Sebuah mobil MPV warna abu-abu metalik memasuki halaman Bengkel Kemas. Mobil itu diparkir di halaman depan yang biasa dipakai untuk parkir. Gayatri turun dari mobilnya dengan langkah anggun. Dia masuk melalui pintu depan yang memang biasa terbuka. Itu kedua kali Gayatri datang ke sana. Dia hendak melihat jeruk yang akan dikirim ke Solo untuk diekspor.
"Siang, Mbak." Ajeng yang melihat Gayatri masuk menyapanya.
"Siang. Saya mau ketemu Kirana," ujar Gayatri.
"Mari, Mbak. Saya antar," jawab Ajeng dengan sopan.
Ajeng mengantarkan Gayatri sampai ke area kerja Kirana yang terbuka dan bukan berupa ruang khusus. Di sana, ada seperangkat kursi tamu di mana tampak seorang lelaki muda tampan sedang memandang tak lepas pada Kirana yang sedang memeriksa berkas-berkas. Gayatri menghampirinya lalu menyapa sambil menyodorkan tangannya.
"Gayatri," ujarnya memperkenalkan diri.
"Saya Rizal," jawab lelaki tampan itu.
"Mau ketemu Kirana?" tanya Gayatri.
Farhan mematung memandangi dua orang yang dicintainya bertangisan sambil berpelukan di lantai teras. Dia bertanya-tanya dalam benaknya apa yang sedang terjadi, tetapi dia ragu untuk mendekat. Dibiarkannya mereka begitu tanpa mengusiknya.Telinga Kirana berdenging. Bunyi itu membuatnya tak nyaman dan terganggu. Dilepasnya alat bantu dengarnya. Gayatri kaget dengan apa yang dilakukan Kirana."Kenapa, Dik? Kenapa, Dik? tanya Gayatri khawatir. Kirana menatap wajah Gayatri untuk membaca gerak bibirnya."Telingaku berdenging. Mungkin alat bantu dengarku tersenggol saat kita berpelukan tadi," ujar Kirana sambil mengecilkan volume alat bantu dengarnya.Kirana lalu memasang lagi alat bantu dengarnya sambil mengatur volume sampai dia bisa mende
Kirana bangkit lalu mendekat ke tubuh Farhan yang tergeletak tak berdaya. Ditariknya napas dalam-dalam lalu dihembuskannya untuk membuat dirinya lebih tenang. Diamatinya semua bagian tubuh suaminya. Darah masih mengucur dari kepala bagian belakang. Dirabanya dengan ujung jarinya bagian bawah luka menganga di bagian belakang kepala suaminya. Ditekan-tekannya bagian bawah luka itu dan pendarahan terhenti."Mbak, tekan jari Mbak di sini! Gantiin aku!" perintah Kirana.Gayatri mulai kembali kesadarannya dan mengikuti perintah Kirana. Setelah Gayatri bisa menghentikan pendarahan pada luka kepala Farhan, Kirana berlari mendaki jalan setapak menuju ke pondok. Diambilnya ponselnya lalu dia sibuk mencari nomor telepon Puskesmas kecamatan. Setelah tersambung, dia minta pertolongan. Dijelaskannya kondisi suaminya yang terjatuh dan juga lokas
Tit ... tit ... tit ....Bunyi alat monitor pasien terdengar dalam tempo teratur.Hanya bunyi alat itu dan bunyi televisi dengan volume rendah yang terdengar di ruang rawat inap VIP yang sunyi itu. Kirana mengamati suaminya yang masih terbaring tak sadarkan diri. Ventilator masih membantunya untuk bernapas. Sudah seminggu sejak kecelakaan yang dialami suaminya di Pondok Sunyi. Setelah tiga hari dirawat di ruang perawatan ICU, suaminya dipindahkan ke ruang rawat inap dengan berbagai peralatan medis yang masih terpasang di tubuhnya.Ruang rawat VIP itu berukuran cukup besar. Ada dua tempat tidur, satu set kursi tamu, sebuah televisi berukuran cukup besar, dan kulkas. Semenjak suaminya dipindahkan ke sana, Kirana bisa menunggui suaminya sambil beristirahat dengan lebih baik. Bapak dan ibu Kirana sesekali datang menemaninya di sana. Hanya Gayatri yang terus menerus setiap hari datang dan menemaninya bahkan menginap di sana.Farhan sudah tidak memi
Farhan terlelap dalam tidurnya. Setelah menjalani berbagai operasi karena pendarahan otak ringan, dislokasi bahu kiri, patah lengan kiri, dan beberapa retakan di kaki yang dialaminya, kondisinya sudah jauh membaik. Yang tersisa hanyalah proses pemulihan dan penyembuhan akibat efek samping obat. Dia menderita sakit kuning yang menurut dokter akibat konsumsi obat penghilang rasa sakit (analgesic) yang selama hampir dua bulan diberikan padanya. Selain itu, lambungnya juga mengalami gangguan yang juga merupakan akibat mengkonsumsi obat selama perawatan.Kirana duduk di kursi tamu ruang rawat inap tempat suaminya dirawat. Dia sedang membaca artikel di tabletnya sementara suaminya tertidur. Raut kelelahan tampak dari wajah cantiknya meski selalu ditutupinya dengan senyumnya yang indah. Meskipun demikian, ada rasa gembira dalam hatinya bahwa suaminya akan segera sembuh dan
Malam itu Gayatri ikut bermalam di rumah keluarga Narto. Surti mengajak mereka semua makan. Farhan, Kirana, dan Gayatri bergabung bersama Narto yang sudah duduk di meja makan. Itu malam pertama Farhan di desa sejak kembali dari rumah sakit."Wah, Ibu selalu saja masak enak," ujar Gayatri sambil menyantap soto daging dan tahu goreng."Ibu kan jagonya masak," timpal Kirana. Surti hanya tersenyum menanggapinya."Makanya Bapak betah dan setia sama Ibu, ya," ujar Farhan."Siapa bilang? Bapak dulu sempat punya selir juga loh dua orang." Narto membuka masa lalunya sendiri. Surti hanya diam tak menanggapi."Sekarang gimana?" tanya Farhan."Sekarang ya gak lagi," jawab Narto.Memiliki selir cukup lazim bagi lelaki yang punya kedudukan atau kemampuan ekonomi lebih di sana. Narto sebagai orang yang paling berada di sana juga melakukan hal yang sama. Dua orang selirnya berada di dua desa yang berbeda yang tidak jauh dari sana. Surti tak pernah ke
SELAMAT JALAN, begitu tulisan di plang batas desa. Kirana menatap tulisan itu sekilas dari kaca jendela pintu depan mobil Gayatri. Perempuan cantik dengan tubuh montok itu mengemudi di sampingnya dengan tenang dan menampakkan muka datar yang terlihat ramah. Caranya mengemudi cukup halus yang membuat Kirana merasa nyaman."Jam segini jalan desa keliatan agak sepi, ya?" ujar Gayatri sambil menoleh sekilas pada Kirana yang berada di sisi kirinya.Kirana melirik jam padadashboardmobil yang menunjukkan pukul 8.37. "Iya, Mbak. Warga desa kan sebagian besar sedang ke sawah, kebun, atau beraktivitas di rumah mereka." Intonasi suara Kirana yang lembut berlogat Jawa terdengar ramah di telinga Gayatri."Nanti pesan kebayanya di mana, Mbak?" tanya Kirana."Ada tempat langgananku. Biasanya aku pesan untuk minta dibikinkan pakaian di sana. Yah, penjahit yang cukup terkenal, boleh dibilang."Mobil berjalan dengan kecepatan yang tak terlalu ke
Gayatri sibuk mengeluarkan soto dan ayam bakar yang mereka beli dari warung soto Pak Satrio dari kantong plastik. Diwadahinya soto kegemaran Farhan di mangkuk yang dibawanya dari dapur lalu ayam bakar di piring-piring bundar. Setelah itu, diwadahinya juga nasi di bakul nasi yang terbuat dari anyaman bambu."Wah, sudah nyiapin makan toh, Nduk." Surti yang baru keluar dari kamarnya mendapati Gayatri sudah selesai menata meja makan."Maaf, Bu, kalo saya lancang," ujar Gayatri."Ah, kamu ini, Nduk. Ya ndak apa-apa. Kamu kan sudah jadi bagian dari keluarga ini juga."Gayatri lalu berinisiatif mengajak seisi rumah makan malam. Kebetulan semua sedang ngobrol di ruang tengah."Ayo, aku kita
Gayatri menarik lembut tangan Kirana setelah mereka selesai sarapan pagi. Diajaknya Kirana agar mengikutinya ke kamar tidur yang ditempatinya. Ada suatu hal yang penting untuk dibicarakannya dengan Kirana."Dik, kita ke Pondok Sunyi, yok!" Gayatri menatap mata Kirana dengan tampang serius ketika mereka sudah di kamar. "Ada hal penting yang aku mau bahas berdua denganmu."Kirana menyetujui ajakan Gayatri. Dia berusaha menduga-duga apa yang akan dibahas Gayatri. Pasti sesuatu yang sangat penting kalau dilihat dari ekspresi Gayatri, pikir Kirana."Mas, aku ke Pondok Sunyi dulu sama Mbak Gayatri, ya. Mas istirahat aja dulu jangan terlalu capek." Kirana pamit sambil mencium punggung tangan Farhan."Sampe makan siang, ya?" tanya Farhan."Sebelum makan siang juga sudah pulang kok. Kami pergi dulu, ya, Mas."Gayatri mengajak Kirana pergi dengan mengendarai mobilnya. Perempuan itu masih saja suka kelepasan memperlakukan Kirana seolah sedang hamil bes