Share

Bab 292.

Author: BayS
last update Last Updated: 2025-04-24 08:34:10

Taph..! Blaaph..!

Ki Palasara langsung menyambar tubuh Permadi, dan keduanya langsung lenyap dari rumah panggung itu.

Blaph..!

"Salam Moyang Bogananta. Aku datang membawa Permadi," Ki Palasara berkata dengan daya bathin melambari suaranya.

Dia muncul di hadapan Ki Bogananta, yang kala itu tengah 'hening' di ruang dimensinya.

Karena hanya dengan melambari suaranya dengan daya bathinnya, maka suaranya akan menembus alam keheningan moyangnya itu.

Perlahan sepasang mata Ki Bogananta terbuka. Ki Palasara pun langsung tertunduk hormat.

Ya, sejak dulu dia memang tak pernah sanggup beradu tatap dengan moyangnya itu. Karena tatap mata Ki Bogananta memang seolah menenggelamkannya, ke dalam samudera tanpa dasar.

Pasca insiden di 'medan pasir', Ki Bogananta dan Ki Prahasta Yoga memang langsung kembali ke ruang dimensinya masing-masing.

Mereka menyerahkan pengurusan Elang dan Permadi, di tangan Ki Sandaka dan Ki Palasara hingga pulih.

"Hmm. Palasara, baringkan Permadi di hadapanku. Energi
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Gina Yusuf
penasaran sama mas permadi setelah kembali ke dunia nyata nanti... ditunggu ya kak kelanjutannya.. semangat & sehat selalu.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 388.

    "Huhh. ! Dasar wanita jalang..! Datang-datang langsung pamer kemampuan..! Cihh..!" seru Nyi Sekarwati marah dan cemburu. Nyi Sekarwati sungguh merasa tersaingi, dengan kedatangan wanita cantik lain, yang nampak lebih jelita dibanding dirinya. Ditambah lagi dia sempat melihat mata suaminya, yang dengan jelalatan menatap Nyi Kedasih tadi. "Siapa aku, tak ada urusannya denganmu..! Ini adalah tongkat warisan Guruku!" Nyi Kedasih berseru tak senang, atas pertanyaan Ki Sardujagat. Karena sepuh itu bertanya, dengan mata jelalatan menelusuri lekuk tubuhnya tadi. "Dan kau wanita pesolek..! Berkacalah sebelum berkata, atau kuhanguskan mulutmu itu..!" seru Nyi Kedasih marah bukan main, seraya menunjuk wajah Nyi Sekarwati dengan tongkat hitamnya. Seketika menderu serangkum gelombang hawa menyengat, mengarah ke Nyi Sekarwati, yang berada disebelah Ki Sardujagat.Werrshh..! "Huph..!" Blaarsh..! Reflek Ki Sardujagad beraeru, sambil kembangkan tapak tangannya. Menghadang angin pukulan Nyi Keda

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 387.

    Surapati bertemu dengan pendekar itu di kedai minuman, di wilayah Galuga. Tempat Elang terakhir kalinya berada, sepengetahuan Surapati. Dengan keluwesan dan keroyalannya mentraktir sang pendekar itu. Akhirnya Surapati mendapat kabar, bahwa Elang saat ini sedang menuju ke wilayah Shaba. Segera saja Surapati banting arah ke wilayah Shaba saat itu juga. 'Hmm. Elang! Ke langit manapun kau pergi, takkan kubiarkan kau lolos dari pengawasanku..!', bathin Surapati geram. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Maka tepat pada saat malam menjelang, Surapati telah memasuki kotaraja Shaba. Namun Surapati sama sekali tak tahu, soal kabar akan munculnya Naga Hijau di Telaga Wangipandan. Karenanya dia langsung memutuskan bermalam di rumah 'kembang', yang berada di sudut kotaraja Shaba. Rumah 'Kembang' adalah istilah rumah pelacuran di jaman dulu. Sedangkan adalagi istilah 'Rumah Dadu' dan sabung ayam, untuk istilah tempat perjudian di jaman itu. Sebetulnya pihak kerajaan pada masa itu,

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 386.

    Ya, siapa wanita yang tak 'tergiur', untuk tetap tampil awet muda..? Dan Nyi Sekarwati inilah salah satunya. Walau syarat untuk itu, dia harus memberikan tumbal 3 orang pemuda perjaka setiap bulannya. Sungguh suatu syarat yang sesat dan kejam.! "Hahahaa..! Cantiknya istriku, setelah mendapatkan tumbalnya," terdengar tawa terbahak senang, dari seorang lelaki diluar rumah kosong itu. "Masuk saja Kangmas Sardujagat suamiku. Baiknya kita tinggal di rumah ini hingga esok malam," sahut Nyi Sekarwati, yang mengenali suara suami sekaligus gurunya itu. "Kau benar Sekar. Dari sini ke Telaga Wangipandan, hanya sepenanakkan nasi saja jauhnya. Kita bisa berangkat besok sore menjelang malam dari sini," ujar Ki Sardujagat, yang tahu-tahu telah berada di dalam rumah itu. Di angkatnya sosok mayat pemuda, yang kini nampak kurus kering itu. Lalu mayat itu dilemparkannya keluar, melalui pintu rumah yang terbuka itu. Weesh..! Brugh! Mayat pemuda itu pun melayang dan jatuh terhempas, di atas semak-

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 385.

    "Beberapa kali Eyang bentrok dengan Sardujagat. Dia selalu datang ke kediaman mendiang Guru Bhaskoro. Dia mengatasnamakan gurunya, untuk meminta Batu Mustika Hijau itu dari tangan mendiang Eyang Bhaskoro. Namun beruntung Eyang Guru selalu bisa mengatasinya. Dan sayangnya, hingga mendiang Eyang Bhaskoro menghembuskan nafas terakhirnya. Eyang Guru tak menunjukkan keberadaan Batu Mustika Hijau itu pada Eyang. Mungkin Batu Mustika Hijau itu sudah hilang, atau diberikan pada orang lain. Entahlah," ujar Eyang Wilapasara. "Apakah mungkin ada suatu rahasia yang mereka ketahui. Tentang Batu Mustika Hijau itu, yang tak kita ketahui Eyang? Melihat sepertinya keras sekali usaha mereka, untuk mendapatkan batu mustika itu," ujar Elang akhirnya, mencoba mengambil kesimpulan. "Hmm. Bisa jadi Elang," ucap eyang Guruchakra menimpali. "Wah, ada Eyang Guruchakra," ucap Prasti, yang baru saja keluar dari dapur. Dia segera mencium tangan Eyang Guruchakra. "Eyang Guru, Eyang Guruchakra, Mas Yoga. Ki

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 384.

    "Ahh..! D-darimana Eyang tahu Elang berasal..?!" tanya Elang agak gugup. Karena Elang merasa tak melihat bayangan atau lintasan apapun, tentang Eyang Wilapasara. Bahkan nampaknya sepuh itu tak pernah berhubungan, dengan pihak di luar lembah Marabunta itu. "Hmm. Elang, kau tak perlu kaget mengenai itu. Eyang adalah sahabat Maharesi Salopa. Soal kabar nama dan waktu kedatanganmu ke alam ini. Semuanya Eyang ketahui dari Maharesi Salopa langsung," ujar eyang Wilapasara tenang. "Baiklah, silahkan Eyang Guru dan Mas Yoga berbincang dulu ya. Prasti akan memasak hasil buruan Eyang dulu," ucap Prasti, seraya beranjak menuju dapur. Dia memang ingin memasak suatu yang istimewa, buat Elang dan Eyang Gurunya itu. "Ahh, rupanya Eyang bersahabat dekat dengan Maharesi Salopa. Pantas saja Eyang demikian yakin dengan hal itu," ucap Elang. Hampir tak kuat rasanya Elang balas menatap pandangan Eyang Wilapasara, yang bagai menembus ke relung hatinya. Elang yakin, seperti halnya Eyang Guruchakra p

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 383.

    Usai bersantap di rumah makan itu. Elang dan Prasti segera beranjak, untuk menuju ke Telaga Wangipandan. Dan benar saja, tak lama kemudian Elang dan Prasti tiba di sebuah lereng perbukitan Lasinda. Letaknya memang tak begitu jauh dari rumah makan tadi. Elang dibuat takjub, dengan keindahan alam yang tersaji di hadapannya. Air jernih telaga yang segar, sejuk, serta wangi semerbak aroma pandan. Kini terhampar nyata di sana. Nampak saat itu juga ada beberapa orang, yang tengah mandi di telaga itu, dengan menggunakan kain atau pakaian. Bebatuan besar juga banyak terdapat di telaga itu. Telaganya sendiri cukup luas, namun airnya tak begitu dalam. Hanya sekitar dada orang dewasa. Dan dibagian tengah telaga itu, terdapat sebuah pusaran kecil. Itu adalah suatu hal yang aneh di mata Elang. Bagaimana mungkin ada sebuah pusaran, di tengah telaga seperti itu..? Lalu pusaran air itu menembus ke mana..? Pikir Elang. "Mas Yoga, ini adalah bagian luar dari Telaga Wangipandan ini. Di bagian ini

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 382.

    "Aku setuju dengan usulan Kakang Kampala. Bagaimana kalau gerakkan kita tunda dulu..? Sambil menunggu Mahaguru kembali. Karena sepertinya hanya Mahaguru sendiri, yang bisa mengatasi orang bernama Elang itu," ujar Surapati, menanggapi usulan Kampala. "Baiklah. Mulai besok, kita tarik mundur semua pasukkan kita ke Hutan Lawangjati, yang merupakan perbatasan Tlatah Kalpataru dan Palapa. Maharaja Kumbadewa Padmachakra sendiri telah mengatakan, dia akan menyerang Kalpataru pada saat yang tepat. Lebih baik kita menunggu kepulangan Mahaguru di hutan Lawangjati, dan menunggu juga kesiapan Maharaja Palapa Kumbadewa Padmachakra, untuk menyerang secara serentak ke Kalpataru," akhirnya Gardika memberikan putusannya. Keputusan yang langsung disambut baik oleh kedua adik seperguruannya. "Namun sementara waktu menunggu Mahaguru tiba. Kita juga harus menyelidiki dan selalu mengawasi, sepak terjang orang bernama Elang itu. Kita harus tahu banyak tentang orang itu, dan juga kelemahannya," ujar G

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 381.

    "Prayoga..! Prasti..! Mari kita bersama ke istana," seru Ki Randujati pada Elang. "Baik Ki Randujati. Dimana yang lain Ki?" tanya Elang. "Semuanya sudah bergerak ke alun-alun, mengawal para tawanan pemberontak, Prayoga. Istriku, Dirga, Panji, Lanjarsari, Batara, dan yang lainnya sudah ke sana. Sementara Kedasih langsung pulang menuju ke Jurang Hampa Sukma," jelas Ki Randujati. Akhirnya mereka pun tiba di istana Galuga. Kepala pengawal istana langsung menyambut mereka, dan mempersilahkan mereka semua berkumpul di Pendopo Agung istana. "Selamat datang seluruh para satria kerajaan Galuga..! Suatu kebanggaan bagiku menerima kedatangan kalian semua. Tanpa kalian, mungkin saat ini kerajaan Galuga telah runtuh tak terselamatkan. Elang Prayoga, terimakasih atas sumbangsihmu menyelamatkan putriku Arum Sokawati, dan mengalahkan Panglima pemberontak. Ki Randujati dan semua para pendekar wilayah Galuga. Terimakasih atas kesetiaan kalian pada tanah air Galuga. Aku Dewangga Kusumawardhana,

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 380.

    "Keparat dangkalan..! Rupanya kau yang membunuh adik seperguruanku.! Hiaahh..!!" Werrssh..! Wusshk..!!Betapa murka Lamhot hingga ke ubun-ubun, karena di antara saudara seperguruan lainnya, dia memang paling dekat dengan Bashuta. Dia langsung berseru keras kibaskan deras Kipas Awan Saktinya. Dua serangannya seketika mengarah ke leher dan pinggang Elang. Dua larikkan hawa dingin berselimut cahaya putih, menderu tajam dan ganas. Elang langsung melenting tinggi, menghindari serangan Lamhot. Dan selanjutnya Elang berlesatan kian kemari, menghindar dan sesekali menangkis serangan membabibuta Lamhot, yang sedang dikuasai amarahnya itu. Larikan-larikan serangan kipas Lamhot, bagaikan liukkan ular yang mencari mangsa. Sedangkan Elang yang sejak tadi hanya menghindar, kini mulai balas menyerang. Spratzh..! ... Blastth..! Pukulan-pukulan jarak jauh Elang dilesatkan, untuk mengacaukan arah serangan kipas Lamhot. "Bedebah..! Hanya jurus monyet main petak umpet inikah kebisaanmu Elang..! Ay

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status