkan kedua tangan di leher kokoh Dylan. Keduanya saling tatap, sorot lekat yang menunjukkan kemesraan tak dibuat-buat. Vivianne hanya mampu diam dan menarik napas panjang. Mencoba untuk menetralkan perasaan dalam dada yang begitu bergemuruh. Apalagi saat melihat keduanya mendekatkan wajah. Bibir Dylan sudah hampir menyentuh bibir merah Rosie, dan .... "Cut!" seru sang sutradara. "Luar biasa sekali! Aku suka chemistry kalian," pujinya. Vivianne memejamkan mata sambil tanpa s
"Sudahlah. Tak ada gunanya menyesali masa lalu," hibur Vivianne. "Semua sudah terjadi, dan buktinya aku masih baik-baik saja sampai sekarang ...." Vivianne tampak memikirkan kalimatnya barusan, dan buru-buru meralatnya. "Well, tidak begitu baik sih, sebenarnya. Aku punya luka jahitan di kepala, rambutku juga jadi sedikit botak," guraunya. "Ya, ampun." Dylan meraup wajahnya kasar. Dia menjadi semakin merasa bersalah. "Hei, Dylan. Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu kepikiran," ujar Vivianne. "Walaupun pada kenyataannya, kau memang memporak-porandakan hidupku," imbuhnya sambil terkekeh. "Please, Vi." Dylan menatap Vivianne dengan sorot memelas. "Kau memanfaatkanku, memaksaku melakukan sesuatu yang tak kusuka dan membuatku jadi perempuan jahat," ungkap Vivianne mencurahkan isi hati. "Tapi di sisi lain, aku merasa senang bisa membantumu. Aku suka melihatmu tersenyum tanpa beban. Mengingatkanku akan Dylan yang dulu selalu tulus dan berpikiran positif," sambung Vivianne. "Vi .
Dengan jantung berdebar, Vivianne setengah berlari menuju trailer Dylan. Sesampainya di sana, diketuknya pintu caravan bercat putih itu. Cukup lama Vivianne menungguh sampai terdengar selot pintu bergeser. Dylan menyembulkan kepala dengan rambut acak-acakan. "Vi, ada apa? Apa sudah waktunya syuting?" tanya Dylan sambil memicingkan mata. "A-aku, be-belum! Ini masih pukul tiga. Kru tadi mengatakan kita harus menunggu senja untuk mendapatkan latar belakang dan gambar yang bagus," jelas Vivianne sedikit terbata. "Lantas? Apa yang kau lakukan di sini?" Dylan mengernyit bingung. "Apa Nona Rosie bersamamu?" cecar Vivianne. "Tidak. Kenapa memangnya?" Dylan balik bertanya. "Oh, jadi kau sendirian?" Vivianne kembali berusaha memastikan. "Kau mau masuk?" Dylan mengangkat satu alisnya seraya membuka daun pintu lebar-lebar. "Bilang saja kau ingin menemaniku di sini, Vi. Jangan berputar-putar," ledeknya. "Tidak! Bukan itu! Ah, sudahlah!" Vivianne berdecak kesal. Segera saja dia mem







