Surat itu terlipat rapi menjadi empat bagian. Begitu putih, begitu formal, dan terasa begitu berat di tanganku, seolah-olah ia mengandung beban lima tahun kesunyian yang mencekik. Lima tahun di mana aku hanyalah bayangan di balik cermin kemewahan, istri tanpa suami, pendamping tanpa cinta.
Aku telah menulisnya di tengah malam, setelah berjam-jam menatap langit-langit kamar yang dingin. Kata-kata "Gugatan Cerai" terasa asing, begitu definitif, begitu kebalikan dari doa rapuh yang kupanjatkan pada malam pernikahan. Semoga Engkau menjaga pernikahan ini sampai akhir. Ternyata, doa itu tidak berlaku untuk hubungan yang didirikan di atas pasir duka dan kebohongan.
Aku menyingkirkan selimut, memaksa kakiku menginjak lantai marmer yang dingin. Jantungku berdebar tak karuan. Bukan karena cinta, tetapi karena ketakutan. Ketakutan akan konfrontasi. Ketakutan akan tatapan dingin Bayu, tatapan yang akan menghakimiku karena berani menghancurkan sandiwara yang telah ia bangun dengan susah payah.
Aku tidak memiliki keberanian untuk menyerahkannya secara langsung.
Kamar Bayu terletak di ujung koridor, sebuah benteng pertahanan terakhir dari jiwanya yang selalu tertutup rapat. Aku berjalan perlahan, langkahku senyap seperti hantu. Cahaya rembulan yang masuk dari jendela besar hanya menerangi sedikit lorong itu, membuat pintu kamar Bayu terlihat semakin monumental dan mengancam.
Aku berlutut di depan pintu kayu solid itu. Mengambil napas panjang, aku menyelinapkan surat yang sudah kumasukkan ke dalam amplop polos itu di bawah celah pintu. Gerakan itu terasa sangat pengecut, tetapi pada saat yang sama, terasa sangat melegakan. Aku telah melempar bom waktu. Sekarang, aku hanya perlu menunggu ledakannya.
Setelah surat itu hilang di balik pintu, aku segera berbalik. Berlarian kembali ke kamarku, seolah-olah pintu itu bisa terbuka kapan saja dan Bayu akan keluar, menuntut penjelasan, menghapus semua yang telah kubangun selama ini. Aku mengunci pintu kamarku sendiri, sebuah tindakan bodoh yang tidak ada gunanya, tetapi memberikan ilusi perlindungan.
Malam itu, aku tidur dengan gelisah. Pikiranku dipenuhi skenario bahwan mas Bayu membacanya, Bayu marah besar, Bayu menelepon Ayah, Bayu menangis, Bayu lega... Skenario yang terakhir adalah yang paling mungkin, dan yang paling menyakitkan. Bayu pasti akan lega. Akhirnya, beban Annisa, beban pernikahan yang dipaksakan, akan terangkat.
Pagi hari tiba, membawa serta rutinitas yang menjemukan. Aku sudah bangun sebelum jam lima, sengaja bergerak secepat kilat. Aku harus pergi, harus menghindari kemungkinan pertemuan di dapur atau di lift, di mana percakapan canggung dan dingin kami biasanya terjadi.
Aku tahu, setelah membaca surat itu, Bayu pasti akan merasa terkejut, entah itu terkejut karena marah atau terkejut karena senang. Tapi aku tidak siap melihat reaksi apa pun. Aku butuh waktu untuk menguatkan diri.
Jam enam pagi, aku sudah siap dengan pakaian santai untuk kuliah, tas punggung penuh buku, dan kacamata tebal yang selalu menjadi perisai di balik kecerdasanku. Aku tidak berani melirik pintu kamarnya saat melewati lorong itu. Aku hanya berharap Bayu sudah membacanya, dan ketika aku kembali nanti malam, aku akan menemukan selembar kertas balasan atau mungkin kunci apartemen yang telah ia tinggalkan sebagai tanda setuju.
Langkahku cepat. Aku turun ke lobby apartemen, melompat ke taksi online, dan berlari menuju kehidupan kedua yang selalu terasa lebih nyata, Kampus Kedokteran.
Di kampus, aku sekali lagi menjadi Andin Paramita, si cemerlang, si mahasiswi yang ditaksir banyak orang. Hari itu, aku memiliki jadwal penuh, mulai dari bimbingan skripsi hingga jam praktikum yang melelahkan.
“Andin, hasil penelitianmu luar biasa,” kata Profesor Arya, dosen pembimbingku, dengan mata berbinar. “Analisis kasus hepatocellular carcinoma ini sangat tajam. Kamu memiliki bakat klinis yang jarang kulihat.”
Pujian itu membanjiriku, membuatku merasa sejenius yang mereka katakan. Aku tersenyum, berterima kasih. Di sini, di balik dinding beton kampus, aku adalah diriku yang sebenarnya, seseorang yang dihargai, seseorang yang dilihat dan seseorang yang dianggap penting.
Bahkan Kak Devan, asisten lab yang lebih tua setahun dariku, terang-terangan memberiku kopi dingin di sela-sela praktikum, dengan pesan manis yang terselip di balik gelas. Tentu saja, aku menolaknya dengan halus, membuat Mia, sahabatku, mendesah frustrasi.
“Din, kamu itu kayaknya perlu kebahagiaan deh. Udah hampir enam tahun sendiri, Mas Bayu itu…” Mia terdiam, menyadari ia hampir kelepasan menyebut nama ‘kakak’-ku.
“Kak Bayu itu sibuk, Mi,” potongku cepat. Kalimat otomatis yang selalu kugunakan. “Dia sedang membangun kerajaan bisnis. Aku paham. Lagipula, aku juga sibuk. Kita sama-sama mengejar impian.”
Kebohongan. Bayu tidak sibuk membangun kerajaan. Bayu sibuk menjaga kehampaan. Dan aku, aku sibuk menjaga rahasia.
Sepanjang hari itu, meskipun aku tampil cerdas dan fokus, sebagian besar pikiranku melayang ke apartemen. Apakah dia sudah membacanya? Apakah dia sudah menandatanganinya? Apakah akhirnya aku bebas?
Menjelang sore, aku mulai resah. Aku meninggalkan kuliah malam dan memutuskan untuk pulang lebih larut. Aku tidak mau berada di apartemen saat Bayu pulang, takut ia akan keluar dari kamarnya sambil memegang surat itu, menuntut penjelasan. Aku memilih menghindari konfrontasi pertama.
Aku sengaja menghabiskan waktu di perpustakaan hingga pukul 21:00, lalu makan malam sendirian di kafe dekat kampus. Aku ingin memastikan Bayu sudah di rumah dan mungkin sudah tidur, atau setidaknya sudah berada di ruang kerjanya.
Tepat pukul 22:00, aku menekan kode sandi apartemen.
Kondisinya sunyi. Sangat sepi. Bahkan keheningan yang biasa terasa di apartemen ini kini terasa semakin dalam, semakin menusuk.
Aku mendorong pintu utama, dan kegelapan total menyambutku. Lampu belum menyala. Bayu belum pulang.
Aku terkejut. Biasanya, jam segini, dia sudah di rumah. Paling tidak, mobilnya akan terparkir di slot pribadinya. Ke manakah dia? Apakah dia sengaja menghilang setelah membaca surat itu?
Aku segera menyalakan semua lampu-lampu ruang tamu, lampu dapur, lampu koridor. Cahaya putih yang terang benderang tidak berhasil mengusir dingin yang tiba-tiba menyergapku.
Dengan langkah yang sangat hati-hati, aku berjalan menuju kamar Bayu. Pintu kayu solid itu masih tertutup. Jantungku berdetak kencang, memukul-mukul rusukku seperti genderang perang.
Aku berlutut. Mataku menyapu lantai di bawah pintu.
Kosong.
Surat itu sudah tidak ada.
Bayu sudah membacanya. Tidak ada keraguan lagi. Kelegaan yang singkat bercampur dengan ketakutan baru menyergapku. Dia sudah tahu.
Aku berdiri, menggigit bibir bawahku, menunggu. Aku menunggu Bayu membuka pintu itu, atau setidaknya aku mendengar suara dari dalam, suara yang memberitahuku bahwa dia ada dan dia akan bicara.
Keheningan. Hanya keheningan yang tebal dan memuakkan.
Aku menunggu selama lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Aku bahkan sempat berjalan ke dapur, mengambil segelas air, dan kembali ke depan pintu itu, berharap keajaiban terjadi.
Pintu itu tetap tertutup.
Bayu tidak ada di dalam.
Kepalaku mulai dipenuhi pertanyaan dan kecurigaan. Di mana dia? Apakah dia melarikan diri? Apakah dia marah dan pergi ke rumah orang tuanya?
Aku mencoba meneleponnya. Dering pertama. Dering kedua. Dering ketiga. Panggilan itu langsung masuk ke kotak suara.
Bayu mematikan ponselnya.
Kemarahanku yang terpendam selama lima tahun akhirnya meledak, bukan dalam bentuk teriakan, tetapi dalam bentuk panas yang membakar seluruh dadaku.
“Ini apa-apaan?!” bisikku keras, menatap pintu di depanku. “Kenapa dia tidak merespons?!”
Sebegitu tidak berartinya aku, Andin, di mata Bayu?
Aku telah memberinya surat yang berisi pengakhiran ikatan suci, sebuah dokumen yang sangat serius dan melibatkan hukum, melibatkan nama baik dua keluarga besar. Dan responsnya? Keheningan. Dia memilih untuk mengabaikan, untuk menghilang, untuk tidak memberikan reaksi apa pun.
Bayu tidak hanya menolakku sebagai istri, tetapi dia menolakku sebagai mitra dalam penyelesaian masalah ini. Dia memperlakukanku seolah-olah surat itu hanyalah selembar sampah yang tak layak direspons. Ini bukan hanya tentang ketidaksetujuan, ini tentang penolakan eksistensiku sebagai seseorang yang layak diajak bicara.
Dia masih mencintai Annisa. Dan di matanya, aku selalu menjadi yang kedua, yang tidak penting. Bayu bahkan tidak sudi meluangkan waktu lima menit untuk memberitahuku, ‘Aku setuju, kita cerai.’
Air mata yang sudah lama kubendung, air mata frustrasi dan kemarahan karena merasa tidak dihargai, akhirnya mengalir deras. Ini adalah penghinaan tertinggi. Jika dia mencintaiku, dia akan marah dan menolak surat itu. Jika dia membenciku, dia akan segera menandatanganinya. Tetapi, dia tidak melakukan apa pun. Dia memilih untuk bersikap seolah-olah aku dan suratku tidak pernah ada.
Kemarahan itu memberiku kekuatan yang aneh. Aku tidak akan membiarkan diriku terus terikat pada pria yang bahkan tidak mau mengakui kehadiranku di dunia ini, apalagi di dalam pernikahannya.
Keputusan itu datang secepat kilat. Aku tidak akan menunggu. Aku tidak akan menunggu Bayu kembali dari pelariannya, dan aku tidak akan menunggunya mengirim pesan singkat. Aku harus pergi. Sekarang.
Aku berjalan cepat menuju kamarku. Tidak ada lagi keraguan. Ini bukan lagi tentang mencari kebebasan; ini tentang melarikan diri dari kehinaan yang baru saja Bayu berikan.
Aku membuka lemari pakaianku. Koper-koper besar kutarik keluar. Aku mulai mengemas barang-barangku tanpa berpikir dua kali. Pakaian, buku-buku kuliah, laptop, dokumen penting. Aku hanya membawa apa yang paling penting.
Kamar ini, kamarku, tempat tidur tunggal yang dingin ini, adalah penjara yang kubangun sendiri. Aku tidak akan lagi tidur di sini. Aku tidak akan lagi berpura-pura bahwa suatu hari Bayu akan mengetuk pintu ini dan meminta maaf.
Aku mengemas foto-foto kenangan bersama Annisa, bersama Ayah dan Ibu. Foto pernikahan kami? Aku merobeknya dari bingkai, hanya pada bagian di mana aku dan Bayu berdiri berdua di pelaminan, lalu aku membuangnya ke tempat sampah. Aku tidak butuh pengingat tentang kepalsuan itu.
Satu-satunya yang tersisa di kamar itu adalah aura kekosongan yang selalu ada.
Aku menyempatkan diri menulis sebuah catatan singkat di secarik kertas post-it, lalu menempelkannya di layar laptop Bayu di ruang kerjanya yang masih terbuka. Catatan itu hanya berisi dua kata, ditulis dengan cepat dan tegas:
"Aku pergi."
Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tidak ada permohonan, tidak ada kata-kata perpisahan yang manis. Biarkan dia yang mencari tahu. Biarkan dia merasakan sedikit saja dari kebingungan dan frustrasi yang kurasakan selama lima tahun ini.
Aku menarik koper-koperku keluar dari kamar. Aku tidak butuh bantuan concierge. Aku bisa melakukan ini sendiri.
Saat melewati ruang tamu, mataku menatap apartemen mewah yang membisu ini. Apartemen yang dibayar mahal, tetapi gagal memberikan satu ons pun kebahagiaan. Aku menghela napas, napas terakhir Andin si istri yang terpaksa.
Di lift, aku menatap pantulan diriku sendiri. Mata merah, wajah lelah, tetapi ada secercah api yang baru menyala. Api pemberontakan. Aku tidak lagi peduli dengan sandiwara Bayu. Aku tidak peduli dengan nama baik keluarga Andarsono. Aku peduli pada diriku sendiri.
Aku memanggil taksi besar dari bawah. Saat taksi itu melaju, meninggalkan kawasan elit Jakarta yang selalu berkilauan, aku menatap ke belakang. Apartemen Bayu menjulang tinggi, sebuah monumen untuk cinta yang telah mati dan janji yang telah dipaksa.
“Ke kampung, Pak,” kataku pada sopir taksi, menyebutkan nama desa di Jawa Tengah. Perjalanan itu akan memakan waktu berjam-jam, tetapi aku tidak peduli. Jauh lebih baik menghabiskan malam di dalam mobil daripada di dalam keheningan yang mematikan itu.
Aku menyandarkan kepala di jendela, memejamkan mata. Kepulangan mendadak ke kampung halaman orang tuaku adalah satu-satunya pelabuhan yang bisa kucari. Mereka tidak tahu. Mereka hanya tahu kami harmonis. Aku harus berbohong lagi. Tapi kali ini, kebohongan itu untuk melindungi diriku sendiri.
Di dalam keheningan taksi yang melaju kencang, aku merasakan Bayu akhirnya terlepas dariku. Aku bebas, meskipun kebebasan itu datang dengan harga yang menyakitkan.
Kupikir, masalahnya selesai. Surat cerai telah dilempar, dan aku telah melarikan diri. Aku yakin Bayu pasti akan sangat lega, dan dalam waktu seminggu, surat cerai itu akan kembali padaku dengan tanda tangan yang ia bubuhkan.
Aku tidak pernah menyangka bahwa Bayu Andarsono tidak akan membiarkan kepergianku semudah itu. Pelarianku ini, bukannya mengakhiri sandiwara, malah memicu babak baru yang jauh lebih intens dan menyakitkan. Aku baru saja menyalakan bara api yang akan membuatku kembali terikat, namun dengan cara yang tidak pernah kuduga.
Dua minggu kemudian.
Rumah orang tuaku di desa, dengan udara yang masih sejuk dan aroma tanah basah, terasa seperti surga. Aku beralasan pada Ayah dan Ibu bahwa aku sedang mengambil cuti kuliah untuk memulihkan diri dari tekanan skripsi. Mereka percaya, dan Ibu merawatku dengan penuh kasih sayang, memasak makanan kesukaanku.
Aku terus menunggu. Menunggu telepon dari Bayu. Menunggu pesan marah. Menunggu dokumen dari pengacara. Tetapi Nihil, tidak ada apapun.
Ponselku sunyi. Bayu tidak menghubungi. Tidak ada pengacara yang datang. Keheningan yang sama mencekikku kembali, keheningan yang kurasakan di depan pintu kamarnya malam itu.
Aku mulai gelisah. Apakah dia benar-benar tidak peduli? Apakah dia tidak menyadari kepergianku?
Tepat di hari 14 pelarianku, saat aku sedang membantu Ibu menyiram tanaman di halaman depan, sebuah mobil mewah berwarna hitam legam meluncur masuk ke jalanan desa kami yang sempit. Mobil itu tampak sangat asing, terlalu mengkilap untuk debu jalanan ini.
Jantungku mencelos. Aku tahu siapa yang datang.
Dari mobil itu, Bayu Andarsono keluar. Mengenakan kemeja rapi yang digulung lengannya, celana bahan yang mahal, ia terlihat seperti dewa yang tersesat dari Olympus. Ia tampak lelah, tetapi raut wajahnya begitu ia melihatku langsung berubah drastis.
Ia menatapku dengan tatapan khawatir, seolah aku adalah satu-satunya hal yang paling berharga di dunia ini. Senyum tipis, lembut, dan penuh penyesalan terlukis di wajahnya.
“Andin,” sapanya, langkahnya tergesa-gesa menghampiriku. “Kenapa kamu pergi tanpa kabar? Aku mencari kamu ke mana-mana.”
Ia mengucapkan kata ‘aku’ bukan ‘saya’, sebuah perubahan yang hanya ia lakukan di depan orang tua kami. Kemudian, tanpa menunggu, ia memelukku erat, di depan Ayah dan Ibu yang tercengang.
Pelukan itu palsu. Kaku, dingin, tetapi di mata orang tua kami, itu adalah pelukan seorang suami yang merindukan istrinya.
“Mas Bayu?” seru Ibu, terkejut dan bahagia.
Bayu melepaskan pelukan itu, menatapku seolah aku adalah jiwanya yang hilang, lalu ia beralih ke Ibu.
“Maafkan saya, Bu. Andin sedang stres karena kuliahnya, dan saya tidak menyadarinya. Saya terlalu fokus dengan pekerjaan. Saya khawatir sekali setelah membaca catatannya.”
Catatannya! Bukan surat cerai, melainkan catatan singkat ‘Aku pergi.’ Dia sengaja memanipulasi informasi.
Aku berdiri membeku, terperangkap dalam sandiwara baru yang jauh lebih buruk. Sandiwara yang kini ia bawa ke rumahku, ke hadapan orang tua yang sangat kuhormati.
Bayu berdiri di sana, di tengah desa, bertindak seolah ia adalah suami yang paling baik sedunia. Suami yang khawatir, yang penuh cinta, yang rela melakukan perjalanan jauh hanya demi mencari istrinya.
Padahal, seujung rambut pun, aku belum pernah tersentuh olehnya.
Kini, aku harus menghadapi Bayu, bukan sebagai pria dingin di apartemen mewah, melainkan sebagai suami pura-pura yang sempurna di kampung halaman, di bawah pengawasan ketat Ayah dan Ibu. Pertarungan yang kuharap berakhir dengan surat cerai, justru baru dimulai.