Share

Sang Mempelai Pengganti
Sang Mempelai Pengganti
Penulis: Ummu_Fikri

Kematian dan Janji

Penulis: Ummu_Fikri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-27 16:13:04

​Kematian memiliki bau tersendiri. Bau bunga sedap malam, bau karbol, dan yang paling menyesakkan, bau keputusasaan yang baru saja tumpah.

​Seharusnya, hari itu adalah hari di mana bau parfum mahal dan karangan bunga segar dari floris terbaik di Jakarta mendominasi. Hari itu, Annisa kakak perempuanku yang sempurna, yang cemerlang, yang selalu menjadi pusat semesta akan menjadi Nyonya Andarsono. Aku, Andin, hanya bertugas memastikan gaunnya tidak lecek dan menenangkan debaran hatinya.

​Kami berada di suite hotel mewah, tempat resepsi esok hari akan digelar. Malam sebelum pernikahan adalah malam penuh kebahagiaan yang riuh, tetapi sekitar pukul sepuluh, getaran ponsel Ibu di meja rias menghentikan seluruh tawa.

​“Ya, Pak Ardan. Ada apa? Kenapa suaramu...”

​Wajah Ibu yang semula berseri-seri langsung memucat, seperti kanvas yang baru dicuci. Matanya membulat, memancarkan kengerian yang membuat lututku lemas. Suara ponsel di tangan Ibu bergetar, lalu jatuh ke lantai berlapis karpet tebal.

​Detik berikutnya, hanya ada satu suara yang memecah keheningan yakni raungan kepedihan yang paling mengerikan yang pernah kudergar raungan seorang ibu yang kehilangan.

​Kak Annisa. Kecelakaan tunggal di tol, hanya beberapa kilometer dari hotel. Kabar itu datang secepat petir dan menghantam kami hingga kami semua berlutut. Annisa, yang sudah terbalut gaun tidur sutra, yang sudah memasang cincin di jari manisnya sebagai simbol tunangan, pergi. Tepat satu hari, dua belas jam, dan beberapa menit sebelum ia mengucap janji suci.

​Seluruh persiapan, kemewahan, dan ribuan harapan yang kami tumpuk di atas tanggal esok hari, kini menjadi tumpukan puing-puing tak berarti.

​Tiga jam kemudian, kami sudah berada di rumah, yang sekarang disulap menjadi ruang duka. Gaun pengantin Annisa yang seharusnya menjadi mahakarya, masih tergantung rapi di kamar tidurnya yang kosong. Kehadirannya di sana terasa seperti ejekan yang kejam.

​Aku duduk di sudut, memeluk lututku. Selama ini, aku selalu memandang Annisa dengan rasa kagum dan hormat. Dia adalah matahari sedang aku, Andin, adalah bulan yang selalu ada, tetapi cahayaku berasal darinya. Dia selalu yang utama, yang terbaik, yang paling disayangi. Dan kini, matahari itu terbenam selamanya.

​Ruang tamu penuh sesak dengan kesedihan dan juga ketegangan. Ada dua jenis duka di ruangan itu. Pertama duka kehilangan orang tercinta, dan duka kehancuran rencana bisnis.

​Di satu sisi, ada Ayah dan Ibu, yang terpukul oleh kehilangan putri sulung mereka. Di sisi lain, ada Pak Ardan dan Bu Rima, orang tua Bayu Andarsono. Keluarga Andarsono adalah konglomerat properti, dan pernikahan ini bukan hanya penyatuan cinta, melainkan juga aliansi bisnis raksasa.

​Suara Pak Ardan yang dingin dan pragmatis terdengar, kontras dengan isakan Ibu.

​“Fatih, kami sangat berduka atas Annisa,” ujar Pak Ardan, matanya menatap dokumen di tangannya, bukan peti mati di tengah ruangan. “Tapi, kita harus berpikir jernih. Kontrak kerja sama properti yang melibatkan pernikahan ini sudah ditandatangani. Undangan sudah menyebar. Ratusan tamu penting dari luar negeri sudah tiba.”

​Ayahku, seorang pengusaha jujur yang kini kehilangan mitra terbesarnya (Annisa) dan juga calon menantu yang dihormati, hanya bisa menghela napas berat. “Lalu kita harus bagaimana, Ardan? Semuanya sudah terlambat.”

​Pak Ardan mengangkat wajahnya. Tatapannya kemudian menyapu ruangan, melewati Ibu yang terisak, melewati Ayah yang lelah, dan berhenti padaku. Andin. Aku, si bungsu yang selalu berada di belakang bayangan Annisa.

​Aku merasa telanjang di bawah tatapannya. Matanya adalah mata seorang pebisnis yang sedang mencari solusi darurat, menimbang opsi, dan tiba-tiba menemukan sebuah produk pengganti di rak diskon.

​“Kita lanjutkan saja,” katanya, suaranya mantap, seolah memberi perintah pada dewan direksi.

​Semua orang terdiam.

​“Lanjutkan? Bagaimana?!” seru Ibu, suaranya parau.

​“Gantikan mempelai wanita,” lanjut Pak Ardan, tanpa sedikit pun keraguan. “Andin adalah adik kandung Annisa. Wajah kalian mirip. Tinggi badan hampir sama. Dia juga bagian dari keluarga ini. Pernikahan ini harus tetap terjadi.”

​Dunia terasa berhenti berputar. Aku menatap Ayah. Ayahku mengalihkan pandangan. Aku menatap Ibu. Di mata Ibu yang sembap, aku melihat sebuah permohonan yang diam. Nak, bantu kami. Ini demi nama baik keluarga. Demi Ayahmu.

​Aku tahu, jika aku menolak, itu berarti kehancuran total. Bukan hanya kerugian finansial, tetapi aib sosial yang tak terpulihkan. Bagi keluarga yang memegang teguh kehormatan, ini adalah harga yang harus dibayar.

​Aku menarik napas panjang, mencium bau kematian di udara. Di detik itu, aku bukan lagi Andin si mahasiswi kedokteran yang punya cita-cita. Aku adalah Andin, pahlawan sunyi yang harus mengorbankan diri demi reputasi.

​“Saya setuju,” ucapku, suaraku terdengar aneh dan jauh, seolah datang dari raga orang lain. “Pernikahan akan tetap dilanjutkan.”

​Keputusan itu diambil pada tengah malam, dan pagi harinya, kami mengantar Annisa ke peristirahatan terakhirnya.

​Bayu tiba di rumah duka dengan penampilan yang hancur. Wajahnya yang biasanya tenang dan berwibawa kini terlihat lelah, penuh garis air mata. Aku tidak berani mendekatinya. Dia adalah duka yang berjalan, duka yang seharusnya menjadi calon suamiku, tetapi jiwanya telah mati bersamaku.

​Seluruh prosesi pemakaman terasa seperti kabut tebal. Ketika adzan dikumandangkan, mengiringi tubuh Annisa diturunkan ke liang lahat, tangisan Ibu pecah lagi. Tapi yang paling memilukan adalah melihat Bayu.

​Ia berdiri paling dekat dengan kubur, bahunya yang lebar bergetar tak terkendali. Ketika tanah merah mulai menimbun papan kayu Annisa, Bayu mengeluarkan suara seperti rintihan binatang terluka. Suara yang dalam, menyayat hati, penuh rasa sakit yang tak terungkapkan. Ia tidak berteriak, ia hanya merintih, menahan segala kepedihan itu di dalam dirinya.

​Setelah semua orang pergi, setelah nisan tertancap dan air mata para pelayat kering, Bayu tetap di sana.

​Aku memutuskan untuk menunggu. Aku berdiri agak jauh, di bawah pohon kamboja, mengawasinya. Pria itu menolak didampingi. Ia hanya duduk di tanah, di samping gundukan tanah Annisa yang masih segar. Ia meletakkan kepalanya di atas lututnya, dan isakannya kini lebih jelas. Isakan yang terputus-putus, terisak-isak, memohon pada Tuhan atau mungkin pada Annisa agar kembali.

​Matanya yang indah itu kini hanya memancarkan kehampaan yang luar biasa. Dia tidak hanya berduka, dia patah. Dia sedang berkabung atas cinta sejatinya, dan besok, dia harus menikahi bayangan dari cinta itu.

​Aku berdiri di sana selama setengah jam, merasakan konflik emosi yang bertubi-tubi,

​Duka untuk Annisa dan Kehilangan kakak yang kuhormati.

Di satu sisi aku merasa kasihan melihat penderitaan Bayu yang begitu murni. Disisi lainnya marah karena harus menjadi tumbal dari keputusasaan ini.

​Ketika senja mulai merayap, aku berjalan mendekat.

​“Kak Bayu,” panggilku pelan.

​Bayu mengangkat wajahnya. Air mata telah membentuk jejak di pipinya yang kotor oleh debu tanah. Matanya menatapku, tetapi tatapannya kosong. Ia melihat Annisa dalam diriku, atau mungkin ia hanya melihat ‘pengganti’ yang tidak pernah ia inginkan.

​“Kita harus pulang,” kataku lagi, suaraku lembut. “Besok…”

​Aku tidak sanggup menyelesaikan kalimat itu. Besok adalah hari pernikahan kita.

​Bayu hanya mengangguk pelan, tanpa kata. Ia berdiri, membersihkan celana kainnya yang ternoda, lalu berjalan menjauh dari makam Annisa, menjauh dari cintanya, menuju takdir yang terasa seperti penjara bersamaku.

​Keesokan paginya, aku berdiri di depan cermin, terbalut gaun pengantin Annisa. Gaun itu indah, memeluk tubuhku dengan pas, tetapi terasa seperti kain kafan yang mahal. Ini adalah hari pernikahan, tetapi tidak ada debaran bahagia, hanya rasa dingin yang merayap dari ujung kaki hingga ubun-ubun.

​Ijab Kabul dilaksanakan di sebuah masjid mewah, hanya dihadiri oleh keluarga inti yang mengenakan pakaian serba putih sebagai simbol kesucian dan juga duka yang tersisa.

​Ayah menggenggam tanganku. Matanya berkaca-kaca, bukan karena bahagia, melainkan karena perpisahan yang ia saksikan dan perpisahan yang ia paksakan.

​Bayu duduk di hadapan penghulu, wajahnya tegang. Ia terlihat seperti seseorang yang sedang menjalani operasi tanpa bius. Ketika ia mengucap, “Saya terima nikahnya Andin Paramita binti Pramudya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” suaranya terdengar datar, mekanis, seperti menghafal teks laporan keuangan. Tidak ada kebahagiaan di dalamnya, tidak ada janji masa depan, hanya pemenuhan kewajiban yang harus diselesaikan.

​Aku kini resmi menjadi Nyonya Andarsono.

​Resepsi di hotel mewah itu tetap dilaksanakan sesuai rencana semula, mungkin untuk menunjukkan kepada dunia bahwa keluarga Andarsono dan Pramudya tidak bisa dihancurkan oleh tragedi.

​Kami berdiri di pelaminan yang megah, di bawah rangkaian bunga putih yang menjulang tinggi, yang tadinya dipersiapkan untuk Annisa. Aku tersenyum palsu, menerima ucapan selamat yang terdengar seperti belasungkawa tersembunyi.

​Sepanjang resepsi, aku melihat Mas Bayu tidak, Kak Bayu. Ia berdiri tegak, tangannya kaku, hanya sesekali bergerak untuk menyalami tamu. Raut wajahnya adalah raut paling tidak ikhlas yang pernah kulihat. Tidak ada senyuman, hanya topeng profesionalisme yang dingin. Ia adalah pria yang paling dicari di pesta itu, tetapi jiwanya adalah hantu yang bergentayangan, terjebak di antara nisan Annisa dan pelaminan ini.

​Aku juga sama. Dalam hati, aku masih menangisi kakakku, masih meratapi takdirku. Pernikahan ini, yang didirikan di atas pasir duka dan ditopang oleh tiang tugas, sudah bisa kurasakan kehancurannya.

​Aku, Andin, menikahi pria yang mencintai arwah kakakku. Pria yang terpaksa menikahiku.

​Di tengah gemerlap lampu kristal dan riuh rendah musik, aku menutup mata sejenak, memanjatkan doa yang terasa begitu kecil dan rapuh di hadapan takdir yang begitu besar.

​Ya Allah, jika ini adalah jalan yang Engkau pilihkan, maka kumohon, lindungi dan jagalah pernikahan hampa ini. Berikan kami kekuatan untuk menjalaninya, meski tanpa cinta. Semoga Engkau tetap menjaga pernikahan ini sampai akhir.

​Saat itu, aku tidak tahu bahwa harapanku yang paling tulus justru akan menjadi rantai terkuat yang mengikatku dalam kesendirian selama lima tahun ke depan. Aku hanya tahu, drama terbesar dalam hidupku baru saja dimulai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sang Mempelai Pengganti    Momen Manis yang Terganggu

    Bab 11: Momen Manis yang Terganggu ​Satu minggu lagi telah berlalu. Total dua minggu sejak insiden Anita, dan tembok kebekuan yang dipasang Andin masih tegak kokoh. Bayu telah mengintensifkan upayanya, dan ia melakukannya dengan ketekunan yang pantas disandang oleh seorang CEO dengan aset miliaran. ​Setiap pagi, ia masih mencoba memasak sarapan. Tidak lagi hanya telur orak-arik gosong, tetapi kini ia mencoba pancake yang bentuknya aneh, atau oatmeal dengan buah-buahan yang disajikan di mangkuk mewah. Hasilnya? Masih jauh dari sempurna, tetapi usahanya tidak pernah gagal membuat Andin tersentuh, meskipun ia bersikeras untuk tetap dingin. ​“Pancake ini seharusnya berbentuk wa lingkaran sempurna, Andin,” keluh Bayu suatu pagi, menatap karyanya yang lebih mirip peta benua yang baru ditemukan. “Tapi entah kenapa, selalu berakhir seperti peta benua yang baru ditemukan.” ​“Mungkin kamu harus menyewa chef pribadi, Mas,” jawab Andin datar, tanpa menoleh. “Keahlianmu ada pada akuisisi s

  • Sang Mempelai Pengganti    Pengejaran di Tengah Kebekuan

    ​Seminggu telah berlalu sejak insiden kotak kue kering yang jatuh di lantai eksekutif Andarsono Group Tower. Andin masih berada dalam mode pertahanan diri total.Tembok emosional yang ia bangun kembali dan menjadi lebih tinggi, lebih tebal, dan dilapisi baja baja sinisme. Ia kembali menjadi istri yang hanya eksis secara fisik di apartemen mewah itu, tetapi jiwanya terkunci rapat di dalam lab, jauh dari jangkauan Bayu.​Setiap pagi, ia bangun, mandi, dan segera pergi ke kampus tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setiap malam, ia makan malam dalam keheningan yang mencekik dan segera mengunci diri di kamar, tenggelam dalam jurnal medis dan data penelitian. Ia tidak ingin lagi memberikan celah. Ia tidak ingin lagi menjadi lunak. Harapan yang hancur adalah rasa sakit yang jauh lebih buruk daripada kebekuan yang abadi.​Sementara itu, Bayu Andarsono, si CEO berwibawa, bertransformasi menjadi seorang suami yang mati-matian mengejar istrinya. Ia berada di antara dua dunia yang sangat kontras.

  • Sang Mempelai Pengganti    Jaring Laba-Laba di Lantai Eksekutif

    ​Beberapa minggu setelah makan malam romantis di puncak kota, kehidupan kami kembali tersusun dalam ritme yang tergesa-gesa. Aku dan Bayu sama-sama berjuang keras untuk menepati janji kami, janji untuk selalu memiliki ‘Andin and Bayu Time’ minimal satu jam sehari. Praktiknya sulit, hampir mustahil. Kami adalah dua orang profesional yang sangat berdedikasi, dengan tuntutan pekerjaan yang sangat berbeda namun sama-sama kejam.​Bayu, Sang CEO, harus berhadapan dengan pasar saham yang fluktuatif, negosiasi yang keras, dan dewan direksi yang menuntut. Sementara aku, Sang Calon Dokter, harus berkubang di laboratorium, menghadapi kegagalan demi kegagalan data, dan tekanan skripsi yang menanti.​Momen-momen intim kami sering kali hanya berupa Bayu yang menemaniku membaca jurnal medis di ruang tamu sambil ia membalas email dengan headset, atau kami berbagi secangkir cokelat panas setelah ia pulang larut malam. Namun, dalam kelelahan itu, ada ketulusan yang kupegang teguh. Bayu tidak lagi sedin

  • Sang Mempelai Pengganti    Bunga Segar dan Janji Pertama

    ​Pagi di Jakarta kembali menyambut Andin dengan hiruk pikuk khasnya. Namun, kali ini, Andin bangun dengan perasaan yang jauh berbeda. Kesunyian apartemen mewah ini terasa tidak lagi mencekik, tetapi seperti kanvas kosong yang siap dilukis. Bayu sudah berangkat pagi-pagi sekali, kembali ke singgasananya sebagai CEO yang tak tersentuh. Tetapi di meja pantry kamarku, ada catatan kecil dengan tulisan tangan Bayu yang tegas: “Sarapan sudah disiapkan di meja makan utama. Jangan lupakan bekal dari Ibu. Dan… kamu terlihat cantik saat tidur, Andin. M.B.” ​Senyumku tak bisa kuelakkan. Sebuah catatan yang begitu cheesy, begitu jauh dari citra Bayu yang berwibawa. ​Aku kembali ke kampus setelah cuti beberapa minggu. Duniaku, dunia kedokteran, sudah menunggu. Skripsiku, penelitianku tentang hepatocellular carcinoma (kanker hati) dan efek obat baru, menuntut perhatian penuh. ​Sesampainya di fakultas, aku disambut dengan kehebohan yang luar biasa. ​“Andin! Ya ampun! Kenapa kamu lama sekali meng

  • Sang Mempelai Pengganti    Dua Wajah Bayu Andarsono

    ​Senin pagi tiba dengan segala kesibukannya yang tenang. Matahari belum sepenuhnya meninggi, tetapi aroma masakan dan kesibukan Ibu di dapur sudah terasa. Pagi ini, ada sedikit melankoli yang menyelimuti rumah desa kami. Kami akan kembali ke Jakarta, ke dunia nyata yang kejam, meninggalkan perlindungan dan kehangatan yang telah kami temukan selama seminggu terakhir.​Ibu dan Ayah sibuk sekali. Mereka menyiapkan bekal dan oleh-oleh seolah kami akan bepergian ke luar negeri selama setahun. Beragam makanan khas desa seperti abon ikan, keripik singkong pedas, beberapa bungkus nasi kuning, dan berkarung-karung hasil kebun yang dibungkus rapi, ditata dengan penuh cinta ke dalam beberapa tas besar.​“Ini untuk bekal di jalan, Nak. Biar Mas Bayu tidak kelaparan saat menyetir,” kata Ibu, menyodorkan sekotak rendang jengkol kesukaanku. “Dan ini, untuk teman-teman kampusmu, Andin. Bilang saja ini oleh-oleh dari desa. Dan kamu, Mas Bayu, jangan lupa bagikan beberapa pada rekan kerjamu, biar merek

  • Sang Mempelai Pengganti    Janji di Bawah Kelip Bintang

    ​Satu minggu telah berlalu. Seminggu yang terasa lebih panjang dan lebih padat secara emosional daripada lima tahun pernikahan kami di Jakarta. Desa adalah saksi bisu, melihat transformasi Bayu dari suami berhati es menjadi suami yang gigih dan penuh canda. Ayah dan Ibu tampak sangat bahagia, mengira keharmonisan kami telah kembali, padahal sebenarnya, keharmonisan itu baru saja dimulai dari titik nol.​Bayu benar-benar menepati janjinya. Ia tidur di lantai kamarku, ia selalu menawarkan bantuan, dan ia tidak pernah lelah menggodaku.​“Calon dokter sepertimu harusnya sudah tahu, Andin,” katanya suatu pagi, saat aku sibuk mencuci piring, dan ia berdiri di ambang pintu dapur, menikmati kopi. “Bahwa kadar endorfin tertinggi itu dicapai saat melihat wajah malu-malumu.”​Aku menoleh dengan tatapan membunuh. “Mas Bayu, ini dapur, bukan laboratorium eksperimen emosi milikmu.”​“Oh, tentu saja. Tapi kamu lupa, di mataku, wajahmu itu adalah objek penelitian paling menarik,” balasnya santai, men

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status