“Semua sikapmu sangat baik Elang, bahkan sikap kamilah yang mungkin kurang berkenan di hatimu. Untuk itu kami mohon maaf,” ucap pak Wahyu. “Mas Elang, jangan sungkan untuk mampir ke sini lagi ya. Rumah ini adalah rumahmu juga Mas,” ucap Frisca serak. Ya, Frisca sangat sedih melihat Elang akan pergi dari kehidupannya. Karena jasa dan budi baik Elang, sangat besar bagi diri dan keluarganya. “Elang, biar nanti bapak urus semuanya. Kalau sudah beres nanti akan bapak kabari kamu,” ucap pak Bernard pelan, sambil memeluk sosok Elang. “Elang. Nanti kabari keberadaanmu seminggu dari sekarang ya. Biar bapak paketkan ke alamatmu berada, soal plat motor dan STNK mu,” ucap pak Wahyu, mengingatkan Elang. “Elang, bila sudah ketemu pacar bilang-bilang ibu ya. Hihihi..!” ucap bu Ratna sambil tertawa kecil menggoda Elang. “Terimakasih semuanya. Kalian semua adalah orang-orang yang baik. Elang mohon pamit, Assalamualaikum,” pamit Elang mengucap salam. “Wa’alaikumsalam... Elang, hati-hati di jalan
Bruaghh !! "Sekarang sebaiknya kamu pergi dari rumah ini Sekar..! Aku tak mau calon anakku menjadi cacad di dalam kandungan, akibat ulah-ulahmu..!” bentak Marini. Ya, Marini datang dan melemparkan pakaian Sekar, beserta sebuah tas besar. Untuk wadah barang-barang Sekar. “Kang Barja..?!” seru Sekar, sambil menatap suaminya memohon pembelaan. Alih-alih mendapat pembelaan dari suaminya, malah...“Benar Marini sayang. Memang lebih baik perempuan ini pulang saja ke rumahnya. Dan mengurus ibunya yang sakit-sakitan itu !” ujar Barja membenarkan prilaku Marini. Hal yang sangat terasa pedas dan menyakitkan sekali di hati Sekar. “Cepat kemasi barang-barangmu Sekar..! Aku sudah muak dikerjai olehmu..! Calon anakku bisa mati sebelum dilahirkan karenamu..!” bentak Marini, yang kata-katanya tentu saja membuat Barja juga cemas, akan nasib kandungan istri mudanya itu. Sungguh licin dan keji memang, wanita bernama Marini ini. “Tunggu apalagi Sekar..?! Cepat keluarr..!” bentak keras Barja. “
“Sstt. Tenanglah Mbak Sekar. Kasihan Ibu kalau Mbak tinggalkan begitu saja. Mbak tega melihat Ibu sakit sendirian, dan tak ada yang mengurusnya,” ucap Elang, berusaha menenangkan Sekar yang terus meronta. Akhirnya rontaan Sekar melemah, mendengar ucapan Elang yang mengingatkannya akan kondisi ibunya. Tinggallah kini isak tangis Sekar, yang terdengar memilukan di tengah hujan deras. Sungguh hal yang membuat Elang ikut kasihan melihatnya. Akhirnya tak lama kemudian hujan pun reda.“Sebaiknya kita ke rumah Ibu Mbak dulu sekarang. Pakaian Mbak Sekar basah, nanti bisa masuk angin lho,” ucap Elang. Lalu Elang bergegas mengambil tas yang di bawa Sekar tadi. Tas itu masih tergeletak begitu saja, di pinggir jembatan gantung. “Ayolah Mbak, mumpung hujan sudah reda,” ucap Elang.Perlahan Sekar bangkit dan mengikuti Elang menuju ke motornya, yang terparkir di sisi saung itu. “Tolong beri tahu arah ke rumah Ibu Mbak Sekar ya,” ucap Elang. “Iya Kang,” sahut Sekar pelan, menandakan Sekar kin
“Baiklah, tapi saya tunggu hujan reda saja dulu ya Mbak Sekar,” ucap Elang, sambil menuju ruang tamu dan duduk di sana. Elang berpikir, apakah dia harus membantu masalah yang di hadapi Sekar..? Atau dia tinggalkan saja tempat ini, dan melanjutkan perjalanannya kembali. Namun hati kecil Elang seolah berat, untuk meninggalkan Sekar sendirian, dalam menghadapi masalah yang dihadapinya. Sekitar sejam kemudian. Sekar keluar dari kamar sang Ibu dan menghampiri Elang, yang nampak masih termenung di ruang tamu sendirian. Hujan di luar masih saja terdengar deras mengguyur bumi. “Kang Elang,” panggil Sekar, sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan Elang. “Ehh, ya Mbak Sekar,” sahut Elang tersentak dari lamunannya. “Sekar mau tanya sesuatu pada Kang Elang. Boleh kan..?” ucap Sekar. “Silahkan Mbak Sekar,” sahut Elang. “Darimana Kang Elang tahu nama Sekar tadi, saat kita pertama bertemu..?” tanya Sekar. Elang terdiam sejenak, dia merasa agak bingung menjawab pertanyaan Sekar, “Entah
"Baik Kang Jaka, besok akan Rini antarkan uangnya ke Akang ya,” ucap Marini. “Siap! Riniku sayank,” rayuan gombal ala gembel pun keluar dari mulut Jaka. “Mmmuah..! Kang Jaka sayank,” balas Marini. “Akang nggak sabar ingin segera menikahi Rini, dan menimang anak kita di sana nanti Rin,” ucap Jaka penuh modus. “Kalau Barja sudah lenyap. Maka Kang Jaka harus segera ke sini, dan menikah dengan Rini ya Kang. Warisan Barja akan cukup buat kita bersenang-senang nantinya Kang,” ucap Marini. “Tentu Rini sayank. Akang pasti akan menikah dengan Rini setelah Barja tiada,” ucap Jaka. “Janji lho..! Akang nggak akan ke klub malam lagi, dan nggak ada cewek lain..!” tuntut Marini cemas. Karena memang ketampanan Jaka adalah idola, bagi para wanita di klub malam. “Kamu ‘satu’ di dalam hati akang, Rini sayank,” ucap Jaka sambil menjebikan bibirnya. ‘Kamu hanya ‘salah satu’ Rini bukan satu’, ralat bathin Jaka gemblung ini.“Ahh, Akang bisa ajah. Sudah ya Kang. Jumpa lagi besok. Mmmuah...!" Klikh
“Cihh..! Heei Sekar..! Amit-amit saya mengambil uangmu, yang paling isinya cuma seratus dua ratus ribu itu..! Cepat pergi..! Atau kupanggil Pak Waluyo di sebelah..!” bentak Marini marah. Elang pun turun dari motornya, ‘Perempuan brengsek ini memang harus dikasih sedikit pelajaran !” pikirnya. Diambilnya beberapa bunga tunas jambu air yang jatuh. Lalu di sentilnya dengan hanya menggunakan sedikit tenaga dalamnya saja. Seth..! Takh..!Bunga jambu itu melesat mengenai jidat Marini, yang kala itu sedang marah-marah pada Sekar. “Aduhhh..!” teriak Marini, sambil memegang jidatnya yang terasa sakit dan panas. Padahal dia tak melihat Sekar melakukan apa pun di depannya. Pandangannya pun berkeliling, mencari siapa yang menimpuk jidatnya. Dilihatnya pemuda yang mengantarkan Sekar, tapi dia sedang sibuk dengan ponselnya. Di rabanya lagi jidatnya, kini ia merasa sudah ada benjolan sebesar kelereng di sana. Rasa panasnya pun tak hilang-hilang. “Sudahlah..! Pergi kamu dari sini Sekar..!!" B
“Ada apa Mbak Sekar ?” tanya Elang serak. Dan mata Elang mau tak mau melihat keadaan tubuh ramping padat milik Sekar, yang hampir polos itu. Melihat Elang mendekati dirinya, Sekar menggelengkan kepalanya seolah melawan sesuatu. “Pergilah Kang Elang, ini memalukan,” ucap Sekar, sambil berusaha menutupi bagian tubuh terlarangnya. Namun tangan Sekar sendiri terlihat bergetar, seolah menolaknya. Elang lalu duduk di sisi ranjang, ‘Aku harus melakukannya, kasihan dia bisa mati’, bathin Elang. Perlahan Elang mengelus betis mulus Sekar, yang berbulu sangat halus hingga ke bagian atas dengkul wanita cantik itu. Sontak tubuh Sekar langsung bergetar hebat. Menahan gairahnya yang kian memanas dan menuntut pelepasan. Dan tanpa ada yang mengkomando, tiba-tiba saja mereka telah saling berpelukkan erat. Bibir Sekar yang merah merekah memagut bibir Elang. “Mmhhhh. Kang Elang. Lakukanlah Kang, Sekar ikhlas. Mungkin hanya dengan cara ini Sekar bisa berterimakasih atas kebaikkan Kang Elang. Lak
"Saya coba menyadarkan Ibu dulu ya Mbak,” ucap Elang meminta ijin Sekar. “Silahkan Kang Elang,” ucap Sekar. Elang mengangkat tubuh bagian atas ibu Sekar, lalu mendudukkannya di atas pembaringan. Kemudian Elang pun naik ke pembaringan, dan mengambil posisi bersila di belakang ibu Sekar. Tangan kiri Elang menahan pundak sang ibu. Sementara tangan kanannya bergerak cepat, menotok beberapa titik simpul di bagian belakang tubuh ibu Sekar. Lalu Elang menempelkan telapak tangannya ke pertengahan tulang belikat sang Ibu. Hawa murni Elang pun mulai mengalir perlahan ke tubuh sang ibu. Dan tk sampai 5 menit kemudian, “Hukk..uhukk..! Hhhh..hhhh,” sang ibu terbatuk, lalu dia mulai menarik nafasnya dalam-dalam. Perlahan pernafasan ibu Sekar pun berangsur normal. “Ibu sudah sadar Kang Elang,” ucap Sekar gembira, melihat ibunya kembali sadar. “Heii, mengapa ibu ada di rumah..?!” tanya sang ibu heran. “Tenanglah Ibu, semuanya baik-baik saja Bu,” ucap Elang lembut. Perlahan Elang kembali mem
"Tidak Ratih, malam ini aku akan mentransfer sebagian hawa murniku padamu. Dan sepertinya, esok hari kau sudah pulih total dari penyakit dalammu," sahut Elang tersenyum. 'Benarkah Mas Elang..? Maafkan Ratih telah merepotkan Mas Elang selama ini ya," ujar Ratih, dengan hati penuh rasa terimakasih. Telah dua kali Ratih berhutang nyawa pada Elang, hanya dalam kurun waktu dua hari saja. 'Tanpamu aku pasti sudah menjadi mayat saat ini Mas Elang', bathin Ratih. Keesokkan harinya seperti yang sudah diperkirakan oleh Elang, kondisi Ratih sepertinya sudan pulih seperti sediakala. Karena pada malam harinya, Elang memang telah mengalirkan hawa murni ke dalam diri Ratih. Untuk mempercepat pemulihannya. "Terimakasih Mas Elang, Ratih merasa sudah benar-benar pulih hari ini," ucap Ratih riang. Dia benar-benar takjub, merasakan kondisi tubuhnya yang telah kembali bugar itu. "Syukurlah Ratih. Untuk selanjutnya, sebaiknya kau menyamar dan berpakaian sebagai seorang pria saja. Agar perjalanan ki
"Hhh.. Baiklah Putriku, kau boleh keluar meluaskan pengalamanmu. Namun ingat..! Kau hanya boleh berkelana di wilayah Dhaka dan Galuga saja. Tak boleh lebih jauh dari itu," ujar sang Prabadewa akhirnya. "Terimakasih Ayahanda..! Baiklah Tantri ke kamar dulu, untuk menyiapkan bekal perjalanan nanti," seru Tantri senang, mendengar ijin dari ayahandanya. Dia segera beranjak masuk ke dalam rumah megahnya, untuk mempersiapkan perbekalannya. Nampak sang Ibunya Diyah Laksmita, juga ikut undur ke dalam rumah. Untuk membantu putri tersayangnya bersiap. "Baraga..! Kau bawalah Putriku serta, ke markas kita di wilayah Dhaka. Layani dan jaga dia dengan baik. Dan kabarkan pula pada pimpinan markas 'Serikat Mata Dewa' di Galuga. Untuk melayani Putriku, jika dia hendak ke wilayah Galuga nantinya!" perintah sang Prabadewa, pada pimpinan berbaju kuning itu. "Siap Paduka..! Saya akan melayani Tuan Putri sebaik mungkin," sahut Baraga patuh. "Untuk sementara, biarkan dulu daftar 17 pendekar itu bered
Danau ini terletak di antara pegunungan Kripak, yang berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Galuga dan kerajaan Shaba. Dua kerajaan yang masih berada di bawah kekuasaan tlatah Kalpataru saat itu.Hal yang unik di danau Kalayan itu adalah, adanya daratan yang cukup luas di tengah-tengah danau itu. Bisa dikatakan itu adalah sebuah pulau kecil di tengah danau, yang bernama Dotraga. Dan mitos yang tersebar dalam masyarakat, yang tinggal di sekitar danau Kalayan itu sangatlah mengerikkan. Dikisahkan asal muasal pulau itu dinamakan pulau Dotraga. Adalah karena banyaknya orang-orang terdahulu yang mengunjungi pulau tersebut, dan mereka tak pernah kembali lagi. Jangankan orangnya, bahkan perahu yang mereka pakai berlayar ke pulau itu pun, sama sekali tak pernah terlihat lagi di atas permukaan danau. Demikianlah secara turun temurun hingga saat itu. Tak ada lagi orang atau pencari ikan, yang berani mengunjungi pulau Dotraga itu. Karena Dotraga aslinya terdiri dari dua kata, yaitu
"Ahh..!" Seth..! Elang langsung melesat menyambar tubuh Ratih yang nyaris polos itu. Lalu membawanya ke dalam gubuk tempat mereka bermalam. Dengan terpaksa Elang membuka perbekalan Ratih. Untuk mengambil pakaian gadis itu dan memakaikannya. Sebuah pekerjaan yang cukup sulit bagi Elang. Karena selama mengerjakan itu, mau tak mau mata Elang harus menatap kemolekkan, dan kemulusan tubuh Ratih yang memang indah itu. 'Selesai', bathin Elang lega. Elang segera memposisikan Ratih dalam keadaan duduk di tepi dipan. Lalu dia pun mulai mengalirkan kembali hawa murninya, ke dalam tubuh Ratih. Beberapa saat kemudian, "Hoeksh..! Ahh...." dua gumpalan darah kehitaman sebesar buah rambutan, dimuntahkan oleh Ratih. Terdengar suara keluhan lemah Ratih, lalu nampak perlahan kedua matanya terbuka. "Tenanglah Tuan Putri. Semuanya baik-baik saja, kau beristirahatlah kembali. Sementara aku akan keluar, untukmencari makanan dulu," Elang berkata lembut pada Ratih. Ratih hanya bisa menganggukkan lema
Elang segera melepas bajunya, untuk menutup tubuh Ratih yang nyaris polos penuh memar itu. Lalu cepat dia menyalurkan 'hawa murni'nya, pada Ratih yang terluka dalam dan tak sadarkan diri itu. Setelah dirasanya cukup, dan wajah Ratih sudah nampak agak memerah. Elang menghentikan transfer hawa murninya. Elang segera beranjak berdiri, dan menatap tajam pada Palguna yang masih berada ditempatnya. "Pendekar macam apa kau..?! Beraninya menghantam perempuan sampai seperti itu..?!" seru Elang murka. "Hei..! Siapa kau yang datang belakangan..?! Kau jangan mengambil keuntungan dari pertarunganku dengannya..! Gadis itu milikku..!" seru Palguna marah. Dia baru saja kembali pulih, usai mengolah nafasnya, sesaat setelah pertarungannya barusan. Namun kini dia merasa 'incarannya' hendak dicuri, oleh Elang yang datang belakangan. Tentu saja dia menjadi naik pitam. "Sungguh bedebah kau..! Gadis ini sudah bersamaku sejak awal. Apa maksudmu aku mengambil keuntungan darimu?!" Elang balas menyentak m
'Wah..! Gadis yang masih belum pernah digoyang sepertinya ini', gumam bathin sang pemuda bercodet penuh hasrat. "Kalau begitu silahkan kau mandilah dulu. ! Aku menunggu kau selesai..!" seru Ratih kesal, seraya membalikkan tubuhnya. Ratih beranjak hendak kembali ke gubuk. Dia sebenarnya marah dan risih. Melihat mata jelalatan berminyak si pemuda codet, saat menatap tubuhnya tadi. Namun menyadari keadaan dirinya, yang memang hanya menutupi tubuhnya dengan kain. Maka Ratih memutuskan untuk kembali dulu ke gubuk, dan berganti pakaian di sana. Melihat calon 'kelonannya' beranjak hendak pergi. Tentu saja si codet tak bisa tinggal diam. Hasrat dalam dirinya sudah terlanjur membara di pagi hari itu. "Hei..! Mau kemana kau gadis denok..?!" Srath..! Pemuda codet itu berseru, seraya melesat cepat dari dalam sungai. Taph. ! Sosok si codet mendarat ringan di depan Ratih, yang tengah menuju ke gubuk. Nampak badan si codet masih basah dengan air, begitu juga celana kain yang dipakainya basah
"Ahh..! Terimakasih Elang," ucap Ratih lirih. Kini wajah pucatnya telah kembali memerah segar. Setelah racun asap hitam yang terhirup olehnya, berhasil dimusnahkan oleh Nyi Naga Biru tadi. "Bukan apa-apa Tuan Putri. Sekarang tunggulah sebentar di sini ya. Biar kuambil dulu perbekalan kita yang tertinggal di rumah itu," ucap Elang tersenyum lembut. Ratih hanya menganggukkan kepalanya, hatinya mulai luluh dengan sikap lembut Elang terhadapnya. Slaph..! Elang langsung melesat lenyap dari hadapan Ratih. 'Ahh..! Kenapa aku tak bisa lagi membenci dirinya sekarang? Ternyata dia sungguh dewasa dan lembut dalam usianya. Namun aku takut dan malu, jika dia membaca isi hatiku', bathin Ratih. Kini dia menyesal, karena telah meremehkan peringatan Elang soal pasukan Panglima Api. Ternyata apa yang diduga dan dikatakan Elang benar. Bahwa pasukan Panglima Api telah menguasai istana Kademangan. *** Keesokkan harinya terjadi kegegeran di tlatah Kalpataru dan sekitarnya. Seluruh perguruan sila
"Sungguh biadab gerombolan Panglima Api itu..! Baiklah Bapak, ada sesuatu yang harus saya lakukan. Biarlah mayat kedua orang brengsek itu saya bawa, dan memvuangnya keluar batas wilayah ini," maki Elang geram, seraya beranjak pamit pada sang bapak. Elang melangkah kembali ke dalam ruangan tengah, yang nampak sudah dibersihkan oleh ibu dan anak perempuannya itu. Dilihatnya dua sosok tubuh tanpa kepala, dari dua orang berpakaian hitam itu. Kini kedua mayat itu telah dijajarkan di lantai, oleh ibu dan anak perempuannya. "Ibu, Adik. Biar saya bawa kedua mayat ini." Seth..! Slaph! Elang berkata seraya melesat meraih dua sosok mayat itu, dan langsung melesat lenyap melalui pintu rumah yang memang saat itu terbuka lebar. "Tuan Pendekar..! ... Ahh! Sungguh bodoh aku tak menanyakan namanya sejak tadi Bu..!" seru si bapak menyesali dirinya. "Aduh..! Ibu juga lupa bertanya padanya Kangmas," seru si ibu, dengan rasa sesal yang sama. Taph..! Brugh..!! Elang hinggap di atas pagaran kayu-ka
"Aduhhs..!" Braghk..! Teriak sang Ibu mengaduh, sosoknya terhuyung menabrak dinding kamar. Akibat tendangan pria kasar itu. Namun dia tetap keukeuh tak mau keluar dari kamarnya. "Hei perempuan keras kepala! Keluar dari kamar, atau kugorok batang leher suamimu ini..!" ucap lelaki berpakaian hitam yang satu lagi dari luar kamar. Rupanya suami wanita itu telah ditelikung, dengan leher berkalungkan golok tajam yang berkeredepan. Golok itu siap ditarik, untuk menggorok leher sang suami. Sementara sang suami sendiri terlihat pasrah tak berdaya, dalam telikungan orang berpakaian hitam tersebut. "Kangmas..! Aduhh..! Ja-jangan bunuh suamiku Paman..! Aduh..! Bagaimana ini..?! Huhuhuu..!" seru panik sang wanita, dirinya menjadi bingung memilih, di antara pilihan yang sama beratnya. "Ibu..! Cepat Ibu keluar saja, biarkan Paman jahat itu memperkosaku. Selamatkan Bopo, Ibu..! Tsk, tsk..!" seru putrinya yang masih berusia 14 tahun itu, seraya terisak pedih. Ya, dia merasa sudah tak ada harap