Beberapa saat kemudian, Lidya sudah keluar dari kamar mandi dengan mengunakan piyama tidur biasa. Ia berjalan dan duduk di sofa, berjauhan dengan Ardiansyah yang duduk di pinggir ranjang."Ehm, bagaimana... hari ini?" Lidya bertanya, mencoba memulai percakapan sebelum tidur."Sebagian besar terlalu berlebihan menurutku." Ardiansyah menjawab dengan suara dingin."Apa... apa yang seharusnya kita lakukan sekarang?" Lidya gugup, mencoba tersenyum untuk mengatasinya.Ardiansyah menatap dengan tajam, seakan-akan memberikan peringatan bahwa semuanya hanyalah akting sesuai dengan perjanjian mereka sebelumnya.Tanpa bicara lagi, Lidya menunduk. Ia merasa sangat tidak nyaman ada dalam situasi seperti ini. Keheningan mengisi ruangan, dan keduanya saling diam, namun suasana yang canggung justru semakin terasa."Kita hanya perlu berakting sesuai perjanjian, bukan? Tidak ada yang lebih." Ardiansyah tiba-tiba bicara - mengingatkan."Mungkin kita bisa... mulai belajar lebih dekat? Seperti dulu," lir
"Eghh, eh?"Lidya membuka matanya dan terkejut ketika merasakan ada tangan yang memeluk pinggangnya. Ia merasa seperti ada yang asing di sana.Hampir saja ia berteriak, tetapi kemudian teringat dengan sesuatu. Ini bukanlah tangan yang asing, tepatnya hanya tangan suaminya, Ardiansyah.Lidya memutar badannya untuk melihat wajah suaminya yang masih tertidur pulas. Lidya tersenyum sendiri dan bergumam sendiri."Andai semua terjadi, waktu itu ..."Dia memandangi suaminya yang terlihat sangat damai saat tidur. Darahnya mengalir dengan lebih hangat, dan Lidya mulai merasakan bahwa hatinya kembali tak karuan.Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya, melihat bagaimana teman masa kecilnya itu tertidur dengan damai disisinya, sama seperti yang dulu sering mereka lakukan sewaktu masih kecil.Pernikahan ini hanya untuk kepentingan Ardiansyah yang didesak kakeknya, dan untuk dirinya sendiri, pernikahan ini akan menutupi gosip yang menimpanya sebagai artis yang sedang naik daun."Apakah pe
Setelah sarapan, Lidya dan Ardiansyah memutuskan untuk berjalan-jalan di taman villa mereka. Suasana di sana begitu tenang dan menenangkan."Kamu tau, aku sering membayangkan tentang kehidupan kita kalau dulu aku tidak pergi ke Belanda." Ardiansyah berbicara tiba-tiba, membuat Lidya terkejut.Lidya menoleh ke arah suaminya dan tersenyum. "Ya, meski begitu, aku merasa tidak menyesal dengan apa yang terjadi saat ini.""Haha, sungguh, kamu selalu bisa membuatku merasa seperti di masa kecil lagi." Ardiansyah menggandeng tangan Lidya pelan.Mereka berjalan beberapa saat, sambil bercanda dan tertawa bersama. Melupakan kejadian tadi dan sandiwara pernikahan mereka. Namun, tiba-tiba hujan turun dengan lebat dan membuat mereka berlari ke paviliun di dekat kolam renang villa.Setelah menunggu sesaat, mereka berdua bisa merasa sedikit lega karena hujan mulai reda. Namun, tiba-tiba Lidya mengguncang-guncang badannya dan menggerakkan tangannya ke atas."Akhh, dinginnya!" teriak Lidya pelan."Hei,
Tapi begitu mereka sadar, keduanya kembali canggung. apalagi dalam keadaan basah seperti sekarang Lidya mengambil selembar tissue dari kotak tissue yang ada di atas meja dekat kolam renang dan mulai mengelap tubuhnya yang basah. Ardiansyah ikut mengambil tisu dan mengelap tubuhnya sendiri.Ada kecanggungan di antara mereka, seakan-akan suasana menjadi berubah setelah momen yang tadi."Lets go inside, kamu butuh mengganti bajumu." Ardiansyah memberi tahu Lidya."Mmm, iya." Lidya mengangguk dan mereka pun pergi ke dalam villa.Mereka menuju kamar tidur dan Ardiansyah membuka lemari baju Lidya, memilih baju untuk dibawa keluar. Tapi ia lupa jika Lidya tidak mempersiapkan baju saat bulan madu pura-pura ini.Tapi Pria itu segera ingat dengan beberapa paper bag yang entah ada di mana sekarang. Sebab saat itu, Lidya yang membereskan semuanya."Ku tak ada baju ganti, tapi beberapa paper bag kiriman kakek, pasti ada baju." Pria itu memberitahu."T-api ...""Kenapa?" tanya pria itu, memotong k
"Apa harus begini?" gumam Lidya bertanya pada dirinya sendiri."Kamu tanya apa?" tanya Ardiansyah, yang mendengar gumaman tidak jelas dari istrinya.Lidya dan Ardiansyah duduk berhadapan di meja makan, membuat Lidya merasa sedikit gugup. Ini adalah makan malam pertama mereka sebagai pasangan suami istri, sebab kemarin malam mereka baru sampai dan langsung beristirahat.Lidya memainkan makanannya, mengambil beberapa suap tanpa benar-benar merasakan apa pun, sementara Ardiansyah membersihkan kerongkongannya dengan air minum sebelum berbicara lagi."Jadi, Lidya, bagaimana kalau kamu menyesuaikan diri dengan kehidupan barumu sebagai istriku?" Ardiansyah bertanya dengan asal - sebab pertanyaan yang tadi tidak dijawab."Sejujurnya, aku agak keberatan. Aku belum pernah menikah sebelumnya, dan aku tidak tahu apa yang diharapkan dari pernikahan ini." Lidya menatap Ardiansyah dari makanannya - tatapan ragu."Apakah kau menyesal?" Ardiansyah kembali bertanya.Gadis itu hanya tersenyum tipis lalu
"Lidya, hati-hati!" kata Ardiansyah sambil memeluknya erat.Lidya merasa hangat dan aman dalam pelukan suaminya, meskipun awalnya dia merasa risih."Apa kamu baik-baik saja?" tanya Ardiansyah dengan wajah cemas."Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih karena menolongku," ujar Lidya, memandang suaminya dengan tatapan yang lembut. Tapi langsung menundukkan wajahnya karena malu."Lupakan saja hal itu. Aku khawatir kamu terluka. Bagaimana kalau kita ke rumah sakit untuk periksa?" Ardiansyah masih merasa khawatir."Tidak! Tidak perlu," jawab Lidya panik.Gadis itu merasa sangat ceroboh karena melamun saat naik tangga hingga hampir terjatuh. Tapi ia juga merasa senang karena bisa melihat sikap Ardiansyah yang masih memiliki simpati dan perhatian padanya.Tapi jika diingat-ingat, Lidya tadi melihat Ardiansyah sudah berjalan terlebih dahulu dibandingkan dirinya. Lalu, bagaimana caranya Ardiansyah berada di belakangnya tadi?
Lidya melihat Ardiansyah dengan mengerjapkan matanya beberapa kali, seolah-olah memastikan bahwa ia telah salah dengar, atau memang mendengar dengan benar apa yang diucapkan suaminya tadi."Apa maksudmu kamu siap meniduri?" tanyanya bingung."Aku bilang aku siap untuk menidurimu, sayang," kata Ardiansyah dengan tersenyum lebar yang terlihat tengil.Lidya merasakan pusing yang semakin lama semakin menjadi-jadi. Ia gugup dan tentunya tidak siap dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan antara "suami istri" yang normal.'Mungkinkah aku salah dengar? Ataukah ia benar-benar ingin meniduri aku?' batin Lidya khawatir."Ardi, k-amu bilang meniduri a-ku? A-pa maksud dari itu?" Lidya bertanya ragu."Oh maaf, aku salah ucap, ya? Hehehe ... Aku hanya ingin bilang aku siap menidurkanmu," jelas Ardiansyah sambil menepuk jidatnya, seakan-akan merasa malu dengan ucapannya yang salah.Lidya merasakan lega, tapi seakan-akan ing
"Ya, sebentar!" seru Lidya, saat pintu kamar diketuk dari luar.Saat ini hari sudah pagi. Ia baru saja keluar dari kamar mandi, sementara suaminya sedang menghubungi seseorang di balkon kamar. Jadi, pria itu tidak mendengar ketukan di pintu kamar."Selamat pagi Nona Lidya, saya membawa paket untuk Nona dan tuan muda." Pelayan menyerahkan dua paper bag yang ada ditangannya."Oh, terima kasih banyak, bu. Dari siapa ini?" tanya Lidya sedikit terkejut."Tidak tahu, nona. Tadi yang datang pembawa paket ini adalah pelayan di rumah Tuan Besar," terang pelayan tersebut.Karena jawaban yang diberikan oleh pelayan tersebut, Lidya berpikir bahwa paket itu pastinya dari kakek Hendra juga. Ia teringat dengan undangan sang kakek untuk datang ke acara perusahaan Kusuma Group.Setelah Lidya menerima dua paper bag dan mengucapkan terima kasih, pelayan ijin undur diri untuk kembali melakukan pekerjaannya yang lain.Lidya mengambil paper b