Beranda / Romansa / Sang Mempelai Pengganti / Lima tahun dalam Keheningan

Share

Lima tahun dalam Keheningan

Penulis: Ummu_Fikri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-27 16:16:50

​Lima tahun. Waktu itu bergerak lambat di dalam apartemen, namun melesat bak anak panah di luar sana. Sejak malam resepsi yang dingin dan hampa itu, kami hidup dalam paralel tak bertemu. Aku, Andin, kini hampir menyelesaikan studi Kedokteranku di salah satu universitas negeri paling bergengsi di ibukota. Sementara Mas Bayu, ah, maaf, Kak Bayu telah mengukuhkan posisinya sebagai eksekutif muda yang dingin, cemerlang, dan tak tersentuh di perusahaan properti milik keluarga Andarsono.

​Di kampus, aku adalah Andin Paramita. Si cerdas, si pendiam yang senyumnya menenangkan, si mahasiswi tingkat akhir yang selalu mendominasi nilai mata kuliah sulit. Aku dikenal sebagai salah satu yang terbaik di angkatanku, kecerdasanku dalam menganalisis kasus klinis bahkan membuat beberapa dosen senior menggelengkan kepala takjub. Kepopuleranku, yang tak pernah kucari, tumbuh subur. Aku memiliki lingkaran pertemanan yang luas, dan yang lebih penting, aku memiliki banyak penggemar.

​“Din, serius, kamu enggak pernah lihat tatapan Kak Devan ke kamu di kelas Patologi tadi?” bisik Mia, sahabat karibku, saat kami berjalan melewati lorong fakultas yang ramai. “Dia bukan cuma kagum sama otakmu, dia suka sama kamu. Jelas banget.”

​Aku hanya tersenyum tipis. Senyum yang kutekuk sedemikian rupa agar terlihat anggun, padahal isinya adalah kelelahan ironis.

​“Aku tahu, Mi. Tapi aku lagi fokus skripsi. Lagipula, dia terlalu muda untukku,” jawabku ringan.

​Mia mendengus. “Dia cuma beda setahun, Din! Lagipula, kamu ini seperti berlian yang tersembunyi. Semua orang tahu kamu luar biasa, tapi tidak ada satu pun yang berhasil menjangkau. Sampai kapan mau jadi single misterius?”

​Ah, single. Kata itu seperti lelucon pahit yang harus kutelan setiap hari. Di mata mereka, aku adalah wanita lajang yang berhak mengejar cita-cita dan cinta. Mereka tidak tahu bahwa cincin sederhana di jari manisku telah menjadi penanda kekanganku. Cincin yang sengaja kutinggalkan di laci lemari setiap kali aku keluar rumah, khawatir ada teman yang melihat dan mulai bertanya. Pernikahanku dengan Bayu Andarsono adalah rahasia, sebuah perjanjian sunyi yang kami jaga ketat. Aku tidak mau reputasi Kak Bayu tercoreng karena menikahi seorang pilihan kedua yang kemudian berani bercerai, dan aku tidak mau reputasiku sebagai mahasiswi cemerlang ternoda oleh skandal pernikahan yang dipaksakan.

​Banyak mahasiswa bahkan beberapa adik angkatan yang berani menyatakan perasaan mereka dengan terang-terangan. Mereka menawarkan kencan, janji masa depan, dan segala bentuk kehangatan yang selama lima tahun ini begitu kurindukan. Aku menolak semuanya, dengan alasan klise fokus pada studi. Setiap penolakan itu terasa seperti tusukan kecil di hati. Aku bukan gadis single; aku adalah istri yang terikat janji suci. Kewajibanku tetap berbakti, menjaga kehormatan, meskipun suami yang kuhormati itu tidak pernah sudi melihatku lebih dari sekadar ‘orang lain’ yang kebetulan tinggal serumah.

​Pukul tujuh malam. Aku menekan kode sandi apartemen mewah milik Bayu di kawasan elit Jakarta Selatan. Begitu pintu terbuka, suasana langsung berubah drastis. Kontrasnya begitu menyakitkan. Jika di kampus aku dikelilingi tawa riang, diskusi hangat, dan sorotan kekaguman, di sini aku hanya disambut oleh keheningan yang tebal dan dingin.

​Lampu-lampu apartemen menyala otomatis, memamerkan desain interior minimalis yang elegan dan steril. Terlalu sempurna. Terlalu bersih. Terlalu sepi. Lima tahun, dan apartemen ini terasa asing, seolah aku hanya seorang tamu yang tak diundang, yang kebetulan memiliki kunci cadangan.

​Bayu biasanya sudah pulang, tenggelam dalam laptopnya di ruang kerjanya yang tertutup rapat, atau mungkin sedang berolahraga di gym pribadi di lantai atas. Aku meletakkan tas kuliahku yang penuh buku tebal, berjalan ke dapur, dan mulai memanaskan makanan yang sudah disiapkan koki langganan kami. Tidak ada masakan rumah, tidak ada aroma yang mengundang, hanya makanan yang disajikan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.

​Kehidupan rumah tangga kami adalah sebuah rutinitas yang monoton, dingin, dan kaku, persis seperti skema jadwal rapat dewan direksi.

​Protokol Utama: Pisah Kamar. Sejak malam pertama, kami telah menempati kamar yang berbeda. Kamar Bayu di ujung lorong utama, kamarku di tengah, dekat dengan ruang tamu. Tidak ada sentuhan, tidak ada percakapan intim di bantal, tidak ada kehangatan yang seharusnya mengisi ikatan pernikahan. Pintu kamarnya selalu tertutup rapat, seolah-olah menjaga benteng terakhir dari jiwanya yang didedikasikan sepenuhnya untuk kenangan Annisa.

​Protokol Kedua: Panggilan. Panggilan ‘Mas’ sudah dilarang keras sejak bulan pertama pernikahan.

​“Jangan panggil saya Mas,” katanya dulu, suaranya sedingin es yang baru dipecahkan. “Kita akan hidup begini. Anggap saya sebagai kakakmu. Kalau ada orang lain di rumah ini, panggil saya Kak Bayu. Itu lebih natural. Tidak ada yang perlu tahu status kita yang sebenarnya.”

​Kak Bayu. Panggilan itu ibarat dinding kaca. Aku bisa melihatnya, tetapi aku tidak pernah bisa menyentuhnya sebagai suami. Ironisnya, panggilan itu justru lebih menyakitkan daripada panggilan formal ‘Bapak Bayu’ sekalipun. Setidaknya, panggilan formal tidak menyiratkan keintiman palsu layaknya hubungan sedarah.

​Malam itu, seperti biasa, kami makan malam di meja makan besar yang hanya diisi oleh dua piring dan keheningan. Bunyi sendok beradu dengan piring adalah satu-satunya melodi. Bayu hanya berbicara seperlunya: “Bagaimana kuliahmu?” atau “Jangan pulang terlalu larut.” Pertanyaan basa-basi yang tidak membutuhkan jawaban tulus, hanya konfirmasi singkat bahwa aku masih hidup dan tidak melanggar perjanjian.

​Aku memandangi Bayu. Wajahnya tampan, tenang, dan matanya selalu memancarkan keseriusan yang lelah. Pria yang membuat banyak wanita di luar sana tergila-gila, tetapi hanya menatapku dengan tatapan kosong.

​Bayu menyelesaikan makannya, meletakkan sendok, dan beranjak. “Saya ada video conference di ruang kerja. Selamat malam.”

​“Selamat malam, Kak Bayu,” jawabku, suaraku nyaris bergetar karena rasa frustrasi yang menumpuk.

​Bayu bahkan tidak menoleh. Pintu ruang kerjanya tertutup. Aku ditinggalkan sendiri di ruang makan yang mewah. Kerinduan akan kehidupan rumah tangga normal terasa mencekik. Aku mendambakan tawa, sentuhan sapaan, percakapan ringan tentang hari yang melelahkan. Aku ingin mendengar cerita Bayu tentang pekerjaannya, dan aku ingin Bayu mendengarkan ceritaku tentang kasus pasien di kampus.

​Namun, semua itu hanya mimpi. Yang kudapatkan adalah keheningan, kesendirian yang mendalam, dan kamar yang terpisah. Lima tahun. Hampir enam tahun. Aku sudah menua di dalam pernikahan ini, tetapi statusku tetap sama: istri yang tidak dicintai.

​Frustrasi itu tidak lagi sekadar bisikan. Itu adalah raungan keras di dalam dadaku. Aku telah mencoba segalanya: menjadi istri yang baik, memasak (meskipun ia hanya makan masakan koki), merapikan kamarnya (tanpa ia tahu), bahkan berusaha menyamakan minatnya pada buku-buku finansial. Semuanya nihil. Aku tetap bayangan.

​Malam itu, setelah berjam-jam menatap langit-langit kamarku, aku sampai pada satu kesimpulan pahit. Aku tidak ingin lagi menjadi penjaga janji Annisa. Aku tidak ingin lagi menjadi sandiwara di hidup Bayu. Aku tidak mau menghabiskan masa mudaku dalam keheningan yang mematikan ini.

​Pagi-pagi sekali, tekad itu bulat. Aku akan mengakhiri sandiwara ini. Bayu masih sangat mencintai Annisa, dan aku tidak mau menjadi penghalang di antara mereka, bahkan jika Annisa sudah tiada. Aku akan memberinya kebebasan, dan aku akan mendapatkan kebebasanku kembali. Aku akan menjadi wanita lajang yang sesungguhnya di mata semua orang.

​Dengan tangan gemetar, aku mulai menulis surat itu. Surat cerai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sang Mempelai Pengganti    Momen Manis yang Terganggu

    Bab 11: Momen Manis yang Terganggu ​Satu minggu lagi telah berlalu. Total dua minggu sejak insiden Anita, dan tembok kebekuan yang dipasang Andin masih tegak kokoh. Bayu telah mengintensifkan upayanya, dan ia melakukannya dengan ketekunan yang pantas disandang oleh seorang CEO dengan aset miliaran. ​Setiap pagi, ia masih mencoba memasak sarapan. Tidak lagi hanya telur orak-arik gosong, tetapi kini ia mencoba pancake yang bentuknya aneh, atau oatmeal dengan buah-buahan yang disajikan di mangkuk mewah. Hasilnya? Masih jauh dari sempurna, tetapi usahanya tidak pernah gagal membuat Andin tersentuh, meskipun ia bersikeras untuk tetap dingin. ​“Pancake ini seharusnya berbentuk wa lingkaran sempurna, Andin,” keluh Bayu suatu pagi, menatap karyanya yang lebih mirip peta benua yang baru ditemukan. “Tapi entah kenapa, selalu berakhir seperti peta benua yang baru ditemukan.” ​“Mungkin kamu harus menyewa chef pribadi, Mas,” jawab Andin datar, tanpa menoleh. “Keahlianmu ada pada akuisisi s

  • Sang Mempelai Pengganti    Pengejaran di Tengah Kebekuan

    ​Seminggu telah berlalu sejak insiden kotak kue kering yang jatuh di lantai eksekutif Andarsono Group Tower. Andin masih berada dalam mode pertahanan diri total.Tembok emosional yang ia bangun kembali dan menjadi lebih tinggi, lebih tebal, dan dilapisi baja baja sinisme. Ia kembali menjadi istri yang hanya eksis secara fisik di apartemen mewah itu, tetapi jiwanya terkunci rapat di dalam lab, jauh dari jangkauan Bayu.​Setiap pagi, ia bangun, mandi, dan segera pergi ke kampus tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setiap malam, ia makan malam dalam keheningan yang mencekik dan segera mengunci diri di kamar, tenggelam dalam jurnal medis dan data penelitian. Ia tidak ingin lagi memberikan celah. Ia tidak ingin lagi menjadi lunak. Harapan yang hancur adalah rasa sakit yang jauh lebih buruk daripada kebekuan yang abadi.​Sementara itu, Bayu Andarsono, si CEO berwibawa, bertransformasi menjadi seorang suami yang mati-matian mengejar istrinya. Ia berada di antara dua dunia yang sangat kontras.

  • Sang Mempelai Pengganti    Jaring Laba-Laba di Lantai Eksekutif

    ​Beberapa minggu setelah makan malam romantis di puncak kota, kehidupan kami kembali tersusun dalam ritme yang tergesa-gesa. Aku dan Bayu sama-sama berjuang keras untuk menepati janji kami, janji untuk selalu memiliki ‘Andin and Bayu Time’ minimal satu jam sehari. Praktiknya sulit, hampir mustahil. Kami adalah dua orang profesional yang sangat berdedikasi, dengan tuntutan pekerjaan yang sangat berbeda namun sama-sama kejam.​Bayu, Sang CEO, harus berhadapan dengan pasar saham yang fluktuatif, negosiasi yang keras, dan dewan direksi yang menuntut. Sementara aku, Sang Calon Dokter, harus berkubang di laboratorium, menghadapi kegagalan demi kegagalan data, dan tekanan skripsi yang menanti.​Momen-momen intim kami sering kali hanya berupa Bayu yang menemaniku membaca jurnal medis di ruang tamu sambil ia membalas email dengan headset, atau kami berbagi secangkir cokelat panas setelah ia pulang larut malam. Namun, dalam kelelahan itu, ada ketulusan yang kupegang teguh. Bayu tidak lagi sedin

  • Sang Mempelai Pengganti    Bunga Segar dan Janji Pertama

    ​Pagi di Jakarta kembali menyambut Andin dengan hiruk pikuk khasnya. Namun, kali ini, Andin bangun dengan perasaan yang jauh berbeda. Kesunyian apartemen mewah ini terasa tidak lagi mencekik, tetapi seperti kanvas kosong yang siap dilukis. Bayu sudah berangkat pagi-pagi sekali, kembali ke singgasananya sebagai CEO yang tak tersentuh. Tetapi di meja pantry kamarku, ada catatan kecil dengan tulisan tangan Bayu yang tegas: “Sarapan sudah disiapkan di meja makan utama. Jangan lupakan bekal dari Ibu. Dan… kamu terlihat cantik saat tidur, Andin. M.B.” ​Senyumku tak bisa kuelakkan. Sebuah catatan yang begitu cheesy, begitu jauh dari citra Bayu yang berwibawa. ​Aku kembali ke kampus setelah cuti beberapa minggu. Duniaku, dunia kedokteran, sudah menunggu. Skripsiku, penelitianku tentang hepatocellular carcinoma (kanker hati) dan efek obat baru, menuntut perhatian penuh. ​Sesampainya di fakultas, aku disambut dengan kehebohan yang luar biasa. ​“Andin! Ya ampun! Kenapa kamu lama sekali meng

  • Sang Mempelai Pengganti    Dua Wajah Bayu Andarsono

    ​Senin pagi tiba dengan segala kesibukannya yang tenang. Matahari belum sepenuhnya meninggi, tetapi aroma masakan dan kesibukan Ibu di dapur sudah terasa. Pagi ini, ada sedikit melankoli yang menyelimuti rumah desa kami. Kami akan kembali ke Jakarta, ke dunia nyata yang kejam, meninggalkan perlindungan dan kehangatan yang telah kami temukan selama seminggu terakhir.​Ibu dan Ayah sibuk sekali. Mereka menyiapkan bekal dan oleh-oleh seolah kami akan bepergian ke luar negeri selama setahun. Beragam makanan khas desa seperti abon ikan, keripik singkong pedas, beberapa bungkus nasi kuning, dan berkarung-karung hasil kebun yang dibungkus rapi, ditata dengan penuh cinta ke dalam beberapa tas besar.​“Ini untuk bekal di jalan, Nak. Biar Mas Bayu tidak kelaparan saat menyetir,” kata Ibu, menyodorkan sekotak rendang jengkol kesukaanku. “Dan ini, untuk teman-teman kampusmu, Andin. Bilang saja ini oleh-oleh dari desa. Dan kamu, Mas Bayu, jangan lupa bagikan beberapa pada rekan kerjamu, biar merek

  • Sang Mempelai Pengganti    Janji di Bawah Kelip Bintang

    ​Satu minggu telah berlalu. Seminggu yang terasa lebih panjang dan lebih padat secara emosional daripada lima tahun pernikahan kami di Jakarta. Desa adalah saksi bisu, melihat transformasi Bayu dari suami berhati es menjadi suami yang gigih dan penuh canda. Ayah dan Ibu tampak sangat bahagia, mengira keharmonisan kami telah kembali, padahal sebenarnya, keharmonisan itu baru saja dimulai dari titik nol.​Bayu benar-benar menepati janjinya. Ia tidur di lantai kamarku, ia selalu menawarkan bantuan, dan ia tidak pernah lelah menggodaku.​“Calon dokter sepertimu harusnya sudah tahu, Andin,” katanya suatu pagi, saat aku sibuk mencuci piring, dan ia berdiri di ambang pintu dapur, menikmati kopi. “Bahwa kadar endorfin tertinggi itu dicapai saat melihat wajah malu-malumu.”​Aku menoleh dengan tatapan membunuh. “Mas Bayu, ini dapur, bukan laboratorium eksperimen emosi milikmu.”​“Oh, tentu saja. Tapi kamu lupa, di mataku, wajahmu itu adalah objek penelitian paling menarik,” balasnya santai, men

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status