"Wah..! Maafkan kami Elang. Kamu jadi menyaksikan suasana tak enak di sini. Sekali lagi kami sekeluarga mengucapkan terimakasih, atas pertolonganmu pada Devi,” ucap Aditya, yang merasa tak enak pada Elang. Karena dia sempat memaki-maki orang, di depan penolong putrinya ini. “Iya Elang, terimakasih ya atas pertolongannya. Besok jangan lupa datang saja pagi-pagi ke sini ya. Lebih baik kamu menginap di sini saja, sampai kamu mau melanjutkan perjalanan kembali,” Shinta berkata sambil tersenyum ramah. “Tidak apa-apa Pak, Bu. Baiklah, besok saya akan datang ke sini. Semoga tidak merepotkan keluarga disini,” Elang berkata sopan. Elang merasa si Schafer dan dua pengawalnya tidak akan melepaskan Devi begitu saja. Firasatnya mengatakan, akan ada ‘sesuatu’ yang terjadi besok. Dan Elang bermaksud menjaga keluarga baik ini, dari hal buruk yang bisa terjadi besok. “Sama sekali tidak merepotkan Elang. Di sini ada Made adiknya Devi. Dia pasti senang mendapat teman ngobrol dan bermain. Kamu bi
“Buktikanlah..! Jangan cuma sekedar berbicara saja kalian..!” cetus Schafer, merasa gemas dan jengkel pada kedua pengawalnya. Ibarat ‘kue lezat’ sudah di suap dan menempel di bibir, namun terjatuh ke tanah. Begitulah hal yang dirasakan Schafer. Bagaimana dia tak jadi penasaran setengah modar, terhadap sosok jelita seperti Devi. Akhirnya malam itu Schafer pun tidur dengan perasaan ‘kentang’. *** Ke esokkan harinya. Pagi-pagi Elang sudah mandi dan mempacking rapih ranselnya. Dia berniat berjalan-jalan ke arah rumah Devi, sambil mencari tempat yang cocok untuk sarapan. Setelah mengembalikan kunci kamarnya pada petugas losmen, Elang melangkah keluar dengan santai. Dia masih hapal dengan rute jalan, yang di laluinya semalam bersama Made. Akhirnya pilihan tempat sarapan Elang jatuh di sebuah warung nasi goreng, yang terlihat bersih dan agak ramai pengunjung. Elang pun masuk dan duduk di dalamnya, seorang pelayan datang menanyakan pesanannya. Elang memesan nasi goreng spesial ala w
Braaghk..!!Suara keras pagar gerbang di tabrak sesuatu terdengar, memecah suasana damai di kediaman Aditya. Elang bergegas melesat ke arah atap rumah, untuk melihat sesuatu yang terjadi di depan rumah. Di lihatnya pagar rumah Devi roboh bagai di terjang truk, besi-besinya tampak melengkung ke arah dalam. Namun Elang maklum, itu adalah ulah dua pengawal Schafer, yang kini tengah bertolak pinggang di depan teras rumah Aditya. Sementara dilihatnya Schafer melipat tangan dan berdiri angkuh, di belakang kedua pengawalnya itu. “Aditya..! Kami kemari atas nama Tuan Richard..! Untuk menarik dana Tuan Richard yang ada di perusahaanmu. Harap diselesaikan sekarang juga atau Devi sebagai jaminannya..!” seru Peter Lee bernada mengancam. Aditya maju keluar dari rumahnya, dia sama sekali tak gentar pada dua pengawal Schafer ini. “Kalian ini dari negara maju tapi kelakuan kalian bagai negeri barbar..! Bicaralah baik-baik..! Tak usah mengancam-ancam orang..!” seru Aditya yang naik darah, meli
Ya, saking emosinya mereka lupa, jika masih ada Elang di situ. Seth..! Elang pun berkelebat cepat menangkap kaki Peter Lee, dan juga pergelangan tangan Storm sekaligus. Taphh..!! Klagh..! Krakhh..!! Terdengar dua kali suara tulang patah, saat Elang menyentak keras tulang kaki dan tangan mereka berdua. “Aarrgghkks...!!” dua teriakkan syahdu kesakitan 11 oktaf pun bergema di area rumah Aditya. Sungguh padu dan saling mengisi. Storm langsung terloncat-loncat kesakitan, dan Peter Lee langsung bergulingan memegangi pergelangan kaki kanannya yang patah. Semua mata yang melihat pun terbelalak ngeri. Schafer langsung menjatuhkan diri berlutut di tempat. Brugh.! Dirinya sungguh takut dan bergidik melihat pemuda itu. Dia tak mau mendapat nasib sama, seperti kedua pengawalnya. “Ampun Tuan, saya tak melakukan apa-apa..!” Schafer berseru sambil menundukkan kepalanya pada Elang. Drap, drap, drap..! "Hihh..!" Prakkhh..! Bi Wati berlari sambil memegang sapu lidi mendekati Schafer, lalu
“Duh Gusti..! Ya ampunn..! Iya Bu..!” bi Wati lepaskan sapu lidinya jatuh begitu saja, dan ikut berlari ke dapur. Elang dan Aditya hanya tersenyum geli, melihat kehebohan ibu-ibu itu. ‘Biarlah, paling ganti menu atau beli saja nanti’, pikir Aditya, sambil mengusap matanya yang masih agak basah. “Elang mari kita duduk dulu di teras. Bapak ingin bicara,” ajak Aditya sambil merangkul bahu Elang. Sementara Devi masih memandangi sosok Elang dengan mata basah. Tertulis sudah nama Elang kini di lubuk hati terdalamnya. Ya, Devi sudah jatuh cinta penuh tanpa bisa ditawar lagi, pada pemuda gagah dan berkemampuan itu. “Devi, tolong buatkan minuman ya,” Aditya memerintahkan Devi, saat dia melihat putrinya masih terpana menatap Elang. Aditya pun tersenyum memakluminya. “Ahh..ehh..! Iya Ayah,” sahut Devi gugup. ‘Untung mas Elang membelakangiku’, bathin Devi tersipu malu. “Nah ya, Ka Devi ketahuan,” Made berbisik di sebelahnya dengan senyum meledek. “Apa sih..?” balas Devi berbisik keki.
“Elang.! Entah apa yang bisa mengungkapkan rasa terima kasih bapak. Atas kebaikkanmu yang bagaikan air mengalir ini. Terimakasih Elang..! Terimakasih atas uluran tanganmu pada kami,” begitu tulus dan dalam sekali, ungkapan terimakasih Aditya pada Elang. “Sudahlah Pak Aditya, sudah sewajarnya kita saling menolong sebatas yang kita mampu. Pak Aditya orang baik, walau Pak Aditya tak bertemu saya. Pasti akan ada saja orang lain yang membantu keluarga Bapak. Ini hanya kebetulan saja Pak,” Elang berkata pelan. “Minuman dan kuenya Mas Elang, Ayah,” ucap Devi datang tersenyum, namun matanya nampak agak sembab. Dia sebenarnya sudah agak lama berada di balik teras rumah. Devi ikut mendengarkan pembicaraan Elang dengan pak Bambang, dan Devi pun menjadi paham. Ya, sekali lagi Elang telah membantu sang ayah dalam bisnisnya. Dan Devi ikut menangis, saat ayahnya menangis berterimakasih pada Elang. “Terimakasih Devi,” Elang tersenyum. “Silahkan Mas Elang, Ayah,” Devi segera beranjak kembali
“Serahkan tasmu atau kau mati disini..!!” hardik seorang berpakaian ala preman kampung. Pada seorang ibu muda cantik berkacamata hitam. Wanita itu sedang hendak naik ke mercusuar bersama putranya, yang masih berusia 5 tahun lebih. Dan di belakang si preman kampung itu, ikut serta dua orang temannya. Seorang berbadan cukup kekar, seorang lagi beranting sebelah. Ketiga preman itu memakai kaos buntung, seolah memamerkan tato di lengan kiri mereka masing-masing. Yang sedang mengeksekusi si ibu muda bertato Kalajengking. Sementara dua temannya bertato ‘ular kobra’ dan ‘jarum suntik’. Ketiganya berambut gondrong. “T-tidak..! Jangann..! Toll.... mmphhf..!” ibu muda berseru gugup ketakutan. Namun belum sempat dia berteriak minta tolong, sebuah tangan kasar dan bau rokok telah membekap mulutnya. Rupanya si ‘Jarum suntik’ cepat tanggap, akan apa yang akan di teriakkan si ibu muda. Dia segera maju dan membekap ibu muda itu. Sedangkan si bocah yang mulai ikut berteriak menangis, langsung
"Tubuhmu indah sekali Wanti,” Permadi berkata tenang memuji. “Hahh..! Mas Permadi..! Tolonglah segera keluar dari kamar Wanti..!” Wanti langsung menoleh ke arah pintu dan terkejut, saat mendapati Permadi telah berada di dalam kamarnya. Tentu saja Wanti merasa malu dengan kondisinya, yang nyaris polos itu. Permadi berjalan perlahan mendekati Wanti, sambil membuka pakaiannya sendiri. Dia tersenyum dingin, saat melihat Wanti berusaha menutupi dada dan bagian bawah tubuhnya dengan wajah panik. Wanti mau berteriak tapi takut namanya malah akan buruk dan tercemar. Karena memang dialah yang mengundang Permadi ke rumahnya. “Mas, tolong jangan lakukan ini padaku..!” seru Wanti tertahan. “Saya akan melakukannya dengan lembut Wanti,” ujar Permadi tersenyum, sambil melepaskan celana dalamnya. Degh..! Jantung dan hati Wanti berdebar keras, matanya terbelalak ngeri, saat melihat sesuatu yang tegak mengarah ke atas dari pangkal paha Permadi. ‘Ohh..! Be..besar dan keras sekali nampaknya’, ba
"Ahh! Silahkan Gusti Putri Ratih, Tuan Muda silahkan masuk ke dalam. Baginda ada di astana istana dalem. Mari ikuti hamba," sahut sang kepala pengawal hormat. Ya, dia segera mengenali Gusti Putrinya itu. Karena dia memang pernah berkunjung bersama rombongan Rajanya, ke istana kerajaan Kalpataru. Sampailah mereka di depan sebuah ruang megah dalam istana. Pintu masuk ruang itu tidak memiliki daun pintu. Namun dua orang prajurit istana berjaga di depan pintu itu. Kedua prajurit jaga itu memegang tombak serta perisai di tangannya, mereka mengangguk hormat saat kepala pengawal istana datang. Kepala pengawal langsung mengajak Elang dan Ratih ikut masuk bersamanya, ke dalam ruang istana dalem keraton tersebut. Sebelumnya sang Kepala Pengawal sempat menanyakan lebih dulu nama Elang. "Salam Paduka Yang Mulia. Dua utusan dari kerajaan Kalpataru, Gusti Putri Ratih Kencana datang bersama pengawalnya Elang Prayoga," ucap sang kepala pengawal, setelah dia berlutut seraya memberi hormat pada Ra
Elang pun menerapkan aji 'Perisai Sukma' pada tangannya. Cahaya hijau terang seketika menyelimuti telapak tangannya. Dia hendak menyediakan tangannya itu, untuk menjadi 'sasaran' hantaman. Dari dua hantaman jarak jauh Tantri, dan si pemuda baju putih itu. Sekaligus melerai pertarungan adu energi tersebut. "Maaf, tulangnya berbahaya jika melayang begini, bisa melukai orang lewat," ucap Elang tenang, seraya menggenggam potongan tulang kambing yang agak runcing tersebut. Taph! Brashk..! Blasth..! Dua energi pukulan jarak jauh menghantam tangan Elang. Gelombang dua energi itu pun pecah disekitar tangan Elang itu. Namun tentu saja hal itu tak berpengaruh terhadap tangan Elang, yang sudah terlambari aji 'Perisai Sukma'nya. Sraghk..!! Sosok Tantri dan si pemuda baju putih sama tersentak ke belakang. Namun mereka berdua seolah lepas, dari tindihan energi yang sejak tadi saling mendorong itu. "Ahh..!" sentak kaget Tantri dan si pemuda bersamaan. Mata mereka berdua terbelalak, menatap
"Ahhh! Awas!!" seketika para pengunjung rumah makan itu panik ketakutan. Mereka lalu bubar tunggang langgang, meningalkan meja makan mereka begitu saja. Tentu saja pemilik warung dan para pelayannya, tak bisa mencegah dan menyalahkan mereka. Kendati hampir semua pengunjungnya belum membayar, makanan yang mereka pesan. Mereka hanya bisa menatap bingung, panik, dan ketakutan. Lalu akhirnya mereka pun ikut bergegas keluar, dari rumah makan mereka. Kini yang tinggal di rumah makan itu adalah Bopak dan tiga kawannya, Tantri dan Baraga, Elang dan Ratih, serta dua orang pemuda gagah berpakaian putih itu. "Majulah jika kalian berempat ingin mati cepat..!" sentak Tantri, seraya mengalirkan 'power' tenaga dalamnya pada kedua tangannya. Jurus pukulan 'Mentari Membakar Awan' segera disiapkannya. "Paman Baraga..! Kau mundurlah..!" seru Tantri, menyuruh Baraga yang telah bersiaga untuk mundur. Maka tak ada pilihan lagi, Baraga segera mundur ke belakang, menuruti suruhan tuan putrinya itu. "
"Keparat memang pemuda yang bersama gadis cantik itu..! Andai dia tak datang dan ikut campur..!Pasti kita bisa bersenang-senang dengan gadis denok itu sekarang. Mumpung Tuan kita belum kembali dari Galuga..!" seru salah seorang dari mereka. "Hei, Bopak..! Kaupikir jika gadis itu berhasil kita tawan, kau akan dapat kesempatan mencicipi gadis itu..?! Mimpi kau..! Yang pasti, 'Tiga Kalajengking Merah' yang akan mendapatkan kesempatan itu. Paling-paling kau cuma kebagian mendengar desah nafas mereka saja, dan disuruh berjaga di depan kamar..! Hahahaa..!!" sentak seorang kawannya, seraya terbahak mengejek. "Hahahaa..!! Jangan mimpi Bopak..!" ejekkan itu diikuti pula oleh gelak mengejek, dari dua rekannya yang lain. Elang melihat kedua tangan Ratih yang mengencang. Sepasang mata Ratih juga memicing marah, menatap ke arah 4 orang berbaju hitam tersebut. Elang sangat memaklumi jika Ratih menjadi naik darah, mendengar pembicaraan empat orang itu. Karena gadis yang sedang jadi pembicaraa
"Tidak Ratih, malam ini aku akan mentransfer sebagian hawa murniku padamu. Dan sepertinya, esok hari kau sudah pulih total dari penyakit dalammu," sahut Elang tersenyum. 'Benarkah Mas Elang..? Maafkan Ratih telah merepotkan Mas Elang selama ini ya," ujar Ratih, dengan hati penuh rasa terimakasih. Telah dua kali Ratih berhutang nyawa pada Elang, hanya dalam kurun waktu dua hari saja. 'Tanpamu aku pasti sudah menjadi mayat saat ini Mas Elang', bathin Ratih. Keesokkan harinya seperti yang sudah diperkirakan oleh Elang, kondisi Ratih sepertinya sudan pulih seperti sediakala. Karena pada malam harinya, Elang memang telah mengalirkan hawa murni ke dalam diri Ratih. Untuk mempercepat pemulihannya. "Terimakasih Mas Elang, Ratih merasa sudah benar-benar pulih hari ini," ucap Ratih riang. Dia benar-benar takjub, merasakan kondisi tubuhnya yang telah kembali bugar itu. "Syukurlah Ratih. Untuk selanjutnya, sebaiknya kau menyamar dan berpakaian sebagai seorang pria saja. Agar perjalanan ki
"Hhh.. Baiklah Putriku, kau boleh keluar meluaskan pengalamanmu. Namun ingat..! Kau hanya boleh berkelana di wilayah Dhaka dan Galuga saja. Tak boleh lebih jauh dari itu," ujar sang Prabadewa akhirnya. "Terimakasih Ayahanda..! Baiklah Tantri ke kamar dulu, untuk menyiapkan bekal perjalanan nanti," seru Tantri senang, mendengar ijin dari ayahandanya. Dia segera beranjak masuk ke dalam rumah megahnya, untuk mempersiapkan perbekalannya. Nampak sang Ibunya Diyah Laksmita, juga ikut undur ke dalam rumah. Untuk membantu putri tersayangnya bersiap. "Baraga..! Kau bawalah Putriku serta, ke markas kita di wilayah Dhaka. Layani dan jaga dia dengan baik. Dan kabarkan pula pada pimpinan markas 'Serikat Mata Dewa' di Galuga. Untuk melayani Putriku, jika dia hendak ke wilayah Galuga nantinya!" perintah sang Prabadewa, pada pimpinan berbaju kuning itu. "Siap Paduka..! Saya akan melayani Tuan Putri sebaik mungkin," sahut Baraga patuh. "Untuk sementara, biarkan dulu daftar 17 pendekar itu bered
Danau ini terletak di antara pegunungan Kripak, yang berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Galuga dan kerajaan Shaba. Dua kerajaan yang masih berada di bawah kekuasaan tlatah Kalpataru saat itu.Hal yang unik di danau Kalayan itu adalah, adanya daratan yang cukup luas di tengah-tengah danau itu. Bisa dikatakan itu adalah sebuah pulau kecil di tengah danau, yang bernama Dotraga. Dan mitos yang tersebar dalam masyarakat, yang tinggal di sekitar danau Kalayan itu sangatlah mengerikkan. Dikisahkan asal muasal pulau itu dinamakan pulau Dotraga. Adalah karena banyaknya orang-orang terdahulu yang mengunjungi pulau tersebut, dan mereka tak pernah kembali lagi. Jangankan orangnya, bahkan perahu yang mereka pakai berlayar ke pulau itu pun, sama sekali tak pernah terlihat lagi di atas permukaan danau. Demikianlah secara turun temurun hingga saat itu. Tak ada lagi orang atau pencari ikan, yang berani mengunjungi pulau Dotraga itu. Karena Dotraga aslinya terdiri dari dua kata, yaitu
"Ahh..!" Seth..! Elang langsung melesat menyambar tubuh Ratih yang nyaris polos itu. Lalu membawanya ke dalam gubuk tempat mereka bermalam. Dengan terpaksa Elang membuka perbekalan Ratih. Untuk mengambil pakaian gadis itu dan memakaikannya. Sebuah pekerjaan yang cukup sulit bagi Elang. Karena selama mengerjakan itu, mau tak mau mata Elang harus menatap kemolekkan, dan kemulusan tubuh Ratih yang memang indah itu. 'Selesai', bathin Elang lega. Elang segera memposisikan Ratih dalam keadaan duduk di tepi dipan. Lalu dia pun mulai mengalirkan kembali hawa murninya, ke dalam tubuh Ratih. Beberapa saat kemudian, "Hoeksh..! Ahh...." dua gumpalan darah kehitaman sebesar buah rambutan, dimuntahkan oleh Ratih. Terdengar suara keluhan lemah Ratih, lalu nampak perlahan kedua matanya terbuka. "Tenanglah Tuan Putri. Semuanya baik-baik saja, kau beristirahatlah kembali. Sementara aku akan keluar, untukmencari makanan dulu," Elang berkata lembut pada Ratih. Ratih hanya bisa menganggukkan lema
Elang segera melepas bajunya, untuk menutup tubuh Ratih yang nyaris polos penuh memar itu. Lalu cepat dia menyalurkan 'hawa murni'nya, pada Ratih yang terluka dalam dan tak sadarkan diri itu. Setelah dirasanya cukup, dan wajah Ratih sudah nampak agak memerah. Elang menghentikan transfer hawa murninya. Elang segera beranjak berdiri, dan menatap tajam pada Palguna yang masih berada ditempatnya. "Pendekar macam apa kau..?! Beraninya menghantam perempuan sampai seperti itu..?!" seru Elang murka. "Hei..! Siapa kau yang datang belakangan..?! Kau jangan mengambil keuntungan dari pertarunganku dengannya..! Gadis itu milikku..!" seru Palguna marah. Dia baru saja kembali pulih, usai mengolah nafasnya, sesaat setelah pertarungannya barusan. Namun kini dia merasa 'incarannya' hendak dicuri, oleh Elang yang datang belakangan. Tentu saja dia menjadi naik pitam. "Sungguh bedebah kau..! Gadis ini sudah bersamaku sejak awal. Apa maksudmu aku mengambil keuntungan darimu?!" Elang balas menyentak m